Asal-usul Penindasan Perempuan
Perempuan
berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku
sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini
tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus
melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama
suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur
moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat.
Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang
sudah begini.
Tapi anggapan ini
adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan bahwa
keadaannya tidaklah selalu demikian.
Dalam masyarakat
Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara.
Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari
Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku
dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan
penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan
semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai
jauh ke abad ke 19.
Dalam masyarakat
Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi,
berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan
kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam
pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga
anggota dari Dewan Suku.
Demikian pula yang
berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan
perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.
Namun jika kita cermati
lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki
benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan perburuan
dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka.
Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam bentuk
sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat Jermania dan
Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan
buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi bahkan
menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan
sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal yang
terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama.
Namun, ketika
berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat
pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Pertanian dan Bangkitnya Patriarki
Berlawanan dengan pandangan
umum tentang bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia tidaklah dengan
sukarela memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan
bahwa manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang
cocok untuk bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan
bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam,
di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan
hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.
Peradaban
pertanian yang pertama kali muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya
lahir dari terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang
rumput yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah musnah
ini membentang dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia sampai
pegunungan Ural di Asia Tengah. Sekitar 8.000 - 11.000 tahun yang lalu, ketika
Jaman Es terakhir telah berakhir, padang rumput ini mengalami ketandusan akibat
perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara
dan selatan. Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan
buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur. Para pemburu dan
pengumpul yang mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah
sungai Efrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai
Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus
oleh manusia, contoh modern dari lembah-lembah sungai yang masih perawan
seperti ini dapat kita lihat di Papua. Karena terjepit antara dua keadaan yang
berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan
pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai
ini dan berusaha menaklukkannya - setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih
tersedia air.
Proses penaklukan
ini pasti berjalan dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka miliki,
pada awalnya, hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus menciptakan
improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk membersihkan
lahan. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan lahan ini
dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada binatang buruan
yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan
pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.
Dan di saat
inilah, menurut data arkeologi, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat.
Mereka menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi
tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang
tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama
seluruh masyarakat.
Keharusan manusia
untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat
perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian,
jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya.
Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan
bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual).
Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari
proses komunal menjadi proses individual.
Dan, hal yang
paling wajar ketika pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah bahwa
hasilnya kemudian menjadi milik individu (perorangan). Pertanian memperkenalkan
kepemilikan pribadi pada umat manusia.
Di samping itu,
pertanian sesungguhnya menghasilkan lebih banyak daripada berburu dan
mengumpul. Tiap kali panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada
yang dapat dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil
lebih pada pri-kehidupan manusia.
Namun, hasil lebih
ini tidaklah muncul secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket. Sekali panen,
mereka mendapat hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar cukup sampai
panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan membagi hasil
lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini menumbuhkan
tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan Negara
pada pri-kehidupan manusia.
Sekalipun
berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik,
perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan
manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan
atau melalui proses inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh
dunia.
Dan salah satu
perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan.
Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga
untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses
ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh
karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting
untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas
seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah
masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting.
Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di tengah masyarakat
pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah melainkan juga tingkat
kesuburan reproduksi perempuan.
Dan sebagai akibat
logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif
di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam
kegiatan-kegiatan reproduktif.
Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini
ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin
tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya
bajak (luku) telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak
merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh
perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan
ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah
ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam
pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam
bidang pertanian, semakin tertutup.
Karena perempuan
semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin
tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan
telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai menampakkan
batang hidungnya di muka bumi.
Kepemilikan Pribadi dan Patriarki
Tergesernya kaum
perempuan dari lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya
kepemilikan pribadi.
Dengan semakin bergesernya
proses produksi menjadi sebuah proses perorangan, maka unit pengaturan
masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil
adalah suku maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.
Hampir di tiap
masyarakat yang terhitung primitif konsep tentang keluarga tidak dikenal.
Penelitian arkeologis telah menemukan berbagai bentuk sistem reproduksi
masyarakat komunal seperti ini. Seperti nyata di tengah masyarakat Zulu, di
Afrika, di mana tiap waktu tertentu diadakan satu upacara di mana kaum
perempuan memilih pasangannya untuk jangka waktu sampai upacara berikutnya
diadakan. Suku-suku Afrika yang lain, semacam orang-orang Bush, menganut sistem
di mana seorang perempuan adalah istri dari semua laki-laki yang ada di suku
tersebut, sementara seorang laki-laki adalah suami dari semua perempuan di
sukunya. Suku-suku aborigin Australia menganut sistem silang-suku, di mana
mereka mengenal suku-saudara. Seorang perempuan aborigin adalah istri dari
semua laki-laki dalam suku-saudara mereka, demikian sebaliknya yang terjadi
dengan tiap laki-laki dalam suku tersebut.
