Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    kapitalisme : sebuah eksistensi

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    kapitalisme : sebuah eksistensi Empty kapitalisme : sebuah eksistensi

    Post by ratri Wed May 26, 2010 3:46 pm

    KAPITALISME: SEBUAH MODUS EKSISTENSI*





    Oleh: Husain Heriyanto







    PENGANTAR







    Saat ini tidak ada yang bisa
    membantah kedigdayaan rezim kapitalisme mendominasi peradaban dunia global.
    Berakhirnya Perang Dingin menyusul ambruknya komunisme-sosialisme Uni Soviet
    beserta negara-negara satelitnya sering diinterpretasikan sebagai kemenangan
    kapitalisme. Hampir dalam setiap sektor kehidupan, logika dan budaya
    kapitalisme hadir menggerakkan aktivitas. Kritik-kritik yang ditujukan terhadap
    kapitalisme justru bermuara kepada terkooptasinya kritik-kritik tersebut untuk
    lebih mengukuhkan kapitalisme.


    Muncul pertanyaan lain, ke
    arah mana peradaban manusia akan dibawa oleh kapitalisme. Apakah gerangan yang
    menyebabkan ideologi ini tetap bertahan, dan bahkan, kian mendominasi dunia?
    Apakah hegemoni kapitalisme ini merupakan akhir sejarah umat manusia atau
    sebagai satu-satunya alternatif yang mesti diterima sebagaimana yang
    diperkirakan oleh Francis Fukuyama dalam The
    End of History?
    Masih berpeluangkah proyek emansipasi manusia dari dominasi
    kapital dan fetisisme komoditas? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas,
    diperlukan pemahaman yang tepat mengenai pengertian hakiki apa itu sesungguhnya
    kapitalisme.




    I. PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN KAPITALISME






    I.1. Pengertian Kapitalisme







    Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang
    menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya,
    termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus,
    1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang
    menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan
    kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978)
    memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.


    Menurut Ayn Rand (1970),
    kapitalisme adalah "a social system
    based on the recognition of individual rights, including property rights, in
    which all property is privately owned"
    . (Suatu sistem sosial yang
    berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana
    semua pemilikan adalah milik privat). Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut
    kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika
    yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada
    gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan
    konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah
    "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai
    oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis(1988), Habermas menyebut
    kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional,
    kapitalisme, post-kapitalisme).




    I.2. Sejarah Perkembangan Kapitalisme







    Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988)
    menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal
    dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme.Direduksi kepada
    pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi,
    distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan
    kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah
    sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati
    batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis
    mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan
    bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner
    ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan
    tangan dari kapitalisme.


    Sistem kapitalisme, menurut
    Ebenstein (1990), mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian
    menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal
    Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations
    (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan
    gagasan "laissez faire"1)
    dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi
    pemerintah dalam urusan negara. Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik
    untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar
    kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan
    negara (Robert Lerner, 1988).


    Awal abad 20 kapitalisme
    harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan
    sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi
    birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh
    segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi
    mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli,
    sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara
    terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah
    kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi
    kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme
    dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah
    konsep negara kemakmuran (welfare state)
    yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan
    inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.



    Habermas memandang transformasi itu sebagai
    peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism. organized capitalism,
    advanced capitalism
    ). Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas
    menyebutkan bahwa state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut)
    mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti
    korporasi-korporasi nasional dan internasional yang menciptakan struktur pasar
    oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi
    intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal,
    maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari
    depolitisasi massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam
    sistem demokrasi formal.





    II.
    PRINSIP-PRINSIP DASAR KAPITALISME






    II.1. Tiga
    Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand






    Ayn Rand dalam Capitalism
    (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan
    individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas.


    Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang
    pokok kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami tersebut individu bebas
    berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada
    gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk
    memenuhi kepentingan dirinya. Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk
    dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras
    kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan aplikasi
    sosial dan pandangan epistemologisnya yang natural mekanistik. Terpengaruh oleh
    gagasan "the invisible hand"
    dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang senantiasa
    berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau paling rasional. Smith pernah
    berkata: "...free market forces is allowed to balance equitably the
    distribution of wealth". (Robert Lerner, 1988).




