Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    asal-usul penindasan perempuan

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 59
    Lokasi : di belakangmu

    asal-usul penindasan perempuan Empty asal-usul penindasan perempuan

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 3:27 pm

    Asal-usul Penindasan Perempuan








    Perempuan
    berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku
    sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini
    tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus
    melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama
    suaminya", dll. Prasangka-prasangka ini mendapat penguatan dari struktur
    moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan-peraturan agama dan adat.
    Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang
    sudah begini.


    Tapi anggapan ini
    adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan bahwa
    keadaannya tidaklah selalu demikian.


    Dalam masyarakat
    Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara.
    Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari
    Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku
    dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan
    penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan
    semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai
    jauh ke abad ke 19.


    Dalam masyarakat
    Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi,
    berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan
    kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam
    pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga
    anggota dari Dewan Suku.


    Demikian pula yang
    berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan
    perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.


    Namun jika kita cermati
    lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki
    benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan perburuan
    dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka.
    Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam bentuk
    sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat Jermania dan
    Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan
    buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi bahkan
    menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan
    sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal yang
    terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama.


    Namun, ketika
    berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat
    pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya
    hubungan antara laki-laki dan perempuan.



    Pertanian dan Bangkitnya Patriarki





    Berlawanan dengan pandangan
    umum tentang bangkitnya masyarakat pertanian, umat manusia tidaklah dengan
    sukarela memeluk pertanian sebagai cara hidup. Biasanya, orang beranggapan
    bahwa manusia mulai bertani ketika mereka menemukan daerah-daerah subur yang
    cocok untuk bertani. Namun, data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan
    bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam,
    di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan
    hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.


    Peradaban
    pertanian yang pertama kali muncul adalah peradaban Sumeria dan Mesir. Keduanya
    lahir dari terdesaknya suku-suku manusia yang mengembara di dataran padang
    rumput yang kini dikenal sebagai Afrasia. Padang rumput kuno yang kini sudah musnah
    ini membentang dari daerah pegunungan Afrika Timur melalui Arabia sampai
    pegunungan Ural di Asia Tengah. Sekitar 8.000 - 11.000 tahun yang lalu, ketika
    Jaman Es terakhir telah berakhir, padang rumput ini mengalami ketandusan akibat
    perubahan iklim. Ketandusan ini berawal dari daerah Arabia dan meluas ke utara
    dan selatan. Bersamaan dengan mengeringnya padang rumput ini, hewan-hewan
    buruan akan berpindah mencari tempat yang masih subur. Para pemburu dan
    pengumpul yang mengikuti hewan buruan ke utara akhirnya bertemu dengan lembah
    sungai Efrat dan Tigris, sementara yang ke selatan bertemu dengan lembah sungai
    Nil. Pada masa itu, sebuah lembah sungai merupakan medan yang tak tertembus
    oleh manusia, contoh modern dari lembah-lembah sungai yang masih perawan
    seperti ini dapat kita lihat di Papua. Karena terjepit antara dua keadaan yang
    berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka, kelompok-kelompok pemburu dan
    pengumpul ini akhirnya memutuskan untuk bergerak memasuki lembah-lembah sungai
    ini dan berusaha menaklukkannya - setidaknya, di lembah-lembah sungai ini masih
    tersedia air.


    Proses penaklukan
    ini pasti berjalan dengan amat beratnya karena peralatan yang mereka miliki,
    pada awalnya, hanyalah peralatan untuk berburu. Kini mereka harus menciptakan
    improvisasi bagi alat-alat mereka supaya dapat digunakan untuk membersihkan
    lahan. Karena peralatan mereka yang primitif itu, proses pembukaan lahan ini
    dapat berlangsung beratus tahun lamanya. Sementara jarang ada binatang buruan
    yang akan mengikuti mereka memasuki lembah-lembah sungai itu. Mereka dihadapkan
    pada keharusan untuk menemukan sumber makanan lain.


    Dan di saat
    inilah, menurut data arkeologi, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat.
    Mereka menggunakan ketrampilan mereka untuk mengolah biji-bijian menjadi
    tanaman untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Apa yang
    tadinya hanya pengisi waktu senggang kini menjadi sumber penghidupan utama
    seluruh masyarakat.


    Keharusan manusia
    untuk menemukan cara-cara baru untuk mempertahankan hidupnya membuat
    perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah masyarakat pertanian,
    jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi dalam masa-masa sebelumnya.
    Dengan perkembangan teknologi ini, apa yang tadinya hanya dapat dikerjakan
    bersama-sama (komunal) kini dapat dikerjakan secara sendirian (individual).
    Proses untuk menghasilkan sumber penghidupan kini berangsur-angsur berubah dari
    proses komunal menjadi proses individual.


