Karya Allah dalam Keruntuhan Komunisme
PENDAHULUAN : Ruang Lingkup dan Klarifikasi Istilah
Sudah menjadi keyakinan bahwa komunisme yang sekian lama berdiri kokoh
pada setengah dekade ini runtuh. Keruntuhan komunisme yang bertahan sampai abad
XX ini tentu saja menjadi bahan diskusi di kalangan pemikir dan politisi di
berbagai negara. Termasuk Paus Yohanes Paulus II pun memberikan sedikit
pembahasan tentang keruntuhan komunisme itu dalam Crossing the Threshold of
Hope. Pembahasan itu mau tidak mau melibatkan paradigma tertentu yang dimiliki
oleh seseorang.
Paradigma, atau dipersempit dalam arti ide, pola pikir, itu memiliki
kekuatan untuk menentukan sikap, pandangan hidup, bahkan perilaku seseorang.
Pembahasan paradigma ini akan menghadapkan orang pada sesuatu yang bisa
dikatakan sebagai immaterial. Tepat di situlah kita mengalami kesulitan untuk
merumuskannya. Judul tulisan ini sendiri menga-jukan suatu rumusan yang polemis
tentang kebenarannya. Tulisan ini mau mengungkapkan pokok pembahasan di sekitar
tataran ide (paradigma) dan pengaruhnya terhadap cara kita memahami kehidupan.
Tentu saja karena tulisan ini diajukan dalam rangka studi metode teologi
(Kristen Katolik), ruang lingkup pembahasan akan dibatasi pada persoalan di
sekitar iman Kristen. Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya baik diungkapkan
lebih dahulu klarifikasi beberapa istilah atau kata-kata yang akan digunakan
dalam tulisan ini:
1) Metode (bahasa Yunani: meta hodos berarti menurut
jalan tertentu): cara atau jalan tertentu yang dipakai (ilmuwan) untuk mencari
dan mencapai kebenaran.
2) Teologi
(bahasa Yunani: teos & logos – ilmu tentang Allah): pembicaraan,
ilmu tentang Allah.
3)Teologi Kristiani dapat diartikan sebagai refleksi
ilmiah orang Kristen atas iman yang dihayati sebagai orang yang beragama
Kristen.
4) Theologia Naturalis diistilahkan bagi usaha manusia
untuk mengetahui dasar mutlak seluruh kenyataan dengan memperkembangkan
rasio/akal budinya.
5) Refleksi dapat dimengerti sebagai suatu kegiatan
khusus dalam keseluruhan pengetahuan (rohani) dan kemauan manusia yang termuat
dalam setiap keputusan bebas.
6) Iman secara umum dikenal sebagai tanggapan manusia
atas perwahyuan yang diterimanya; dalam teologi, iman dimengerti sebagai sikap
dan keputusan bebas manusia yang korelatif dengan wahyu.
7) Wahyu sendiri berarti suatu perbuatan bebas Allah
untuk mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia, menyampaikan kebenaran yang
sebelumnya tidak diketahui manusia, demi keselamatan manusia.
Fides
quaerens intellectum dapat diterjemahkan dengan ‘iman yang mencari pembenaran’.
Artinya, iman juga dituntut oleh rasio dan kepercayaan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB I : Fides Quaerens Intellectum
Istilah-istilah yang baru saja diklarifikasi itu sebetulnya saling
berhubungan dalam lingkup utama tulisan ini, yaitu teologi. Teologi pada
umumnya memiliki tendensi sebagai suatu topik yang jauh di awang-awang. Dari
terjemahan populernya saja teologi dime-ngerti sebagai obrolan tentang Allah.
Allah sendiri sesuatu (kalau bisa disebut demikian) yang ‘immaterial’. Allah
bukanlah sesuatu yang bersifat manusiawi, yang bisa dikontak secara ragawi.
Karena itu, kita mengalami kesulitan bahkan untuk menentukan metode
dalam menghadapi sesuatu yang immaterial ini. Terlepas dari kesulitan itu, kita
bisa melihat bah-wa untuk mencari kebenaran tentang Allah itu ada unsur
pengetahuan, ada unsur pengo-lahan, ada unsur sejarah, dan relasi dengan Allah
sendiri. Dengan kata lain, teologi bergu-mul dengan hidup. Karena itu, jika
dikaitkan dengan masalah metode, agaknya perlu di-bandingkan misalnya dengan
belajar renang, melibatkan teori dan praktek, tak terpisahkan.
Lama
kelamaan teologi bukan melulu sebagai obrolan tentang Allah. Kecende-rungan
alamiah manusia untuk mencari tahu tentang kebenaran mendasar (sebagai filsuf
dan teolog) mendorong seseorang untuk mempelajari fenomena ini. Dengan
demikian, obrolan tentang Allah menjadi suatu studi ketuhanan. Studi ketuhanan
sendiri menuntut rasio dan iman.
