Teologi Pembebasan Perempuan
Oleh: Nasaruddin Umar
Islam sejak awal ditargetkan sebagai agama
pembebasan--terutama pembebasan terhadap kaum perempuan. Bisa dibayangkan,
bagaimana masyarakat Arab yang misoginis dan dikenal sering membunuh anak
perempuan, tiba-tiba diperintah melakukan pesta syukuran ('aqiqah) atas
kelahiran anak perempuan, meski baru sebatas seekor kambing untuk anak
perempuan dan dua ekor bagi anak laki-laki.
Bagaimana suatu masyarakat yang tidak mengenal konsep
ahli waris dan saksi perempuan, tiba-tiba kepada perempuan diberi hak waris dan
hak persaksian, meski baru dalam batas satu berbanding dua untuk anak
laki-laki. Perempuan yang mati terbunuh, tiba-tiba harus juga mendapatkan
bagian dari denda (diyat), meski masih sebatas seperdua dari yang diperoleh
laki-laki.
Bagaimana perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai
"pelengkap" keinginan laki-laki (Adam), tiba-tiba diakui setara di
depan Allah dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penghuni surga
(QS al-Baqarah, 2:35). Bagaimana perempuan (Hawa) dicitrakan sebagai penggoda
(temptator) laki-laki (Adam), tiba-tiba dibersihkan namanya dengan keterangan
bahwa yang terlibat dalam dosa kosmis adalah kedua-duanya (QS al-A'raf, 7:20).
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan
dan kemasyarakatan (QS Ali 'Imran, 3:112). Dalam pandangan Islam, manusia
mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba ('abid) dan sebagai representasi
Tuhan (khalifah), tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S.
al-Hujurat, 49:13). Kualitas kesalehan tidak hanya diperoleh melalui upaya
pensucian diri (riyadlah nafsiyyah) melainkan juga kepedulian terhadap
penderitaan orang lain (Q.S.al-Ma'un, 107:1-7). Islam sejak awal menegaskan
bahwa diskriminasi peran dan relasi gender adalah salah satu pelanggaran hak
asasi manusia yang harus dihapus (QS al-Nisa', 4:75)
Islam memerintahkan menusia untuk memperhatikan konsep
keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan; baik sesama umat manusia
maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari
sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tapi secara teologis dan
teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan
Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai
khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid yang
sesungguhnya.
Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu
kepada ayat-ayat substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah
(maqashid al-syari'ah), antara lain mewujudkan keadilan dan kebajikan (QS
al-Nahl, 16:90), keamanan dan ketenteraman (QS al-Nisa', 4:58), dan menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (QS Ali 'Imran, 3:104). Ayat-ayat ini
dijadikan kerangka dalam analisis relasi gender dalam Al-Quran.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang
sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam
masyarakat, tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan aktif
di dalamnya. Sebaliknya, Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan
perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Pada awal-awal sejarah Islam, kaum perempuan memperoleh
kemerdekaan dan suasana batin yang cerah. Rasa percaya diri mereka semakin kuat
sehingga di antara mereka mencatat prestasi gemilang, bukan saja di dalam
sektor domestik tapi juga di sektor publik. Sayangnya, kenyataan seperti ini
tak berlangsung lama karena banyak faktor. Antara lain, semakin berkembangnya
dunia Islam sampai kepada pusat-pusat kerajaan yang bercorak misoginis seperti
Damaskus, Bagdad dan Persia. Di samping itu, unifikasi dan kodifikasi
kitab-kitab hadis, tafsir, dan fikih--yang kuat dipengaruhi budaya
lokal--langsung atau tidak langsung, mempunyai andil di dalam memberikan
pembatasan hak dan gerak kaum perempuan.
Pada saat bersamaan, secara simultan berlangsung politik
antropologi untuk melanggengkan tradisi patriaki yang menguntungkan kaum
laki-laki. Berbagai nilai diarahkan dan digunakan untuk mempertahankan
keberadaan pola relasi gender yang berakar dalam masyarakat. Karena hal
tersebut berlangsung cukup lama, maka pola itu mengendap di alam bawah sadar
masyarakat, seolah-olah pola relasi gender adalah kodrat (Arab: qudrah berarti
ditentukan Tuhan). Bertambah kuat lagi setelah pola relasi kuasa (power relations)
menjadi subsistem dalam masyarakat modern-kapitalis, yang kemudian melahirkan
masyarakat new patriarchy.