    Dan, hal yang
    paling wajar ketika pekerjaan sudah dilakukan secara individual adalah bahwa
    hasilnya kemudian menjadi milik individu (perorangan). Pertanian memperkenalkan
    kepemilikan pribadi pada umat manusia.


    Di samping itu,
    pertanian sesungguhnya menghasilkan lebih banyak daripada berburu dan
    mengumpul. Tiap kali panen, manusia menghasilkan jauh lebih banyak daripada
    yang dapat dihabiskannya. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan hasil
    lebih
    pada pri-kehidupan manusia.


    Namun, hasil lebih
    ini tidaklah muncul secara kontinyu, melainkan dalam paket-paket. Sekali panen,
    mereka mendapat hasil banyak, namun hasil itu harus dijaga agar cukup sampai
    panen berikutnya. Hal ini menumbuhkan keharusan untuk menjaga dan membagi hasil
    lebih ini. Melalui proses ratusan tahun, kedua keharusan ini menumbuhkan
    tentara dan birokrasi. Dengan kata lain, pertanian memperkenalkan Negara
    pada pri-kehidupan manusia.


    Sekalipun
    berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik,
    perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan
    manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan
    atau melalui proses inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh
    dunia.


    Dan salah satu
    perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan
    perempuan.


    Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga
    untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses
    ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh
    karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting
    untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas
    seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah
    masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting.
    Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di tengah masyarakat
    pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah melainkan juga tingkat
    kesuburan reproduksi perempuan.


    Dan sebagai akibat
    logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif
    di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam
    kegiatan-kegiatan reproduktif.


    Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini
    ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin
    tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya
    bajak (luku) telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak
    merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh
    perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan
    ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah
    ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam
    pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam
    bidang pertanian, semakin tertutup.


    Karena perempuan
    semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin
    tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan
    telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai menampakkan
    batang hidungnya di muka bumi.



    Kepemilikan Pribadi dan Patriarki





    Tergesernya kaum
    perempuan dari lapangan produktif ini terjadi dalam konteks berkembangnya
    kepemilikan pribadi.


    Dengan semakin bergesernya
    proses produksi menjadi sebuah proses perorangan, maka unit pengaturan
    masyarakat pun berubah. Jika tadinya unit pengaturan masyarakat yang terkecil
    adalah suku maka kini muncullah sebuah lembaga baru, yakni keluarga.


    Hampir di tiap
    masyarakat yang terhitung primitif konsep tentang keluarga tidak dikenal.
    Penelitian arkeologis telah menemukan berbagai bentuk sistem reproduksi
    masyarakat komunal seperti ini. Seperti nyata di tengah masyarakat Zulu, di
    Afrika, di mana tiap waktu tertentu diadakan satu upacara di mana kaum
    perempuan memilih pasangannya untuk jangka waktu sampai upacara berikutnya
    diadakan. Suku-suku Afrika yang lain, semacam orang-orang Bush, menganut sistem
    di mana seorang perempuan adalah istri dari semua laki-laki yang ada di suku
    tersebut, sementara seorang laki-laki adalah suami dari semua perempuan di
    sukunya. Suku-suku aborigin Australia menganut sistem silang-suku, di mana
    mereka mengenal suku-saudara. Seorang perempuan aborigin adalah istri dari
    semua laki-laki dalam suku-saudara mereka, demikian sebaliknya yang terjadi
    dengan tiap laki-laki dalam suku tersebut.


    Oleh karena pola
    reproduksi yang komunal semacam ini, garis keturunan seseoang hanya dapat
    dilihat dari siapa ibunya. Dari sinilah sebab mengapa dalam masyarakat primitif
    hanya dikenal garis matrilineal. Ini nampak nyata dalam asal-usul kata
    "gen" atau "genetik" itu sendiri, yang berasal dari kata
    kuno bangsa Arya gan atau kan yang artinya "kelahiran"
    atau "kehamilan". Jadi, "keturunan" merupakan satu bentuk
    yang sangat bernuansa perempuan pada awalnya.


    Namun demikian,
    garis matrilineal ini tidaklah berarti apa-apa selain penentu apakah seseorang
    dapat digolongkan sebagai "orang kita" atau bukan. Dalam makna yang
    lebih luas, apakah ia setelah dewasa akan dapat memperoleh tempat dalam Dewan
    Suku dan ikut mengambil keputusan-keputusan penting. Jadi, pada masa itu
    tidaklah dikenal Matriarki. Perempuan dan laki-laki benar-benar setara
    kedudukannya di tengah masyarakat.


    Namun, pertanian
    mengubah semua itu.