Oleh karena pola
reproduksi yang komunal semacam ini, garis keturunan seseoang hanya dapat
dilihat dari siapa ibunya. Dari sinilah sebab mengapa dalam masyarakat primitif
hanya dikenal garis matrilineal. Ini nampak nyata dalam asal-usul kata
"gen" atau "genetik" itu sendiri, yang berasal dari kata
kuno bangsa Arya gan atau kan yang artinya "kelahiran"
atau "kehamilan". Jadi, "keturunan" merupakan satu bentuk
yang sangat bernuansa perempuan pada awalnya.
Namun demikian,
garis matrilineal ini tidaklah berarti apa-apa selain penentu apakah seseorang
dapat digolongkan sebagai "orang kita" atau bukan. Dalam makna yang
lebih luas, apakah ia setelah dewasa akan dapat memperoleh tempat dalam Dewan
Suku dan ikut mengambil keputusan-keputusan penting. Jadi, pada masa itu
tidaklah dikenal Matriarki. Perempuan dan laki-laki benar-benar setara
kedudukannya di tengah masyarakat.
Namun, pertanian
mengubah semua itu.
Di atas kita telah
melihat bahwa peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari lapangan produktif
ke lapangan domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses yang diterima baik
oleh kaum perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat secepatnya
meningkatkan hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu sendiri.
Dengan sukarela kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan produksi demi
satu pembagian tugas yang akan meningkatkan hasil produksi setinggi-tingginya.
Yang tidak dapat
dilihat oleh kaum perempuan masa itu adalah peranan kepemilikan pribadi dalam
menempa sebuah sistem masyarakat.
Dalam hal ini,
karena proses produksi telah menjadi sebuah proses perorangan, maka alat-alat
produksi juga menjadi milik perorangan. Sistem kepemilikan suku atas alat-alat
produksi semakin lama semakin pudar. Dan bersamaan dengan itu, kepemilikan atas
hasil produksi juga berubah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan
perorangan.
Dan karena
perempuan telah menyerahkan tempat mereka dalam lapangan produksi kepada laki-laki,
maka kepemilikan atas alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh kepada
laki-laki. Dan karena kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada laki-laki,
kepemilikan atas hasil produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki.
Berikutnya, ketika
kita bicara tentang bagaimana menjaga dan mengatur pembagian hasil produksi
ini, siapakah yang berhak mengambil keputusan? Tentunya, karena merekalah yang
bergiat di lapangan produksi, hak inipun jatuh pada laki-laki.
Ketika hak untuk
mengambil keputusan dalam masyarakat telah secara eksklusif dipegang oleh kaum
laki-laki, bangkitlah patriarki.
Perlahan-lahan,
setelah proses ini berlangsung ratusan tahun, orangpun melupakan asal-usul
pergeseran ini dan hak waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan.
Demikian pula seluruh sistem nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung
tinggi kesamaan antara laki-laki dan perempuan kini tergeser dan tergantikan
oleh sistem nilai di mana laki-laki berkuasa atas perempuan.
Salah satunya
nampak dalam sistem kepercayaan, yang merupakan salah satu sistem nilai yang
paling tua umurnya dalam sejarah manusia. "Agama-agama" paling kuno,
seperti dinamisme atau animisme, sama sekali tidak membagi dewa-dewa mereka
sebagai laki-laki atau perempuan. Bagi mereka, masalah jenis kelamin ini sama
sekali tidak penting. Agama-agama yang muncul kemudian telah mulai membagi
kekuatan-kekuatan supranatural ini menjadi dewa (laki-laki) dan dewi
(perempuan). Namun di antara keduanya sama sekali tidak nampak perbedaan
kekuasaan yang mencolok. Agama orang-orang Yunani, misalnya, sekalipun
menempatkan Zeus (laki-laki) sebagai pemimpin tertinggi, namun ia seringkali
tidak dapat menghalangi apa yang dimaui oleh istrinya, Hera. Untuk hampir tiap
masalah, selalu ada pasangan dewa dan dewi yang menaunginya, seperti
Athena-Aries (perang), Cupid-Venus (cinta), dll. Apollo jelas laki-laki, namun
objek yang dinaunginya yakni matahari selalu harus menyerah pada bulan yang
dilindungi oleh Artemis ketika malam tiba. Bahkan Apollo dan Artemis adalah
kakak-beradik. Baru pada agama-agama monotheis-lah kekuatan supranatural
tertinggi dilekatkan pada laki-laki, seperti yang nampak pada anggapan
kebanyakan penganut monotheis mengenai apakah Tuhan adalah laki-laki atau
perempuan.