Kian kuat pola relasi kuasa, kian besar pula ketimpangan
peran gender di dalam masyarakat, karena seseorang akan diukur berdasarkan
nilai produktivitasnya. Dengan alasan faktor reproduksi, produktivitas
perempuan dianggap tidak semaksimal laki-laki. Perempuan diklaim sebagai
komunitas reproduksi, yang lebih tepat mengambil peran domestik, dan laki-laki
diklaim sebagai komunitas produktif, yang lebih tepat mengambil peran publik.
Akibatnya, terciptalah suatu masyarakat yang didominasi laki-laki (al-mujtama'
al-abawiy).
Kalau dahulu agama (Islam) identik dengan isu dan wacana
pembebasan perempuan, kini ada kecenderungan Islam yang identik dengan pembatasan
terhadap perempuan. Di pengujung abad ini banyak negara Islam melakukan
revolusi dan reformasi dengan mengambil tema keislaman. Namun demikian, sering
kali yang terjadi di pascarevolusi dan reformasi adalah pengekangan terhadap
perempuan.
Islamisasi suatu negara seolah-olah berarti
"merumahkan" perempuan atau jilbabisasi perempuan. Iran, Pakistan,
Aljazair, dan Afganistan dapat menjadi contoh dari fenomena tersebut. Bagaimana
Islam dijadikan dalil untuk mencopot pegawai negeri di sejumlah daerah di
Afganistan dengan alasan perempuan tidak boleh bekerja di bidang publik.
Otonomisasi daerah di Indonesia dengan memberikan peran
lebih besar kepada tokoh-tokoh adat dan agama setempat, tidak tertutup
kemungkinan akan menjadikan perempuan sebagai sasaran dan obyek. Kita tentu
sangat berharap agar Islam tak lagi dijadikan sebagai suatu kekuatan ideologis
yang menekan suatu kelompok atau jenis kelamin tertentu dan sebaliknya
memberikan keuntungan kepada kelompok atau jenis kelamin tertentu.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana
Oleh: Nasaruddin Umar
Islam sejak awal ditargetkan sebagai agama
pembebasan--terutama pembebasan terhadap kaum perempuan. Bisa dibayangkan,
bagaimana masyarakat Arab yang misoginis dan dikenal sering membunuh anak
perempuan, tiba-tiba diperintah melakukan pesta syukuran ('aqiqah) atas
kelahiran anak perempuan, meski baru sebatas seekor kambing untuk anak
perempuan dan dua ekor bagi anak laki-laki.
Bagaimana suatu masyarakat yang tidak mengenal konsep
ahli waris dan saksi perempuan, tiba-tiba kepada perempuan diberi hak waris dan
hak persaksian, meski baru dalam batas satu berbanding dua untuk anak
laki-laki. Perempuan yang mati terbunuh, tiba-tiba harus juga mendapatkan
bagian dari denda (diyat), meski masih sebatas seperdua dari yang diperoleh
laki-laki.
Bagaimana perempuan yang tadinya dimitoskan sebagai
"pelengkap" keinginan laki-laki (Adam), tiba-tiba diakui setara di
depan Allah dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penghuni surga
(QS al-Baqarah, 2:35). Bagaimana perempuan (Hawa) dicitrakan sebagai penggoda
(temptator) laki-laki (Adam), tiba-tiba dibersihkan namanya dengan keterangan
bahwa yang terlibat dalam dosa kosmis adalah kedua-duanya (QS al-A'raf, 7:20).
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan
dan kemasyarakatan (QS Ali 'Imran, 3:112). Dalam pandangan Islam, manusia
mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba ('abid) dan sebagai representasi
Tuhan (khalifah), tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S.
al-Hujurat, 49:13). Kualitas kesalehan tidak hanya diperoleh melalui upaya
pensucian diri (riyadlah nafsiyyah) melainkan juga kepedulian terhadap
penderitaan orang lain (Q.S.al-Ma'un, 107:1-7). Islam sejak awal menegaskan
bahwa diskriminasi peran dan relasi gender adalah salah satu pelanggaran hak
asasi manusia yang harus dihapus (QS al-Nisa', 4:75)
Islam memerintahkan menusia untuk memperhatikan konsep
keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan; baik sesama umat manusia
maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari
sekadar mengatur keadilan gender dalam masyarakat, tapi secara teologis dan
teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan
Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai
khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid yang
sesungguhnya.
Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu
kepada ayat-ayat substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syariah
(maqashid al-syari'ah), antara lain mewujudkan keadilan dan kebajikan (QS
al-Nahl, 16:90), keamanan dan ketenteraman (QS al-Nisa', 4:58), dan menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kejahatan (QS Ali 'Imran, 3:104). Ayat-ayat ini
dijadikan kerangka dalam analisis relasi gender dalam Al-Quran.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang
sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam
masyarakat, tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan aktif
di dalamnya. Sebaliknya, Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan kebolehan
perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Pada awal-awal sejarah Islam, kaum perempuan memperoleh
kemerdekaan dan suasana batin yang cerah. Rasa percaya diri mereka semakin kuat
sehingga di antara mereka mencatat prestasi gemilang, bukan saja di dalam
sektor domestik tapi juga di sektor publik. Sayangnya, kenyataan seperti ini
tak berlangsung lama karena banyak faktor. Antara lain, semakin berkembangnya
dunia Islam sampai kepada pusat-pusat kerajaan yang bercorak misoginis seperti
Damaskus, Bagdad dan Persia. Di samping itu, unifikasi dan kodifikasi
kitab-kitab hadis, tafsir, dan fikih--yang kuat dipengaruhi budaya
lokal--langsung atau tidak langsung, mempunyai andil di dalam memberikan
pembatasan hak dan gerak kaum perempuan.
Pada saat bersamaan, secara simultan berlangsung politik
antropologi untuk melanggengkan tradisi patriaki yang menguntungkan kaum
laki-laki. Berbagai nilai diarahkan dan digunakan untuk mempertahankan
keberadaan pola relasi gender yang berakar dalam masyarakat. Karena hal
tersebut berlangsung cukup lama, maka pola itu mengendap di alam bawah sadar
masyarakat, seolah-olah pola relasi gender adalah kodrat (Arab: qudrah berarti
ditentukan Tuhan). Bertambah kuat lagi setelah pola relasi kuasa (power relations)
menjadi subsistem dalam masyarakat modern-kapitalis, yang kemudian melahirkan
masyarakat new patriarchy.
Kian kuat pola relasi kuasa, kian besar pula ketimpangan
peran gender di dalam masyarakat, karena seseorang akan diukur berdasarkan
nilai produktivitasnya. Dengan alasan faktor reproduksi, produktivitas
perempuan dianggap tidak semaksimal laki-laki. Perempuan diklaim sebagai
komunitas reproduksi, yang lebih tepat mengambil peran domestik, dan laki-laki
diklaim sebagai komunitas produktif, yang lebih tepat mengambil peran publik.
Akibatnya, terciptalah suatu masyarakat yang didominasi laki-laki (al-mujtama'
al-abawiy).
Kalau dahulu agama (Islam) identik dengan isu dan wacana
pembebasan perempuan, kini ada kecenderungan Islam yang identik dengan pembatasan
terhadap perempuan. Di pengujung abad ini banyak negara Islam melakukan
revolusi dan reformasi dengan mengambil tema keislaman. Namun demikian, sering
kali yang terjadi di pascarevolusi dan reformasi adalah pengekangan terhadap
perempuan.
Islamisasi suatu negara seolah-olah berarti
"merumahkan" perempuan atau jilbabisasi perempuan. Iran, Pakistan,
Aljazair, dan Afganistan dapat menjadi contoh dari fenomena tersebut. Bagaimana
Islam dijadikan dalil untuk mencopot pegawai negeri di sejumlah daerah di
Afganistan dengan alasan perempuan tidak boleh bekerja di bidang publik.
Otonomisasi daerah di Indonesia dengan memberikan peran
lebih besar kepada tokoh-tokoh adat dan agama setempat, tidak tertutup
kemungkinan akan menjadikan perempuan sebagai sasaran dan obyek. Kita tentu
sangat berharap agar Islam tak lagi dijadikan sebagai suatu kekuatan ideologis
yang menekan suatu kelompok atau jenis kelamin tertentu dan sebaliknya
memberikan keuntungan kepada kelompok atau jenis kelamin tertentu.
Penulis adalah Dosen Pascasarjana
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as