Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    filsafat pendidikan

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    filsafat pendidikan Empty filsafat pendidikan

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 7:49 pm

    Filsafat Pendidikan dan Implikasinya (I)



    Oleh
    : Muhammad Setiawan







    Pendahuluan




    Filsafat adalah berfikir radikal. Berfikir radikal adalah
    berfikir hingga ke “radik”, akar. Jadi berfikir filsafati dalam pendidikan
    adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari pendidikan. Pertanyan
    filsafati biasanya berkisar pada tiga hal; ontologis, epistomologis dan
    aksiologis. Pertanyaan ontologis adalah pertanyaan yang menggugat identitas;
    sebetulnya pendidikan itu apa ?.
    Sedangkan pertanyaan epistemologis adalah pertanyaan yang menggugat cara; bagaimana suatu pendidikan yang
    “apa”-nya sudah diketahui, dijalankan ? Dan yang ketiga (ontologis) adalah
    pertanyaan yang menggugat tujuan; untuk
    apa
    suatu pendidikan itu digelar ?



    Makalah singkat dan sederhana --yang dibuat agak terburu-buru-- ini
    berusaha untuk menjelaskan tiga pertanyaan itu semua.



    Semoga bisa memperkaya wawasan kita
    sebagai para pekerja pendidikan (education
    workers)
    !






    Tiga Paradigma Utama Pendidikan




    Paradigma adalah world view, cara memandang dunia. Dari
    suatu paradigma akan terbentuk perilaku yang mencerminkan paradigma yang
    dianut. Bagaimana suatu pendidikan sebagai sebuah perilaku kolektif dan
    sistemik memandang dunia, adalah pertanyaan yang harus dijawab sebelum kita
    menentukan variabel-variabel pendidikan
    [1] lainnya. Paradigma pendidikan ini ditentukan oleh
    para pemegang kebijakan sistem pendidikan (stake holder) seperti,
    pemerintah, kepala sekolah, pemilik yayasan, pimpinan organisasi, dan
    sebagainya.



    Dalam
    menjawab pertanyaan, bagaimana pendidikan memandang dunia, ada tiga jawaban
    yang lazimnya muncul. Yang pertama,
    adalah sistem pendidikan yang memandang realitas luar sebagai sesuatu yang given, telah berlaku dari sononya, tidak bisa/perlu dirubah, bahkan
    perlu dilestarikan. Inilah sistem pendidikan yang pro status quo. Para ahli filsafat pendidikan mengistilahkannya
    dengan Pendidikan Konservatif.



    Pendidikan konsevatif ini lazim diberlakukan
    pada negara-negara dengan rezim yang otoriter. Rezim yang menggunakan kekuatan
    represif untuk membungkam mulut rakyatnya. Rezim ini berusaha untuk mengelabui
    masyarakatnya bahwa ketidakadilan dan penyakit sosial yang ada (seperti:
    pengangguran, kriminalitas, konflik sosial, kemiskinan, kebodohan) adalah
    sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, sebagai sebuah determinasi historis
    (takdir sejarah). Pendidikan ini juga berusaha untuk memisahkan peran
    pendidikan dengan realitas luar pendidikan. Pendidikan hidup dalam menara
    gading yang tak tersentuh (karena mahalnya pendidikan) dan tak menyentuh
    masyarakat banyak. Dari sistem pendidikan seperti inilah akan kita dapati
    output pendidikan yang gamang ketika kembali ke realitas sosialnya. Persis
    seperti cerita putra asli pedalaman kalimantan yang pergi menempuh pendidikan di
    pulau Jawa dan ketika pulang kembali ke Kalimantan hanya menjadi “sampah”
    masyarakatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Berburu tidak bisa.
    Bertani/berladang tidak bisa. Bahkan, berenang saja, sebagai suatu keahlian
    wajib di Kalimantan yang banyak sungai, kagak
    gape !



    Paradigma
    pendidikan yang kedua adalah paradigma
    liberal
    . Paradigma ini memandang bahwa ketidakadilan sosial terjadi karena
    kelalaian manusia itu sendiri. Kalau ada pengangguran maka itu adalah kesalahan
    manusianya yang kurang kreatif, tidak berjiwa wirausaha dan malas. Kalau ada
    kemiskinan kota (poor urban) itu
    disebabkan karena manusianya yang malas berusaha di desa dan maunya hidup enak
    saja di kota
    [2]. Pendidikan ini memang lebih memusatkan pehatiannya pada diri manusia.
    Untuk itu pendidikan dengan paradigma ini banyak menggelar praktek-praktek
    pengembangan manusia (istilah yang biasa dipakai adalah human development,
    self management
    , melejitkan potensi diri dan sejenisnya). Dari paradigma
    liberal ini pula lahir pelatihan/training semacam AMT (Achievement Motivation
    Training) yang disusun oleh David Mc Leland. Pelatihan ini berasumsi bahwa
    kemelaratan masyarakat disebabkan oleh kurang dimilikinya need of
    achievement
    (virus berprestasi) dalam masyarakat itu. Untuk itu
    training-training AMT banyak digelar oleh negara-negara kaya di negara-negara
    dunia ketiga (development and under development countries) untuk
    menyebarkan virus berprestasi di tengah-tengah rakyatnya.



