PENDIDIKAN [2]
Pendidikan
ada sejak pertama manusia mengenal komunikasi, sebab pendidikan tak mungkin
bisa dilakukan tanpa adanya komunikasi, baik komunikasi verbal maupun
komunikasi non verbal. Hal ini bisa dipahami sebab sejak semula, pendidikan
beriringan dengan kepercayaan. Kepercayaan terhadap sifat-sifat hakiki
kemanusiaan sendiri, dan kepercayaan terhadap ada atau tidak adanya daya
ruhaniah yang lebih besar dibanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat
seisinya.[1] Kepercayaan atas sebuah kebenaran yang disampaikan ke orang lain
inilah yang melahirkan adanya pendidikan.
Pendidikan pada masa “Sophistic” di Yunani dilakukan oleh para guru yang
selalu berkeliling mengajar ditempat-tempat umum yang dipanggil dengan nama
“Sofis”. Dalam bahasa Yunani ada kata “sophisma” yang berarti “akal cerdik”,
“ketrampilan berargumen” dengan konotasi “licik” yang dipakai di dalam
perdebatan atau pengajaran dengan satu tujuan yaitu agar keluar sebagai seorang
pemenang. Kaum Sofis ini berpendapat bahwa pendidikan yang diperlukan adalah
retorika, tata bahasa, logika, hukum, matematika, sastra, dan politik yang di
dalam prakteknya kaum Sofis ini “terjebak” ke dalam permainan lambang dan
simbol semata dalam bentuk permainan kata, ber-”silat-lidah”, menyusun
argumentasi yang bersifat manipulatif melalui pemutar-balikan fakta,
memanipulasi lambang dan makna yang disampaikan pada para pendengarnya[2] yang
menurut Yasraf A. Piliang mereka terjebak di dalam dunia citra (image), dunia
lambang yang berbeda dari realitas yang ada, berbeda dari kebenaran itu
sendiri. Sehingga kebebasan yang diharapkan ada di dalam proses pendidikan
secara tidak langsung sudah mengalami apa yang disebut oleh Pierre Bourdieu
sebagai “kekerasan simbolik” yaitu kekerasan yang halus dan tak tampak,[3] baik
dari sisi struktrur bahasa maupun ditingkat semantik yang mengakibatkan di
dalam proses pendidikan kaum Sofis yang ada sebenarnya adalah kebebasan semu.
Socrates
menganggap bahwa pendidikan yang tidak mengajarkan pada murid untuk mencari kebenaran
atau mengajarkan kebenaran tidaklah termasuk pendidikan dalam arti yang
sebenarnya. Untuk mencapai kebenaran melalui
pendidikan itulah, Socrates menggunakan metoda dialektika yang
membebaskan murid untuk berpikir sendiri tanpa terpengaruh oleh gagasan
gurunya.[4]
Senada
dengan Socrates, Plato (427-347 SM) melalui karyanya yang berjudul “Republica”
juga menggunakan metoda dialektika ini untuk memberikan kebebasan kepada
murid-muridnya untuk berpikir sendiri tentang musik, tentang pernikahan,
tentang pemerintahan, tentang perundang-undangan dan yang lainnya.
Meski
kebebasan di dalam pendidikan diakui perlunya
sejak awal adanya pendidikan, tetapi di dalam perjalanan sejarah yang
ada, cukup banyak paradigma-paradigma yang meminimalkan kebebasan di dalam
pendidikan. Selain di masa Shopistic kebebasan menjadi minim sebab adanya
“kekerasan simbolik” yang dilakukan, dimasa-masa selanjutnya masih juga terjadi
reduksi kebebasan dalam pendidikan.
Seiring dengan masa Yunani Sophistic, berkembang pula pendidikan di
Romawi yang meminimkan kebebasan melalui penekanan disiplin, organisasi dan
ketrampilan militer.[5]
Santo
Benediktus dari Nursia (480-550 M) mendirikan ordonya di Monte Cassino, Italia,
dengan dekrit ketat yang meminimkan kebebasan dalam pendidikannya. Pendidikan
yang dilakukan mewajibkan setiap biarawan membaca kitab-kitab suci
sekurang-kurangnya dua jam perhari, dan tidak memperkenankan membaca buku-buku
lain, tidak membolehkan para biarawan itu memiliki pena untuk menulis
sendiri.[6] Setelah masa itu dilanjutkan dengan monopoli Gereja atas pendidikan
formal di seluruh Eropa yang berlangsung seribu tahun, kebebasan di dalam
pendidikan diminimkan lagi sebagai pelaksanaan pendidikan atas doktrin Gereja
(kaum Skolastik). Kebebasan berpikir ditekan, kebebasan berbeda pendapat
diberangus yang sampai memakan korban seperti Galileo yang harus kehilangan
nyawanya akibat berbeda pendapat dengan pihak gereja akan pengetahuan ilmu
alam. Berbagai perguruan pendidikan yang bertebaran sampai abad ke 16 masih
dilandasi niat untuk memasok calon-calon pendeta dan mendidik kaum ningrat yang
kawasan rohaniahnya dikendalikan oleh pejabat gereja.
