Matinya
Profesi Guru
Oleh : Darmaningtyas
FENOMENA pelajar mogok
belajar sebagai protes terhadap tindakan guru yang menganiaya atau memberi
hukuman fisik kepada pelajar lain cukup menonjol selama tahun 1997. Hal itu
muncul tidak hanya di kota-kota besar, tapi juga di pelosok daerah seperti di
Klaten, Riau, Kalimantan, Sulawesi, dan Timor Timur. Juga tidak hanya dilakukan
oleh pelajar SMA - yang dari segi usia lebih dewasa - melainkan juga oleh
pelajar SD-SMP, dengan gradasi yang berbeda-beda; dari sekadar mogok belajar
sampai perusakan sekolah, seperti yang terjadi di sebuah SMA swasta di Surabaya
medio Agustus lalu.
Kasus penganiayaan atau
hukuman fisik terhadap siswa oleh guru memang relatif banyak terjadi dalam
kurun waktu satu tahun terakhir. Ada siswa SD yang disuruh lari telanjang,
disundut dengan paku panas, ada siswa SMP dan SMA yang ditempeleng, ditendang,
dan ada pula yang disuruh lari sampai pingsan. Berbagai hukuman fisik itu
kemudian mengundang reaksi langsung dari siswa dengan cara melakukan mogok
belajar maupun kecaman keras dari masyarakat luas.
Sesungguhnya, hukuman fisik
seperti yang terjadi akhir-akhir ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan
kita. Pada masa lalu, setidaknya sampai dekade 1970-an bila guru marah dengan
melempar kapur atau penghapus kepada siswanya dianggap merupakan kewajaran.
Atau kalau tidak melempar penghapus, siswa yang melanggar distrap
(disuruh berdiri di depan kelas) sampai pelajaran selesai.
Tapi jaman telah berubah dari
satu titik menuju ke titik lain. Bersamaan itu pula muncul ukuran-ukuran baru
di masyarakat, sesuatu yang dulu dianggap sebagai kewajaran, pada masa yang
lain dianggap tidak wajar. Hukuman fisik, mungkin cocok diterapkan pada masa
lalu, tapi tidak tepat untuk masa sekarang. Sebaliknya sapaan halus, yang lebih
menyentuh dimensi kemanusiaan sehingga si pelanggar menjadi rikuh (malu)
sendiri melakukan pelanggaran, mungkin merupakan hukuman yang cocok untuk masa
sekarang.
Apa yang terjadi di dunia
pendidikan kita sesungguhnya adalah adanya perubahan ukuran penilaian itu
sendiri, sedangkan pola-pola hukumannya tetap sama seperti dulu. Dalam hal ini
peran media massa tidak dapat dielakkan. Masa lalu hukuman fisik tidak pernah
diributkan karena belum ada peran media massa yang mengangkatnya. Tapi sekarang,
perkembangan industri media massa telah memberi porsi cukup besar untuk
pemberitaan masalah-masalah pendidikan, termasuk tindakan-tindakan guru
terhadap siswanya.
Adanya tatanan baru itu
menuntut kemampuan guru untuk menyesuaikannya. Jadi, para guru sekarang tidak
hanya dituntut untuk menyesuaikan dalam metode mengajarnya, tapi juga dalam hal
memberikan hukuman maupun ganjaran. Jika dulu (batasan sampai akhir dekade
1970-an) seseorang guru yang galak dan suka mengenakan hukuman fisik ditakuti
siswanya, maka guru yang berlaku sama pada masa sekarang akan mendapat
perlawanan langsung dari para siswa.
Masyarakat dapat saja menilai
pelajar kita itu latah, ikut-ikutan mogok, tapi inilah realitas baru yang patut
dipahami oleh para guru. Tanpa adanya kesediaan untuk memahami realitas baru
yang tengah berkembang di masyarakat, guru akan makin kehilangan kewibawaannya,
terlebih bila tetap berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu
yang benar dan sah menurut metode dikdaktik mengajar. Berpegang pada keyakinan
yang demikian sama saja dengan mengembangkan kekonyolan dalam menjalankan
profesi.
