Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    negara dan kapitalisme pendidikan

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    negara dan kapitalisme pendidikan Empty negara dan kapitalisme pendidikan

    Post by ratri Fri Jun 18, 2010 9:04 pm

    Negara dan Kapitalisme Periperal

    Lenin telah mengingatkan bahwa pemahaman soal negara seringkali dibuat bingung dan ruwet oleh wakil-wakil kaum borjuis: ahli-ahli filsafat, hukum, ahli ekonomi-politik dan para wartawan.1) Hal ini terjadi, sebab ilmu ini berkait dengan kepentingan kaum modal. Mengetahui hal negara berarti mengetahui penindasan kaum modal terhadap kaum proletar, mengetahui hak kapitalisme hidup di atas dunia.

    Bagaimana sebenarnya negara lahir di atas dunia dan bagaimana negara ini bisa menjadi besar?

    Engels dalam The origin of the Family, Private Property and the State, menggambarkan sejarah: "Bagaimana Negara Lahir ke Dunia." Pada suatu masa yang lampau negara tidak ada. Negara lahir pada suatu masa dan di suatu tempat, dalam masa mana dan tempat mana lahir pertentangan klas, yakni: klas penindas dan klas tertindas. Sebelum lahir penghisapan manusia, maka di situ belum ada perbedaan/pembagian klas, misalnya, orang yang memelihara budak dan klas budak-budak. Sebelum ini, manusia hidup bergerombol bersuku-suku.

    Pada jaman purba ada suatu jaman Komunis Primitif (tingkat pertama komunis tua). Pada masa itu belum ada negara, sebab klas penindas dan klas tertindas belum ada. Pada masa itu belum ada negara, belum ada alat penidasan yang dipergunakan untuk menindas dengan paksa dan penundukan manusia dengan kekerasan. Alat yang demikian itu yang disebut negara.

    Kekuasaan saat itu dipegang oleh ketua dari gerombolan tersebut dengan menurut adat, kebiasaan kampung atau desa, kadang-kadang kekuasaan dipegang oleh seorang perempuan.

    Berlainan dengan kondisi sekarang ini, bahwa untuk menjaga kepentingan dan tujuan memerintah, sekelompok orang diberi pangkat agar dengan demikian mereka, dengan sistematis dan waktu yang lama, dapat mempergunakan alat paksa, suatu kekerasan. Mulai digunakan tentara, gedung-gegung penjara, dan alat-alat lainnya untuk menindas keinginan orang lain dengan kekerasan, artinya semua ini adalah inti atau poros negara.

    Negara membagi masyarakat menjadi 2 golongan, golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah. Pada waktu sekelompok istimewa dari orang-orang yang bekerja hanya memerintah, untuk keperluan itu diinginkan suatu alat istimewa untuk menundukkan dengan paksa kehendak orang lain dengan jalan mengadakan penjara, tentara, polisi, armada angkatan udara dan lain-lain, pada saat itu ada negara.

    Tetapi pada suatu waktu belum ada negara, yang ada semata-mata hanya adat lembaga, tata cara nenek moyang dan menghargai kekuasaan orang yang dipandang sebagai ketua dari suatu kampung atau suatu desa.

    Sejarah menunjukkan bahwa negara adalah alat penindasan serta penghisapan, lahir di atas dunia pada waktu yang sama dan pada tempat di mana lahir perbedaan klas-klas yang memerintah dan klas yang diperintah.

    Pembagian klas di dalam masyarakat adalah suatu bukti penting. Perubahan dari segenap masyarakat di seluruh dunia beberapa ribu tahun yang lampau, menunjukkan gejala umum, bukti tentang adanya ini, sehingga mula-mula manusia hidup di dalam masyarakat dengan tidak ada perbedaan klas-yang pertama masyarakat gerombolan suku, di mana ketua dari suatu suku yang berkuasa hanya tunduk adat lembaga kampung, dan, kedua masyarakat yang didirikan atas perbudakan, atau lebih tegas masyarakat perbudakan.

    Peradaban-peradaban di dunia melalui tingkatan semacam ini, jaman perbudakan berlaku di mana-mana 2.000 tahun yang lampau. Tanda-tanda perbudakan masih terdapat pada rakyat-rakyat yang sudah sedikit maju dan di Afrika.

    Tingkatan pembagian klas yang pertama adalah jaman perbudakan, kaum yang memperbudak dan kaum yang diperbudak. Kemudian berlanjut ke jaman kerajaan (feodal); dan dengan kuatnya klas borjuis mendorong lahirnya jaman kapitalisme.

    _________

    Perkembangan di Indonesia sebelum hadirnya kolonialisme adalah sampai terbentuknya kerajaan-kerajaan. Mayoritas dari kerajaan masih kuat bersifat kesukuan ketimbang sebuah negara seperti pengertian di atas. Mungkin Kerajaan Majapahit, dan Mataram yang lebih memiliki konstruksi negara kerajaan ketimbang yang lain.

    Kolonialisme memporak-porandakan tatanan kerajaan (feodalisme) ditransformasikan ke struktur masyarakat kapitalis. Meskipun, menurut G.R. Knight:

    "Sebuah embrio kapitalisme asli terbukti dengan jelas di daerah-daerah pedesaan, yang diekspresikan dari segi produksi barang dagangan yang meluas (generalised commodity production), buruh upahan serta perkembangan lebih lanjut melalui pembelahan sosio-ekonomi diantara kaum tani."2)

    Namun upaya kapitalisme asli tersebut diporak-porandakan oleh kolonialisme Hindia Belanda.