    II.2. Akumulasi Kapital







    Heilbroner (1991) menelaah
    secara mendalam pengertian hakiki dari kapital. Apa yang dimaksud dengan
    kapital sehingga dapat menjelaskan formasi sosial tempat kita hidup sekarang
    adalah kapitalisme? Heilbroner menolak memperlakukan kapital hanya dalam kategori
    hal-hal yang material berupa barang atau uang. Menurutnya, jika kapital hanya
    berupa barang-barang produksi atau uang yang diperlukan guna membeli material
    dan kerja, maka kapital akan sama tuanya dengan peradaban.


    Menurut Heilbroner, kapital
    adalah faktor yang mnggerakkan suatu pross transformasi berlanjut atas
    kapital-sebagai-uang menjadi kapital-sebagai-komoditi, diikuti oleh suatu
    transformasi dari kapital-sebagai-komoditi menjadi kapital-sebagai uang yang
    bertambah. Inilah rumusan M-C-M yang diperkenalkan Marx.


    Proses yang berulang dan
    ekspansif ini memang diarahkan untuk membuat barang-barang dan jasa-jasa dengan
    pengorganisasian niaga dan produksi. Eksistensi fisik benda dan jasa itu
    merupakan suatu rintangan yang harus diatasi dengan mengubah komoditi menjadi
    uang kembali. Bahkan kalau hal itu terjadi, bila sudah terjual, maka uang itu
    pada gilirannya tidak dianggap sebagai produk akhir dari pencarian tetapi hanya
    sebagai suatu tahap dalam lingkaran yang tak berakhir.


    Karena itu, menurut Heilbroner,
    kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai
    benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang
    berkelanjutnya. Kapital adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital
    memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita
    memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu
    totalitas yang meluas.


    Rumusan M-C-M (Money-Commodity-Money) yang diskemakan
    Marx atas metamorfosis yang berulang dan meluas yang dijalani kapital merupakan
    penemuan Marx terhadap esensi kapitalisme, yaitu akumulasi modal. Dalam
    pertukaran M-C-M tersebut uang bukan lagi alat tukar, tetapi sebagai komoditas
    itu sndiri dan menjadi tujuan pertukaran.





    II.3. Dorongan
    Untuk Mengakumulasi Kapital (Heilbroner)






    Analisis kapital sebagai
    suatu proses ekspansif seperti yang diuraikan di muka, ditelaah lebih dalam
    lagi oleh Heilbroner melalui pendekatan psikoanalisis, antropologis, dan
    sosiologis. Menurut Heilbroner, gagasan kapital sebagai suatu hubungan sosial
    menyingkapkan inti hubungan itu, yaitu dominasi. Hubungan dominasi memiliki dua
    kutub. Pertama, ketergantungan sosial kaum yang tak berpunya kepada pemilik
    kapital di mana tanpa ketergantungan itu kapital tidak memiliki pengaruh apa-apa.
    Kedua, dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.


    Heilbroner melontarkan
    pertanyaan: Apakah alasan pembenaran dari proses tanpa henti ini? Ia
    menyebutkan bahwa dorongan ini digerakkan oleh keinginan untuk prestise dan
    kemenonjolan (realisasi diri). Dalam bahasa Abraham Maslow, dorongan
    mengakumulasi kekayaan yang tidak puas-puas ini merupakan manifestasi
    aktualisasi diri. Namun, Heilbroner mengingatkan bahwa kebutuhan afektif ini
    hanyalah suatu kondisi yang perlu (necessary
    condition
    ) namun belum menjadi syarat cukup (sufficient condition) untuk dorongan mengejar kekayaan. Lalu
    Heilbroner menemukan bahwa kekayaan memberikan pemiliknya kemampuan untuk
    mengarahkan dan memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat. Ini adalah kekuasaan.
    Kekayaan adalah suatu kategori sosial yang tidak terpisahkan dari kekuasaan.


    Dengan demikian, hakekat
    kapitalisme menurut Heilbroner, adalah dorongan tiada henti dan tanpa puas
    untuk mengakumulasi kapital sebagai sublimasi dorongan bawah sadar manusia
    untuk merealisasi diri, mendominasi, berkuasa. Karena dorongan ini berakar pada
    jati diri manusia, maka kapitalisme lebih merupakan salah satu modus eksistensi
    manusia. Mungkin inilah sebabnya mengapa kapitalisme mampu bertahan dan malah
    menjadi hegemoni peradaban global.




    III. TINJAUAN KRITIS







    Tinjauan kritis ini dibuat
    dengan asumsi bahwa analisis sosial memiliki keterbatasan-keterbatasan
    skematisasi dinamika kehidupan sosial. Tinjauan tentang kekuatan dan kelemahan
    kapitalisme lebih merupakan hipotesa.