Perubahan
sosok guru
Bersamaan dengan lahirnya
realitas baru di masyarakat itu adalah terjadinya perubahan mengenai sosok
seorang guru. Guru pada masa sekarang bukan lagi seperti yang dilukiskan oleh
Earl V Pullias dan James D Young sebagai sosok makhluk serba bisa dan sekaligus
memiliki kewibawaan yang tinggi, tapi lebih tepat sebagai sosok seorang pemberi
komando, tutor, atau penatar seperti yang sering digambarkan oleh novelis Y.B.
Mangunwijaya.
Menurut Earl V Pullias dan
James D Young, sebagai sosok makhluk serba bisa, yang dapat dilakukan guru
untuk membantu bergeraknya proses pertumbuhan siswa secara terus menerus,
antara lain, pertama, guru dapat
hadir bila para pelajar memerlukan untuk mendengarkan dan memahaminya. Kedua, guru dapat mencoba memberi satu
pengalaman yang luas yang memungkinkan pelajar mengadakan evaluasi mengenai
dirinya dalam hubungan dengan keberadaannya, pernah menjadi apa dan akan
menjadi apa. Ketiga, guru dapat
belajar untuk membantu pelajar memeriksa keadaan (situasi) dengan bebas dan
dengan jujur dari berbagai sudut pandangan. Keempat, guru dapat menyimpan dalam pikirannya seluruh proses
perkembangan manusiawi dan mencoba melihat hubungan itu dari berbagai aneka
derajat dan segi-segi kehidupan sejak dilahirkan sampai mati.
Melalui peran ideal yang
dimainkan sebagai makhluk serba bisa itulah guru mendapatkan kewibawaannya baik
di masyarakat maupun dalam lingkup sekolah.
Guru pada waktunya dulu
memenuhi seperti yang diharapkan PR Sarkar (1981), yaitu memiliki kualitas,
seperti misalnya karakter yang kuat, keadilan, semangat berkorban untuk
kepentingan sosial, tidak mementingkan diri sendiri, bekepribadian dan
bepemimpinan. Mereka juga adalah pembimbing masyarakat, itulah sebabnya tidak
semua dapat melakukan tugas sebagai guru.
Adanya perubahan sosok guru
yang sangat kontradiktif itu bukan taken for granted (ada dengan
sendirinya), melainkan merupakan hasil pergulatan jaman maupun konstruksi dari
kekuasaan yang ada. Hilangnya sosok guru sebagai makhluk serba bisa karena
direduksi oleh kecenderungan spesialisasi dalam ilmu pengetahuan maupun
peran-peran yang dimainkan di masyarakat. Masyarakat tidak lagi menuntut agar
guru mengetahui sedikit-sedikit tentang banyak hal, melainkan mengetahui banyak
tentang sedikit hal. Itu sebabnya, selama 10 tahun terakhir telah muncul
usulan-usulan agar mengajar di SD berdasarkan bidang studi dan bukan
berdasarkan kelas. Usulan tersebut kemudian diakomodir dengan cara: Untuk kelas
1-3 tetap diajar berdasarkan kelas, tetapi untuk kelas 4-6 diajar berdasarkan
bidang studi.
Sedangkan hilangnya sosok
guru yang ideal seperti yang dilukiskan oleh PR Sarkar disebabkan adanya
pergeseran status guru, bahwa profesi guru, baik secara sosial maupun gaji,
tidak bergengsi lagi. Sekarang, mereka yang menjadi guru bukanlah berasal dari
orang kota yang kaya, yang sejak awal bercita-cita ingin mencerdaskan kehidupan
bangsa, melainkan berasal dari sekelompok anak muda desa yang menempuh
pendidikan bukan di institusi pendidikan terbaik di negeri ini. Menjadi guru
bukanlah merupakan cita-cita sejak awal, tapi kondisi obyektiflah (sulit
memperoleh pekerjaan di luar guru) yang membuat mereka memilih menjadi guru.
Latar belakang kehidupan guru
yang kurang mendukung di satu pihak, dan kompleksitasnya masalah yang dihadapi,
membuat daya tahan mereka lemah, tidak kuasa menghadapi tekanan yang sifatnya
ekonomis, ideologis, politis, maupun kultural. Tidak mengherankan bila
pendidikan nasional mudah sekali diintervensi oleh berbagai pihak (pemodal,
penguasa, tokoh agama, tokoh organisasi, pedagang kelontong, dan lain-lain).