Hal
ini bisa menjadi persoalan. Apakah memang kalau membicarakan Tuhan harus dengan
iman? Agaknya pertanyaan ini sangat relevan dalam theologia naturalis. Catatan
yang perlu diperhatikan ialah bahwa dengan teologi ini, kita bisa saja
mengetahui bahwa Allah itu ada tetapi kita tidak ‘mengenal’ Allah dalam
kepribadiannya dan dengan demikian tidak ada relasi personal antara Allah dan
manusia. Selain itu, sekali lagi dalam lingkup utama teologi, studi tentang
Tuhan tidak akan berbeda dari ilmu-ilmu sekular yang murni mengandalkan rasio.
Karena itu, unsur relasi dengan Allah, iman, mutlak diperlukan untuk
pembicaraan tentang Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, pembicaraan tentang Tuhan itu sebenarnya
bercampur baur. Kadang pembicaraan sehari-hari orang, yang pada dasarnya adalah
filsuf dan teolog, menjadi tidak rasional. Oleh karena itu, pembicaraan tentang
Allah, yang mengandaikan iman, jelas menuntut rasio juga yang dalam arti
tertentu mempertanggungjawabkan iman itu. Dengan demikian, teologi memang
berfungsi sebagai iman yang mencari (pembenaran).
Pencarian pembenaran ini tentu menuntut aturan main tertentu (metode
berhu-bungan dengan cara-cara tertentu). Teologi dalam hal ini menjadi suatu
keseluruhan pe-ngetahuan adikodrati yang objektif lagi kritis dan yang disusun
secara metodis, sistematis, dan koheren. Pengetahuan adikodrati jelas sebagai
pengetahuan akan sesuatu yang di luar jangkauan manusia, transenden, yang
melampaui pengalaman empiris manusia belaka. Bahwa teologi tersusun secara
metodis berarti ada metode untuk menemukan kebenaran mana yang diwahyukan dan
apa wahyu itu sebenarnya. Disusun secara sistematis berarti bahwa pokok-pokok
pengetahuan teologi itu bersifat menyeluruh, tidak ada unsur-unsur yang
terlupakan, kacau balau atau tidak teratur. Sedangkan secara koheren berarti
bahwa keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara metodis dan sistematis tadi
memiliki relasi, bertalian.
Teologi juga diusahakan
sebagai pengetahuan objektif karena yang dituju bukan hanya yang dibayangkan
manusia. Ini sekaligus menunjukkan bahwa teologi bekerja secara kritis dengan
menyediakan bukti-bukti. Meskipun demikian, bukti dalam teologi ini bukan
pengalaman inderawi belaka sebagaimana dalam ilmu empiris, juga bukan bukti
rasional belaka seperti dalam filsafat.
Dengan demikian, secara
implisit terungkap bahwa teologi memiliki kesamaan tertentu dengan filsafat
(sekali lagi, pada dasarnya manusia adalah filsuf dan teolog). Baik filsafat
maupun teologi menyelidiki seluruh kenyataan, tidak terbatas pada bidang
inderawi, materi. Dalam kasus keruntuhan komunisme, ilmu empirisme tidak akan selengkap
filsafat maupun teologi dalam pengkajiannya. Baik filsafat maupun teologi akan
melihat fenomena itu dari seluruh kenyataan yang ada, yang dapat diprediksikan,
yang dapat dipilah-pilah kebenarannya.
Hal itu dapat dilakukan
filsafat dan teologi karena dua ilmu ini tidak membatasi diri pada pengalaman
inderawi. Dengan pengalaman inderawi belaka, ilmu-ilmu empiris hanya akan
berhenti pada logika dan pengalaman masa lampau yang dijadikan dasar langsung
untuk mendapatkan pengetahuan. Ilmu empiris tidak akan menjelaskan bagaimana
komunisme akan runtuh tetapi bagaimana komunisme itu telah runtuh. Sebaliknya,
filsafat dan teologi bisa menjelaskan bagaimana komunisme bisa hancur karena
basis seluruh kenyataan yang dicakupnya.
Meskipun filsafat dan
teologi sama-sama menggunakan rasio untuk melihat seluruh kenyataan yang ada
sebagai objek studinya, teologi berbeda dari filsafat karena teologi berpijak
dari wahyu Allah. Filsafat tidak memasukkan unsur itu. Oleh karena itu,
filsafat mempelajari seluruh kenyataan yang ada berdasarkan rasio belaka untuk
mendapatkan ke-benaran fundamental atas kenyataan itu. Filsafat lebih bebas
bergerak dalam arti lintas aga-ma tertentu. Sementara itu, teologi bergantung
pada wahyu tertentu yang ingin ditanggapi sehingga teologi bisa berbeda-beda
sesuai dengan iman yang korelatif dengan wahyu itu.
Dalam arti tertentu,
filsafat sama sekali tidak menjadi refleksi seperti teologi yang merefleksikan
imannya. Teologi yang adalah refleksi kritis iman ini, dengan demikian,
bergerak dalam lingkungan iman. Ini dapat dimengerti jika disadari bahwa iman
sendiri tidak mati, tetapi dinamis, bergerak. Iman menjadi suatu actus fidei
dan actus fidei inilah yang memungkinkan manusia berdinamika.