    III.1. Kekuatan Kapitalisme







    Unsur-unsur apa yang
    dikandung kapitalisme sehingga ia saat ini tetap tangguh? Terdapat beberapa
    kekuatan yang memungkinkan kapitalisme masih bertahan hingga kini melalui
    berbagai kritikan tajam dan rintangan. Pertama,
    daya adaptasi dan transformasi kapitalisme yang sangat tinggi, sehingga ia
    mampu menyerap dan memodifikasi setiap kritik dan rintangan untuk memperkuat
    eksistensinya. Sebagai contoh, bagaimana ancaman pemberontakan kaum buruh yang
    diramalkan Marx tidak terwujud, karena di satu sisi, kaum buruh mengalami
    pembekuan kesadaran kritis (reifikasi),
    dan di lain sisi, kelas borjuasi kapital melalui negara memberikan
    "kebaikan hati" kepada kaum buruh dengan konsep "welfare state". Pada gilirannya, kaum kapitalis memperoleh persetujuan
    (consent) untuk mendominasi
    masyarakat melalui apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik,
    budaya; atau seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim kapital memiliki
    kemampuan untuk memperoleh kepatuhan massa dengan memunculkan
    "patriotisme" ekonomik.


    Kedua,
    berkaitan dengan yang pertama, tingginya kemampuan adaptasi kapitalisme dapat
    dilacak kepada waktu inheren pada hakekat kapitalisme, yaitu dorongan untuk
    berkuasa dan perwujudan diri melalui kekayaan. Atas dasar itulah diantaranya,
    maka Peter Berger dalam Revolusi Kapitalis (1990) berani bertaruh bahwa masa
    depan ekonomi dunia berada dalam genggaman kapitalisme.


    Ketiga, kreativitas budaya kapitalisme dan
    kapasitasnya menyerap ide-ide serta toleransi terhadap berbagai pemikiran.
    Menurut Rand, kebebasan dan hak individu memberi ruang gerak manusia dalam
    berinovasi dan berkarya demi tercapainya keberlangsungan hidup dan kebahagiaan.
    Dengan dasar pemikiran ini, Bernard Murchland dalam Humanisme dan Kapitalisme
    (1992) dengan penuh keyakinan menaruh harapan bahwa kapitalisme demokratis
    adalah humanisme yang dapat menyelamatkan peradaban manusia di masa depan.




    III.2. Kelemahan Kapitalisme







    Mengacu kepada asumsi-asumsi
    dasar kapitalisme, klaim-klaim pendukung kapitalisme dan praktek kapitalisme,
    terdapat beberapa kelemahan mendasar kapitalisme.


    Pertama,
    pandangan epistemologinya yang positivistik mekanistik. Positivisme yang
    memisahkan fakta dan nilai, bahkan hanya terpaku pada apa yang disebut fenomena
    fakta dan mengabaikan nilai, terbukti sudah ketidakmampuannya menjelaskan
    perkembangan sains modern dan kritikan dari fenomenologi hermeneutik (human sciences). Pola pikir positivistik hanya satu dimensi, yaitu
    dialektika positif, yang pada gilirannya mereduksi kemampuan refleksi kritis
    manusia untuk menari makna-makna tersembunyi di balik fenomena-fenomena.
    Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1991) berkata: "...
    Kapitalisme, yang didorong oleh teknologi, telah mengembang untuk mengisi semua
    ruang sosial kita; telah menjadi suatu semesta politis selain psikologis.
    Kekuasaan totalitarian ini mempertahankan hegemoninya dengan merampas fungsi
    kritisnya dari semua oposisi, yaitu kemampuannya berpikir negatif mengenai
    sistem, dan dengan memaksakan kebutuhan-kebutuhan palsu melalui iklan, kendali
    pasar, dan media. Maka, kebebasan itu sendiri menjadi alat dominasi, dan akal
    menyembunyikan sisi gelap irasionalitas..."


    Kedua,
    berkaitan dengan yang pertama, asumsi antropologis yang dianut kapitalisme
    adalah pandangan reduksionis satu dimensi manusia yang berasal dari
    rasionalisme Aufklarung. Temuan alam bawa sadar psikoanalisis menunjukkan bahwa
    banyak perilaku manusia tidak didorong oleh kesadaran atau rasionalitas,
    melainkan oleh ketidaksadaran dan irasionalitas. Asumsi kapitalisme yang
    mengandaikan bahwa distribusi kekayaan akan terjadi dengan sendirinya bila
    masyarakat telah makmur (contoh: konsep trickle down effect) melupakan aspek
    irasionalitas manusia yang serakah dan keji. Dorongan yang tidak pernah puas
    menumpukkan kapital sebagai watak khas kapitalisme merupakan bentuk patologis
    megalomania dan narsisisme.


