Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    teologi komunisme

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    teologi komunisme Empty teologi komunisme

    Post by ratri Wed May 26, 2010 5:54 pm

    Karya Allah dalam Keruntuhan Komunisme






    PENDAHULUAN : Ruang Lingkup dan Klarifikasi Istilah








    Sudah menjadi keyakinan bahwa komunisme yang sekian lama berdiri kokoh
    pada setengah dekade ini runtuh. Keruntuhan komunisme yang bertahan sampai abad
    XX ini tentu saja menjadi bahan diskusi di kalangan pemikir dan politisi di
    berbagai negara. Termasuk Paus Yohanes Paulus II pun memberikan sedikit
    pembahasan tentang keruntuhan komunisme itu dalam Crossing the Threshold of
    Hope. Pembahasan itu mau tidak mau melibatkan paradigma tertentu yang dimiliki
    oleh seseorang.



    Paradigma, atau dipersempit dalam arti ide, pola pikir, itu memiliki
    kekuatan untuk menentukan sikap, pandangan hidup, bahkan perilaku seseorang.
    Pembahasan paradigma ini akan menghadapkan orang pada sesuatu yang bisa
    dikatakan sebagai immaterial. Tepat di situlah kita mengalami kesulitan untuk
    merumuskannya. Judul tulisan ini sendiri menga-jukan suatu rumusan yang polemis
    tentang kebenarannya. Tulisan ini mau mengungkapkan pokok pembahasan di sekitar
    tataran ide (paradigma) dan pengaruhnya terhadap cara kita memahami kehidupan.
    Tentu saja karena tulisan ini diajukan dalam rangka studi metode teologi
    (Kristen Katolik), ruang lingkup pembahasan akan dibatasi pada persoalan di
    sekitar iman Kristen. Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya baik diungkapkan
    lebih dahulu klarifikasi beberapa istilah atau kata-kata yang akan digunakan
    dalam tulisan ini:





    1) Metode (bahasa Yunani: meta hodos berarti menurut
    jalan tertentu): cara atau jalan tertentu yang dipakai (ilmuwan) untuk mencari
    dan mencapai kebenaran.


    2) Teologi
    (bahasa Yunani: teos & logos – ilmu tentang Allah): pembicaraan,
    ilmu tentang Allah.


    3)Teologi Kristiani dapat diartikan sebagai refleksi
    ilmiah orang Kristen atas iman yang dihayati sebagai orang yang beragama
    Kristen.


    4) Theologia Naturalis diistilahkan bagi usaha manusia
    untuk mengetahui dasar mutlak seluruh kenyataan dengan memperkembangkan
    rasio/akal budinya.


    5) Refleksi dapat dimengerti sebagai suatu kegiatan
    khusus dalam keseluruhan pengetahuan (rohani) dan kemauan manusia yang termuat
    dalam setiap keputusan bebas.


    6) Iman secara umum dikenal sebagai tanggapan manusia
    atas perwahyuan yang diterimanya; dalam teologi, iman dimengerti sebagai sikap
    dan keputusan bebas manusia yang korelatif dengan wahyu.


    7) Wahyu sendiri berarti suatu perbuatan bebas Allah
    untuk mengkomunikasikan diri-Nya kepada manusia, menyampaikan kebenaran yang
    sebelumnya tidak diketahui manusia, demi keselamatan manusia.


    Cool Fides
    quaerens intellectum dapat diterjemahkan dengan ‘iman yang mencari pembenaran’.
    Artinya, iman juga dituntut oleh rasio dan kepercayaan yang dapat
    dipertanggungjawabkan.




    BAB I : Fides Quaerens Intellectum








    Istilah-istilah yang baru saja diklarifikasi itu sebetulnya saling
    berhubungan dalam lingkup utama tulisan ini, yaitu teologi. Teologi pada
    umumnya memiliki tendensi sebagai suatu topik yang jauh di awang-awang. Dari
    terjemahan populernya saja teologi dime-ngerti sebagai obrolan tentang Allah.
    Allah sendiri sesuatu (kalau bisa disebut demikian) yang ‘immaterial’. Allah
    bukanlah sesuatu yang bersifat manusiawi, yang bisa dikontak secara ragawi.