    Pendidikan liberal ternyata tidak berperan
    banyak untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ideologi developmentalisme yang
    berada dibelakang paradigma pendidikan ini malah melahirkan sekelompok
    masyarakat elit baru yang tidak mau menyentuh masyarakat yang ada dibawahnya.
    Efek menetes yang diyakini oleh developmentalisme ternyata hanyalah khayalan.
    Masyarakat bawah enggan disentuh karena dipandang mereka sebagai masyarakat
    yang malas.



    Inilah pola pendidikan yang blaming the victim !


    Paradigma pendidikan yang ketiga adalah paradigma
    pendidikan kritis
    . Pendidikan kritis memandang, bahwa pendidikan harus
    secara utuh meresapi dan menyatu di tengah-tengah masyarakatnya
    [3].
    Paradigma ini memandang akar ketidakadilan sosial adalah sistem yang berlaku
    pada masyarakat itu. Sistem itu dapat
    berupa sistem politik (yang otoriter dan anti demokrasi), sistem sosial
    (yang melestarikan kasta-kasta dan menghambat laju mobilitas sosial), sistem
    ekonomi (yang kapitalistik, dan anti kerakyatan) sistem budaya (yang patriaki
    dan anti egaliter), bahkan sistem pendidikan itu sendiri (yang menjadi alat
    pengukuh kekuasaan dan pro status quo). Untuk itu pendidikan kritis berupaya
    melahirkan individu-individu (dan akhirnya masyarakat) yang mampu
    mendekonstruksi dan merekonstruksi sistem yang ada. Pola pendidikan inilah yang
    berupaya untuk diperjuangkan oleh Paulo Freire, seorang ahli pendidikan dari
    Amerika Latin yang berupaya untuk menghapuskan buta huruf sekaligus menggali
    akar kemelaratan sosial di Brazilia
    [4].


    Pola pendidikan yang kritis ini
    nyatanya tidak diminati oleh para ahli pendidikan (yang memang produk dari
    pendidikan konservatif) sehingga bentuk prakteknya jarang kita saksikan di
    Indonesia. Pendidikan ini lebih populer di kalangan aktifis LSM/NGO “kiri” yang
    anti kemapanan dan pro HAM. Karena itu pula, bangunan ilmiah dari paradigma
    kritis ini masih terus tumbuh dan berkembang
    [5].




    Kesadaran Manusia




    Setiap
    praktek pendidikan membentuk kesadaran. Kesadaran ini dapat didefinisikan juga
    sebagai pandangan hidup yang menjadi pola (pattern)
    yang mempengaruhi penerimaan pengetahuan, sikap dan perilaku yang merupakan
    hasil transfer dari pendidikan itu. Secara komunal, kesadaran ini akan menjadi
    kesadaran masyarakat yang mempengaruhi pola hidup masyarakat.



    Menurut
    analisis Freire ada tiga kesadaran yang menjadi turunan dari tiga paradigma
    pendidikan di atas.



    Pertama, adalah kesadaran magis.
    Secara arkeologis ilmu pengetahuan, kesadaran magis terbentuk pada masyarakat
    yang masih mempercayai hal-hal yang supranatural. Masyarakat ini meyakini bahwa
    kekuatan terbesar yang mempengaruhi kehidupan mereka adalah hal-hal yang gaib,
    mistis, supranatural (luar alam). Sehingga hal-hal gaib ini harus
    di-“tundukkan” dengan sesajen dan do’a-do’a. Kuntowijoyo menyebut masyarakat
    ini sebagai masyarakat pada tahap mitos. Masyarakat dengan kesadaran magis,
    adalah masyarakat yang deterministik, pasrah pada takdir. Masyarakat ini
    akhirnya, nrimo saja terhadap ketidak
    adilan sosial yang terjadi. Di tinjau dari paradigma pendidikan, masyarakat
    dengan kesadaran magis adalah masyarakat hasil dari pendidikan konservatif.