    Kolonialisme yang kemudian membentuk negara di wilayah Indonesia dikenal dengan negara kolonial Hindia Belanda. Mereka, khususnya, membuka Pulau Jawa dan Sumatera, untuk investasi dengan basis tenaga kerja dan tanah yang murah, atau dengan kata lain biaya produksi yang rendah. Prasyarat pembentukan kondisi tersebut diletakan dalam kurun Cultuurstelsel (1830-1870). Yaitu, ketika berbagai kendala politik dan ekonomi menemukan bentuknya dalam wadah penggunaan kekuasaan para penguasa bumiputra sebagai mediasi bagi pengerahannya.

    Bagi masyarakat bumiputra hadirnya modal mulai dirasakan ketika didirikan industri perkebunan. Muncul pola kerja industri yang merupakan gabungan kerja agrikultur penanaman tanaman ekspor, dengan kerja manufaktur. Wujud kongkritnya adalah pabrik gula, dan nila (indigo).

    Dalam pengoperasian pabrik-pabrik tersebut, pemerintah kolonial mengkondisikan lapisan sosial-dari elit teratas hingga kaum petani kecil-diserap untuk mendukung berjalannya proyek-proyek penanaman di onderneming-onderneming dan proses pengolahan bahan mentah menjadi komoditas siap jual: gula dan nila.

    Mekanisme kerja hanya berjalan dengan menggunakan pengaruh kekuasaan para elit bumiputra. Hal ini berlangsung hingga paruh pertama abad 19, berbagai ikatan perhambaan menjadi alat utama sistem perekrutan tenaga kerja. Namun, perkembangan setelah 1850-an muncul apa yang disebut 'kerja bebas' (free labour).

    Gejala 'kerja bebas' muncul akibat menjadi efektifnya sistem upah yang diintensifkan oleh pabrik gula. Selain juga disebabkan oleh runtuhnya sistem perekonomian pedesaan yang menjadi tidak sanggup "mensejahterakan" penduduknya, akibat penyerapan berlebih dari negara kolonial dalam penggunaan tanah dan terutama tenaga kerja.

    Demikianlah masyarakat bumiputra menapaki 'dunia baru,' melepas hubungan kerja 'irasional'-feodal-, sementara itu mereka didorong untuk menyambut kerja 'rasional'-kapitalistik-sebuah masyarakat industri yang khas kolonial, pabrik onderneming-. Sebuah proses perubahan sosial yang perlahan tetapi pasti menyergap kaum tani Hindia Belanda. Saat dideklarasikan Agrarische Wet tahun 1870, infrastruktur kapitalisme telah siap: buruh telah tersedia.

    Karakter modal yang berlangsung di Hindia Belanda-dan kemudian Indonesia sebagai masyarakat post colonial-berbeda dengan negara-negara lain yang tidak mengalami kolonialisme. Dalam kerangka teoritis Hamzah Alavi dijelaskan konstruksi seperti ini bahwa terjadi

    "pembubaran serta transformasi sturktur-struktur sosial dan ekonomi pra-kapitalis, tetapi masing-masing dengan cara berlainan. Pada masyarakat-masyarakat 'yang dimodernisir,' arah perubahan adalah menuju penggabungannya di bawah kapitalisme pinggiran suatu aspek masalah yang telah didiskusikan dalam artikel saya 'Struktur Kapitalisme Pinggiran.'"3)

    Farchan Bulkin memperjelasnya:

    "Kapitalisme yang dimaksud di sini juga bukan seperti yang berkembang di Eropa Barat, tetapi kapitalisme pinggiran. Jenis kapitalisme ini sebenarnya juga suatu ekonomi yang kapitalistis, di mana modal, keahlian, pengetahuan dan buruh memegang peranan penting dalam mengeksploitasi sumber-sumber alam untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan oleh pasaran dengan tujuan pokok mengumpulkan keuntungan dan juga modal.

    Istilah pinggiran menunjukkan suatu keadaan di mana keuntungan dan modal yang ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan di dalam sistem ini, melainkan di luar, yaitu dalam kapitalisme tengah. Seperti kita ketahui, struktur ekonomi merupakan suatu alokasi dari faktor-faktor produksi, penguasaan atau pemilikan dari kekuatan-kekuatan ekonomi. Karena kapitalisme pinggiran merupakan suatu struktur ekonomi, maka ia juga menjadi faktor pendorong atau penghambat bagi peserta-peserta dalam proses ekonomi.

    Kedua, secara struktural kapitalisme pinggiran selalu akan menciptakan ekonomi yang berat sebelah dan berorientasi ke luar, di mana kegiatan-kegiatannya terpusat pada bidang-bidang ekstraktif dan ekspor, sehingga tidak mendorong terciptanya industrialisasi. Kegiatan-kegiatan golongan menengah memperkuat kedudukan ekonominya, dan juga negara-dalam memperoleh pendapatannya-ditentukan oleh kondisi-kondisi kapitalisme pinggiran. Sebagai suatu struktur sosial dan ekonomi, kapitalisme pinggiran merupakan kondisi penentu bagi negara dan golongan menengah untuk mempertahankan survival ekonominya."4)

    B. Pendidikan Di Indonesia

    Pendidikan tentu ada di setiap jaman dan kurun waktu, misalnya, pendidikan berbasis keagamaan. Hal ini di luar perhatian tulisan ini. Khusus dalam tulisan ini hanya akan disoroti pendidikan modern (Barat).