    Karena itu, kita mengalami kesulitan bahkan untuk menentukan metode
    dalam menghadapi sesuatu yang immaterial ini. Terlepas dari kesulitan itu, kita
    bisa melihat bah-wa untuk mencari kebenaran tentang Allah itu ada unsur
    pengetahuan, ada unsur pengo-lahan, ada unsur sejarah, dan relasi dengan Allah
    sendiri. Dengan kata lain, teologi bergu-mul dengan hidup. Karena itu, jika
    dikaitkan dengan masalah metode, agaknya perlu di-bandingkan misalnya dengan
    belajar renang, melibatkan teori dan praktek, tak terpisahkan.


    Lama
    kelamaan teologi bukan melulu sebagai obrolan tentang Allah. Kecende-rungan
    alamiah manusia untuk mencari tahu tentang kebenaran mendasar (sebagai filsuf
    dan teolog) mendorong seseorang untuk mempelajari fenomena ini. Dengan
    demikian, obrolan tentang Allah menjadi suatu studi ketuhanan. Studi ketuhanan
    sendiri menuntut rasio dan iman.


    Hal
    ini bisa menjadi persoalan. Apakah memang kalau membicarakan Tuhan harus dengan
    iman? Agaknya pertanyaan ini sangat relevan dalam theologia naturalis. Catatan
    yang perlu diperhatikan ialah bahwa dengan teologi ini, kita bisa saja
    mengetahui bahwa Allah itu ada tetapi kita tidak ‘mengenal’ Allah dalam
    kepribadiannya dan dengan demikian tidak ada relasi personal antara Allah dan
    manusia. Selain itu, sekali lagi dalam lingkup utama teologi, studi tentang
    Tuhan tidak akan berbeda dari ilmu-ilmu sekular yang murni mengandalkan rasio.
    Karena itu, unsur relasi dengan Allah, iman, mutlak diperlukan untuk
    pembicaraan tentang Allah.



    Dalam kehidupan sehari-hari, pembicaraan tentang Tuhan itu sebenarnya
    bercampur baur. Kadang pembicaraan sehari-hari orang, yang pada dasarnya adalah
    filsuf dan teolog, menjadi tidak rasional. Oleh karena itu, pembicaraan tentang
    Allah, yang mengandaikan iman, jelas menuntut rasio juga yang dalam arti
    tertentu mempertanggungjawabkan iman itu. Dengan demikian, teologi memang
    berfungsi sebagai iman yang mencari (pembenaran).



    Pencarian pembenaran ini tentu menuntut aturan main tertentu (metode
    berhu-bungan dengan cara-cara tertentu). Teologi dalam hal ini menjadi suatu
    keseluruhan pe-ngetahuan adikodrati yang objektif lagi kritis dan yang disusun
    secara metodis, sistematis, dan koheren. Pengetahuan adikodrati jelas sebagai
    pengetahuan akan sesuatu yang di luar jangkauan manusia, transenden, yang
    melampaui pengalaman empiris manusia belaka. Bahwa teologi tersusun secara
    metodis berarti ada metode untuk menemukan kebenaran mana yang diwahyukan dan
    apa wahyu itu sebenarnya. Disusun secara sistematis berarti bahwa pokok-pokok
    pengetahuan teologi itu bersifat menyeluruh, tidak ada unsur-unsur yang
    terlupakan, kacau balau atau tidak teratur. Sedangkan secara koheren berarti
    bahwa keseluruhan pengetahuan yang tersusun secara metodis dan sistematis tadi
    memiliki relasi, bertalian.


    Teologi juga diusahakan
    sebagai pengetahuan objektif karena yang dituju bukan hanya yang dibayangkan
    manusia. Ini sekaligus menunjukkan bahwa teologi bekerja secara kritis dengan
    menyediakan bukti-bukti. Meskipun demikian, bukti dalam teologi ini bukan
    pengalaman inderawi belaka sebagaimana dalam ilmu empiris, juga bukan bukti
    rasional belaka seperti dalam filsafat.


    Dengan demikian, secara
    implisit terungkap bahwa teologi memiliki kesamaan tertentu dengan filsafat
    (sekali lagi, pada dasarnya manusia adalah filsuf dan teolog). Baik filsafat
    maupun teologi menyelidiki seluruh kenyataan, tidak terbatas pada bidang
    inderawi, materi. Dalam kasus keruntuhan komunisme, ilmu empirisme tidak akan selengkap
    filsafat maupun teologi dalam pengkajiannya. Baik filsafat maupun teologi akan
    melihat fenomena itu dari seluruh kenyataan yang ada, yang dapat diprediksikan,
    yang dapat dipilah-pilah kebenarannya.


