Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    sejarah pendidikan

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    sejarah pendidikan Empty sejarah pendidikan

    Post by ratri Mon Jun 14, 2010 10:59 pm

    PENDIDIKAN [2]








    Pendidikan
    ada sejak pertama manusia mengenal komunikasi, sebab pendidikan tak mungkin
    bisa dilakukan tanpa adanya komunikasi, baik komunikasi verbal maupun
    komunikasi non verbal. Hal ini bisa dipahami sebab sejak semula, pendidikan
    beriringan dengan kepercayaan. Kepercayaan terhadap sifat-sifat hakiki
    kemanusiaan sendiri, dan kepercayaan terhadap ada atau tidak adanya daya
    ruhaniah yang lebih besar dibanding kekuatan manusia, yang memayungi jagat
    seisinya.[1] Kepercayaan atas sebuah kebenaran yang disampaikan ke orang lain
    inilah yang melahirkan adanya pendidikan.






    Pendidikan pada masa “Sophistic” di Yunani dilakukan oleh para guru yang
    selalu berkeliling mengajar ditempat-tempat umum yang dipanggil dengan nama
    “Sofis”. Dalam bahasa Yunani ada kata “sophisma” yang berarti “akal cerdik”,
    “ketrampilan berargumen” dengan konotasi “licik” yang dipakai di dalam
    perdebatan atau pengajaran dengan satu tujuan yaitu agar keluar sebagai seorang
    pemenang. Kaum Sofis ini berpendapat bahwa pendidikan yang diperlukan adalah
    retorika, tata bahasa, logika, hukum, matematika, sastra, dan politik yang di
    dalam prakteknya kaum Sofis ini “terjebak” ke dalam permainan lambang dan
    simbol semata dalam bentuk permainan kata, ber-”silat-lidah”, menyusun
    argumentasi yang bersifat manipulatif melalui pemutar-balikan fakta,
    memanipulasi lambang dan makna yang disampaikan pada para pendengarnya[2] yang
    menurut Yasraf A. Piliang mereka terjebak di dalam dunia citra (image), dunia
    lambang yang berbeda dari realitas yang ada, berbeda dari kebenaran itu
    sendiri. Sehingga kebebasan yang diharapkan ada di dalam proses pendidikan
    secara tidak langsung sudah mengalami apa yang disebut oleh Pierre Bourdieu
    sebagai “kekerasan simbolik” yaitu kekerasan yang halus dan tak tampak,[3] baik
    dari sisi struktrur bahasa maupun ditingkat semantik yang mengakibatkan di
    dalam proses pendidikan kaum Sofis yang ada sebenarnya adalah kebebasan semu.





    Socrates
    menganggap bahwa pendidikan yang tidak mengajarkan pada murid untuk mencari kebenaran
    atau mengajarkan kebenaran tidaklah termasuk pendidikan dalam arti yang
    sebenarnya. Untuk mencapai kebenaran melalui
    pendidikan itulah, Socrates menggunakan metoda dialektika yang
    membebaskan murid untuk berpikir sendiri tanpa terpengaruh oleh gagasan
    gurunya.[4]





    Senada
    dengan Socrates, Plato (427-347 SM) melalui karyanya yang berjudul “Republica”
    juga menggunakan metoda dialektika ini untuk memberikan kebebasan kepada
    murid-muridnya untuk berpikir sendiri tentang musik, tentang pernikahan,
    tentang pemerintahan, tentang perundang-undangan dan yang lainnya.





    Meski
    kebebasan di dalam pendidikan diakui perlunya
    sejak awal adanya pendidikan, tetapi di dalam perjalanan sejarah yang
    ada, cukup banyak paradigma-paradigma yang meminimalkan kebebasan di dalam
    pendidikan. Selain di masa Shopistic kebebasan menjadi minim sebab adanya
    “kekerasan simbolik” yang dilakukan, dimasa-masa selanjutnya masih juga terjadi
    reduksi kebebasan dalam pendidikan.
    Seiring dengan masa Yunani Sophistic, berkembang pula pendidikan di
    Romawi yang meminimkan kebebasan melalui penekanan disiplin, organisasi dan
    ketrampilan militer.[5]