    Sedikit melacak ke belakang. Pendidikan pada jaman kolonial disiapkan sebatas kebutuhan menciptakan tenaga kerja lokal untuk mengisi posisi-posisi clerk dan administrasi rendahan serta tenaga kesehatan untuk penyakit-penyakit tropis. Tentunya hal ini untuk menggantikan orang-orang asing yang dipekerjakan dalam posisi tersebut. Dengan demikian biaya lebih murah akan menjadi keunggulan komparatifnya. Pendidikan diadakan dalam kerangka politik balas jasa-Etische Politiek-Kerajaan Nederland terhadap wilayah koloni mereka Hindia Belanda.

    Buta huruf menjadi melek huruf. Ini perkembangan sangat penting. Pemerintah kolonial berharap dengan melek huruf berbagai peraturan dan pengumuman (baca: perintah) dapat disampaikan dengan lebih mudah. Memang kemudian berita-berita berbentuk selebaran hingga koran menjadi media efektif untuk menyampaikan pesan. Sejajar dengan hal tersebut, yang hadir kemudian tidak hanya satu sisi kepentingan kolonialisme saja; di lain sisi muncul orang-orang berideologi Sosial-Demokrasi dari Belanda yang ikut "membangun pendidikan" melalui kelompok-kelompok diskusi di Hindia Belanda, seperti Sneevliet, Adolf Baars. Pendidikan alternatif yang muncul dari luar negara tersebut menghasilkan pergerakan rakyat-sebuah kesadaran baru, yang tidak dapat dipersamakan dengan jaman kerajaan/feodal.

    "Pada alamnja keradjaan Jawa masih haroem namanja tidak koerang seringlah tindasan-tindasan jang ditimboelkan oleh radja dengan wakil-wakilnja kepada si kromo, tetapi oleh karena pergaoelan hidoepnja Ra'jat beloem terganggoe serta masih lapang, disitoelah berada pergerakan jang didirikan orang. Maka jakinlah kami, bahwa timboelnja pergerakan Ra'jat itoe tidak sadja disebabkan adanja tindasan-tindasan, tetapi djoega terbawa oleh kemasakan dan kemadjoean Ra'jat. Dengan pendek kami katakan, bahwa keroesakannja pergaoelan hidoeplah jang soedah memaksa boeat menimboelkan adanja pergerakan Ra'jat..., jang mana pokoknja diperboeat oleh kapitalisme."5)

    Pemahaman tentang politik memunculkan terbentuknya perhimpunan, serikat, vakbond. Pendidikan rakyat menjadi demikian luasnya, negara kolonial perlu membatasinya dengan memunculkan apa yang dikenal dengan Wilde Schoolen Ordonantie. Ordonansi yang berusaha melarang pendidikan politik oleh dan untuk rakyat. Pendidikan rakyat ini dalam satu tulisan Moeso adalah:

    "Oentoek mentjepatkan datangnja kemerdeka'an kita, haroeslah sekalian saudara membatja boekoe-boekoenja sendiri, jang ditoelis oleh orang-orang dari klasnja sendiri.

    Klas jang tertindas haroes menerbitkan boekoe-boekoe jang perloe dalam pertandingan melawan kapital."6)

    Pendidikan rakyat bukan saja mengganggu Rest en Orde (aman dan tertib) kolonial, tetapi menggusur kolonialisme.

    Periode jaman bergerak di Hindia Belanda memang kurun paling demokratis. Di satu sisi negara kolonial berjalan dengan program-program ekonomi-politik yang tentu dengan ideologi mempertahankan untuk kemapanan investasi kapitalisme. Di lain sisi begitu hiruk-pikuk politik, ideologi dalam masyarakat luas. Setiap kelompok dengan kepentingannya masing-masing berjalan sendiri-sendiri.

    Demikian pada masa tersebut dapat ditemui inisiatif pendidikan yang datang dari negara (-kolonial) dan pula dari rakyat. Pendidikan dari negara (-kolonial) menetapkan prasyarat bahwa orang tua siswa harus berlatar penguasa bumiputera (bupati, lurah, wedana, dsb.). Sementara pendidikan inisiatif rakyat tidak menetapkan prasyarat apa-apa.

    Dalam jaman ini pula lahir tokoh-tokoh perlawanan terhadap negara kolonial Hindia Belanda seperti R. Oemar Said Tjokroaminoto, Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, R.M. Soewardi Soerjaningrat, R.M. Sorjopranoto, R.P. Sosrokardono, Hadji Misbach, R.A. Kartini, R.A. Siti Soendari dan masih banyak lagi. Suratkabar radikal yang menjadi corong dan ajang berdebat adalah: Sinar Hindia, Sinar Djawa, Doenia Bergerak, API, Si Tetap, Njala, Proletar, dsb.