    Di atas kita telah
    melihat bahwa peranan perempuan perlahan-lahan tergusur dari lapangan produktif
    ke lapangan domestik. Pada awalnya ini adalah satu proses yang diterima baik
    oleh kaum perempuan karena pembagian kerja seperti ini dapat secepatnya
    meningkatkan hasil yang dapat diperoleh dari lapangan produksi itu sendiri.
    Dengan sukarela kaum perempuan menyerahkan tempatnya di lapangan produksi demi
    satu pembagian tugas yang akan meningkatkan hasil produksi setinggi-tingginya.


    Yang tidak dapat
    dilihat oleh kaum perempuan masa itu adalah peranan kepemilikan pribadi dalam
    menempa sebuah sistem masyarakat.


    Dalam hal ini,
    karena proses produksi telah menjadi sebuah proses perorangan, maka alat-alat
    produksi juga menjadi milik perorangan. Sistem kepemilikan suku atas alat-alat
    produksi semakin lama semakin pudar. Dan bersamaan dengan itu, kepemilikan atas
    hasil produksi juga berubah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan
    perorangan.


    Dan karena
    perempuan telah menyerahkan tempat mereka dalam lapangan produksi kepada laki-laki,
    maka kepemilikan atas alat-alat produksi itu kemudian juga jatuh kepada
    laki-laki. Dan karena kepemilikan atas alat produksi itu jatuh pada laki-laki,
    kepemilikan atas hasil produksinya juga jatuh ke tangan laki-laki.


    Berikutnya, ketika
    kita bicara tentang bagaimana menjaga dan mengatur pembagian hasil produksi
    ini, siapakah yang berhak mengambil keputusan? Tentunya, karena merekalah yang
    bergiat di lapangan produksi, hak inipun jatuh pada laki-laki.


    Ketika hak untuk
    mengambil keputusan dalam masyarakat telah secara eksklusif dipegang oleh kaum
    laki-laki, bangkitlah patriarki.


    Perlahan-lahan,
    setelah proses ini berlangsung ratusan tahun, orangpun melupakan asal-usul
    pergeseran ini dan hak waris dari garis laki-laki kemudian terlembagakan.
    Demikian pula seluruh sistem nilai dalam masyarakat yang semula menjunjung
    tinggi kesamaan antara laki-laki dan perempuan kini tergeser dan tergantikan
    oleh sistem nilai di mana laki-laki berkuasa atas perempuan.


    Salah satunya
    nampak dalam sistem kepercayaan, yang merupakan salah satu sistem nilai yang
    paling tua umurnya dalam sejarah manusia. "Agama-agama" paling kuno,
    seperti dinamisme atau animisme, sama sekali tidak membagi dewa-dewa mereka
    sebagai laki-laki atau perempuan. Bagi mereka, masalah jenis kelamin ini sama
    sekali tidak penting. Agama-agama yang muncul kemudian telah mulai membagi
    kekuatan-kekuatan supranatural ini menjadi dewa (laki-laki) dan dewi
    (perempuan). Namun di antara keduanya sama sekali tidak nampak perbedaan
    kekuasaan yang mencolok. Agama orang-orang Yunani, misalnya, sekalipun
    menempatkan Zeus (laki-laki) sebagai pemimpin tertinggi, namun ia seringkali
    tidak dapat menghalangi apa yang dimaui oleh istrinya, Hera. Untuk hampir tiap
    masalah, selalu ada pasangan dewa dan dewi yang menaunginya, seperti
    Athena-Aries (perang), Cupid-Venus (cinta), dll. Apollo jelas laki-laki, namun
    objek yang dinaunginya yakni matahari selalu harus menyerah pada bulan yang
    dilindungi oleh Artemis ketika malam tiba. Bahkan Apollo dan Artemis adalah
    kakak-beradik. Baru pada agama-agama monotheis-lah kekuatan supranatural
    tertinggi dilekatkan pada laki-laki, seperti yang nampak pada anggapan
    kebanyakan penganut monotheis mengenai apakah Tuhan adalah laki-laki atau
    perempuan.



    Kemungkinan-kemungkinan untuk Pembebasan Perempuan





    Di atas kita dapat
    melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat
    berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan,
    pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa
    itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi.


    Posisi kelas dua
    ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya
    memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang
    menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.


    Karena
    ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif
    maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini
    harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan
    tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi
    kolektif
    .


    Kondisi ini
    sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme, yang mengandalkan
    mesin sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum perempuan
    untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat. Bahkan,
    sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali ada
    kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan hidup
    keluarganya.


    Lagipula,
    kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin
    kolektif. Sepasang sepatu NIKE, misalnya, adalah buah karya ratusan, bahkan
    ribuan, orang dari berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan
    untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan
    ribuan orang. Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin
    hari semakin berjaya kembali.