    Ketiga,
    keserakahan mengakumulai kapital berakibat pada eksploitasi yang melampau batas
    terhadap alam dan sesama manusia, yang pada gilirannya masing-masing menimbulkan
    krisis ekonologis dan dehumanisasi. Habermas (1988) menyebutkan kapitalisme
    lanjut menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, ketidakseimbangan antropologis
    (gangguan sistem personaliti), dan ketidakseimbangan internasional.


    Keempat, problem moral. Bernard Murchland (1992), seorang pembela gigih
    kapitalisme, mengakui bahwa masalah yang paling serius yang dihadapi
    kapitalisme demokratis adalah pengikisan basis moral. Ia lalu menoleh ke
    negara-negara Timur yang kaya dengan komponen moral kultural. Atas dasar
    problem etis inilah, maka Mangunwijaya (1998) dengan lantang berkata: "...
    ternyatalah, bahwa sistem liberal kapitalis, biar sudah direvisi, diadaptasi
    baru dan diperlunak sekalipun, dibolak-balik diargumentasi dengan fasih ilmiah
    seribu kepala botak, ternyata hanya dapat berfungsi dengan tumbal-tumbal sekian
    milyar rakyat dina lemah miskin di seluruh duia, termasuk dan teristimewa
    Indonesia...."


    Kelima,
    implikasi dari praktek mengkomoditikan segenap ide-ide dan kegiatan-kegiatan
    sosial budaya, maka terjadilah krisis makna yang pada gilirannya menimbulkan
    krisis motivasi.


    Habermas (1988) mengatakan bahwa pada tataran sistem
    politik, krisis motivasii ni menimbulkan krisis legitimasi, atau menurut
    istilah Heilbroner (1991) dengan krisis intervensi.





    IV. KESIMPULAN






    Analisis Heilbroner di muka, jika dikembangkan lebih
    lanjut secara filosofis, akan membawa kita untuk berkesimpulan bahwa
    kapitalisme lebih daripada sekedar sistem ekonomi atau sistem sosial. Sebagai
    peradaban, kapitalisme dapat kita katakan sebagai suatu cara berada manusia,
    suatu modus eksistensi. Seorang kapitalis adalah orang yang melalui harta
    kekayaannya ia mewujudkan diri, menyingkap eksistensi diri. Ia mengaktualkan
    dirinya dengan dan untuk kapital. Dengan kapital, ia berharap memperoleh
    kekuasaan dan dominasi. Memiliki kapital berarti menguasai dunia. Sains,
    teknologi, seni, dan agama menjadi subordinasi dan pelayan atau pelegitimasi
    kapital. Itulah modus eksistensi kapitalisme.


    Atas dasar pemikiran di
    atas, kita dapat memahami mengapa ideologi-ideologi seperti sosialisme,
    Marxisme, komunisme, humanisme, dan bahkan eksistensialisme-sekuler gagal
    menghadapi kapitalisme. Kaum sosialis telah gagal memahami kapitalisme sebagai
    modus eksistensi. Ini dimulai dari Karl Marx sendiri yang melihat kapital hanya
    sebagai "cara produksi" (modus produksi), konsep sentral yang
    digunakannya dalam Das Kapital. Akibatnya, banyak analiss dan ramalan Marx yang
    melenceng. Bahkan sosialisme akhirnya terkooptasi oleh kapitalisme. Konsep
    "welfare state" yang diterapkan di negara kapitalis adalah salah satu
    contoh upaya adaptasi kapitalisme merangkul semangat sosialisme ke dalam
    pangkuannya. Ideologi-ideologi sekuler dunia lainnya sekarang ini hanyalah
    ibarat anak-anak kapitalisme atau subordinasi kapitalisme global, kapitalisme
    konsumeris.


    Kaum Mazhab Frankfurt
    sebagai pewaris semangat kritisi sosial Marx yang pada mulanya mencanangkan
    proyek pembebasan masyarakat dari hegemoni kapitalisme akhirnya juga jatuh
    kepada pesimisme. Mereka seakan-akan tidak melihat lagi adanya peluang untuk
    menciptakan dunia alternatif selain dunia ciptaan kapital. Mereka menganggap
    manusia modern telah kehilangan rasionalitas dan kesadaran kritis. Kini mereka
    seakan tak mampu lagi bersuara lantang menentang kapitalisme sebagaimana pendahulu
    mereka, katakanlah misalnya Herbert Marcuse yang menulis One Dimensional Man. Para pendukung teori kritis inipun seakan
    tidak bereaksi ketika Perter Berger, seorang pembela kapitalisme, dengan arogan
    mengatakan sosialisme adalah mitos, sedang kapitalisme adalah masa depan
    manusia.