    Pola-pola-negara dan rakyat melakukan inisiatif sendiri-sendiri-tersebut berlangsung terus hingga hari ini. Negara (dalam hal ini pemerintah) tetap menyelenggarakan pendidikan; sementara di sisi lain ada inisiatif sektor swasta yang menyelenggarakan beragam pendidikan. Memang ada yang berbeda: saat ini pendidikan adalah barang-dagangan kapitalisme pula, hal ini tidak terjadi di jaman bergerak hingga berakhirnya kekuasaan Soekarno di akhir 1960-an.

    Pendidikan menjadi mahal, pendidikan menjadi barang-dagangan kapitalistik memang menjadi tak terhindarkan di Indonesia. Bila di awal Orde Baru, awal tahun 1970-an, pendidikan masih agak murah, itu disebabkan oleh saat itu oil-boom menjadi tulang-punggung perekonomian Indonesia. Pemerintah dapat menyediakan subsidi dalam jumlah memadai untuk pendidikan. Tidak hanya bersekolah di dalam negeri tetapi juga ke luar negeri. Masa tersebut beasiswa disediakan dalam jumlah cukup besar.

    Namun, sejalan dengan perkembangan kapitalisme global yang melakukan intervensi/tekanan melalui jerat hutang/pinjaman, seperti yang disalurkan melalui IMF dan World Bank, serangkaian prasyarat mulai diajukan untuk mencekik negeri penghutang. Cekikan ini sebenarnya menuntut agar dibukakan pintu pasar dan pengurangan/penghentian penerapan tariff bagi barang-barang yang dimaksudkan ke negeri penghutang.

    Pengurangan atau penghapusan subsidi dikenakan melalui apa yang dikenal sebagai Structural Adjustment Program (SAP-Program Penyesuaian Struktural). Sebuah resep pembangunan yang ditawarkan lembaga kreditor sejak tahun 1980-an. Namun, Indonesia secara resmi baru mengakomodasi paket SAP ini di awal 1998, saat krisis betul-betul mencekik pemerintahan Soeharto. Meskipun demikian sebenarnya telah jauh hari sebelumnya begitu banyak kebijakan pemerintah Indonesia telah sejalan dengan SAP. SAP khususnya menghapus berbagai subsidi pemerintah agar biaya yang ditanggung oleh pemerintah tidak membengkak. SAP mendorong penghapusan subsidi kesehatan, pangan, pendidikan, selain juga mendorong devaluasi mata uang secara periodik. Hal ini-memang-bukan baru-baru saja diterapkan di Indonesia, namun telah berlangsung sejak awal Orde Baru berkuasa.

    Penghapusan subsidi adalah problem utama negeri-negeri kapitalis. Dan hal ini menjadi problem besar, khususnya, bagi negeri-negeri terbelakang (underdeveloped). Hingga awal tahun 1990-an keterlibatan penduduk negeri-negeri terbelakang dalam pendidikan Perguruan Tinggi, misalnya, dapat dilihat dalam Tabel berikut:

    Tingkat Partisipasi Rakyat di Perguruan Tinggi


    Negara
    % terhadap jumlah penduduk

    Afrika
    1,2

    Asia Selatan
    4,4

    Asia Timur & Pasifik
    9,1

    Amerika Latin
    12,0

    Timur Tengah & Amerika Utara
    9,4

    Negara Berkembang
    6,9

    Negara Maju
    21,0

    Sumber: Bank Dunia, 1990




    Satu dekade yang lampau di Indonesia terjadi kelebihan lulusan yang cukup besar untuk ilmu humanisme, ilmu sosial, hukum, dan komunikasi massa (lihat tabel).

    Perbandingan Antara Persediaan dan Kebutuhan Tenaga Kerja Terdidik Tamatan S1 Menurut Jenis Keahlian (Perkiraan Selama Repelita VI)


    No
    Fakultas
    Persediaan
    Kebutuhan
    Kelebihan (%)

    1
    Humanisme
    41.663
    12.922
    69

    2
    Ilmu Sosial/Perilaku
    435.689
    144.871
    67

    3
    Hukum dan Kehakiman
    226.618
    40.125
    80

    4
    Ilmu-ilmu murni
    5.563
    263.795
    -97

    5
    Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
    27.721
    92.129
    -70

    6
    Komunikasi Massa
    6.253
    2.347
    60


    (Sumber: BPS 1990/1991)






    Di sini memang Indonesia begitu terbelakang: tidak dapat menyiapkan lapangan kerja bagi lulusan pendidikan tinggi. Jumlah lulusan yang sebetulnya sedikit tersebut pun tidak dapat tersalurkan ke pekerjaan yang tepat. Sementara di lain sisi "pembangunan manusia seutuhnya" seperti jargon kaki-lima: tidak dapat dipertanggung-jawabkan.

