Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    matinya profesi guru

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    matinya profesi guru Empty matinya profesi guru

    Post by ratri Fri Jun 18, 2010 9:03 pm

    Matinya
    Profesi Guru




    Oleh : Darmaningtyas






    FENOMENA pelajar mogok
    belajar sebagai protes terhadap tindakan guru yang menganiaya atau memberi
    hukuman fisik kepada pelajar lain cukup menonjol selama tahun 1997. Hal itu
    muncul tidak hanya di kota-kota besar, tapi juga di pelosok daerah seperti di
    Klaten, Riau, Kalimantan, Sulawesi, dan Timor Timur. Juga tidak hanya dilakukan
    oleh pelajar SMA - yang dari segi usia lebih dewasa - melainkan juga oleh
    pelajar SD-SMP, dengan gradasi yang berbeda-beda; dari sekadar mogok belajar
    sampai perusakan sekolah, seperti yang terjadi di sebuah SMA swasta di Surabaya
    medio Agustus lalu.


    Kasus penganiayaan atau
    hukuman fisik terhadap siswa oleh guru memang relatif banyak terjadi dalam
    kurun waktu satu tahun terakhir. Ada siswa SD yang disuruh lari telanjang,
    disundut dengan paku panas, ada siswa SMP dan SMA yang ditempeleng, ditendang,
    dan ada pula yang disuruh lari sampai pingsan. Berbagai hukuman fisik itu
    kemudian mengundang reaksi langsung dari siswa dengan cara melakukan mogok
    belajar maupun kecaman keras dari masyarakat luas.


    Sesungguhnya, hukuman fisik
    seperti yang terjadi akhir-akhir ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan
    kita. Pada masa lalu, setidaknya sampai dekade 1970-an bila guru marah dengan
    melempar kapur atau penghapus kepada siswanya dianggap merupakan kewajaran.
    Atau kalau tidak melempar penghapus, siswa yang melanggar distrap
    (disuruh berdiri di depan kelas) sampai pelajaran selesai.


    Tapi jaman telah berubah dari
    satu titik menuju ke titik lain. Bersamaan itu pula muncul ukuran-ukuran baru
    di masyarakat, sesuatu yang dulu dianggap sebagai kewajaran, pada masa yang
    lain dianggap tidak wajar. Hukuman fisik, mungkin cocok diterapkan pada masa
    lalu, tapi tidak tepat untuk masa sekarang. Sebaliknya sapaan halus, yang lebih
    menyentuh dimensi kemanusiaan sehingga si pelanggar menjadi rikuh (malu)
    sendiri melakukan pelanggaran, mungkin merupakan hukuman yang cocok untuk masa
    sekarang.


    Apa yang terjadi di dunia
    pendidikan kita sesungguhnya adalah adanya perubahan ukuran penilaian itu
    sendiri, sedangkan pola-pola hukumannya tetap sama seperti dulu. Dalam hal ini
    peran media massa tidak dapat dielakkan. Masa lalu hukuman fisik tidak pernah
    diributkan karena belum ada peran media massa yang mengangkatnya. Tapi sekarang,
    perkembangan industri media massa telah memberi porsi cukup besar untuk
    pemberitaan masalah-masalah pendidikan, termasuk tindakan-tindakan guru
    terhadap siswanya.


    Adanya tatanan baru itu
    menuntut kemampuan guru untuk menyesuaikannya. Jadi, para guru sekarang tidak
    hanya dituntut untuk menyesuaikan dalam metode mengajarnya, tapi juga dalam hal
    memberikan hukuman maupun ganjaran. Jika dulu (batasan sampai akhir dekade
    1970-an) seseorang guru yang galak dan suka mengenakan hukuman fisik ditakuti
    siswanya, maka guru yang berlaku sama pada masa sekarang akan mendapat
    perlawanan langsung dari para siswa.


    Masyarakat dapat saja menilai
    pelajar kita itu latah, ikut-ikutan mogok, tapi inilah realitas baru yang patut
    dipahami oleh para guru. Tanpa adanya kesediaan untuk memahami realitas baru
    yang tengah berkembang di masyarakat, guru akan makin kehilangan kewibawaannya,
    terlebih bila tetap berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu
    yang benar dan sah menurut metode dikdaktik mengajar. Berpegang pada keyakinan
    yang demikian sama saja dengan mengembangkan kekonyolan dalam menjalankan
    profesi.