Seakan-akan guru tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan "tidak"
terhadap segala bentuk intervensi tersebut, sehingga yang muncul kemudian
adalah sosok guru sebagai komando, tutor, atau penatar, sebagai kepanjangan
tangan dari yang mengintervensi.
Bersamaan dengan kuatnya
sosok guru sebagai seorang komando, tutor, atau penatar itu pula berakhirlah
profesi guru yang sebenarnya. Seorang guru yang sejati adalah orang yang setia
terhadap nilai-nilai kebenaran, pengabdian, memiliki rasa ingin tahu dan
integritas keilmuwan yang tinggi, serta mempunyai semangat untuk membagikan
pengetahuan maupun pengalamannya itu kepada para siswanya. Sedangkan sebagai
seorang komando profesi guru tidak lagi membutuhkan kecerdasan, dedikasi, dan
tanggung jawab sosial dan moral, tapi yang utama adalah keberanian untuk
berteriak lantang dan menggertak.
Demikian juga sosoknya
sebagai seorang tutor atau penatar yang mereka perlukan adalah sebatas
kemahiran meng-copy materi secara baik agar dapat berperan sebagai tutor
atau penatar yang baik di depan siswa. Seorang tutor tidak peduli apakah materi
yang disampaikan itu memiliki relevansi dengan kehidupan riil atau tidak, tapi
yang terpenting adalah materi dapat terselesaikan sesuai dengan target
waktunya.
Kurangi
beban ideologis
Sebagian besar masyarakat
sangat percaya bahwa munculnya tindakan main fisik yang dilakukan guru terhadap
siswanya, yang sekaligus menandai matinya profesi guru itu disebabkan oleh
terlalu beratnya beban yang dipikul oleh guru dan tidak ada ruang untuk
membaginya. Secara ekonomis, gaji guru yang rendah membuat para guru ngobyek
ke sana kemari. Celakanya lagi, gaji yang rendah itu masih banyak dipotong
untuk kepentingan yang tidak pernah jelas. Kondisi itu sering membuat guru
merasa jengkel. Akibatnya, selain perhatian terhadap siswa sangat kurang, guru
juga menumpahkan kejengkelannya itu kepada siswa.
Keyakinan masyarakat seperti
itu ada benarnya. Tapi jangan lupa adanya masalah yang sangat mendasar dan
secara sistematis mematikan profesi guru. Secara ekonomis, guru belum pernah
lepas dari desakan kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, dan papan), secara
sosial guru terlalu banyak beban sampiran, secara politis guru mengemban
berbagai pesan ideologis-politis yang harus disampaikan kepada siswa, dan
secara budaya guru sering harus tunduk pada desakan kekuatan dari luar sekolah.
Sekolah sungguh merupakan obyek rayahan untuk menyukseskan program-program dari
berbagai institusi maupun perseorangan.
Oleh sebab itu, untuk
menghidupkan kembali profesi guru sentuhannya bukan sebatas masalah ekonomi
saja, melainkan lebih pada masalah struktural. Tolonglah, jangan jadikan guru
sebagai obyek sekaligus instrumen demi tercapainya kepuasan segelintir orang
saja, seperti pemotongan gaji guru untuk beli saham IPTN.
Penguasa
maupun tokoh apa pun sebaiknya juga tidak terlalu memaksakan program-programnya
ke sekolah melalui para guru. Biarlah sekolah sebagai institusi resmi
pengembangan ilmu pengetahuan berjalan otonom, seperti yang diharapkan PR
Sarkar bahwa pengetahuan dan ilmu pengetahuan hendaknya diberikan bebas seperti
kebebasan mendapatkan sinar matahari dan udara, dan mengalir seperti sumber air
yang mengalir bebas, menghidupkan semuanya, memberikan daya hidup kepada
peradaban manusia untuk selama-lamanya.
