Filsafat Pendidikan dan Implikasinya (I)
Oleh
: Muhammad Setiawan
Pendahuluan
Filsafat adalah berfikir radikal. Berfikir radikal adalah
berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam pendidikan
adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan. Pertanyan
filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis dan
aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat identitas;
sebetulnya pendidikan itu apa ?.
Sedangkan pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu pendidikan yang
“apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (ontologis) adalah
pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk
apa suatu pendidikan itu digelar ?
Makalah singkat dan sederhana --yang dibuat agak terburu-buru-- ini
berusaha untuk menjelaskan tiga pertanyaan itu semua.
Semoga bisa memperkaya wawasan kita
sebagai para pekerja pendidikan (education
workers) !
Tiga Paradigma Utama Pendidikan
Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari
suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang
dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan
sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita
menentukan variabel-variabel pendidikan[1] lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh
para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) seperti,
pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan
sebagainya.
Dalam
menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban
yang lazimnya muncul. Yang pertama,
adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan
perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya
dengan Pendidikan Konservatif.
Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan
pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan
represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui
masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti:
pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah
sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis
(takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran
pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara
gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh
masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati
output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis
seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan di
pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah”
masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa.
Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian
wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak
gape !
Paradigma
pendidikan yang kedua adalah paradigma
liberal. Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena
kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan
manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada
kemiskinan kota (poor urban) itu
disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak
saja di kota[2]. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia.
Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek
pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development,
self management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma
liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation
Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa
kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of
achievement (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu
training-training AMT banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara
dunia ketiga (development and under development countries) untuk
menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan
banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang
berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok
masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya.
Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan.
Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat
yang malas.
Inilah pola pendidikan yang blaming the victim !
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma
pendidikan kritis. Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus
secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya[3].
Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku
pada masyarakat itu. Sistem itu dapat
berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial
(yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem
ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki
dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat
pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya
melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu
mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang
berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari
Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali
akar kemelaratan sosial di Brazilia[4].
Pola pendidikan yang kritis ini
nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari
pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di
Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang
anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma
kritis ini masih terus tumbuh dan berkembang[5].
Kesadaran Manusia
Setiap
praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga
sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern)
yang mempengaruhi penerimaan pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan
hasil transfer dari pendidikan itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi
kesadaran masyarakat yang mempengaruhi pola hidup masyarakat.
Menurut
analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma
pendidikan di atas.
Pertama, adalah kesadaran magis.
Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis terbentuk pada masyarakat
yang masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat ini meyakini bahwa
kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah hal-hal yang gaib,
mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini harus
di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a. Kuntowijoyo menyebut masyarakat
ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran magis,
adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini
akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak
adilan sosial yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat
dengan kesadaran magis adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
Kedua, adalah kesadaran
naif. Masyarakat dengan kesadaran naif adalah masyarakat yang memandang
bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari kelemahan manusia. Secara
arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan kesadaran naif terbentuk pada
masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural (alam) adalah kekuatan terbesar
yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini. Untuk itu kekuatan alam harus
ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak bisa ditundukkan oleh manusia,
yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka manusia itulah yang lalai dan
lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin yang berfungsi untuk membantu
manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan mesin-mesin yang menggantikan manusia
itulah muncul ideologi-ideologi politik dan sosial besar dunia (kapitalisme dan
sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo mengistilahkan masyarakat pada tahap ini
adalah masyarakat pada tahap ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal)
adalah pendidikan yang memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.
Ketiga, adalah kesadaran kritis.
Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia ini diciptakan oleh
sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis ilmu
pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah
bergeser dari kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan
manusia. Untuk itu kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus
ditundukkan dengan “ilmu” dan kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo
menyebut masyarakat pada tahap ini dengan istilah “masyarakat ilmu”. Hanya
pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran kritis ini.
Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar
Secara umum ada tiga tujuan
pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini
berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social
act) utama manusia yang diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu
adalah; tindakan karya (work),
tindakan komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan
yang bertujuan karya (work) adalah
pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap guna”. Dapat
bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan memajukan
sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan karya ini
akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati (nekrofili) dan
tidak cinta pada manusia yang lain (biofili)[6]. Manusia
nekrofili akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan
kekuasaan, meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama ini
hampir 90% bermain pada wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan dengan
tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme sebagai landasan teori belajarnya,
disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.
Berikut
ini simpul-simpul teori-teori belajar tersebut menurut Ernest Hilgard dan
Gordon Bower dari Standford University[7] :
Dari teori S-R :
·
Murid harus aktif
·
Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat
penting untuk memperoleh ketrampilan dan retensi (penguatan daya ingatan)
dilakukan belajar secara berulang-ulang.
·
Sangat diperlukan re-enforcement: murid yang
dapat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.
·
Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan
akan pentingnya praktek dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar adalah
penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.
·
Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan
model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku,
·
Drive state diperlukan juga, tetapi ini berbeda
dari sikap, atau dalam drive state
ini mereka tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive education yang didasarkan pada
eksperimen “penghilangan makanan”.
Dari teori kognitif :
·
Organisasi pengetahuan yang akan disajikan
tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian materi tidak sekedar berlangsung
dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari keseluruhan sampel sampai
keseluruhan yang lebih kompleks.
·
Secara kultural belajar relatif. Situasi
belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun oleh sub-kebudayaan
dimana orang merasa memiliki.
·
Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan
pengetahuan yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar yang salah. Murid
mengusahakan sesuatu secara profesional dan kemudian menerima atau menolak
apa-apa yang dikerjakan atas dasar konsekuensi-konsekuensi.
·
Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat
penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu sangat
menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.
·
Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan
alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang
logis untuk satu jawaban yang benar.
Dari
teori motivasi dan kepribadian :
·
Memperhatikan kemampuan masing-masing murid
sangat penting. Rata-rata cara dan waktu belajar masing-masing individu sehingga
harus diakomodasikan dalam desain training.
·
Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh
keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.
·
Tingkat ketegangan (anxiety)
mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang lainnya.
·
Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan
motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan untuk kebutuhan
afiliasi atau pencapaian tujuan.
·
Organisasi motif dan nilai yang terkandung
dalam individu sesuai dengan cara belajarnya. Orang cenderung belajar apa-apa
yang dipandang perlu bagi khusus dirinya.
Tujuan
pendidikan yang kedua adalah
interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan
masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga
kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training
ke-karya-an.
Pendidikan
komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati, menghargai,
saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang
emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola
sedemikian sehingga menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan
dari kepentingan kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi
manusia-manusia biofili, manusia yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya
manusia yang lain.
Pendidikan
komunikasi sebagai wahana pengelolaan kekuatan individu menjadi kekuatan
kelompok (group dynamic) memakai
teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt diciptakan
oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :
· Inti dari
konsep pengaruh medan adalah, “Sebuah lingkungan selalu beada dalam pengaruh
kekuatan medan”. Istilah kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu
fisika, yang dalam medan magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet
yang masing-masing mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama
lainnya, sedangkan pada kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada
aktor-aktor secara individual yang berada di suatu lingkungan yang
masing-masing memiliki tujuan.
·
Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi
dari kepribadian (personality) dan
pengaruh lingkungan (environment)
sekitarnya. B = f (P.E)
· Menurut Lewin
ada tiga kekuatan yang berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation (-),
influence (+) dan controll (-/+).
·
Totalitas dari ketiga kekuatan di atas menciptakan medan
yang meneukan jalannnya proses interaksi sosial, yang disebut dengan group dynamic
Tujuan
pendidikan yang ketiga adalah
pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari
kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun
juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training
interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat
membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak
memakai asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training
interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.
Bila training untuk interaksi sulit
ditemui maka training untuk pembebasan lebih sulit lagi untuk dijumpai dan
didapatkan contohnya. Namun, sekali lagi literatur-literatur dari Paulo Freire
dapat kita jadikan rujukan dalam menggagas training perubahan di masyarakat
kita.