Kemungkinan-kemungkinan untuk Pembebasan Perempuan
Di atas kita dapat
melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat
berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan,
pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa
itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi.
Posisi kelas dua
ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya
memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang
menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.
Karena
ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif
maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini
harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan
tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi
kolektif.
Kondisi ini
sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme, yang mengandalkan
mesin sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum perempuan
untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat. Bahkan,
sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali ada
kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan hidup
keluarganya.
Lagipula,
kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin
kolektif. Sepasang sepatu NIKE, misalnya, adalah buah karya ratusan, bahkan
ribuan, orang dari berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan
untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan
ribuan orang. Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin
hari semakin berjaya kembali.
Dapatlah kita
lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang
sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang
bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke pabrik-pabrik. Kini perempuan
telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan
juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih
pasangan hidup.
Namun demikian,
kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang
sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih
merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran
perempuan.
Kita dapat melihat
bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja
laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja. Demikian pula yang
terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri perfilman di mana
aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor.
Masih dalam bidang
pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai
"bidangnya perempuan". Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik
dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik". Banyak orang masih
meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha keras untuk,
misalnya, menjadi seorang pilot.
Ini berkaitan erat
dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat.
Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia "cantik",
"seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya,
penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya karena apa yang
"cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu demikian untuk jaman
lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran sebagai bentuk
eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja tenaganya yang
dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.
Di tengah
masyarakat kita telah pula berkembang gerakan anti-emansipasi perempuan. Banyak
bentuk yang diambil oleh gerakan ini, namun pada intinya gerakan ini berusaha
mengembalikan posisi perempuan menjadi posisi terpinggirkan. Perempuan hendak
dikembalikan pada posisi tidak turut dalam pengambilan keputusan, bahkan hendak
dibatasi kembali ruang geraknya.
Sebaliknya, banyak
pula dari kaum perempuan yang telah lolos dari jerat pembatasan-pembatasan,
ternyata justru berbalik ikut membatasi gerak, bahkan turut menindas, kaum
perempuan lainnya. Telah banyak pemimpin perempuan di muka bumi ini, tapi
berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari
keterpinggiran dan keterbelakangan? Telah banyak pula manajer dan direktur
perempuan di dalam perusahaan-perusahaan, tapi berapa banyak dari mereka yang
berjuang agar buruh-buruh perempuan di pabriknya mendapatkan seluruh hak mereka
sebagai perempuan?
Contoh paling
kongkrit kita dapatkan di negeri sendiri. Presiden Megawati adalah seorang
perempuan, namun sampai saat ini tidak satupun konvensi PBB yang memberikan
perlindungan terhadap perempuan yang diratifikasi oleh Indonesia. Padahal,
tindakan meratifikasi konvensi PBB adalah termasuk langkah politik yang
moderat. Ia juga telah memotong berbagai subsidi barang-barang kebutuhan hidup.
Pemotongan subsidi ini pasti memukul langsung nasib kaum perempuan Indonesia
yang sampai saat ini masih terus terbelit dalam kungkungan tembok-tembok
domestik.
Di atas telah kita
lihat bahwa masih ada satu faktor lagi yang mengukuhkan ketertindasan
perempuan: kepemilikan pribadi.
Kepemilikan pribadi
tumbuh dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh barang
kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak lagi
demikian. Barang kebutuhan hidup telah dihasilkan secara komunal, secara
kolektif. Namun, hasil produksi yang komunal ini masih dikangkangi secara
pribadi, secara perorangan.
Dan oleh karena
sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai yang
mendukung kepemilikan pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan kita tahu bahwa
sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai yang
mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itu,
perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari
perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya)
dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial). Sebaliknya,
pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan belumlah
terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian
hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah
dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.
Di sinilah kita
dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan perempuan akan berhasil
dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai sosialisme.
Dan sebaliknya, perrjuangan untuk sosialisme akan juga berhasil dengan sempurna
jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan
utamanya. Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu
didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling
mengisi.
Hanya dengan
demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam
masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi,
sosial dan politik.