    Kedua, adalah kesadaran
    naif.
    Masyarakat dengan kesadaran naif adalah masyarakat yang memandang
    bahwa setiap ketidakadilan sosial berakar dari kelemahan manusia. Secara
    arkeologis ilmu pengetahuan, masyarakat dengan kesadaran naif terbentuk pada
    masyarakat yang percaya bahwa kekuatan natural (alam) adalah kekuatan terbesar
    yang mempengaruhi segala masalah di dunia ini. Untuk itu kekuatan alam harus
    ditundukkan oleh tangan manusia. Bila alam tak bisa ditundukkan oleh manusia,
    yang itu akan mengakibatkan kekacauan, maka manusia itulah yang lalai dan
    lemah. Untuk itulah maka diciptakan mesin-mesin yang berfungsi untuk membantu
    manusia menundukkan alam. Dalam era penciptaan mesin-mesin yang menggantikan manusia
    itulah muncul ideologi-ideologi politik dan sosial besar dunia (kapitalisme dan
    sosialisme). Sehingga, Kuntowijoyo mengistilahkan masyarakat pada tahap ini
    adalah masyarakat pada tahap ideologis. Pendidikan paradigma kedua (liberal)
    adalah pendidikan yang memproduksi masyarakat dengan kesadaran ini.



    Ketiga, adalah kesadaran kritis.
    Yaitu masyarakat yang menyadari bahwa kekacauan di dunia ini diciptakan oleh
    sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Secara arkeologis ilmu
    pengetahuan, masyarakat kritis adalah masyarakat yang keyakinannya telah
    bergeser dari kepercayaan kekuatan terbesarnya kepada alam menuju kekuatan
    manusia. Untuk itu kekuatan manusia yang menjelma pada sistem ini harus
    ditundukkan dengan “ilmu” dan kesadaran kritis. Karena itu pula Kuntowijoyo
    menyebut masyarakat pada tahap ini dengan istilah “masyarakat ilmu”. Hanya
    pendidikan kritis-lah yang dapat menghasilkan kesadaran kritis ini.





    Tujuan Pendidikan dan Teori Belajar




    Secara umum ada tiga tujuan
    pendidikan yang biasanya ingin dicapai oleh para pelaku pendidikan. Hal ini
    berdasarkan pada tiga tindakan sosial (social
    act)
    utama manusia yang diungkapkan Jurgen Habermas. Tiga tindakan itu
    adalah; tindakan karya (work),
    tindakan komunikasi dan tindakan pembebasan.



    Pendidikan
    yang bertujuan karya (work) adalah
    pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia-manusia “siap guna”. Dapat
    bekerja, baik sendiri maupun bersama-sama untuk melestarikan dan memajukan
    sistem yang telah ada. Secara ekstrim, pendidikan yang bertujuan karya ini
    akhirnya akan menciptakan manusia yang cinta pada benda mati (nekrofili) dan
    tidak cinta pada manusia yang lain (biofili)
    [6]. Manusia
    nekrofili akan merasa utuh kemanusiaannya jika memiliki harta kekayaan dan
    kekuasaan, meskipun tidak dicintai oleh manusia lainnya.



    Pendidikan dan pelatihan yang belangsung selama ini
    hampir 90% bermain pada wilayah kekaryaan ini. Secara umum pendidikan dengan
    tujuan kekaryaan ini memakai behaviorisme sebagai landasan teori belajarnya,
    disamping juga sedikit teori kognitif dan humanistik.



    Berikut
    ini simpul-simpul teori-teori belajar tersebut menurut Ernest Hilgard dan
    Gordon Bower dari Standford University
    [7] :


    Dari teori S-R :


    ·
    Murid harus aktif


    ·
    Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat
    penting untuk memperoleh ketrampilan dan retensi (penguatan daya ingatan)
    dilakukan belajar secara berulang-ulang.



    ·
    Sangat diperlukan re-enforcement: murid yang
    dapat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.



    ·
    Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan
    akan pentingnya praktek dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar adalah
    penting bagi jajaran stimuli yang lebih luas.



    ·
    Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan
    model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku,



    ·
    Drive state diperlukan juga, tetapi ini berbeda
    dari sikap, atau dalam drive state
    ini mereka tidak perlu menyesuaikan secara keseluruhan pada prinsip-prinsip drive education yang didasarkan pada
    eksperimen “penghilangan makanan”.



    Dari teori kognitif :


    ·
    Organisasi pengetahuan yang akan disajikan
    tidak mengalami arbitrasi. Prosedur penyajian materi tidak sekedar berlangsung
    dari yang sederhana hingga yang kompleks, tetapi dari keseluruhan sampel sampai
    keseluruhan yang lebih kompleks.