Penutup
Demikian makalah
singkat ini disajikan. Beberapa hal yang belum dibahas pada tulisan ini
meliputi kajian mengenai aspek-aspek teknis seperti ; pendekatan pendidikan,
peran guru/fasilitator pendidikan, metodologi, media pendidikan, dan evaluasi, insya Allah akan dibahas pada tulisan
berikutnya.
Literatur untuk pengembangan lebih lanjut :
1. Mansour Fakih, Russ Dilt, et all. Pendidikan
Popular, Membangun Kesadaran Kritis, REaD Books, Yogyakarta, 2001
2. Drs. Baderel Munir,MA, Dinamika
Kelompok, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001
3. Hildegard Wenzler-Cremer & Maria Fischer-Siregar, Proses Pengembangan Diri, Permainan dan
latihan dinamika kelompok, Grasindo, Jakarta, 1993.
4. Solita Sarwono, Kumpulan Latihan
Dinamika Kelompok,Badan Penerbit UI, Jakarta, 1982
5. Roem Topatimasang, Sekolah Itu
Candu, penerbit dan tahun terbit lupa.
6. Paulo Freire, Pedagogy of The
Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas (terj.), LP3S, tahun terbit lupa.
7. Mansour Fakih, Utomo Danandjaya, et all. Panduan Pemandu Pelatihan Orang Dewasa, P3M, tahun terbit lupa
(sekitar 1984)
8. Makalah Andragogy dan Dynamic Group (terj.) dari Malcolm
Knowles (tahun terbit lupa)
9. Buku-buku mengenai pendidikan orang dewasa dan
pendidikan kritis lainnya.
...kami adalah mata pena yang tajam
yang siap menggoreskan kebenaran
tanpa ragu, tumbangkan kedzoliman
...
(Tekad, Izzatul Islam)
[1] Variabel pendidikan itu adalah metodologi, teknik,
evaluasi, media, peran fasilitator, kurikulum dan seterusnya.
[2] Sehingga masyarakat desa perlu dicegah datang ke
kota dengan screening KTP yang biasanya terjadi paska lebaran. Padahal siapa suruh sawah-sawah
di desa dijadikan waduk, pabrik dan villa ? Siapa suruh pula harga pupuk dan
insektisida mahal ? Siapa suruh juga pemerintah lebih mengutamakan pengembangan
teknologi mercusuar ketimbang teknologi yang langsung menyentuh kepentingan
dasar masyarakat, seperti berlomba-lomba bikin pesawat dan melupakan membuat
traktor sederhana dan murah. Hal ini persis seperti ungkapan penyair Wiji
Tukul, “mereka lebih suka menanam besi
dan membangun tembok !”
[3] Bukan sekedar konsep link and match yang malah berusaha untuk
menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan industri dan akhirnya menciptakan
manusia-manusia yang menjadi sekrup-sekrup kapitalisme yang hilang nilai
kesejatian manusianya. Manusia akhirnya hanya dipandang sebagai asset industri, yang dipandang bila ia
membawa manfaat. Dan kumpulan manusia dipandang sebagai kumpulan angka-angka
yang bila “hilang” satu digit saja maka itu bukan masalah besar (that is no big deal!).
[4] Tentang, Paulo Freire insya Allah akan ada
makalah tersendiri
[5] Salah satunya adalah wacana pendidikan profetik
yang terinspirasi dari gagasan ilmu sosial profetik-nya Kuntowijoyo yang
mengambil makna dari Q.S. 3:110.
[6] Istilah biofili dan nekrofili ini diciptakan oleh
ahli psikologi social, Erich Fromm
[7] Ernest Hilgard dan Gordon Bower, Teories of Learning 3rd Edition, New
Jersey: Practice Hall, 1966, Training of Trainer Manual, Washington, D.C, 1982,
hal. 1-57 dikutip dari Russ Dilts, et all.