* Darmaningtyas, sedang
magang penelitian di Lembaga Pengembangan Ilmu Sosial Transformatif (LPIST) dan
guru ekstra sebuah SMA swasta di Jakarta
Profesi Guru
Oleh : Darmaningtyas
FENOMENA pelajar mogok
belajar sebagai protes terhadap tindakan guru yang menganiaya atau memberi
hukuman fisik kepada pelajar lain cukup menonjol selama tahun 1997. Hal itu
muncul tidak hanya di kota-kota besar, tapi juga di pelosok daerah seperti di
Klaten, Riau, Kalimantan, Sulawesi, dan Timor Timur. Juga tidak hanya dilakukan
oleh pelajar SMA - yang dari segi usia lebih dewasa - melainkan juga oleh
pelajar SD-SMP, dengan gradasi yang berbeda-beda; dari sekadar mogok belajar
sampai perusakan sekolah, seperti yang terjadi di sebuah SMA swasta di Surabaya
medio Agustus lalu.
Kasus penganiayaan atau
hukuman fisik terhadap siswa oleh guru memang relatif banyak terjadi dalam
kurun waktu satu tahun terakhir. Ada siswa SD yang disuruh lari telanjang,
disundut dengan paku panas, ada siswa SMP dan SMA yang ditempeleng, ditendang,
dan ada pula yang disuruh lari sampai pingsan. Berbagai hukuman fisik itu
kemudian mengundang reaksi langsung dari siswa dengan cara melakukan mogok
belajar maupun kecaman keras dari masyarakat luas.
Sesungguhnya, hukuman fisik
seperti yang terjadi akhir-akhir ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan
kita. Pada masa lalu, setidaknya sampai dekade 1970-an bila guru marah dengan
melempar kapur atau penghapus kepada siswanya dianggap merupakan kewajaran.
Atau kalau tidak melempar penghapus, siswa yang melanggar distrap
(disuruh berdiri di depan kelas) sampai pelajaran selesai.
Tapi jaman telah berubah dari
satu titik menuju ke titik lain. Bersamaan itu pula muncul ukuran-ukuran baru
di masyarakat, sesuatu yang dulu dianggap sebagai kewajaran, pada masa yang
lain dianggap tidak wajar. Hukuman fisik, mungkin cocok diterapkan pada masa
lalu, tapi tidak tepat untuk masa sekarang. Sebaliknya sapaan halus, yang lebih
menyentuh dimensi kemanusiaan sehingga si pelanggar menjadi rikuh (malu)
sendiri melakukan pelanggaran, mungkin merupakan hukuman yang cocok untuk masa
sekarang.
Apa yang terjadi di dunia
pendidikan kita sesungguhnya adalah adanya perubahan ukuran penilaian itu
sendiri, sedangkan pola-pola hukumannya tetap sama seperti dulu. Dalam hal ini
peran media massa tidak dapat dielakkan. Masa lalu hukuman fisik tidak pernah
diributkan karena belum ada peran media massa yang mengangkatnya. Tapi sekarang,
perkembangan industri media massa telah memberi porsi cukup besar untuk
pemberitaan masalah-masalah pendidikan, termasuk tindakan-tindakan guru
terhadap siswanya.
Adanya tatanan baru itu
menuntut kemampuan guru untuk menyesuaikannya. Jadi, para guru sekarang tidak
hanya dituntut untuk menyesuaikan dalam metode mengajarnya, tapi juga dalam hal
memberikan hukuman maupun ganjaran. Jika dulu (batasan sampai akhir dekade
1970-an) seseorang guru yang galak dan suka mengenakan hukuman fisik ditakuti
siswanya, maka guru yang berlaku sama pada masa sekarang akan mendapat
perlawanan langsung dari para siswa.
Masyarakat dapat saja menilai
pelajar kita itu latah, ikut-ikutan mogok, tapi inilah realitas baru yang patut
dipahami oleh para guru. Tanpa adanya kesediaan untuk memahami realitas baru
yang tengah berkembang di masyarakat, guru akan makin kehilangan kewibawaannya,
terlebih bila tetap berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu
yang benar dan sah menurut metode dikdaktik mengajar. Berpegang pada keyakinan
yang demikian sama saja dengan mengembangkan kekonyolan dalam menjalankan
profesi.