    ·
    Secara kultural belajar relatif. Situasi
    belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun oleh sub-kebudayaan
    dimana orang merasa memiliki.



    ·
    Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan
    pengetahuan yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar yang salah. Murid
    mengusahakan sesuatu secara profesional dan kemudian menerima atau menolak
    apa-apa yang dikerjakan atas dasar konsekuensi-konsekuensi.



    ·
    Penentuan tujuan belajar oleh murid sangat
    penting sebagai motivasi belajar, keberhasilan dan kegagalan belajar itu sangat
    menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.



    ·
    Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan
    alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang
    logis untuk satu jawaban yang benar.



    Dari
    teori motivasi dan kepribadian :



    ·
    Memperhatikan kemampuan masing-masing murid
    sangat penting. Rata-rata cara dan waktu belajar masing-masing individu sehingga
    harus diakomodasikan dalam desain training.



    ·
    Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh
    keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.



    ·
    Tingkat ketegangan (anxiety)
    mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang lainnya.



    ·
    Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan
    motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan untuk kebutuhan
    afiliasi atau pencapaian tujuan.



    ·
    Organisasi motif dan nilai yang terkandung
    dalam individu sesuai dengan cara belajarnya. Orang cenderung belajar apa-apa
    yang dipandang perlu bagi khusus dirinya.



    Tujuan
    pendidikan yang kedua adalah
    interaksi atau komunikasi. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan
    masyarakat yang egaliter yang mampu bekerjasama dan berinteraksi untuk mencapai
    tujuan yang telah ditentukan. Dalam dunia industri, pelatihan komunikasi juga
    kerap diselenggarakan namun dalam kaitannya sebagai komplemen dari training
    ke-karya-an.



    Pendidikan
    komunikasi meniscayakan lingkungan belajar yang saling menghormati, menghargai,
    saling terbuka, dan bebas dari saling menghujat. Dalam lingkungan belajar yang
    emansipatoris itulah akan muncul segala potensi-potensi individu yang dikelola
    sedemikian sehingga menjadi kekuatan kelompok. Pendidikan ini, bila dilepaskan
    dari kepentingan kapitalisme, dapat menghantarkan pesertanya menjadi
    manusia-manusia biofili, manusia yang lebih menghargai nilai kemanusiaannya
    manusia yang lain.



    Pendidikan
    komunikasi sebagai wahana pengelolaan kekuatan individu menjadi kekuatan
    kelompok (group dynamic) memakai
    teori psikologi Gestalt sebagai teori belajarnya. Psikologi Gestalt diciptakan
    oleh Kurt Lewin dengan simpul-simpul pemikiran sebagai berikut :



    · Inti dari
    konsep pengaruh medan adalah, “Sebuah lingkungan selalu beada dalam pengaruh
    kekuatan medan”. Istilah kekuatan medan diambil dari teori medan magnet ilmu
    fisika, yang dalam medan magnet pusat kekuatan terletak pada butir-butir magnet
    yang masing-masing mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap satu sama
    lainnya, sedangkan pada kelompok manusia, pusat kekuatan medan terletak pada
    aktor-aktor secara individual yang berada di suatu lingkungan yang
    masing-masing memiliki tujuan.



    ·
    Lewin menjelaskan bahwa perilaku seseorang merupakan fungsi
    dari kepribadian (personality) dan
    pengaruh lingkungan (environment)
    sekitarnya. B = f (P.E)



    · Menurut Lewin
    ada tiga kekuatan yang berpengaruh dalam suatu medan. Yaitu aprreciation (-),
    influence (+) dan controll (-/+).



    ·
    Totalitas dari ketiga kekuatan di atas menciptakan medan
    yang meneukan jalannnya proses interaksi sosial, yang disebut dengan group dynamic



    Tujuan
    pendidikan yang ketiga adalah
    pembebasan. Pendidikan pembebasan bertujuan agar manusia tidak hanya menyadari
    kekuatan-kekuatan individunya (yang dilatih dalam training kekaryaan), namun
    juga menyadari kekuatan-kekuatan kelompoknya (yang diasah dalam training
    interaksi), dan realitas struktural yang melingkupinya, sehingga mereka dapat
    membebaskan diri dari struktur yang membelenggunya.



    Dalam praktiknya, pendidikan pembebasan lebih banyak
    memakai asumsi-asumsi training untuk berinteraksi, sehingga seringkali training
    interaksi dan pembebasan berbaur menjadi satu tema, “participatory learning”.