    Hal itu dapat dilakukan
    filsafat dan teologi karena dua ilmu ini tidak membatasi diri pada pengalaman
    inderawi. Dengan pengalaman inderawi belaka, ilmu-ilmu empiris hanya akan
    berhenti pada logika dan pengalaman masa lampau yang dijadikan dasar langsung
    untuk mendapatkan pengetahuan. Ilmu empiris tidak akan menjelaskan bagaimana
    komunisme akan runtuh tetapi bagaimana komunisme itu telah runtuh. Sebaliknya,
    filsafat dan teologi bisa menjelaskan bagaimana komunisme bisa hancur karena
    basis seluruh kenyataan yang dicakupnya.


    Meskipun filsafat dan
    teologi sama-sama menggunakan rasio untuk melihat seluruh kenyataan yang ada
    sebagai objek studinya, teologi berbeda dari filsafat karena teologi berpijak
    dari wahyu Allah. Filsafat tidak memasukkan unsur itu. Oleh karena itu,
    filsafat mempelajari seluruh kenyataan yang ada berdasarkan rasio belaka untuk
    mendapatkan ke-benaran fundamental atas kenyataan itu. Filsafat lebih bebas
    bergerak dalam arti lintas aga-ma tertentu. Sementara itu, teologi bergantung
    pada wahyu tertentu yang ingin ditanggapi sehingga teologi bisa berbeda-beda
    sesuai dengan iman yang korelatif dengan wahyu itu.


    Dalam arti tertentu,
    filsafat sama sekali tidak menjadi refleksi seperti teologi yang merefleksikan
    imannya. Teologi yang adalah refleksi kritis iman ini, dengan demikian,
    bergerak dalam lingkungan iman. Ini dapat dimengerti jika disadari bahwa iman
    sendiri tidak mati, tetapi dinamis, bergerak. Iman menjadi suatu actus fidei
    dan actus fidei inilah yang memungkinkan manusia berdinamika.


    Jika iman itu memang
    dinamis, supaya bernilai bagi kita, tindakan iman itu harus terlebih dahulu
    bersifat manusiawi, sebagai actus humanus. Tindakan manusiawi berarti tindakan
    yang merealisasikan diri manusia terdalam ke arah Tuhan mewahyukan diri-Nya.
    (Wahyu Allah baru bisa diterima jika memang ada yang menerima pemberian diri
    itu). Karena itu, iman bukan suatu tambahan pada subjek, melainkan merupakan realisasi
    diri manusia dalam hubungan personal dengan wahyu dan berkat sabda itu.


    Karena iman adalah tindakan
    manusia (actus humanus), iman memuat tindakan pemikiran, kebebasan dan
    kesadaran secara konstitutif. Kebebasan dan kesadaran itu merupakan suatu aspek
    intrinsik iman, yang konstitutif untuk iman. Iman berkembang dalam teologi,
    teologi sendiri bergerak dari iman dan menuju iman. Oleh karena itulah, teologi
    bergerak dalam lingkungan iman dan mengabdi iman.


    Meskipun
    demikian, teologi tentu tidak sama dengan iman. Dapat dipahami bahwa teologi
    sendiri sebetulnya hanya refleksi atau cara merenungkan iman. Meskipun teologi
    bergerak dalam lingkungan iman dan mengabdi iman, hidup dalam iman, teologi
    sama sekali bukan substansinya sendiri. Karenanya, iman tidak bisa direduksi
    sebagai teologi. Iman justru menjadi substansi yang mau dipertanggungjawabkan,
    yang menuntut pembenaran secara ilmiah dan itulah yang diusahakan teologi.




    BAB II : Intellectus in Fidem








    Kiranya lingkup teologi semacam inilah yang melatarbelakangi Paus dalam
    ulasannya tentang keruntuhan komunisme. Paus sendiri jelas secara akademis
    memiliki bekal memadai sebagai filsuf dan teolog. Pandangannya terhadap sejarah
    keruntuhan komunisme sungguh diwarnai oleh filsafat dan teologi yang dianutnya.