Perubahan
sosok guru
Bersamaan dengan lahirnya
realitas baru di masyarakat itu adalah terjadinya perubahan mengenai sosok
seorang guru. Guru pada masa sekarang bukan lagi seperti yang dilukiskan oleh
Earl V Pullias dan James D Young sebagai sosok makhluk serba bisa dan sekaligus
memiliki kewibawaan yang tinggi, tapi lebih tepat sebagai sosok seorang pemberi
komando, tutor, atau penatar seperti yang sering digambarkan oleh novelis Y.B.
Mangunwijaya.
Menurut Earl V Pullias dan
James D Young, sebagai sosok makhluk serba bisa, yang dapat dilakukan guru
untuk membantu bergeraknya proses pertumbuhan siswa secara terus menerus,
antara lain, pertama, guru dapat
hadir bila para pelajar memerlukan untuk mendengarkan dan memahaminya. Kedua, guru dapat mencoba memberi satu
pengalaman yang luas yang memungkinkan pelajar mengadakan evaluasi mengenai
dirinya dalam hubungan dengan keberadaannya, pernah menjadi apa dan akan
menjadi apa. Ketiga, guru dapat
belajar untuk membantu pelajar memeriksa keadaan (situasi) dengan bebas dan
dengan jujur dari berbagai sudut pandangan. Keempat, guru dapat menyimpan dalam pikirannya seluruh proses
perkembangan manusiawi dan mencoba melihat hubungan itu dari berbagai aneka
derajat dan segi-segi kehidupan sejak dilahirkan sampai mati.
Melalui peran ideal yang
dimainkan sebagai makhluk serba bisa itulah guru mendapatkan kewibawaannya baik
di masyarakat maupun dalam lingkup sekolah.
Guru pada waktunya dulu
memenuhi seperti yang diharapkan PR Sarkar (1981), yaitu memiliki kualitas,
seperti misalnya karakter yang kuat, keadilan, semangat berkorban untuk
kepentingan sosial, tidak mementingkan diri sendiri, bekepribadian dan
bepemimpinan. Mereka juga adalah pembimbing masyarakat, itulah sebabnya tidak
semua dapat melakukan tugas sebagai guru.
Adanya perubahan sosok guru
yang sangat kontradiktif itu bukan taken for granted (ada dengan
sendirinya), melainkan merupakan hasil pergulatan jaman maupun konstruksi dari
kekuasaan yang ada. Hilangnya sosok guru sebagai makhluk serba bisa karena
direduksi oleh kecenderungan spesialisasi dalam ilmu pengetahuan maupun
peran-peran yang dimainkan di masyarakat. Masyarakat tidak lagi menuntut agar
guru mengetahui sedikit-sedikit tentang banyak hal, melainkan mengetahui banyak
tentang sedikit hal. Itu sebabnya, selama 10 tahun terakhir telah muncul
usulan-usulan agar mengajar di SD berdasarkan bidang studi dan bukan
berdasarkan kelas. Usulan tersebut kemudian diakomodir dengan cara: Untuk kelas
1-3 tetap diajar berdasarkan kelas, tetapi untuk kelas 4-6 diajar berdasarkan
bidang studi.
Sedangkan hilangnya sosok
guru yang ideal seperti yang dilukiskan oleh PR Sarkar disebabkan adanya
pergeseran status guru, bahwa profesi guru, baik secara sosial maupun gaji,
tidak bergengsi lagi. Sekarang, mereka yang menjadi guru bukanlah berasal dari
orang kota yang kaya, yang sejak awal bercita-cita ingin mencerdaskan kehidupan
bangsa, melainkan berasal dari sekelompok anak muda desa yang menempuh
pendidikan bukan di institusi pendidikan terbaik di negeri ini. Menjadi guru
bukanlah merupakan cita-cita sejak awal, tapi kondisi obyektiflah (sulit
memperoleh pekerjaan di luar guru) yang membuat mereka memilih menjadi guru.
Latar belakang kehidupan guru
yang kurang mendukung di satu pihak, dan kompleksitasnya masalah yang dihadapi,
membuat daya tahan mereka lemah, tidak kuasa menghadapi tekanan yang sifatnya
ekonomis, ideologis, politis, maupun kultural. Tidak mengherankan bila
pendidikan nasional mudah sekali diintervensi oleh berbagai pihak (pemodal,
penguasa, tokoh agama, tokoh organisasi, pedagang kelontong, dan lain-lain).