    Santo
    Benediktus dari Nursia (480-550 M) mendirikan ordonya di Monte Cassino, Italia,
    dengan dekrit ketat yang meminimkan kebebasan dalam pendidikannya. Pendidikan
    yang dilakukan mewajibkan setiap biarawan membaca kitab-kitab suci
    sekurang-kurangnya dua jam perhari, dan tidak memperkenankan membaca buku-buku
    lain, tidak membolehkan para biarawan itu memiliki pena untuk menulis
    sendiri.[6] Setelah masa itu dilanjutkan dengan monopoli Gereja atas pendidikan
    formal di seluruh Eropa yang berlangsung seribu tahun, kebebasan di dalam
    pendidikan diminimkan lagi sebagai pelaksanaan pendidikan atas doktrin Gereja
    (kaum Skolastik). Kebebasan berpikir ditekan, kebebasan berbeda pendapat
    diberangus yang sampai memakan korban seperti Galileo yang harus kehilangan
    nyawanya akibat berbeda pendapat dengan pihak gereja akan pengetahuan ilmu
    alam. Berbagai perguruan pendidikan yang bertebaran sampai abad ke 16 masih
    dilandasi niat untuk memasok calon-calon pendeta dan mendidik kaum ningrat yang
    kawasan rohaniahnya dikendalikan oleh pejabat gereja.





    William
    F. O’neil berpendapat bahwa pendidikan yang meminimkan kebebasan itu disebut
    sebagai pendidikan yang konservatif. O’neil membaginya menjadi tiga bagian
    yaitu pendidikan fundamental, pendidikan intelektual dan pendidikan
    konservatif. Lebih lanjut O’neil menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan
    sebagai berikut :





    “…pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka
    ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual,
    serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif
    tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang
    sudah mapan…” [7]











    O’neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme
    pendidikan sebagai berikut :





    “…pada dasarnya otoritarian…demi menyesuaikan secara lebih
    sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak
    bervariasi…”[8]





    O’neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan
    sebagai berikut :





    “Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung
    ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji
    oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat
    mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang
    konstruktif”[9]











    Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa
    sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial serta
    tradisi-tradisi yang sudah mapan.





    Pada abad
    ke 17, muncul kembali pemikiran-pemikiran yang mengedepankan kebebasan di dalam
    pendidikan di Eropa yang diawali dengan kebebasan dalam pendidikan berdasar
    kepada paradigma liberal arts klasik.





    William
    F. O’Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O’Neil dibagi menjadi
    tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan
    Anarkisme pendidikan.





    O’Neil menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:





    “..tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk
    melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar
    setiap siswa sebagaimana cara menghadapi
    persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif.”[10]











    O’Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan
    sebagai berikut :





    “Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap
    bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan
    politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan
    kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri
    semaksimal mungkin”[11]











    Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat
    obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa
    bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga
    mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam
    pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata
    lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang
    terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan
    program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa.
    Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung
    oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan
    dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana
    pengkajian fakta-fakta, mencari “yang obyektif” , melalui pengamatan atas
    kenyataan.[12]





    O’neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :





    “ …..seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada umumnya
    (anarkisme pendidikan) menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka
    (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah)…”[13]





    Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme
    pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan
    pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti
    dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme
    pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang
    mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang
    mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan
    sekalian.

















    --------------------------------------------------------------------------------





    [1] Freire, Paulo,co, Menggugat Pendidikan, Pustaka Pelajar,
    Yogyakarta, 2004,





    hal xii











    [2]
    Ibid.hlm.xiii





    [3] Piliang, Yasraf A., Transpolitika-Dinamika Politik di
    dalam Era Virtualitas, Jalasutra, Yogyakarta,2005, hal.275











    [4] Freire, Op.cit.





    [5] Ibid.





    [6] Ibid





    [7] O’neil, Willian F., Ideologi-Ideologi Pendidikan,
    Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal.105











    [8] Ibid.hlm.106





    [9] Ibid.





    [10] Ibid.hlm.108





    [11] Ibid.hlm.110





    [12] Freire.,Op.cit.





    [13] O’neil.,Op.cit.

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 1:53 pm