William
F. O’neil berpendapat bahwa pendidikan yang meminimkan kebebasan itu disebut
sebagai pendidikan yang konservatif. O’neil membaginya menjadi tiga bagian
yaitu pendidikan fundamental, pendidikan intelektual dan pendidikan
konservatif. Lebih lanjut O’neil menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan
sebagai berikut :
“…pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka
ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual,
serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif
tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang
sudah mapan…” [7]
O’neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme
pendidikan sebagai berikut :
“…pada dasarnya otoritarian…demi menyesuaikan secara lebih
sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak
bervariasi…”[8]
O’neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan
sebagai berikut :
“Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung
ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji
oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat
mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang
konstruktif”[9]
Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa
sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial serta
tradisi-tradisi yang sudah mapan.
Pada abad
ke 17, muncul kembali pemikiran-pemikiran yang mengedepankan kebebasan di dalam
pendidikan di Eropa yang diawali dengan kebebasan dalam pendidikan berdasar
kepada paradigma liberal arts klasik.
William
F. O’Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O’Neil dibagi menjadi
tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan
Anarkisme pendidikan.
O’Neil menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
“..tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk
melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar
setiap siswa sebagaimana cara menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.”[10]
O’Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan
sebagai berikut :
“Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap
bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan
politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan
kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri
semaksimal mungkin”[11]
Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat
obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa
bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga
mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam
pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata
lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang
terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan
program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa.
Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung
oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan
dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana
pengkajian fakta-fakta, mencari “yang obyektif” , melalui pengamatan atas
kenyataan.[12]
O’neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :
“ …..seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada umumnya
(anarkisme pendidikan) menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka
(pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah)…”[13]
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme
pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan
pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti
dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme
pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang
mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
sekalian.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Freire, Paulo,co, Menggugat Pendidikan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004,
hal xii
[2]
Ibid.hlm.xiii
[3] Piliang, Yasraf A., Transpolitika-Dinamika Politik di
dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta,2005, hal.275
[4] Freire, Op.cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid
[7] O’neil, Willian F., Ideologi-Ideologi Pendidikan,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal.105
[8] Ibid.hlm.106
[9] Ibid.
[10] Ibid.hlm.108
[11] Ibid.hlm.110
[12] Freire.,Op.cit.
[13] O’neil.,Op.cit.
Pendidikan
ada sejak pertama manusia mengenal komunikasi, sebab pendidikan tak mungkin
bisa dilakukan tanpa adanya komunikasi, baik komunikasi verbal maupun
komunikasi non verbal. Hal ini bisa dipahami sebab sejak semula, pendidikan
beriringan dengan kepercayaan. Kepercayaan terhadap sifat-sifat hakiki
kemanusiaan sendiri, dan kepercayaan terhadap ada atau tidak adanya daya
ruhaniah yang lebih besar dibanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat
seisinya.[1] Kepercayaan atas sebuah kebenaran yang disampaikan ke orang lain
inilah yang melahirkan adanya pendidikan.
Pendidikan pada masa “Sophistic” di Yunani dilakukan oleh para guru yang
selalu berkeliling mengajar ditempat-tempat umum yang dipanggil dengan nama
“Sofis”. Dalam bahasa Yunani ada kata “sophisma” yang berarti “akal cerdik”,
“ketrampilan berargumen” dengan konotasi “licik” yang dipakai di dalam
perdebatan atau pengajaran dengan satu tujuan yaitu agar keluar sebagai seorang
pemenang. Kaum Sofis ini berpendapat bahwa pendidikan yang diperlukan adalah
retorika, tata bahasa, logika, hukum, matematika, sastra, dan politik yang di
dalam prakteknya kaum Sofis ini “terjebak” ke dalam permainan lambang dan
simbol semata dalam bentuk permainan kata, ber-”silat-lidah”, menyusun
argumentasi yang bersifat manipulatif melalui pemutar-balikan fakta,
memanipulasi lambang dan makna yang disampaikan pada para pendengarnya[2] yang
menurut Yasraf A. Piliang mereka terjebak di dalam dunia citra (image), dunia
lambang yang berbeda dari realitas yang ada, berbeda dari kebenaran itu
sendiri. Sehingga kebebasan yang diharapkan ada di dalam proses pendidikan
secara tidak langsung sudah mengalami apa yang disebut oleh Pierre Bourdieu
sebagai “kekerasan simbolik” yaitu kekerasan yang halus dan tak tampak,[3] baik
dari sisi struktrur bahasa maupun ditingkat semantik yang mengakibatkan di
dalam proses pendidikan kaum Sofis yang ada sebenarnya adalah kebebasan semu.