Pendidikan Popular, Insist
& REaD Yogya, 2001
Oleh
: Muhammad Setiawan
Pendahuluan
Filsafat adalah berfikir radikal. Berfikir radikal adalah
berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam pendidikan
adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan. Pertanyan
filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis dan
aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat identitas;
sebetulnya pendidikan itu apa ?.
Sedangkan pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu pendidikan yang
“apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (ontologis) adalah
pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk
apa suatu pendidikan itu digelar ?
Makalah singkat dan sederhana --yang dibuat agak terburu-buru-- ini
berusaha untuk menjelaskan tiga pertanyaan itu semua.
Semoga bisa memperkaya wawasan kita
sebagai para pekerja pendidikan (education
workers) !
Tiga Paradigma Utama Pendidikan
Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari
suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang
dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan
sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita
menentukan variabel-variabel pendidikan[1] lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh
para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) seperti,
pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan
sebagainya.
Dalam
menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban
yang lazimnya muncul. Yang pertama,
adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan
perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya
dengan Pendidikan Konservatif.
Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan
pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan
represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui
masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti:
pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah
sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis
(takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran
pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara
gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh
masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati
output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis
seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan di
pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah”
masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa.
Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian
wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak
gape !
Paradigma
pendidikan yang kedua adalah paradigma
liberal. Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena
kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan
manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada
kemiskinan kota (poor urban) itu
disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak
saja di kota[2]. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia.
Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek
pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development,
self management, melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma
liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation
Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa
kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of
achievement (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu
training-training AMT banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara
dunia ketiga (development and under development countries) untuk
menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.
Pendidikan liberal ternyata tidak berperan
banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang
berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok
masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya.
Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan.
Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat
yang malas.
Inilah pola pendidikan yang blaming the victim !
Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma
pendidikan kritis. Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus
secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya[3].
Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku
pada masyarakat itu. Sistem itu dapat
berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial
(yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem
ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki
dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat
pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya
melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu
mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang
berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari
Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali
akar kemelaratan sosial di Brazilia[4].
Pola pendidikan yang kritis ini
nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari
pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di
Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang
anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma
kritis ini masih terus tumbuh dan berkembang[5].
Kesadaran Manusia
Setiap
praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga
sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern)
yang mempengaruhi penerimaan pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan
hasil transfer dari pendidikan itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi
kesadaran masyarakat yang mempengaruhi pola hidup masyarakat.
Menurut
analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma
pendidikan di atas.
Pertama, adalah kesadaran magis.
Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis terbentuk pada masyarakat
yang masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat ini meyakini bahwa
kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah hal-hal yang gaib,
mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini harus
di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a. Kuntowijoyo menyebut masyarakat
ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran magis,
adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini
akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak
adilan sosial yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat
dengan kesadaran magis adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.
Kedua, adalah kesadaran
naif. Masyarakat dengan kesadaran naif adalah masyarakat yang memandang
bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari kelemahan manusia. Secara
arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan kesadaran naif terbentuk pada
masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural (alam) adalah kekuatan terbesar
yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini. Untuk itu kekuatan alam harus
ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak bisa ditundukkan oleh manusia,
yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka manusia itulah yang lalai dan
lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin yang berfungsi untuk membantu
manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan mesin-mesin yang menggantikan manusia
itulah muncul ideologi-ideologi politik dan sosial besar dunia (kapitalisme dan
sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo mengistilahkan masyarakat pada tahap ini
adalah masyarakat pada tahap ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal)
adalah pendidikan yang memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.
Ketiga, adalah kesadaran kritis.
Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia ini diciptakan oleh
sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis ilmu
pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah
bergeser dari kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan
manusia. Untuk itu kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus
ditundukkan dengan “ilmu” dan kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo
menyebut masyarakat pada tahap ini dengan istilah “masyarakat ilmu”. Hanya
pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran kritis ini.
Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar
Secara umum ada tiga tujuan
pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini
berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social
act) utama manusia yang diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu
adalah; tindakan karya (work),
tindakan komunikasi dan tindakan pembebasan.