Perempuan
berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku
sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini
tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus
melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama
suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur
moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat.
Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang
sudah begini.
Tapi anggapan ini
adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan bahwa
keadaannya tidaklah selalu demikian.
Dalam masyarakat
Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara.
Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari
Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku
dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan
penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan
semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai
jauh ke abad ke 19.
Dalam masyarakat
Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi,
berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan
kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam
pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga
anggota dari Dewan Suku.
Demikian pula yang
berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan
perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.
Namun jika kita cermati
lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki
benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan perburuan
dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka.
Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam bentuk
sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat Jermania dan
Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan
buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi bahkan
menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan
sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal yang
terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama.
Namun, ketika
berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat
pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Pertanian dan Bangkitnya Patriarki
Berlawanan dengan pandangan
umum tentang bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia tidaklah dengan
sukarela memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan
bahwa manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang
cocok untuk bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan
bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam,
di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan
hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.
Peradaban
pertanian yang pertama kali muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya
lahir dari terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang
rumput yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah musnah
ini membentang dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia sampai
pegunungan Ural di Asia Tengah. Sekitar 8.000 - 11.000 tahun yang lalu, ketika
Jaman Es terakhir telah berakhir, padang rumput ini mengalami ketandusan akibat
perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara
dan selatan. Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan
buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur. Para pemburu dan
pengumpul yang mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah
sungai Efrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai
Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus
oleh manusia, contoh modern dari lembah-lembah sungai yang masih perawan
seperti ini dapat kita lihat di Papua. Karena terjepit antara dua keadaan yang
berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan
pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai
ini dan berusaha menaklukkannya - setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih
tersedia air.
Proses penaklukan
ini pasti berjalan dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka miliki,
pada awalnya, hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus menciptakan
improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk membersihkan
lahan. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan lahan ini
dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada binatang buruan
yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan
pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.
Dan di saat
inilah, menurut data arkeologi, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat.
Mereka menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi
tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang
tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama
seluruh masyarakat.
Keharusan manusia
untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat
perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian,
jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya.
Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan
bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual).
Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari
proses komunal menjadi proses individual.
Dan, hal yang
paling wajar ketika pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah bahwa
hasilnya kemudian menjadi milik individu (perorangan). Pertanian memperkenalkan
kepemilikan pribadi pada umat manusia.
Di samping itu,
pertanian sesungguhnya menghasilkan lebih banyak daripada berburu dan
mengumpul. Tiap kali panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada
yang dapat dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil
lebih pada pri-kehidupan manusia.
Namun, hasil lebih
ini tidaklah muncul secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket. Sekali panen,
mereka mendapat hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar cukup sampai
panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan membagi hasil
lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini menumbuhkan
tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan Negara
pada pri-kehidupan manusia.
Sekalipun
berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik,
perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan
manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan
atau melalui proses inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh
dunia.
Dan salah satu
perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan.
Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga
untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses
ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh
karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting
untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas
seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah
masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting.
Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di tengah masyarakat
pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah melainkan juga tingkat
kesuburan reproduksi perempuan.
Dan sebagai akibat
logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif
di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam
kegiatan-kegiatan reproduktif.
Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini
ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin
tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya
bajak (luku) telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak
merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh
perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan
ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah
ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam
pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam
bidang pertanian, semakin tertutup.
Karena perempuan
semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin
tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan
telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai menampakkan
batang hidungnya di muka bumi.
Kepemilikan Pribadi dan Patriarki
Tergesernya kaum
perempuan dari lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya
kepemilikan pribadi.
Dengan semakin bergesernya
proses produksi menjadi sebuah proses perorangan, maka unit pengaturan
masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil
adalah suku maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.
Hampir di tiap
masyarakat yang terhitung primitif konsep tentang keluarga tidak dikenal.
Penelitian arkeologis telah menemukan berbagai bentuk sistem reproduksi
masyarakat komunal seperti ini. Seperti nyata di tengah masyarakat Zulu, di
Afrika, di mana tiap waktu tertentu diadakan satu upacara di mana kaum
perempuan memilih pasangannya untuk jangka waktu sampai upacara berikutnya
diadakan. Suku-suku Afrika yang lain, semacam orang-orang Bush, menganut sistem
di mana seorang perempuan adalah istri dari semua laki-laki yang ada di suku
tersebut, sementara seorang laki-laki adalah suami dari semua perempuan di
sukunya. Suku-suku aborigin Australia menganut sistem silang-suku, di mana
mereka mengenal suku-saudara. Seorang perempuan aborigin adalah istri dari
semua laki-laki dalam suku-saudara mereka, demikian sebaliknya yang terjadi
dengan tiap laki-laki dalam suku tersebut.