Jika iman itu memang
dinamis, supaya bernilai bagi kita, tindakan iman itu harus terlebih dahulu
bersifat manusiawi, sebagai actus humanus. Tindakan manusiawi berarti tindakan
yang merealisasikan diri manusia terdalam ke arah Tuhan mewahyukan diri-Nya.
(Wahyu Allah baru bisa diterima jika memang ada yang menerima pemberian diri
itu). Karena itu, iman bukan suatu tambahan pada subjek, melainkan merupakan realisasi
diri manusia dalam hubungan personal dengan wahyu dan berkat sabda itu.
Karena iman adalah tindakan
manusia (actus humanus), iman memuat tindakan pemikiran, kebebasan dan
kesadaran secara konstitutif. Kebebasan dan kesadaran itu merupakan suatu aspek
intrinsik iman, yang konstitutif untuk iman. Iman berkembang dalam teologi,
teologi sendiri bergerak dari iman dan menuju iman. Oleh karena itulah, teologi
bergerak dalam lingkungan iman dan mengabdi iman.
Meskipun
demikian, teologi tentu tidak sama dengan iman. Dapat dipahami bahwa teologi
sendiri sebetulnya hanya refleksi atau cara merenungkan iman. Meskipun teologi
bergerak dalam lingkungan iman dan mengabdi iman, hidup dalam iman, teologi
sama sekali bukan substansinya sendiri. Karenanya, iman tidak bisa direduksi
sebagai teologi. Iman justru menjadi substansi yang mau dipertanggungjawabkan,
yang menuntut pembenaran secara ilmiah dan itulah yang diusahakan teologi.
BAB II : Intellectus in Fidem
Kiranya lingkup teologi semacam inilah yang melatarbelakangi Paus dalam
ulasannya tentang keruntuhan komunisme. Paus sendiri jelas secara akademis
memiliki bekal memadai sebagai filsuf dan teolog. Pandangannya terhadap sejarah
keruntuhan komunisme sungguh diwarnai oleh filsafat dan teologi yang dianutnya.
Dalam pernyataan-pernyataan yang disampaikan Paus, tampaklah suatu
metode pendekatan yang nyata sebagai suatu metode penggalian kehidupan. Pada
bagian awal tulisan ini (bab II) telah diungkapkan bahwa metode dalam teologi
melibatkan unsur pengetahuan, pengolahan, sejarah, dan relasi dengan Allah
sendiri. Paus menunjukkan hal itu dengan menanggapi fakta sejarah disertai
refleksi mendalam atas hidup imannya sampai ia menyatakan bahwa agama Kristen
bukan melulu agama pengetahuan atau agama kontemplasi tetapi agama yang berasal
dari tindakan Allah dan manusia.
Pernyataan Paus ini tidak bisa tidak berasal dari refleksinya atas
seluruh kenyataan yang ada di dunia ini. Dalam lingkup filsafat, Paus melihat
bahwa keruntuhan komunisme adalah suatu keniscayaan. Komunisme jatuh karena
kekeliruan ‘teologi’ yang melekat padanya sehingga menurut Paus, mengutip
pernyataan Paus Leo XIII, komunisme adalah obat yang lebih berbahaya daripada
penyakitnya sendiri. Mengapa? Karena tidak membawa perubahan sosial yang sejati
tetapi justru menjadi ancaman bagi seluruh dunia. Dari sudut filsafat ini, Paus
secara implisit mengatakan bahwa kesalahan manusia sendirilah yang menyebabkan
komunisme itu runtuh.
Gagasan dari sudut filsafat ini memberikan sumbangan bagi teologi supaya
tidak terlalu simplistis mengatakan bahwa karya Allah-lah yang menyebabkan
komunisme jatuh. Dari segi sejarah ditunjukkan bagaimana sistem dalam komunisme
juga mengalami hambatan-hambatan tertentu yang mengarah ke kehancurannya
sendiri. Ini berarti ada kekeliruan ‘teologi’ yang membuat kehancuran itu
sebagai suatu yang niscaya.
Meskipun demikian, Paus tidak juga berhenti sebagai filsuf karena memang
pada kenyataannya dia juga seorang teolog. Itu berarti ada tataran lain yang
dilihat oleh Paus dalam refleksinya. Kehancuran komunisme sebagai suatu gejala
nyata menunjukkan suatu flashback tentang cara yang khas dalam berpikir dan
bertindak dalam abad modern (teru-tama di Eropa sebagai tempat kemunculan komunisme).