    Bila training untuk interaksi sulit
    ditemui maka training untuk pembebasan lebih sulit lagi untuk dijumpai dan
    didapatkan contohnya. Namun, sekali lagi literatur-literatur dari Paulo Freire
    dapat kita jadikan rujukan dalam menggagas training perubahan di masyarakat
    kita.





    Penutup




    Demikian makalah
    singkat ini disajikan. Beberapa hal yang belum dibahas pada tulisan ini
    meliputi kajian mengenai aspek-aspek teknis seperti ; pendekatan pendidikan,
    peran guru/fasilitator pendidikan, metodologi, media pendidikan, dan evaluasi, insya Allah akan dibahas pada tulisan
    berikutnya.













    Literatur untuk pengembangan lebih lanjut :


    1. Mansour Fakih, Russ Dilt, et all. Pendidikan
    Popular, Membangun Kesadaran Kritis,
    REaD Books, Yogyakarta, 2001



    2. Drs. Baderel Munir,MA, Dinamika
    Kelompok
    , Penerbit Universitas Sriwijaya, Palembang, 2001



    3. Hildegard Wenzler-Cremer & Maria Fischer-Siregar, Proses Pengembangan Diri, Permainan dan
    latihan dinamika kelompok
    , Grasindo, Jakarta, 1993.



    4. Solita Sarwono, Kumpulan Latihan
    Dinamika Kelompok,
    Badan Penerbit UI, Jakarta, 1982



    5. Roem Topatimasang, Sekolah Itu
    Candu
    , penerbit dan tahun terbit lupa.



    6. Paulo Freire, Pedagogy of The
    Oppressed, Pendidikan Kaum Tertindas (terj.),
    LP3S, tahun terbit lupa.



    7. Mansour Fakih, Utomo Danandjaya, et all. Panduan Pemandu Pelatihan Orang Dewasa, P3M, tahun terbit lupa
    (sekitar 1984)



    8. Makalah Andragogy dan Dynamic Group (terj.) dari Malcolm
    Knowles (tahun terbit lupa)



    9. Buku-buku mengenai pendidikan orang dewasa dan
    pendidikan kritis lainnya.









    ...kami adalah mata pena yang tajam


    yang siap menggoreskan kebenaran


    tanpa ragu, tumbangkan kedzoliman
    ...



    (Tekad, Izzatul Islam)









    [1] Variabel pendidikan itu adalah metodologi, teknik,
    evaluasi, media, peran fasilitator, kurikulum dan seterusnya.






    [2] Sehingga masyarakat desa perlu dicegah datang ke
    kota dengan screening KTP yang biasanya terjadi paska lebaran. Padahal siapa suruh sawah-sawah
    di desa dijadikan waduk, pabrik dan villa ? Siapa suruh pula harga pupuk dan
    insektisida mahal ? Siapa suruh juga pemerintah lebih mengutamakan pengembangan
    teknologi mercusuar ketimbang teknologi yang langsung menyentuh kepentingan
    dasar masyarakat, seperti berlomba-lomba bikin pesawat dan melupakan membuat
    traktor sederhana dan murah. Hal ini persis seperti ungkapan penyair Wiji
    Tukul, “mereka lebih suka menanam besi
    dan membangun tembok !”







    [3] Bukan sekedar konsep link and match yang malah berusaha untuk
    menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan industri dan akhirnya menciptakan
    manusia-manusia yang menjadi sekrup-sekrup kapitalisme yang hilang nilai
    kesejatian manusianya. Manusia akhirnya hanya dipandang sebagai asset industri, yang dipandang bila ia
    membawa manfaat. Dan kumpulan manusia dipandang sebagai kumpulan angka-angka
    yang bila “hilang” satu digit saja maka itu bukan masalah besar (that is no big deal!).







    [4] Tentang, Paulo Freire insya Allah akan ada
    makalah tersendiri






    [5] Salah satunya adalah wacana pendidikan profetik
    yang terinspirasi dari gagasan ilmu sosial profetik-nya Kuntowijoyo yang
    mengambil makna dari Q.S. 3:110.






    [6] Istilah biofili dan nekrofili ini diciptakan oleh
    ahli psikologi social, Erich Fromm






    [7] Ernest Hilgard dan Gordon Bower, Teories of Learning 3rd Edition, New
    Jersey: Practice Hall, 1966, Training of Trainer Manual, Washington, D.C, 1982,
    hal. 1-57 dikutip dari Russ Dilts, et all.
    Pendidikan Popular, Insist
    & REaD Yogya, 2001

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 3:43 pm