    Perubahan
    sosok guru


    Bersamaan dengan lahirnya
    realitas baru di masyarakat itu adalah terjadinya perubahan mengenai sosok
    seorang guru. Guru pada masa sekarang bukan lagi seperti yang dilukiskan oleh
    Earl V Pullias dan James D Young sebagai sosok makhluk serba bisa dan sekaligus
    memiliki kewibawaan yang tinggi, tapi lebih tepat sebagai sosok seorang pemberi
    komando, tutor, atau penatar seperti yang sering digambarkan oleh novelis Y.B.
    Mangunwijaya.


    Menurut Earl V Pullias dan
    James D Young, sebagai sosok makhluk serba bisa, yang dapat dilakukan guru
    untuk membantu bergeraknya proses pertumbuhan siswa secara terus menerus,
    antara lain, pertama, guru dapat
    hadir bila para pelajar memerlukan untuk mendengarkan dan memahaminya. Kedua, guru dapat mencoba memberi satu
    pengalaman yang luas yang memungkinkan pelajar mengadakan evaluasi mengenai
    dirinya dalam hubungan dengan keberadaannya, pernah menjadi apa dan akan
    menjadi apa. Ketiga, guru dapat
    belajar untuk membantu pelajar memeriksa keadaan (situasi) dengan bebas dan
    dengan jujur dari berbagai sudut pandangan. Keempat, guru dapat menyimpan dalam pikirannya seluruh proses
    perkembangan manusiawi dan mencoba melihat hubungan itu dari berbagai aneka
    derajat dan segi-segi kehidupan sejak dilahirkan sampai mati.


    Melalui peran ideal yang
    dimainkan sebagai makhluk serba bisa itulah guru mendapatkan kewibawaannya baik
    di masyarakat maupun dalam lingkup sekolah.


    Guru pada waktunya dulu
    memenuhi seperti yang diharapkan PR Sarkar (1981), yaitu memiliki kualitas,
    seperti misalnya karakter yang kuat, keadilan, semangat berkorban untuk
    kepentingan sosial, tidak mementingkan diri sendiri, bekepribadian dan
    bepemimpinan. Mereka juga adalah pembimbing masyarakat, itulah sebabnya tidak
    semua dapat melakukan tugas sebagai guru.


    Adanya perubahan sosok guru
    yang sangat kontradiktif itu bukan taken for granted (ada dengan
    sendirinya), melainkan merupakan hasil pergulatan jaman maupun konstruksi dari
    kekuasaan yang ada. Hilangnya sosok guru sebagai makhluk serba bisa karena
    direduksi oleh kecenderungan spesialisasi dalam ilmu pengetahuan maupun
    peran-peran yang dimainkan di masyarakat. Masyarakat tidak lagi menuntut agar
    guru mengetahui sedikit-sedikit tentang banyak hal, melainkan mengetahui banyak
    tentang sedikit hal. Itu sebabnya, selama 10 tahun terakhir telah muncul
    usulan-usulan agar mengajar di SD berdasarkan bidang studi dan bukan
    berdasarkan kelas. Usulan tersebut kemudian diakomodir dengan cara: Untuk kelas
    1-3 tetap diajar berdasarkan kelas, tetapi untuk kelas 4-6 diajar berdasarkan
    bidang studi.


    Sedangkan hilangnya sosok
    guru yang ideal seperti yang dilukiskan oleh PR Sarkar disebabkan adanya
    pergeseran status guru, bahwa profesi guru, baik secara sosial maupun gaji,
    tidak bergengsi lagi. Sekarang, mereka yang menjadi guru bukanlah berasal dari
    orang kota yang kaya, yang sejak awal bercita-cita ingin mencerdaskan kehidupan
    bangsa, melainkan berasal dari sekelompok anak muda desa yang menempuh
    pendidikan bukan di institusi pendidikan terbaik di negeri ini. Menjadi guru
    bukanlah merupakan cita-cita sejak awal, tapi kondisi obyektiflah (sulit
    memperoleh pekerjaan di luar guru) yang membuat mereka memilih menjadi guru.