Menurut Paus, meskipun abad modern mampu menghasilkan banyak hal di berbagai
bidang, tetap ada kesalahan-kesalahan yang menimbulkan
penyelewengan-penyelewengan dengan berbagai cara terhadap manusia dalam bentuk
penindasan. Kesalahan-kesalahan yang diabadikan
oleh manusia itu, menurut Paus, merupakan usaha melawan Allah, membatasi secara
sistematis apa yang bersifat Kristiani. Sementara itu, Allah sendiri tetap
setia. Dia memiliki komitmen dengan manusia melalui Yesus Kristus yang
diserahkan-Nya kepada manusia; tinggal ditunggu saja apakah manusia mau
mengakui kesalahannya dan menyerahkan diri kepada Allah (Yoh 8:44). Mungkin
manusia akan sulit untuk melakukannya tetapi mungkin juga sedikit demi sedikit
manusia akan belajar dari kesalahannya. Karena itu, manusia bisa membiarkan
Allah membimbingnya melalui lorong-lorong sejarah. Di situlah Allah tidak
pernah berhenti bekerja
Karya Allah itu berlangsung lewat hati dan karya manusia dalam
sejarahnya. Ini juga dilihat Paus dalam sejarah ketika terjadi penampakan,
menjelang pecahnya Revolusi Oktober, kepada tiga orang anak: Rusia akan
bertobat. Fenomena ini tidak akan masuk dalam sistem filsafat yang tidak
berpijak pada wahyu; juga sistem ideologi tidak akan menganggapnya sebagai
gangguan berarti. Akan tetapi, bagaimana teologi menanggapi hal itu? Pasti
unsur wahyu masuk di sana dan memberikan tempat bahwa Allah pun menyatakan
kehendak-Nya dan berencana berkarya dalam diri manusia dan sejarahnya.
Refleksi mendalam Paus ini menjadi cerminan bagi kita bahwa memang
manusia memiliki potensi sebagai filsuf dan teolog. Ketika orang menghadapi
kesulitan akan hal-hal immaterial, sementara kecenderungan untuk mencari tahu
terus bertambah, orang lalu mencari pembenaran dalam tataran ide. Dari situ
muncul dorongan ke arah ilmu pengetahuan dan ketika ilmu pengetahuan tidak
sanggup meraba seluruh kenyataan, filsafat memancing orang untuk melihat
seluruh kenyataan, termasuk yang di luar pengalaman inderawi. Jika filsafat
pun, yang bisa menghasilkan ideologi/‘teologi’ tertentu seperti komunisme,
tidak sanggup mengatasi seluruh kenyataan itu, tugas teologilah untuk
merefleksikan itu semua secara kritis. Dalam arti tertentu, teologi
mempengaruhi orang dalam melihat kenyataan, mengambil sikap, dan bertindak
berdasarkan sikap yang diambilnya itu.
Oleh
karena itu, komunisme sendiri menjadi sistem filsafat yang rupa-rupanya
memiliki metode ‘teologi’ yang keliru, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
sehingga mengalami kehancuran sendiri. Dengan demikian, di luar pernyataan
Paus, komunisme memang menjadi sistem filsafat yang membaku yang memiliki
potensi kesalahan yang niscaya sehingga hancur. Paus menanggapi kekeliruan itu
dengan seluruh pengetahuannya akan sistem filsafat tetapi rupanya Paus juga
tidak keluar dari jalur iman yang dihayatinya. Dengan demikian, meskipun hidup
beriman menuntut suatu pertanggungjawaban rasional tertentu, pertanggungjawaban
itu sendiri tidak bisa tidak berada dalam lingkungan iman.
Oleh
karena itulah, iman tertentu juga mencakup pemahaman tertentu tentang gejala
kenyataan yang ada di dunia. Iman Paus mengatakan bahwa gejala kehancuran
komunisme yang pada dasarnya suatu keniscayaan bukanlah melulu gejala
manusiawi. Kalaupun itu mau dikatakan sebagai suatu tindakan manusiawi (actus
humanus), harus dipertanyakan bagaimana tindakan itu mendapatkan pendasarannya
kalau bukan dari pewahyuan. Dengan demikian, tetap dikatakan oleh Paus bahwa
Allah memang tetap berkarya, termasuk dalam kehancuran komunisme (bdk. Yoh 5:17).
PENUTUP : Iman dan Kehidupan
Pernyataan Paus itu pada akhirnya menunjukkan ciri khas kekristenan yang
dihayati Paus secara nyata, minimal dalam cara melihat (paradigma) kehidupan.
Pusat iman Kristiani pada Allah Tritunggal memungkinkan umat beriman menghayati
kehidupannya sebagai karya Allah (melalui Yesus yang telah mengutus Roh Kudus)
dan sekaligus karya manusia. Dengan pengahayatan iman semacam ini kita bisa
meyakini bahwa agama Kristen memang agama kehidupan.
Agama kehidupan berarti agama yang sepenuhnya melibatkan seluruh unsur
kehidupan. Karena itu, bukan melulu aktivitas pengetahuan manusia belaka yang
bisa diandalkan tetapi juga bukan melulu kontemplasi yang memutlakkan unsur
ilahi tanpa keterlibatan manusia. Allah tetap bertindak, dan tindakan Allah ini
tidak menghilangkan arti tindakan manusia karena tindakan manusia
diikutsertakan dalam tindakan penyelamatan Allah itu. Pemahaman kekristenan
yang demikian ini mempengaruhi kita tidak hanya dalam tataran kepercayaan kita
tetapi juga dalam aktivitas nyata sehari-hari. Karena itu, iman yang demikian
akan mengantar umat beriman kepada cara hidup contemplativus in actione
sehingga penghayatan agama Kristen memang menjadi penghayatan agama kehidupan.