    Apalagi dengan menggejalanya pendidikan sebagai barang-dagangan. Disebabkan ada undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan bersekolah selama 9 tahun dengan menghapus SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan), sekolah-sekolah negeri membiasakan diri menyedot uang dari para siswa dengan judul 'sumbangan' POM (Persatuan Orang-Tua Murid) maupun 'sumbangan' lainnya. Pendidikan memang benar-benar telah menjadi barang dagangan. Populasi penduduk yang demikian besar, sementara di sisi lain jumlah sekolahan sangat terbatas, hanya orang yang mampu membayar (membeli) 'sumbangan' yang dapat bersokolah. Karena sekolah telah menjadi barang-dagangan tentu saja swasta pun menjadi berminat untuk investasi pendidikan. Muncul sekolah-sekolah dengan menjual gengsi (prestige) 'harga mahal identik dengan kualitas baik.' Negara terkurangi (terhilangkan) 'bebannya' dari mengurus sekolah, padahal begitu besar jumlah rakyat yang tidak mendapatkan pendidikan hanya dikarenakan tidak dapat membayar harganya.

    Posisi teoritis kapitalisme periperal menjadi penjelasan tepat untuk fenomena tersebut, yaitu "tidak mendorong terciptanya industrialisasi."7) Ini lebih merupakan kapitalisme dagang saja. Hal-hal yang lebih bersifat struktural, misalnya: 'membangun sistem pendidikan nasional untuk kemajuan dan kesejahteraan negara dan masyarakat,'-bukan merupakan kebutuhannya.

    C. Krisis Kapitalisme

    Dampak krisis kapitalisme sangat buruk menimpa rakyat negeri-negeri terbelakang. Pada Juni 1997 merebak krisis ekonomi (atau finansial) hasil dari over-produksi kapitalis. Di Malaysia diawali dengan merosotnya nilai mata uang lokal, yang kemudian meluas ke negeri-negeri "macan" Asia lainnya. Negeri-negeri seperti Thailand, Filipina, Indonesia, Korea Selatan menghadapi kondisi ini dan mengalami 'kebangkrutan national'. Tak ada lagi Macan Asia dan Newly Industrialised Countries (NIC). Krisis Kapitalisme tidak hanya memukul negeri-negeri Selatan akan tetapi juga terjadi di Utara khususnya negeri-negeri seperti Brazil, Meksiko, Argentina, Turki, Rusia, dan tentu saja Amerika Serikat.

    Indonesia memiliki wilayah cukup luas meliputi 13.000 pulau di Pasifik Selatan. Berpenduduk 210 juta jiwa, di mana 60 persen tinggal di pulau Jawa.

    Jakarta adalah kota modern dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Di sekeliling Jakarta industri berkembang pesat, khususnya di Tangerang, Bekasi, Bogor dsb. Tentu saja industri tersebut bertulang-punggung buruh murah yang berlimpah.

    Buruh murah mendorong tumbuhnya kampung-kampung miskin (slum areas) yang berhimpitan dengan industri. Jutaan buruh-dan juga penganggur-hidup di kampung miskin tersebut.

    Kemegahan Jakarta tentu identik dengan adanya orang-orang kaya berpenghasilan antara 5 juta hingga 20 juta rupiah per bulannya. Bahkan sekelompok kecil orang yang bekerja di perusahaan multinasional bisa meraih hingga 50 juta rupiah per bulan. Angka-angka tersebut memang equivalent dari upah mereka yang dibayarkan dalam dollar AS. Orang-orang inilah yang menjadi target konsumen dari mal dan pasar swalayan. "Gaya hidup orang atas," kata orang Betawi. Tentu saja kebalikannya kita dapat lihat di kampung kumuh. Uang belanja mereka tidak pernah melampaui Rp 10.000,- per hari/keluarga. Artinya penghasilan per bulan mereka hanya berkisar Rp 400.000,- hingga Rp 600.000,-. Kontras kan…!

    Krisis kapitalisme yang terjadi sejak 1997 menyebabkan runtuhnya industri-industri. Menyebabkan buruh di-PHK. Orang-orang kaya melarikan modalnya ke bank-bank asing atau ke negeri-negeri maju (capital flight). Terjadi kejatuhan drastis nilai rupiah terhadap dolar AS.Cool

    Mahasiswa, buruh kasar (blue collar) dan buruh kantoran (white collar) turun ke jalan berdemonstrasi. Isu yang diusung "menghapus KKN"-korupsi, kolusi dan nepotisme.9)

    Sejak krisis 18 juta orang kehilangan pekerjaan tetap. Masalah riil sekarang: merajalela kriminalitas.

    Lembaga-lembaga pemberi kredit seperti World Bank, IMF dan ADB, misalnya, memasukkan program social service dalam Letter of Intent (LoI) mereka yaitu pengentasan kemiskinan (poverty alleviation) dalam program swastanisasi BUMN. Krisis saat ini sangat buruk, meskipun demikian solusi-solusi masih didominasi dan bergantung pada negeri-negeri imperialis.

    Krisis memaksa Soeharto mundur dari bangku kepresidenan pada 20 Mei 1998. Selama lebih dari tiga dekade masyarakat Indonesia hidup dalam rejim represif Suharto. Rejim ini melarang adanya organisasi-organisasi independen untuk buruh, petani, mahasiswa dan kaum intelektual, dsb. Perubahan penting terjadi setelah Soeharto mengundurkan diri. Suatu euphoria politik mendorong rakyat mendirikan partai-partai politik dan serikat-serikat. 150 partai politik didirikan, meskipun hanya 48 partai diperbolehkan ikut dalam pemilu untuk posisi di Parlemen (MPR/DPR). Pertumbuhan serikat pekerja pun juga sangat pesat; lebih dari 140 serikat pekerja didirikan dalam tiga tahun belakangan. Mayoritas dari serikat tersebut-dapat dikatakan-sejati (genuine).