    Dalam pernyataan-pernyataan yang disampaikan Paus, tampaklah suatu
    metode pendekatan yang nyata sebagai suatu metode penggalian kehidupan. Pada
    bagian awal tulisan ini (bab II) telah diungkapkan bahwa metode dalam teologi
    melibatkan unsur pengetahuan, pengolahan, sejarah, dan relasi dengan Allah
    sendiri. Paus menunjukkan hal itu dengan menanggapi fakta sejarah disertai
    refleksi mendalam atas hidup imannya sampai ia menyatakan bahwa agama Kristen
    bukan melulu agama pengetahuan atau agama kontemplasi tetapi agama yang berasal
    dari tindakan Allah dan manusia.



    Pernyataan Paus ini tidak bisa tidak berasal dari refleksinya atas
    seluruh kenyataan yang ada di dunia ini. Dalam lingkup filsafat, Paus melihat
    bahwa keruntuhan komunisme adalah suatu keniscayaan. Komunisme jatuh karena
    kekeliruan ‘teologi’ yang melekat padanya sehingga menurut Paus, mengutip
    pernyataan Paus Leo XIII, komunisme adalah obat yang lebih berbahaya daripada
    penyakitnya sendiri. Mengapa? Karena tidak membawa perubahan sosial yang sejati
    tetapi justru menjadi ancaman bagi seluruh dunia. Dari sudut filsafat ini, Paus
    secara implisit mengatakan bahwa kesalahan manusia sendirilah yang menyebabkan
    komunisme itu runtuh.



    Gagasan dari sudut filsafat ini memberikan sumbangan bagi teologi supaya
    tidak terlalu simplistis mengatakan bahwa karya Allah-lah yang menyebabkan
    komunisme jatuh. Dari segi sejarah ditunjukkan bagaimana sistem dalam komunisme
    juga mengalami hambatan-hambatan tertentu yang mengarah ke kehancurannya
    sendiri. Ini berarti ada kekeliruan ‘teologi’ yang membuat kehancuran itu
    sebagai suatu yang niscaya.



    Meskipun demikian, Paus tidak juga berhenti sebagai filsuf karena memang
    pada kenyataannya dia juga seorang teolog. Itu berarti ada tataran lain yang
    dilihat oleh Paus dalam refleksinya. Kehancuran komunisme sebagai suatu gejala
    nyata menunjukkan suatu flashback tentang cara yang khas dalam berpikir dan
    bertindak dalam abad modern (teru-tama di Eropa sebagai tempat kemunculan komunisme).
    Menurut Paus, meskipun abad modern mampu menghasilkan banyak hal di berbagai
    bidang, tetap ada kesalahan-kesalahan yang menimbulkan
    penyelewengan-penyelewengan dengan berbagai cara terhadap manusia dalam bentuk
    penindasan. Kesalahan-kesalahan yang diabadikan
    oleh manusia itu, menurut Paus, merupakan usaha melawan Allah, membatasi secara
    sistematis apa yang bersifat Kristiani. Sementara itu, Allah sendiri tetap
    setia. Dia memiliki komitmen dengan manusia melalui Yesus Kristus yang
    diserahkan-Nya kepada manusia; tinggal ditunggu saja apakah manusia mau
    mengakui kesalahannya dan menyerahkan diri kepada Allah (Yoh 8:44). Mungkin
    manusia akan sulit untuk melakukannya tetapi mungkin juga sedikit demi sedikit
    manusia akan belajar dari kesalahannya. Karena itu, manusia bisa membiarkan
    Allah membimbingnya melalui lorong-lorong sejarah. Di situlah Allah tidak
    pernah berhenti bekerja



    Karya Allah itu berlangsung lewat hati dan karya manusia dalam
    sejarahnya. Ini juga dilihat Paus dalam sejarah ketika terjadi penampakan,
    menjelang pecahnya Revolusi Oktober, kepada tiga orang anak: Rusia akan
    bertobat. Fenomena ini tidak akan masuk dalam sistem filsafat yang tidak
    berpijak pada wahyu; juga sistem ideologi tidak akan menganggapnya sebagai
    gangguan berarti. Akan tetapi, bagaimana teologi menanggapi hal itu? Pasti
    unsur wahyu masuk di sana dan memberikan tempat bahwa Allah pun menyatakan
    kehendak-Nya dan berencana berkarya dalam diri manusia dan sejarahnya.