    Sementara itu, analisis Max
    Weber yang mengaitkan perkembangan kapitalisme dengan etos kerja Protestan kini
    juga bermuara kepada proses sekulerisasi yang tidak diperkirakan sebelumnya.
    Pada mulanya, motif religius menggerakkan orang untuk kerja keras, tekun,
    efisien, dan berprestasi karena perolehan kesuksusan duniawi diartikan sebagai
    tanda keselamatan ilahi. Namun, proses sekulerisasi terjadi sedemikian rupa
    sehingga Tuhan dan akhirat perlahan-lahan hilang dari kesadaran manusia.
    Aktivitas duniawi sama sekali tidak lagi digerakkan oleh motivasi agama, namun
    semata-mata oleh motif materialistik. Berger menyebutkan Protestanisme sebagai
    manifestasi yang paling sempurna dari proses dialektik di mana orientasi agama
    yang bersifat inner-worldly itu
    "menggali kubur" untuk dirinya sendiri. Luar biasa memang pesona
    materi itu sehingga motivasi agama pun akhirnya juga terkooptasi oleh motivasi
    materialistik.




    V. SARAN







    Dengan menelaah secara tajam
    hakekat kapitalisme, kita dapat melihat kekuatan dan kelemahannya secara
    obyektif. Ini diperlukan agar proyek besar pembebasan manusia dari hegemoni
    kapitalisme -tentu saja yang berminat - dapat mengkonstruksi ideologi atau
    peradaban alternatif yang sungguh-sungguh antitesis kapitalisme secara
    mendasar, radikal dan menyeluruh.


    Persoalannya, bagaimana kita
    merancang antitesis itu? Adakah modus eksistensi alternatif yang dapat
    menaklukkan kapitalisme menjadi sekedar metode atau manajemen bisnis? Perlukah
    lebih dahulu kita merombak secara revolusioner pandangan dunia (worldview) kita tentang antropologi,
    kosmologi, teologi?





    Catatan:





    * Makalah sesi kedua Short-Course
    kajian Ideologi, Peradaban dan Agama - HMI Cabang Depok dan FIKI-UI di PKTTI-UI
    Depok, 21 Des. 1999.





    1) Istilah "Laissez Faire"
    berasal dari bahasa Perancis laissez faire la nature (let nature take its
    course); dapat diartikan sebagai sikap pembiaran kebebasan semaunya tanpa
    pengaturan dan


    kontrol.





    2 Heilbroner mengutip pernyataan
    Adam Smith sendiri dalam Theory of Moral Sentiments (1976): "Orang kaya
    berbangga dalam kekayaan-kekayaan mereka, karena dia merasa bahwa


    kekayaan-kekayaan itu membuatnya
    diperhatikan dunia. Memikirkan hal ini membuat dia berbesar


    hati dan membuatnya makin
    mencintai kekayaannya."







    REFERENSI













    Bagus, L., Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.





    Berger, P., Revolusi Kapitalis,
    (terjemahan), LP3ES, Jakarta 1990. . Ebenstein, W., Isme-Isme Dewasa Ini,
    (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1990.





    Habermas, J., Letigimation Crisis, Polity Press, Cambridge
    Oxford, 1988.





    Hayek, F.A., The Prinsiples of
    A Liberal Social Order
    , dalam Anthony de Crespigny and Jeremy Cronin, Ideologies of Politics, Oxford University Press, London, 1978.





    Heilbroner, R.L., Hakikat dan Logika Kapitalisme, (terjemahan),
    LP3ES, Jakarta, 1991. . Lerner, R.E., Western Civilization, Volume 2, W.W.
    Norton & Company, Ney York-London,
    1988.





    Mangunwijaya, Y.B., Mencari Landasan Sendiri, Esei Pada
    Harian Kompas 1 September 1998,


    Jakarta. . Marcuse, H., One
    Dimensional Man, Beacon Press, Boston, 1991.





    Murchland, B., Humanisme dan Kapitalisme, (terjemahan),
    Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992.





    Rand, A., Capitalism: The Unknown Ideal, A Signet Book, New York, 1970.

      Waktu sekarang Wed May 08, 2024 12:26 pm