    Iklim positif ini penting dalam mendorong masyarakat Indonesia menapaki ke kemajuan demokrasinya. Kata-kata: ‘dilarang,’ ‘dihentikan,’ dibredel' dsb. menghilang. Rakyat Indonesia sekarang ini 'memiliki' ruang politiknya sendiri untuk mendefinisikan keinginan mereka.

    Bagaimanapun, menangkap ruang demokratik bukan masalah sederhana dan mudah. 32 tahun di bahwa rejim otoriter menghasilkan banyak gangguan datang dari eksponen rejim Orde Baru yang tidak menginginkan perubahan. Kita dapati kerusuhan-kerusuhan, pengeboman, dan berbagai tindak teror sebagai kenyataan bahwa masih ada orang Indonesia yang tidak menghendaki demokrasi dan reformasi.

    Orde Baru sangat bergantung pada hutang luar negeri. Kebijakan 'Pembangunan' hanya dapat direalisir dalam kerangka hutang dan investasi asing. Konstruksi 'pembangunan' betul-betul tergantung pada inisiatif dan kapital asing. Hutang sudah sangat besar, saat ini muncul angka US$ 143 milyar,10) gabungan dari hutang pemerintah dan sektor swasta (baca: crony).

    'Pembangunan' bukan berati membangun kesejahteraan segenap lapisan masyarakat, tetapi malah menciptakan jurang kaya-miskin, eksploitasi tenaga kerja, perusakan lingkungan dan berbagai degradasi lainnya.

    Dalam konteks sekarang perlu pula diperhatikan masalah 'globalisasi.' Di satu sisi, globalisasi memiliki sisi positif memberi keuntungan pada pengusaha dan pedagang karena memberi mereka kesempatan memasuki pasar dunia. Dan juga, globalisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang akan memberikan tantangan untuk berkompetisi antara sesama pengusaha. Pada level internasional, kepala-kepala negara mengadakan pertemuan seperti APEC meeting (Asia-Pacific Economic Cooperation), dalam kenyataannya mereka menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembukaan pasar di setiap negara untuk barang-dagangan internasional, perdagangan dan investasi. Kerjasama regional kita dapati seperti AFTA (Asia Free-Trade Area untuk Asia Tenggara), NAFTA (North-America Free Trade Area untuk region Atlantik Utara). Sementara itu, sejak 1970an ada lingkaran pertemuan yang penting disebut GATT (General Agreements on Tariffs and Trade), suatu forum yang pada Januari 1995 berubah menjadi organisasi bernama WTO (World Trade Organization).

    APEC, AFTA, NAFTA, dan WTO kenyataannya hanya urusan bisnis. Penggunaan otoritas pemerintah lokal hanya untuk memudahkan perdagangan semata. Misalnya, forum seperti APEC adalah satu forum konsultatif di tingkat regional yang mempromosikan "perdagangan lebih terbuka, kerjasama ekonomi lebih luas, ekspansi investasi dan stistem perdagangan multilateral yang lebih kuat."11) Atau, seperti ‘Declaration of Common Resolve’ (November 1994) dinyatakan: "melanjutkan pengurangan jurang-jurang perdagangan dan investasi memudahkan barang, jasa dan kapital untuk terbang bebas di dalam perekonomian kita."

    Pada setiap pertemuan, setiap lembaga yang terlibat dipaksa untuk menerima sejumlah persetujuan yang berhubungan dengan investasi dan perdagangan internasional, khususnya demi kepentingan pengusaha. Mereka juga membicarakan soal buruh namun tidak dalam upaya melindungi kepentingan buruh. Dalam APEC Ministerial Meeting Statement dinyatakan bahwa: "APEC akan menjadi bursa tenaga kerja lebih besar membentang melampaui batas perekonomian [negara] anggotanya. Di situ kita mempersiapkan secara sederajat memfasilitasi gerak ketrampilan (skills) dan tenga kerja menyeberangi batas-batas nasional."12)

    Masalah-masalah tenaga kerja sekilas sepertinya menjadi perhatian internasional hanya dalam batas-batas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga agar bersedia mengikuti skenario yang telah dipersiapkan. Tekanan seperti ini bisa dilihat, misalnya, terjadi di awal 1990an ketika pemerintah AS mengancam Indonesia menghentikan fasilitas GSP (General System of Preference), bila pemerintah Indonesia masih tidak memberi penghargaan terhadap hak berserikat buruh. "Keinginan baik" seperti ini hanya muncul bila ada masalah dalam perdagangan dan investasi.

    Melambungnya harga adalah konsekuensi dari realisasi penghapusan subsidi seperti dirumuskan dalam Letter of Intent (LoI) antara International Monetary Fund (IMF) dan pemerintah Indonesia. LoI memasukkan SAP. IMF mengajukan sejumlah kondisi untuk pinjaman, termasuk kenaikan harga, penghapusan subsidi, dan penundaan proyek-proyek pembangunan pemerintah yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Hal tersebut menempatkan IMF untuk membukakan jalan bagi pembukaan ekonomi sepenuhnya di bawah kontrol multinasional, jadi mereka menuntut penghapusan/pengakhiran subsidi dan berbagai pembelanjaan sosial. Singkatnya, IMF berupaya meruntuhkan stabilitas sosial dan politik. IMF menyarankan: pemerintah Indonesia harus meningkatkan pendapatannya dari pajak.