Seakan-akan guru tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan "tidak"
terhadap segala bentuk intervensi tersebut, sehingga yang muncul kemudian
adalah sosok guru sebagai komando, tutor, atau penatar, sebagai kepanjangan
tangan dari yang mengintervensi.
Bersamaan dengan kuatnya
sosok guru sebagai seorang komando, tutor, atau penatar itu pula berakhirlah
profesi guru yang sebenarnya. Seorang guru yang sejati adalah orang yang setia
terhadap nilai-nilai kebenaran, pengabdian, memiliki rasa ingin tahu dan
integritas keilmuwan yang tinggi, serta mempunyai semangat untuk membagikan
pengetahuan maupun pengalamannya itu kepada para siswanya. Sedangkan sebagai
seorang komando profesi guru tidak lagi membutuhkan kecerdasan, dedikasi, dan
tanggung jawab sosial dan moral, tapi yang utama adalah keberanian untuk
berteriak lantang dan menggertak.
Demikian juga sosoknya
sebagai seorang tutor atau penatar yang mereka perlukan adalah sebatas
kemahiran meng-copy materi secara baik agar dapat berperan sebagai tutor
atau penatar yang baik di depan siswa. Seorang tutor tidak peduli apakah materi
yang disampaikan itu memiliki relevansi dengan kehidupan riil atau tidak, tapi
yang terpenting adalah materi dapat terselesaikan sesuai dengan target
waktunya.
Kurangi
beban ideologis
Sebagian besar masyarakat
sangat percaya bahwa munculnya tindakan main fisik yang dilakukan guru terhadap
siswanya, yang sekaligus menandai matinya profesi guru itu disebabkan oleh
terlalu beratnya beban yang dipikul oleh guru dan tidak ada ruang untuk
membaginya. Secara ekonomis, gaji guru yang rendah membuat para guru ngobyek
ke sana kemari. Celakanya lagi, gaji yang rendah itu masih banyak dipotong
untuk kepentingan yang tidak pernah jelas. Kondisi itu sering membuat guru
merasa jengkel. Akibatnya, selain perhatian terhadap siswa sangat kurang, guru
juga menumpahkan kejengkelannya itu kepada siswa.
Keyakinan masyarakat seperti
itu ada benarnya. Tapi jangan lupa adanya masalah yang sangat mendasar dan
secara sistematis mematikan profesi guru. Secara ekonomis, guru belum pernah
lepas dari desakan kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, dan papan), secara
sosial guru terlalu banyak beban sampiran, secara politis guru mengemban
berbagai pesan ideologis-politis yang harus disampaikan kepada siswa, dan
secara budaya guru sering harus tunduk pada desakan kekuatan dari luar sekolah.
Sekolah sungguh merupakan obyek rayahan untuk menyukseskan program-program dari
berbagai institusi maupun perseorangan.
Oleh sebab itu, untuk
menghidupkan kembali profesi guru sentuhannya bukan sebatas masalah ekonomi
saja, melainkan lebih pada masalah struktural. Tolonglah, jangan jadikan guru
sebagai obyek sekaligus instrumen demi tercapainya kepuasan segelintir orang
saja, seperti pemotongan gaji guru untuk beli saham IPTN.
Penguasa
maupun tokoh apa pun sebaiknya juga tidak terlalu memaksakan program-programnya
ke sekolah melalui para guru. Biarlah sekolah sebagai institusi resmi
pengembangan ilmu pengetahuan berjalan otonom, seperti yang diharapkan PR
Sarkar bahwa pengetahuan dan ilmu pengetahuan hendaknya diberikan bebas seperti
kebebasan mendapatkan sinar matahari dan udara, dan mengalir seperti sumber air
yang mengalir bebas, menghidupkan semuanya, memberikan daya hidup kepada
peradaban manusia untuk selama-lamanya.
* Darmaningtyas, sedang
magang penelitian di Lembaga Pengembangan Ilmu Sosial Transformatif (LPIST) dan
guru ekstra sebuah SMA swasta di Jakarta
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as