Amin.
PENDAHULUAN : Ruang Lingkup dan Klarifikasi Istilah
Sudah menjadi keyakinan bahwa komunisme yang sekian lama berdiri kokoh
pada setengah dekade ini runtuh. Keruntuhan komunisme yang bertahan sampai abad
XX ini tentu saja menjadi bahan diskusi di kalangan pemikir dan politisi di
berbagai negara. Termasuk Paus Yohanes Paulus II pun memberikan sedikit
pembahasan tentang keruntuhan komunisme itu dalam Crossing the Threshold of
Hope. Pembahasan itu mau tidak mau melibatkan paradigma tertentu yang dimiliki
oleh seseorang.
Paradigma, atau dipersempit dalam arti ide, pola pikir, itu memiliki
kekuatan untuk menentukan sikap, pandangan hidup, bahkan perilaku seseorang.
Pembahasan paradigma ini akan menghadapkan orang pada sesuatu yang bisa
dikatakan sebagai immaterial. Tepat di situlah kita mengalami kesulitan untuk
merumuskannya. Judul tulisan ini sendiri menga-jukan suatu rumusan yang polemis
tentang kebenarannya. Tulisan ini mau mengungkapkan pokok pembahasan di sekitar
tataran ide (paradigma) dan pengaruhnya terhadap cara kita memahami kehidupan.
Tentu saja karena tulisan ini diajukan dalam rangka studi metode teologi
(Kristen Katolik), ruang lingkup pembahasan akan dibatasi pada persoalan di
sekitar iman Kristen. Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya baik diungkapkan
lebih dahulu klarifikasi beberapa istilah atau kata-kata yang akan digunakan
dalam tulisan ini:
1) Metode (bahasa Yunani: meta hodos berarti menurut
jalan tertentu): cara atau jalan tertentu yang dipakai (ilmuwan) untuk mencari
dan mencapai kebenaran.
2) Teologi
(bahasa Yunani: teos & logos – ilmu tentang Allah): pembicaraan,
ilmu tentang Allah.
3)Teologi Kristiani dapat diartikan sebagai refleksi
ilmiah orang Kristen atas iman yang dihayati sebagai orang yang beragama
Kristen.
4) Theologia Naturalis diistilahkan bagi usaha manusia
untuk mengetahui dasar mutlak seluruh kenyataan dengan memperkembangkan
rasio/akal budinya.
5) Refleksi dapat dimengerti sebagai suatu kegiatan
khusus dalam keseluruhan pengetahuan (rohani) dan kemauan manusia yang termuat
dalam setiap keputusan bebas.
6) Iman secara umum dikenal sebagai tanggapan manusia
atas perwahyuan yang diterimanya; dalam teologi, iman dimengerti sebagai sikap
dan keputusan bebas manusia yang korelatif dengan wahyu.
7) Wahyu sendiri berarti suatu perbuatan bebas Allah
untuk mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia, menyampaikan kebenaran yang
sebelumnya tidak diketahui manusia, demi keselamatan manusia.
Fides
quaerens intellectum dapat diterjemahkan dengan ‘iman yang mencari pembenaran’.
Artinya, iman juga dituntut oleh rasio dan kepercayaan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB I : Fides Quaerens Intellectum
Istilah-istilah yang baru saja diklarifikasi itu sebetulnya saling
berhubungan dalam lingkup utama tulisan ini, yaitu teologi. Teologi pada
umumnya memiliki tendensi sebagai suatu topik yang jauh di awang-awang. Dari
terjemahan populernya saja teologi dime-ngerti sebagai obrolan tentang Allah.
Allah sendiri sesuatu (kalau bisa disebut demikian) yang ‘immaterial’. Allah
bukanlah sesuatu yang bersifat manusiawi, yang bisa dikontak secara ragawi.
Karena itu, kita mengalami kesulitan bahkan untuk menentukan metode
dalam menghadapi sesuatu yang immaterial ini. Terlepas dari kesulitan itu, kita
bisa melihat bah-wa untuk mencari kebenaran tentang Allah itu ada unsur
pengetahuan, ada unsur pengo-lahan, ada unsur sejarah, dan relasi dengan Allah
sendiri. Dengan kata lain, teologi bergu-mul dengan hidup. Karena itu, jika
dikaitkan dengan masalah metode, agaknya perlu di-bandingkan misalnya dengan
belajar renang, melibatkan teori dan praktek, tak terpisahkan.
Lama
kelamaan teologi bukan melulu sebagai obrolan tentang Allah. Kecende-rungan
alamiah manusia untuk mencari tahu tentang kebenaran mendasar (sebagai filsuf
dan teolog) mendorong seseorang untuk mempelajari fenomena ini. Dengan
demikian, obrolan tentang Allah menjadi suatu studi ketuhanan. Studi ketuhanan
sendiri menuntut rasio dan iman.