    Rakyat memang telah terbebani untuk membayar utang dari era Orde Baru. Kemudian masih harus dikenakan berbagai pungutan lain. Dari 1997-1999 pemerintah menerima 64 trilyun hingga 117 trilyun rupiah dari pajak. Pajak dari pasar modal meningkat 65%, yaitu dari 20 trilyun hingga 33 trilyun rupiah. Dan pada tahun 2000 pemerintah menerima US$ 900 juta (9.4 trilyun rupiah) dari orang Indonesia yang bekerja di luar negeri (migrant workers).

    D. Tak Ada Pilihan Lain Selain Pendidikan Untuk Rakyat

    Untuk lebih dari tiga dekade masyarakat Indonesia hidup dalam represi rejim Suharto. Rejim ini melarang berbagai hak politik rakyat termasuk hak berserikat buruh.

    Sekarang, di era Reformasi, ada 140 serikat pekerja, dan 40 federasi serikat pekerja bekerja pada tingkat nasional. Akan tetapi kondisi serikat-serikat tersebut sangat lemah. Pertama, benar bahwa sekarang terbuka ruang untuk berorganisasi dan melakukan pemogokan. Sekarang ini begitu banyak protes dan pemogokan dilakukan oleh serikat pekerja. Namun, juga cukup banyak protes diakhiri dengan kerusuhan. Para demonstran menghancurkan gedung, membakar ban-ban, mobil, dsb. Sepertinya mereka hanya menginginkan kekacauan baru ketimbang mencoba untuk memenangkan tuntutan yang mereka ajukan melalui prosedur bargaining. Hal seperti ini bukan 'people power,' ini tidak lebih dari vandalisme.

    Kedua, regulasi-regulasi dan kebijakan-kebijakan penting dari kapitalis global belum dipelajari, meskipun kenyataannya kebijakan-kebijakan ini akan langsung digunakan dalam mengatur jalannya perusahaan-perusahaan di sini. Untuk menyebutkan salah satu regulasi tersebut misalnya tentang "codes of conduct."

    Sebenarnya, krisis kapitalisme menghasilkan sejumlah masalah, seperti:

    PHK massal
    represi negara dengan menggunakan kekuatan militer dan polisi.
    Berkurangnya pasar tenaga kerja.
    Sementara, di lain sisi, globalisasi mendorong:

    Kontrak individual (individual contract)
    pensiun dipercepat
    Pekerja fleksibel
    Sub-kontrak.
    Globalisasi adalah sebuah masalah besar. Individual contract, misalnya, menyebabkan buruh tidak dapat mendirikan serikat buruhnya. Di lain sisi, individual contract digunakan pekerja expatriate bekerja di Indonesia. Mayoritas expatriate adalah tenaga kerja trampil. Mereka bekerja bersama-sama pekerja lokal. Namun, upah mereka jauh sangat baik dibandingkan pekerja lokal. Berbagai kondisi di atas menyebabkan buruh tidak mungkin menikmati hidup lebih baik-secara politik, ekonomi, budaya-kondisi-kondisi yang tidak fair ini hanya menjadi pembenaran kebutuhan untuk perjuangan klas buruh.

    Pendidikan di Indonesia memang diperkenalkan oleh kolonialisme Hindia Belanda, sebagai upaya menciptakan tenaga kerja rendahan dan tenaga kerja profesional murah. Pendidikan masa Belanda tersebut memang pilih kasih, hanya anak pejabat dan orang penting saja yang dapat mengenyamnya. Namun hal tersebut telah membuka ruang baru yang menghasilkan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia dan berakhir dengan kemerdekaan nasional.

    Pendidikan yang berlangsung selama Orde Baru dengan corak depolitisasi yang kuat, juga menghasilkan kaum demonstran dan pelaku protes, yang juga berujung dengan terusirnya Suharto dari kursi kepresidenan.

    Negara memang harus dibangun. Negara-melalui pemerintah-harus memajukan masyarakat agar dapat meraih kemajuan-kemajuan kehidupan sosial, ekonomi, politik, ideologi. Hal ini dapat dilakukan dengan memotivasi masyarakat melalui pendidikan. Masyarakat dapat dimotiviasi dengan konsekuensi sikap tegas menolak imperialisme-dan tentu saja liberalisme-yang disodorkan oleh kaum imperialis melalui keputusan-keputusan menjerat yang dilakukan oleh negara-negara imperialis dan lembaga-lembaga kreditor.

    Berbagai pergantian presiden, sebagai diindikasikan oleh IMF, misalnya "on the premise that it must have a political change in order to 'fix' the economic situation." Hanya merupakan keinginan 'fix' bagi kebutuhan imperialisme.

    Kita telah saksikan berbagai penghapusan subsidi untuk sektor pangan, minyak dan gas, pendidikan, bukan menjadi solusi baik bagi rakyat. Hal tersebut hanya memungkinkan bergulir-pulangnya kapital ke Bursa-bursa Uang Internasional. Bank-bank bangkrut selalu direkapitalisasi. Padahal cerita usang selalu berulang: uangnya dikorup!