Oleh karena pola
reproduksi yang komunal semacam ini, garis keturunan seseoang hanya dapat
dilihat dari siapa ibunya. Dari sinilah sebab mengapa dalam masyarakat primitif
hanya dikenal garis matrilineal. Ini nampak nyata dalam asal-usul kata
"gen" atau "genetik" itu sendiri, yang berasal dari kata
kuno bangsa Arya gan atau kan yang artinya "kelahiran"
atau "kehamilan". Jadi, "keturunan" merupakan satu bentuk
yang sangat bernuansa perempuan pada awalnya.
Namun demikian,
garis matrilineal ini tidaklah berarti apa-apa selain penentu apakah seseorang
dapat digolongkan sebagai "orang kita" atau bukan. Dalam makna yang
lebih luas, apakah ia setelah dewasa akan dapat memperoleh tempat dalam Dewan
Suku dan ikut mengambil keputusan-keputusan penting. Jadi, pada masa itu
tidaklah dikenal Matriarki. Perempuan dan laki-laki benar-benar setara
kedudukannya di tengah masyarakat.
Namun, pertanian
mengubah semua itu.
Di atas kita telah
melihat bahwa peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari lapangan produktif
ke lapangan domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses yang diterima baik
oleh kaum perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat secepatnya
meningkatkan hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu sendiri.
Dengan sukarela kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan produksi demi
satu pembagian tugas yang akan meningkatkan hasil produksi setinggi-tingginya.
Yang tidak dapat
dilihat oleh kaum perempuan masa itu adalah peranan kepemilikan pribadi dalam
menempa sebuah sistem masyarakat.
Dalam hal ini,
karena proses produksi telah menjadi sebuah proses perorangan, maka alat-alat
produksi juga menjadi milik perorangan. Sistem kepemilikan suku atas alat-alat
produksi semakin lama semakin pudar. Dan bersamaan dengan itu, kepemilikan atas
hasil produksi juga berubah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan
perorangan.
Dan karena
perempuan telah menyerahkan tempat mereka dalam lapangan produksi kepada laki-laki,
maka kepemilikan atas alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh kepada
laki-laki. Dan karena kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada laki-laki,
kepemilikan atas hasil produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki.
Berikutnya, ketika
kita bicara tentang bagaimana menjaga dan mengatur pembagian hasil produksi
ini, siapakah yang berhak mengambil keputusan? Tentunya, karena merekalah yang
bergiat di lapangan produksi, hak inipun jatuh pada laki-laki.
Ketika hak untuk
mengambil keputusan dalam masyarakat telah secara eksklusif dipegang oleh kaum
laki-laki, bangkitlah patriarki.
Perlahan-lahan,
setelah proses ini berlangsung ratusan tahun, orangpun melupakan asal-usul
pergeseran ini dan hak waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan.
Demikian pula seluruh sistem nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung
tinggi kesamaan antara laki-laki dan perempuan kini tergeser dan tergantikan
oleh sistem nilai di mana laki-laki berkuasa atas perempuan.
Salah satunya
nampak dalam sistem kepercayaan, yang merupakan salah satu sistem nilai yang
paling tua umurnya dalam sejarah manusia. "Agama-agama" paling kuno,
seperti dinamisme atau animisme, sama sekali tidak membagi dewa-dewa mereka
sebagai laki-laki atau perempuan. Bagi mereka, masalah jenis kelamin ini sama
sekali tidak penting. Agama-agama yang muncul kemudian telah mulai membagi
kekuatan-kekuatan supranatural ini menjadi dewa (laki-laki) dan dewi
(perempuan). Namun di antara keduanya sama sekali tidak nampak perbedaan
kekuasaan yang mencolok. Agama orang-orang Yunani, misalnya, sekalipun
menempatkan Zeus (laki-laki) sebagai pemimpin tertinggi, namun ia seringkali
tidak dapat menghalangi apa yang dimaui oleh istrinya, Hera. Untuk hampir tiap
masalah, selalu ada pasangan dewa dan dewi yang menaunginya, seperti
Athena-Aries (perang), Cupid-Venus (cinta), dll. Apollo jelas laki-laki, namun
objek yang dinaunginya yakni matahari selalu harus menyerah pada bulan yang
dilindungi oleh Artemis ketika malam tiba. Bahkan Apollo dan Artemis adalah
kakak-beradik. Baru pada agama-agama monotheis-lah kekuatan supranatural
tertinggi dilekatkan pada laki-laki, seperti yang nampak pada anggapan
kebanyakan penganut monotheis mengenai apakah Tuhan adalah laki-laki atau
perempuan.