Hal
ini bisa menjadi persoalan. Apakah memang kalau membicarakan Tuhan harus dengan
iman? Agaknya pertanyaan ini sangat relevan dalam theologia naturalis. Catatan
yang perlu diperhatikan ialah bahwa dengan teologi ini, kita bisa saja
mengetahui bahwa Allah itu ada tetapi kita tidak ‘mengenal’ Allah dalam
kepribadiannya dan dengan demikian tidak ada relasi personal antara Allah dan
manusia. Selain itu, sekali lagi dalam lingkup utama teologi, studi tentang
Tuhan tidak akan berbeda dari ilmu-ilmu sekular yang murni mengandalkan rasio.
Karena itu, unsur relasi dengan Allah, iman, mutlak diperlukan untuk
pembicaraan tentang Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, pembicaraan tentang Tuhan itu sebenarnya
bercampur baur. Kadang pembicaraan sehari-hari orang, yang pada dasarnya adalah
filsuf dan teolog, menjadi tidak rasional. Oleh karena itu, pembicaraan tentang
Allah, yang mengandaikan iman, jelas menuntut rasio juga yang dalam arti
tertentu mempertanggungjawabkan iman itu. Dengan demikian, teologi memang
berfungsi sebagai iman yang mencari (pembenaran).
Pencarian pembenaran ini tentu menuntut aturan main tertentu (metode
berhu-bungan dengan cara-cara tertentu). Teologi dalam hal ini menjadi suatu
keseluruhan pe-ngetahuan adikodrati yang objektif lagi kritis dan yang disusun
secara metodis, sistematis, dan koheren. Pengetahuan adikodrati jelas sebagai
pengetahuan akan sesuatu yang di luar jangkauan manusia, transenden, yang
melampaui pengalaman empiris manusia belaka. Bahwa teologi tersusun secara
metodis berarti ada metode untuk menemukan kebenaran mana yang diwahyukan dan
apa wahyu itu sebenarnya. Disusun secara sistematis berarti bahwa pokok-pokok
pengetahuan teologi itu bersifat menyeluruh, tidak ada unsur-unsur yang
terlupakan, kacau balau atau tidak teratur. Sedangkan secara koheren berarti
bahwa keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara metodis dan sistematis tadi
memiliki relasi, bertalian.
Teologi juga diusahakan
sebagai pengetahuan objektif karena yang dituju bukan hanya yang dibayangkan
manusia. Ini sekaligus menunjukkan bahwa teologi bekerja secara kritis dengan
menyediakan bukti-bukti. Meskipun demikian, bukti dalam teologi ini bukan
pengalaman inderawi belaka sebagaimana dalam ilmu empiris, juga bukan bukti
rasional belaka seperti dalam filsafat.
Dengan demikian, secara
implisit terungkap bahwa teologi memiliki kesamaan tertentu dengan filsafat
(sekali lagi, pada dasarnya manusia adalah filsuf dan teolog). Baik filsafat
maupun teologi menyelidiki seluruh kenyataan, tidak terbatas pada bidang
inderawi, materi. Dalam kasus keruntuhan komunisme, ilmu empirisme tidak akan selengkap
filsafat maupun teologi dalam pengkajiannya. Baik filsafat maupun teologi akan
melihat fenomena itu dari seluruh kenyataan yang ada, yang dapat diprediksikan,
yang dapat dipilah-pilah kebenarannya.
Hal itu dapat dilakukan
filsafat dan teologi karena dua ilmu ini tidak membatasi diri pada pengalaman
inderawi. Dengan pengalaman inderawi belaka, ilmu-ilmu empiris hanya akan
berhenti pada logika dan pengalaman masa lampau yang dijadikan dasar langsung
untuk mendapatkan pengetahuan. Ilmu empiris tidak akan menjelaskan bagaimana
komunisme akan runtuh tetapi bagaimana komunisme itu telah runtuh. Sebaliknya,
filsafat dan teologi bisa menjelaskan bagaimana komunisme bisa hancur karena
basis seluruh kenyataan yang dicakupnya.
Meskipun filsafat dan
teologi sama-sama menggunakan rasio untuk melihat seluruh kenyataan yang ada
sebagai objek studinya, teologi berbeda dari filsafat karena teologi berpijak
dari wahyu Allah. Filsafat tidak memasukkan unsur itu. Oleh karena itu,
filsafat mempelajari seluruh kenyataan yang ada berdasarkan rasio belaka untuk
mendapatkan ke-benaran fundamental atas kenyataan itu. Filsafat lebih bebas
bergerak dalam arti lintas aga-ma tertentu. Sementara itu, teologi bergantung
pada wahyu tertentu yang ingin ditanggapi sehingga teologi bisa berbeda-beda
sesuai dengan iman yang korelatif dengan wahyu itu.
Dalam arti tertentu,
filsafat sama sekali tidak menjadi refleksi seperti teologi yang merefleksikan
imannya. Teologi yang adalah refleksi kritis iman ini, dengan demikian,
bergerak dalam lingkungan iman. Ini dapat dimengerti jika disadari bahwa iman
sendiri tidak mati, tetapi dinamis, bergerak. Iman menjadi suatu actus fidei
dan actus fidei inilah yang memungkinkan manusia berdinamika.