Pendidikan
yang bertujuan karya (work) adalah
pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap guna”. Dapat
bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan memajukan
sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan karya ini
akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati (nekrofili) dan
tidak cinta pada manusia yang lain (biofili)[6]. Manusia
nekrofili akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan
kekuasaan, meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.
Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama ini
hampir 90% bermain pada wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan dengan
tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme sebagai landasan teori belajarnya,
disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.
Berikut
ini simpul-simpul teori-teori belajar tersebut menurut Ernest Hilgard dan
Gordon Bower dari Standford University[7] :
Dari teori S-R :
·
Murid harus aktif
·
Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat
penting untuk memperoleh ketrampilan dan retensi (penguatan daya ingatan)
dilakukan belajar secara berulang-ulang.
·
Sangat diperlukan re-enforcement: murid yang
dapat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.
·
Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan
akan pentingnya praktek dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar adalah
penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.
·
Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan
model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku,
·
Drive state diperlukan juga, tetapi ini berbeda
dari sikap, atau dalam drive state
ini mereka tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive education yang didasarkan pada
eksperimen “penghilangan makanan”.
Dari teori kognitif :
·
Organisasi pengetahuan yang akan disajikan
tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian materi tidak sekedar berlangsung
dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari keseluruhan sampel sampai
keseluruhan yang lebih kompleks.
·
Secara kultural belajar relatif. Situasi
belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun oleh sub-kebudayaan
dimana orang merasa memiliki.
·
Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan
pengetahuan yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar yang salah. Murid
mengusahakan sesuatu secara profesional dan kemudian menerima atau menolak
apa-apa yang dikerjakan atas dasar konsekuensi-konsekuensi.
·
Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat
penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu sangat
menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.
·
Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan
alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang
logis untuk satu jawaban yang benar.
Dari
teori motivasi dan kepribadian :
·
Memperhatikan kemampuan masing-masing murid
sangat penting. Rata-rata cara dan waktu belajar masing-masing individu sehingga
harus diakomodasikan dalam desain training.
·
Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh
keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.
·
Tingkat ketegangan (anxiety)
mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang lainnya.
·
Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan
motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan untuk kebutuhan
afiliasi atau pencapaian tujuan.
·
Organisasi motif dan nilai yang terkandung
dalam individu sesuai dengan cara belajarnya. Orang cenderung belajar apa-apa
yang dipandang perlu bagi khusus dirinya.
Tujuan
pendidikan yang kedua adalah
interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan
masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga
kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training
ke-karya-an.
Pendidikan
komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati, menghargai,
saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang
emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola
sedemikian sehingga menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan
dari kepentingan kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi
manusia-manusia biofili, manusia yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya
manusia yang lain.
Pendidikan
komunikasi sebagai wahana pengelolaan kekuatan individu menjadi kekuatan
kelompok (group dynamic) memakai
teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt diciptakan
oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :
· Inti dari
konsep pengaruh medan adalah, “Sebuah lingkungan selalu beada dalam pengaruh
kekuatan medan”. Istilah kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu
fisika, yang dalam medan magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet
yang masing-masing mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama
lainnya, sedangkan pada kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada
aktor-aktor secara individual yang berada di suatu lingkungan yang
masing-masing memiliki tujuan.
·
Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi
dari kepribadian (personality) dan
pengaruh lingkungan (environment)
sekitarnya. B = f (P.E)
· Menurut Lewin
ada tiga kekuatan yang berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation (-),
influence (+) dan controll (-/+).
·
Totalitas dari ketiga kekuatan di atas menciptakan medan
yang meneukan jalannnya proses interaksi sosial, yang disebut dengan group dynamic
Tujuan
pendidikan yang ketiga adalah
pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari
kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun
juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training
interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat
membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.
Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak
memakai asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training
interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.
Bila training untuk interaksi sulit
ditemui maka training untuk pembebasan lebih sulit lagi untuk dijumpai dan
didapatkan contohnya. Namun, sekali lagi literatur-literatur dari Paulo Freire
dapat kita jadikan rujukan dalam menggagas training perubahan di masyarakat
kita.