    Hingga saat ini di pabrik-pabrik masih ditemukan,

    "the workers complaint of verbal and physical abuse, including sexual harrasment against female workers, forced overtime, and deprivation of their rights, including access to health care." Their wages "hardly cover basic physical needs…" "The picture portrayed is far from the image of a sweatshop that is often associated with factories in Asia."13)

    Nah, apa lagi kalau bukan pendidikan dengan ideologi yang berpihak pada rakyat luas yang dapat memperbaiki hal seperti dikutip di atas. Program IMF yang membongkar monopoli di Indonesia hanya mengalihkannya ke monopoli-monopoli kaum imperialis baru saja. Tidak ada keperdulian terhadap kehidupan moral dari kaum pekerja. Padahal, imperialisme beroperasi berlandas proyek-proyek kerja intensif.

    Penghapusan subsidi pangan, minyak dan kebutuhan dasar penunjang kehidupan hanya akan mengembalikan uang-uang tersebut ke bursa Wall Street saja. Padahal kehidupan rakyat semakin morat-marit. Rakyat harus terus menolak apapun program IMF. Opsi-opsi melanjutkan perjuangan rakyat tetap harus didengungkan.

    Pendidikan adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk menemukan masalah mendasar yang dihadapi rakyat. Melalui pendidikan kita dapat memikirkan kembali makna hubungan-hubungan antara klas-klas sosial, organisasi-organisasi dan partai-partai politik, serikat-serikat, dsb. Krisis kapitalisme telah membuat negeri kita bangkrut; meskipun negeri kita kaya berbagai sumber daya alam. Semasa kita kecil buku-buku pelajaran kita mengkisahkan tentang ke-'gemah ripah, loh jinawi'-an tersebut. Kita tahu, itu bukan dongeng!

    Bagi kaum pekerja, pendidikan diperlukan untuk meningkatkan ketrampilan mereka khususnya dalam menjalankan serikat-serikat pekerja. Keterbelakangan pendidikan dasar para pekerja-mayoritas pekerja di perusahaan-perusahaan tidak menyelesaikan Sekolah Menengah Umum-nya-telah menempatkan mereka sebagai orang-orang kalah. Kemampuan mereka harus ditingkatkan dalam melakukan bargaining dengan para kapitalis; mereka juga harus tahu kebijakan pemerintah tentang perburuhan. Kemampuan-kemampuan tersebut diperlukan untuk membangun keunggulan komparatif pekerja terhadap kapitalis. Serikat pekerja adalah alat terbaik untuk melakukan bargain secara kolektif dengan kapitalis. Akan tetapi serikat pekerja menjadi tak berdaya bila orang-orang yang ada di dalamnya dalam kondisi lemah.

    Terima Kasih


    --------------------------------------------------------------------------------

    Catatan:

    V.I. Lenin: "Negara". Selanjutnya penjelasan tentang negara dalam bagian ini didasarkan pada tulisan Lenin tersebut. Tulisan Lenin sendiri didasarkan pada karya Engels The origin of the Family, Private Property and the State (asal mula keluarga, hak milik perorangan dan negara).

    G.R. Knight: "Kapitalisme Serta Produksi Barang Dagangan Di Jawa".

    Hamzah Alavi: "Negara dan Klas di bawah Kapitalisme Pinggiran"

    Farchan Bulkin: "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian"

    A. Mangoensoemarto, "Pergerakan Rajat dan Rintangan-Rintangannja," Sinar Hindia, no. 160. Hari Saptoe 26 Augustus 1922, tahoen ke 23.

    Moesso: "Boekoe-boekoenja Sendiri, pikiran pikiran sendiri, Moraal Sendiri," Proletar, 23 Juli 1925, nomer 87 tahoen ke 43.

    Farchan Bulkin, op. cit.: "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian." Selengkapnya lihat kembali kutipan di atas.

    Nila Rupiah merosot terhadap US$ dari US$ 1 setara Rp. 2.600,00 merosot menjadi Rp. 16.000,00. Sekarang ini US$ 1 setara dengan Rp. 9.550,00.

    Isu ini khas, diajukan bila terjadi kebangkrutan kapitalisme. Pertama kali digunakan di akhir abad ke-18, ketika Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) bangkrut, dan seluruh aset dan tanggung-jawab perusahaan tersebut diambil alih oleh Bataafsche Republiek (pemerintah Negeri Belanda) pada tahun 1800.

    Berdasarkan catatan yang ada pada Menko Ekuin utang luar negeri Indonesia per 31 Maret 2000 mencapai US$ 144,23 milyar. Dari jumlah itu utang pemerintah (tidak termasuk utang BUMN) mencapai US$ 75,03 milyar, sedangkan utang swasta US$ 69,2 milyar. Sementara utang BUMN tercatat US$ 5,14 milyar. Dari seluruh utang swasta US$ 69,2 milyar, utang non perbankan mencapai US$ 42,5 milyar. Perinciannya PMA sebesar US$ 27,9 milyar dan PMDN sebesar US$ 14,6 milyar. (Kompas, 23 Agustus 2000.)

      Waktu sekarang Thu Nov 21, 2024 10:35 pm