Jika iman itu memang
dinamis, supaya bernilai bagi kita, tindakan iman itu harus terlebih dahulu
bersifat manusiawi, sebagai actus humanus. Tindakan manusiawi berarti tindakan
yang merealisasikan diri manusia terdalam ke arah Tuhan mewahyukan diri-Nya.
(Wahyu Allah baru bisa diterima jika memang ada yang menerima pemberian diri
itu). Karena itu, iman bukan suatu tambahan pada subjek, melainkan merupakan realisasi
diri manusia dalam hubungan personal dengan wahyu dan berkat sabda itu.
Karena iman adalah tindakan
manusia (actus humanus), iman memuat tindakan pemikiran, kebebasan dan
kesadaran secara konstitutif. Kebebasan dan kesadaran itu merupakan suatu aspek
intrinsik iman, yang konstitutif untuk iman. Iman berkembang dalam teologi,
teologi sendiri bergerak dari iman dan menuju iman. Oleh karena itulah, teologi
bergerak dalam lingkungan iman dan mengabdi iman.
Meskipun
demikian, teologi tentu tidak sama dengan iman. Dapat dipahami bahwa teologi
sendiri sebetulnya hanya refleksi atau cara merenungkan iman. Meskipun teologi
bergerak dalam lingkungan iman dan mengabdi iman, hidup dalam iman, teologi
sama sekali bukan substansinya sendiri. Karenanya, iman tidak bisa direduksi
sebagai teologi. Iman justru menjadi substansi yang mau dipertanggungjawabkan,
yang menuntut pembenaran secara ilmiah dan itulah yang diusahakan teologi.
BAB II : Intellectus in Fidem
Kiranya lingkup teologi semacam inilah yang melatarbelakangi Paus dalam
ulasannya tentang keruntuhan komunisme. Paus sendiri jelas secara akademis
memiliki bekal memadai sebagai filsuf dan teolog. Pandangannya terhadap sejarah
keruntuhan komunisme sungguh diwarnai oleh filsafat dan teologi yang dianutnya.
Dalam pernyataan-pernyataan yang disampaikan Paus, tampaklah suatu
metode pendekatan yang nyata sebagai suatu metode penggalian kehidupan. Pada
bagian awal tulisan ini (bab II) telah diungkapkan bahwa metode dalam teologi
melibatkan unsur pengetahuan, pengolahan, sejarah, dan relasi dengan Allah
sendiri. Paus menunjukkan hal itu dengan menanggapi fakta sejarah disertai
refleksi mendalam atas hidup imannya sampai ia menyatakan bahwa agama Kristen
bukan melulu agama pengetahuan atau agama kontemplasi tetapi agama yang berasal
dari tindakan Allah dan manusia.
Pernyataan Paus ini tidak bisa tidak berasal dari refleksinya atas
seluruh kenyataan yang ada di dunia ini. Dalam lingkup filsafat, Paus melihat
bahwa keruntuhan komunisme adalah suatu keniscayaan. Komunisme jatuh karena
kekeliruan ‘teologi’ yang melekat padanya sehingga menurut Paus, mengutip
pernyataan Paus Leo XIII, komunisme adalah obat yang lebih berbahaya daripada
penyakitnya sendiri. Mengapa? Karena tidak membawa perubahan sosial yang sejati
tetapi justru menjadi ancaman bagi seluruh dunia. Dari sudut filsafat ini, Paus
secara implisit mengatakan bahwa kesalahan manusia sendirilah yang menyebabkan
komunisme itu runtuh.
Gagasan dari sudut filsafat ini memberikan sumbangan bagi teologi supaya
tidak terlalu simplistis mengatakan bahwa karya Allah-lah yang menyebabkan
komunisme jatuh. Dari segi sejarah ditunjukkan bagaimana sistem dalam komunisme
juga mengalami hambatan-hambatan tertentu yang mengarah ke kehancurannya
sendiri. Ini berarti ada kekeliruan ‘teologi’ yang membuat kehancuran itu
sebagai suatu yang niscaya.
Meskipun demikian, Paus tidak juga berhenti sebagai filsuf karena memang
pada kenyataannya dia juga seorang teolog. Itu berarti ada tataran lain yang
dilihat oleh Paus dalam refleksinya. Kehancuran komunisme sebagai suatu gejala
nyata menunjukkan suatu flashback tentang cara yang khas dalam berpikir dan
bertindak dalam abad modern (teru-tama di Eropa sebagai tempat kemunculan komunisme).