    Latar belakang kehidupan guru
    yang kurang mendukung di satu pihak, dan kompleksitasnya masalah yang dihadapi,
    membuat daya tahan mereka lemah, tidak kuasa menghadapi tekanan yang sifatnya
    ekonomis, ideologis, politis, maupun kultural. Tidak mengherankan bila
    pendidikan nasional mudah sekali diintervensi oleh berbagai pihak (pemodal,
    penguasa, tokoh agama, tokoh organisasi, pedagang kelontong, dan lain-lain).
    Seakan-akan guru tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan "tidak"
    terhadap segala bentuk intervensi tersebut, sehingga yang muncul kemudian
    adalah sosok guru sebagai komando, tutor, atau penatar, sebagai kepanjangan
    tangan dari yang mengintervensi.


    Bersamaan dengan kuatnya
    sosok guru sebagai seorang komando, tutor, atau penatar itu pula berakhirlah
    profesi guru yang sebenarnya. Seorang guru yang sejati adalah orang yang setia
    terhadap nilai-nilai kebenaran, pengabdian, memiliki rasa ingin tahu dan
    integritas keilmuwan yang tinggi, serta mempunyai semangat untuk membagikan
    pengetahuan maupun pengalamannya itu kepada para siswanya. Sedangkan sebagai
    seorang komando profesi guru tidak lagi membutuhkan kecerdasan, dedikasi, dan
    tanggung jawab sosial dan moral, tapi yang utama adalah keberanian untuk
    berteriak lantang dan menggertak.


    Demikian juga sosoknya
    sebagai seorang tutor atau penatar yang mereka perlukan adalah sebatas
    kemahiran meng-copy materi secara baik agar dapat berperan sebagai tutor
    atau penatar yang baik di depan siswa. Seorang tutor tidak peduli apakah materi
    yang disampaikan itu memiliki relevansi dengan kehidupan riil atau tidak, tapi
    yang terpenting adalah materi dapat terselesaikan sesuai dengan target
    waktunya.


    Kurangi
    beban ideologis


    Sebagian besar masyarakat
    sangat percaya bahwa munculnya tindakan main fisik yang dilakukan guru terhadap
    siswanya, yang sekaligus menandai matinya profesi guru itu disebabkan oleh
    terlalu beratnya beban yang dipikul oleh guru dan tidak ada ruang untuk
    membaginya. Secara ekonomis, gaji guru yang rendah membuat para guru ngobyek
    ke sana kemari. Celakanya lagi, gaji yang rendah itu masih banyak dipotong
    untuk kepentingan yang tidak pernah jelas. Kondisi itu sering membuat guru
    merasa jengkel. Akibatnya, selain perhatian terhadap siswa sangat kurang, guru
    juga menumpahkan kejengkelannya itu kepada siswa.


    Keyakinan masyarakat seperti
    itu ada benarnya. Tapi jangan lupa adanya masalah yang sangat mendasar dan
    secara sistematis mematikan profesi guru. Secara ekonomis, guru belum pernah
    lepas dari desakan kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, dan papan), secara
    sosial guru terlalu banyak beban sampiran, secara politis guru mengemban
    berbagai pesan ideologis-politis yang harus disampaikan kepada siswa, dan
    secara budaya guru sering harus tunduk pada desakan kekuatan dari luar sekolah.
    Sekolah sungguh merupakan obyek rayahan untuk menyukseskan program-program dari
    berbagai institusi maupun perseorangan.


    Oleh sebab itu, untuk
    menghidupkan kembali profesi guru sentuhannya bukan sebatas masalah ekonomi
    saja, melainkan lebih pada masalah struktural. Tolonglah, jangan jadikan guru
    sebagai obyek sekaligus instrumen demi tercapainya kepuasan segelintir orang
    saja, seperti pemotongan gaji guru untuk beli saham IPTN.



    Penguasa
    maupun tokoh apa pun sebaiknya juga tidak terlalu memaksakan program-programnya
    ke sekolah melalui para guru. Biarlah sekolah sebagai institusi resmi
    pengembangan ilmu pengetahuan berjalan otonom, seperti yang diharapkan PR
    Sarkar bahwa pengetahuan dan ilmu pengetahuan hendaknya diberikan bebas seperti
    kebebasan mendapatkan sinar matahari dan udara, dan mengalir seperti sumber air
    yang mengalir bebas, menghidupkan semuanya, memberikan daya hidup kepada
    peradaban manusia untuk selama-lamanya.




    * Darmaningtyas, sedang
    magang penelitian di Lembaga Pengembangan Ilmu Sosial Transformatif (LPIST) dan
    guru ekstra sebuah SMA swasta di Jakarta

      Waktu sekarang Sat Nov 23, 2024 8:21 pm