    Refleksi mendalam Paus ini menjadi cerminan bagi kita bahwa memang
    manusia memiliki potensi sebagai filsuf dan teolog. Ketika orang menghadapi
    kesulitan akan hal-hal immaterial, sementara kecenderungan untuk mencari tahu
    terus bertambah, orang lalu mencari pembenaran dalam tataran ide. Dari situ
    muncul dorongan ke arah ilmu pengetahuan dan ketika ilmu pengetahuan tidak
    sanggup meraba seluruh kenyataan, filsafat memancing orang untuk melihat
    seluruh kenyataan, termasuk yang di luar pengalaman inderawi. Jika filsafat
    pun, yang bisa menghasilkan ideologi/‘teologi’ tertentu seperti komunisme,
    tidak sanggup mengatasi seluruh kenyataan itu, tugas teologilah untuk
    merefleksikan itu semua secara kritis. Dalam arti tertentu, teologi
    mempengaruhi orang dalam melihat kenyataan, mengambil sikap, dan bertindak
    berdasarkan sikap yang diambilnya itu.


    Oleh
    karena itu, komunisme sendiri menjadi sistem filsafat yang rupa-rupanya
    memiliki metode ‘teologi’ yang keliru, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
    sehingga mengalami kehancuran sendiri. Dengan demikian, di luar pernyataan
    Paus, komunisme memang menjadi sistem filsafat yang membaku yang memiliki
    potensi kesalahan yang niscaya sehingga hancur. Paus menanggapi kekeliruan itu
    dengan seluruh pengetahuannya akan sistem filsafat tetapi rupanya Paus juga
    tidak keluar dari jalur iman yang dihayatinya. Dengan demikian, meskipun hidup
    beriman menuntut suatu pertanggungjawaban rasional tertentu, pertanggungjawaban
    itu sendiri tidak bisa tidak berada dalam lingkungan iman.


    Oleh
    karena itulah, iman tertentu juga mencakup pemahaman tertentu tentang gejala
    kenyataan yang ada di dunia. Iman Paus mengatakan bahwa gejala kehancuran
    komunisme yang pada dasarnya suatu keniscayaan bukanlah melulu gejala
    manusiawi. Kalaupun itu mau dikatakan sebagai suatu tindakan manusiawi (actus
    humanus), harus dipertanyakan bagaimana tindakan itu mendapatkan pendasarannya
    kalau bukan dari pewahyuan. Dengan demikian, tetap dikatakan oleh Paus bahwa
    Allah memang tetap berkarya, termasuk dalam kehancuran komunisme (bdk. Yoh 5:17).





    PENUTUP : Iman dan Kehidupan








    Pernyataan Paus itu pada akhirnya menunjukkan ciri khas kekristenan yang
    dihayati Paus secara nyata, minimal dalam cara melihat (paradigma) kehidupan.
    Pusat iman Kristiani pada Allah Tritunggal memungkinkan umat beriman menghayati
    kehidupannya sebagai karya Allah (melalui Yesus yang telah mengutus Roh Kudus)
    dan sekaligus karya manusia. Dengan pengahayatan iman semacam ini kita bisa
    meyakini bahwa agama Kristen memang agama kehidupan.



    Agama kehidupan berarti agama yang sepenuhnya melibatkan seluruh unsur
    kehidupan. Karena itu, bukan melulu aktivitas pengetahuan manusia belaka yang
    bisa diandalkan tetapi juga bukan melulu kontemplasi yang memutlakkan unsur
    ilahi tanpa keterlibatan manusia. Allah tetap bertindak, dan tindakan Allah ini
    tidak menghilangkan arti tindakan manusia karena tindakan manusia
    diikutsertakan dalam tindakan penyelamatan Allah itu. Pemahaman kekristenan
    yang demikian ini mempengaruhi kita tidak hanya dalam tataran kepercayaan kita
    tetapi juga dalam aktivitas nyata sehari-hari. Karena itu, iman yang demikian
    akan mengantar umat beriman kepada cara hidup contemplativus in actione
    sehingga penghayatan agama Kristen memang menjadi penghayatan agama kehidupan.
    Amin.

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 1:39 pm