    Dapatlah kita
    lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang
    sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang
    bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke pabrik-pabrik. Kini perempuan
    telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan
    juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih
    pasangan hidup.


    Namun demikian,
    kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang
    sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih
    merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran
    perempuan.


    Kita dapat melihat
    bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja
    laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja. Demikian pula yang
    terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri perfilman di mana
    aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor.


    Masih dalam bidang
    pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai
    "bidangnya perempuan". Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik
    dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik". Banyak orang masih
    meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha keras untuk,
    misalnya, menjadi seorang pilot.


    Ini berkaitan erat
    dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat.
    Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia "cantik",
    "seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya,
    penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya karena apa yang
    "cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu demikian untuk jaman
    lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran sebagai bentuk
    eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja tenaganya yang
    dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.


    Di tengah
    masyarakat kita telah pula berkembang gerakan anti-emansipasi perempuan. Banyak
    bentuk yang diambil oleh gerakan ini, namun pada intinya gerakan ini berusaha
    mengembalikan posisi perempuan menjadi posisi terpinggirkan. Perempuan hendak
    dikembalikan pada posisi tidak turut dalam pengambilan keputusan, bahkan hendak
    dibatasi kembali ruang geraknya.


    Sebaliknya, banyak
    pula dari kaum perempuan yang telah lolos dari jerat pembatasan-pembatasan,
    ternyata justru berbalik ikut membatasi gerak, bahkan turut menindas, kaum
    perempuan lainnya. Telah banyak pemimpin perempuan di muka bumi ini, tapi
    berapa banyak dari mereka yang berjuang untuk membebaskan kaum perempuan dari
    keterpinggiran dan keterbelakangan? Telah banyak pula manajer dan direktur
    perempuan di dalam perusahaan-perusahaan, tapi berapa banyak dari mereka yang
    berjuang agar buruh-buruh perempuan di pabriknya mendapatkan seluruh hak mereka
    sebagai perempuan?


    Contoh paling
    kongkrit kita dapatkan di negeri sendiri. Presiden Megawati adalah seorang
    perempuan, namun sampai saat ini tidak satupun konvensi PBB yang memberikan
    perlindungan terhadap perempuan yang diratifikasi oleh Indonesia. Padahal,
    tindakan meratifikasi konvensi PBB adalah termasuk langkah politik yang
    moderat. Ia juga telah memotong berbagai subsidi barang-barang kebutuhan hidup.
    Pemotongan subsidi ini pasti memukul langsung nasib kaum perempuan Indonesia
    yang sampai saat ini masih terus terbelit dalam kungkungan tembok-tembok
    domestik.


    Di atas telah kita
    lihat bahwa masih ada satu faktor lagi yang mengukuhkan ketertindasan
    perempuan: kepemilikan pribadi.


    Kepemilikan pribadi
    tumbuh dari sebuah proses produksi yang perorangan, di mana seluruh barang
    kebutuhan dihasilkan oleh perorangan. Di bawah kapitalisme halnya tidak lagi
    demikian. Barang kebutuhan hidup telah dihasilkan secara komunal, secara
    kolektif. Namun, hasil produksi yang komunal ini masih dikangkangi secara
    pribadi, secara perorangan.


    Dan oleh karena
    sistem kepemilikan pribadi masih berjaya, maka seluruh sistem nilai yang
    mendukung kepemilikan pribadi itu akan ikut berjaya pula. Dan kita tahu bahwa
    sistem nilai yang mendukung kepemilikan pribadi adalah juga sistem nilai yang
    mendukung peminggiran terhadap kaum perempuan.


    Oleh karena itu,
    perjuangan pembebasan terhadap perempuan tidaklah dapat dilepaskan dari
    perjuangan untuk mengubah kendali atas proses produksi (dan hasil-hasilnya)
    dari tangan perorangan (pribadi) ke tangan masyarakat (sosial). Sebaliknya,
    pengalihan kendali ini tidak akan berhasil jika kaum perempuan belumlah
    terbebaskan. Tidaklah mungkin membuat satu pengendalian produksi (dan pembagian
    hasilnya) secara sosial jika kaum perempuan, yang mencakup setidaknya setengah
    dari jumlah umat manusia, tidaklah terlibat dalam pengendalian itu.


    Di sinilah kita
    dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan perempuan akan berhasil
    dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai sosialisme.
    Dan sebaliknya, perrjuangan untuk sosialisme akan juga berhasil dengan sempurna
    jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan
    utamanya. Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu
    didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling
    mengisi.


    Hanya dengan
    demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam
    masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi,
    sosial dan politik.

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 1:17 am