Kemungkinan-kemungkinan untuk Pembebasan Perempuan
Di atas kita dapat
melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat
berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan,
pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa
itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi.
Posisi kelas dua
ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya
memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang
menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.
Karena
ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif
maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini
harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan
tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi
kolektif.
Kondisi ini
sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme, yang mengandalkan
mesin sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum perempuan
untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat. Bahkan,
sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali ada
kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan hidup
keluarganya.
Lagipula,
kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin
kolektif. Sepasang sepatu NIKE, misalnya, adalah buah karya ratusan, bahkan
ribuan, orang dari berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan
untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan
ribuan orang. Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin
hari semakin berjaya kembali.
Dapatlah kita
lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang
sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang
bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke pabrik-pabrik. Kini perempuan
telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan
juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih
pasangan hidup.
Namun demikian,
kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang
sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih
merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran
perempuan.
Kita dapat melihat
bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja
laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja. Demikian pula yang
terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri perfilman di mana
aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor.
Masih dalam bidang
pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai
"bidangnya perempuan". Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik
dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik". Banyak orang masih
meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha keras untuk,
misalnya, menjadi seorang pilot.
Ini berkaitan erat
dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat.
Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia "cantik",
"seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya,
penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya karena apa yang
"cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu demikian untuk jaman
lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran sebagai bentuk
eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja tenaganya yang
dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.
Di tengah
masyarakat kita telah pula berkembang gerakan anti-emansipasi perempuan. Banyak
bentuk yang diambil oleh gerakan ini, namun pada intinya gerakan ini berusaha
mengembalikan posisi perempuan menjadi posisi terpinggirkan. Perempuan hendak
dikembalikan pada posisi tidak turut dalam pengambilan keputusan, bahkan hendak
dibatasi kembali ruang geraknya.
Sebaliknya, banyak
pula dari kaum perempuan yang telah lolos dari jerat pembatasan-pembatasan,
ternyata justru berbalik ikut membatasi gerak, bahkan turut menindas, kaum
perempuan lainnya. Telah banyak pemimpin perempuan di muka bumi ini, tapi
berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari
keterpinggiran dan keterbelakangan? Telah banyak pula manajer dan direktur
perempuan di dalam perusahaan-perusahaan, tapi berapa banyak dari mereka yang
berjuang agar buruh-buruh perempuan di pabriknya mendapatkan seluruh hak mereka
sebagai perempuan?
Contoh paling
kongkrit kita dapatkan di negeri sendiri. Presiden Megawati adalah seorang
perempuan, namun sampai saat ini tidak satupun konvensi PBB yang memberikan
perlindungan terhadap perempuan yang diratifikasi oleh Indonesia. Padahal,
tindakan meratifikasi konvensi PBB adalah termasuk langkah politik yang
moderat. Ia juga telah memotong berbagai subsidi barang-barang kebutuhan hidup.
Pemotongan subsidi ini pasti memukul langsung nasib kaum perempuan Indonesia
yang sampai saat ini masih terus terbelit dalam kungkungan tembok-tembok
domestik.
Di atas telah kita
lihat bahwa masih ada satu faktor lagi yang mengukuhkan ketertindasan
perempuan: kepemilikan pribadi.
Kepemilikan pribadi
tumbuh dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh barang
kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak lagi
demikian. Barang kebutuhan hidup telah dihasilkan secara komunal, secara
kolektif. Namun, hasil produksi yang komunal ini masih dikangkangi secara
pribadi, secara perorangan.
Dan oleh karena
sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai yang
mendukung kepemilikan pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan kita tahu bahwa
sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai yang
mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itu,
perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari
perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya)
dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial). Sebaliknya,
pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan belumlah
terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian
hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah
dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.
Di sinilah kita
dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan perempuan akan berhasil
dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai sosialisme.
Dan sebaliknya, perrjuangan untuk sosialisme akan juga berhasil dengan sempurna
jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan
utamanya. Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu
didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling
mengisi.
Hanya dengan
demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam
masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi,
sosial dan politik.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as