Menurut Paus, meskipun abad modern mampu menghasilkan banyak hal di berbagai
bidang, tetap ada kesalahan-kesalahan yang menimbulkan
penyelewengan-penyelewengan dengan berbagai cara terhadap manusia dalam bentuk
penindasan. Kesalahan-kesalahan yang diabadikan
oleh manusia itu, menurut Paus, merupakan usaha melawan Allah, membatasi secara
sistematis apa yang bersifat Kristiani. Sementara itu, Allah sendiri tetap
setia. Dia memiliki komitmen dengan manusia melalui Yesus Kristus yang
diserahkan-Nya kepada manusia; tinggal ditunggu saja apakah manusia mau
mengakui kesalahannya dan menyerahkan diri kepada Allah (Yoh 8:44). Mungkin
manusia akan sulit untuk melakukannya tetapi mungkin juga sedikit demi sedikit
manusia akan belajar dari kesalahannya. Karena itu, manusia bisa membiarkan
Allah membimbingnya melalui lorong-lorong sejarah. Di situlah Allah tidak
pernah berhenti bekerja
Karya Allah itu berlangsung lewat hati dan karya manusia dalam
sejarahnya. Ini juga dilihat Paus dalam sejarah ketika terjadi penampakan,
menjelang pecahnya Revolusi Oktober, kepada tiga orang anak: Rusia akan
bertobat. Fenomena ini tidak akan masuk dalam sistem filsafat yang tidak
berpijak pada wahyu; juga sistem ideologi tidak akan menganggapnya sebagai
gangguan berarti. Akan tetapi, bagaimana teologi menanggapi hal itu? Pasti
unsur wahyu masuk di sana dan memberikan tempat bahwa Allah pun menyatakan
kehendak-Nya dan berencana berkarya dalam diri manusia dan sejarahnya.
Refleksi mendalam Paus ini menjadi cerminan bagi kita bahwa memang
manusia memiliki potensi sebagai filsuf dan teolog. Ketika orang menghadapi
kesulitan akan hal-hal immaterial, sementara kecenderungan untuk mencari tahu
terus bertambah, orang lalu mencari pembenaran dalam tataran ide. Dari situ
muncul dorongan ke arah ilmu pengetahuan dan ketika ilmu pengetahuan tidak
sanggup meraba seluruh kenyataan, filsafat memancing orang untuk melihat
seluruh kenyataan, termasuk yang di luar pengalaman inderawi. Jika filsafat
pun, yang bisa menghasilkan ideologi/‘teologi’ tertentu seperti komunisme,
tidak sanggup mengatasi seluruh kenyataan itu, tugas teologilah untuk
merefleksikan itu semua secara kritis. Dalam arti tertentu, teologi
mempengaruhi orang dalam melihat kenyataan, mengambil sikap, dan bertindak
berdasarkan sikap yang diambilnya itu.
Oleh
karena itu, komunisme sendiri menjadi sistem filsafat yang rupa-rupanya
memiliki metode ‘teologi’ yang keliru, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
sehingga mengalami kehancuran sendiri. Dengan demikian, di luar pernyataan
Paus, komunisme memang menjadi sistem filsafat yang membaku yang memiliki
potensi kesalahan yang niscaya sehingga hancur. Paus menanggapi kekeliruan itu
dengan seluruh pengetahuannya akan sistem filsafat tetapi rupanya Paus juga
tidak keluar dari jalur iman yang dihayatinya. Dengan demikian, meskipun hidup
beriman menuntut suatu pertanggungjawaban rasional tertentu, pertanggungjawaban
itu sendiri tidak bisa tidak berada dalam lingkungan iman.
Oleh
karena itulah, iman tertentu juga mencakup pemahaman tertentu tentang gejala
kenyataan yang ada di dunia. Iman Paus mengatakan bahwa gejala kehancuran
komunisme yang pada dasarnya suatu keniscayaan bukanlah melulu gejala
manusiawi. Kalaupun itu mau dikatakan sebagai suatu tindakan manusiawi (actus
humanus), harus dipertanyakan bagaimana tindakan itu mendapatkan pendasarannya
kalau bukan dari pewahyuan. Dengan demikian, tetap dikatakan oleh Paus bahwa
Allah memang tetap berkarya, termasuk dalam kehancuran komunisme (bdk. Yoh 5:17).
PENUTUP : Iman dan Kehidupan
Pernyataan Paus itu pada akhirnya menunjukkan ciri khas kekristenan yang
dihayati Paus secara nyata, minimal dalam cara melihat (paradigma) kehidupan.
Pusat iman Kristiani pada Allah Tritunggal memungkinkan umat beriman menghayati
kehidupannya sebagai karya Allah (melalui Yesus yang telah mengutus Roh Kudus)
dan sekaligus karya manusia. Dengan pengahayatan iman semacam ini kita bisa
meyakini bahwa agama Kristen memang agama kehidupan.
Agama kehidupan berarti agama yang sepenuhnya melibatkan seluruh unsur
kehidupan. Karena itu, bukan melulu aktivitas pengetahuan manusia belaka yang
bisa diandalkan tetapi juga bukan melulu kontemplasi yang memutlakkan unsur
ilahi tanpa keterlibatan manusia. Allah tetap bertindak, dan tindakan Allah ini
tidak menghilangkan arti tindakan manusia karena tindakan manusia
diikutsertakan dalam tindakan penyelamatan Allah itu. Pemahaman kekristenan
yang demikian ini mempengaruhi kita tidak hanya dalam tataran kepercayaan kita
tetapi juga dalam aktivitas nyata sehari-hari. Karena itu, iman yang demikian
akan mengantar umat beriman kepada cara hidup contemplativus in actione
sehingga penghayatan agama Kristen memang menjadi penghayatan agama kehidupan.
Amin.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as