Penutup
Demikian makalah
singkat ini disajikan. Beberapa hal yang belum dibahas pada tulisan ini
meliputi kajian mengenai aspek-aspek teknis seperti ; pendekatan pendidikan,
peran guru/fasilitator pendidikan, metodologi, media pendidikan, dan evaluasi, insya Allah akan dibahas pada tulisan
berikutnya.
Literatur untuk pengembangan lebih lanjut :
1. Mansour Fakih, Russ Dilt, et all. Pendidikan
Popular, Membangun Kesadaran Kritis, REaD Books, Yogyakarta, 2001
2. Drs. Baderel Munir,MA, Dinamika
Kelompok, Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001
3. Hildegard Wenzler-Cremer & Maria Fischer-Siregar, Proses Pengembangan Diri, Permainan dan
latihan dinamika kelompok, Grasindo, Jakarta, 1993.
4. Solita Sarwono, Kumpulan Latihan
Dinamika Kelompok,Badan Penerbit UI, Jakarta, 1982
5. Roem Topatimasang, Sekolah Itu
Candu, penerbit dan tahun terbit lupa.
6. Paulo Freire, Pedagogy of The
Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas (terj.), LP3S, tahun terbit lupa.
7. Mansour Fakih, Utomo Danandjaya, et all. Panduan Pemandu Pelatihan Orang Dewasa, P3M, tahun terbit lupa
(sekitar 1984)
8. Makalah Andragogy dan Dynamic Group (terj.) dari Malcolm
Knowles (tahun terbit lupa)
9. Buku-buku mengenai pendidikan orang dewasa dan
pendidikan kritis lainnya.
...kami adalah mata pena yang tajam
yang siap menggoreskan kebenaran
tanpa ragu, tumbangkan kedzoliman
...
(Tekad, Izzatul Islam)
[1] Variabel pendidikan itu adalah metodologi, teknik,
evaluasi, media, peran fasilitator, kurikulum dan seterusnya.
[2] Sehingga masyarakat desa perlu dicegah datang ke
kota dengan screening KTP yang biasanya terjadi paska lebaran. Padahal siapa suruh sawah-sawah
di desa dijadikan waduk, pabrik dan villa ? Siapa suruh pula harga pupuk dan
insektisida mahal ? Siapa suruh juga pemerintah lebih mengutamakan pengembangan
teknologi mercusuar ketimbang teknologi yang langsung menyentuh kepentingan
dasar masyarakat, seperti berlomba-lomba bikin pesawat dan melupakan membuat
traktor sederhana dan murah. Hal ini persis seperti ungkapan penyair Wiji
Tukul, “mereka lebih suka menanam besi
dan membangun tembok !”
[3] Bukan sekedar konsep link and match yang malah berusaha untuk
menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan industri dan akhirnya menciptakan
manusia-manusia yang menjadi sekrup-sekrup kapitalisme yang hilang nilai
kesejatian manusianya. Manusia akhirnya hanya dipandang sebagai asset industri, yang dipandang bila ia
membawa manfaat. Dan kumpulan manusia dipandang sebagai kumpulan angka-angka
yang bila “hilang” satu digit saja maka itu bukan masalah besar (that is no big deal!).
[4] Tentang, Paulo Freire insya Allah akan ada
makalah tersendiri
[5] Salah satunya adalah wacana pendidikan profetik
yang terinspirasi dari gagasan ilmu sosial profetik-nya Kuntowijoyo yang
mengambil makna dari Q.S. 3:110.
[6] Istilah biofili dan nekrofili ini diciptakan oleh
ahli psikologi social, Erich Fromm
[7] Ernest Hilgard dan Gordon Bower, Teories of Learning 3rd Edition, New
Jersey: Practice Hall, 1966, Training of Trainer Manual, Washington, D.C, 1982,
hal. 1-57 dikutip dari Russ Dilts, et all.
Pendidikan Popular, Insist
& REaD Yogya, 2001
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as