Socrates
menganggap bahwa pendidikan yang tidak mengajarkan pada murid untuk mencari kebenaran
atau mengajarkan kebenaran tidaklah termasuk pendidikan dalam arti yang
sebenarnya. Untuk mencapai kebenaran melalui
pendidikan itulah, Socrates menggunakan metoda dialektika yang
membebaskan murid untuk berpikir sendiri tanpa terpengaruh oleh gagasan
gurunya.[4]
Senada
dengan Socrates, Plato (427-347 SM) melalui karyanya yang berjudul “Republica”
juga menggunakan metoda dialektika ini untuk memberikan kebebasan kepada
murid-muridnya untuk berpikir sendiri tentang musik, tentang pernikahan,
tentang pemerintahan, tentang perundang-undangan dan yang lainnya.
Meski
kebebasan di dalam pendidikan diakui perlunya
sejak awal adanya pendidikan, tetapi di dalam perjalanan sejarah yang
ada, cukup banyak paradigma-paradigma yang meminimalkan kebebasan di dalam
pendidikan. Selain di masa Shopistic kebebasan menjadi minim sebab adanya
“kekerasan simbolik” yang dilakukan, dimasa-masa selanjutnya masih juga terjadi
reduksi kebebasan dalam pendidikan.
Seiring dengan masa Yunani Sophistic, berkembang pula pendidikan di
Romawi yang meminimkan kebebasan melalui penekanan disiplin, organisasi dan
ketrampilan militer.[5]
Santo
Benediktus dari Nursia (480-550 M) mendirikan ordonya di Monte Cassino, Italia,
dengan dekrit ketat yang meminimkan kebebasan dalam pendidikannya. Pendidikan
yang dilakukan mewajibkan setiap biarawan membaca kitab-kitab suci
sekurang-kurangnya dua jam perhari, dan tidak memperkenankan membaca buku-buku
lain, tidak membolehkan para biarawan itu memiliki pena untuk menulis
sendiri.[6] Setelah masa itu dilanjutkan dengan monopoli Gereja atas pendidikan
formal di seluruh Eropa yang berlangsung seribu tahun, kebebasan di dalam
pendidikan diminimkan lagi sebagai pelaksanaan pendidikan atas doktrin Gereja
(kaum Skolastik). Kebebasan berpikir ditekan, kebebasan berbeda pendapat
diberangus yang sampai memakan korban seperti Galileo yang harus kehilangan
nyawanya akibat berbeda pendapat dengan pihak gereja akan pengetahuan ilmu
alam. Berbagai perguruan pendidikan yang bertebaran sampai abad ke 16 masih
dilandasi niat untuk memasok calon-calon pendeta dan mendidik kaum ningrat yang
kawasan rohaniahnya dikendalikan oleh pejabat gereja.
William
F. O’neil berpendapat bahwa pendidikan yang meminimkan kebebasan itu disebut
sebagai pendidikan yang konservatif. O’neil membaginya menjadi tiga bagian
yaitu pendidikan fundamental, pendidikan intelektual dan pendidikan
konservatif. Lebih lanjut O’neil menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan
sebagai berikut :
“…pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka
ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual,
serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif
tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang
sudah mapan…” [7]
O’neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme
pendidikan sebagai berikut :
“…pada dasarnya otoritarian…demi menyesuaikan secara lebih
sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak
bervariasi…”[8]
O’neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan
sebagai berikut :
“Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung
ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji
oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat
mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang
konstruktif”[9]
Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa
sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial serta
tradisi-tradisi yang sudah mapan.
Pada abad
ke 17, muncul kembali pemikiran-pemikiran yang mengedepankan kebebasan di dalam
pendidikan di Eropa yang diawali dengan kebebasan dalam pendidikan berdasar
kepada paradigma liberal arts klasik.
William
F. O’Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O’Neil dibagi menjadi
tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan
Anarkisme pendidikan.
O’Neil menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
“..tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk
melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar
setiap siswa sebagaimana cara menghadapi
persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.”[10]
O’Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan
sebagai berikut :
“Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap
bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan
politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan
kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri
semaksimal mungkin”[11]
Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat
obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa
bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga
mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam
pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata
lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang
terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan
program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa.
Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung
oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan
dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana
pengkajian fakta-fakta, mencari “yang obyektif” , melalui pengamatan atas
kenyataan.[12]
O’neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :
“ …..seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada umumnya
(anarkisme pendidikan) menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka
(pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah)…”[13]
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme
pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan
pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti
dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme
pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang
mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
sekalian.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Freire, Paulo,co, Menggugat Pendidikan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004,
hal xii
[2]
Ibid.hlm.xiii
[3] Piliang, Yasraf A., Transpolitika-Dinamika Politik di
dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta,2005, hal.275
[4] Freire, Op.cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid
[7] O’neil, Willian F., Ideologi-Ideologi Pendidikan,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal.105
[8] Ibid.hlm.106
[9] Ibid.
[10] Ibid.hlm.108
[11] Ibid.hlm.110
[12] Freire.,Op.cit.
[13] O’neil.,Op.cit.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as