Zakat Profesi
Oleh: DR. Yusuf Qardhawi
Pendahuluan
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam.
Pertama, adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat. seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya.
Kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah ataupun honorarium.
Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Bila wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya dan bagaimana tinjauan fiqh Islam tentang masalah itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu sekali memperoleh jawaban pada masa sekarang, supaya setiap orang mengetahui kewajiban dan haknya. Bentuk-bentuk penghasilan dengan bentuknya yang modern, volumenya yang besar dan sumbernya yang luas itu, merupakan sesuatu yang belum dikenal oleh para ulama fiqh pada masa silam. Kita menguraikan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok fasal: 1. Pandangan fiqh tentang penghasilan dan profesi, serta pendapat para ulama fiqh pada zaman dulu dan sekarang tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang kuat;
2. Nisab, besarnya dan cara menetapkannya; dan
3. Besar zakatnya.
Pandangan Fiqh Tentang Penghasilan Dan Profesi
Pendapat Mutakhir
Guru-guru seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf telah mengemukakan persoalan ini dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952. Ceramah mereka tersebut sampai pada suatu kesimpulan yang teksnya sebagai berikut:
"Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fiqh sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat."
"Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang -untuk bisa dianggap kaya- yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama, maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat."
"Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut."
Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, "Penghasilan dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fiqh, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab."
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.
Gaji Dan Upah Adalah Harta Pendapatan
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
Yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan persamaannya dalam fiqh selain apa yang dilaporkan tentang pendapat Ahmad tentang sewa rumah diatas. Tetapi sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan di sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan, "yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Jadi pandangan fiqh tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah harta penghasilan."
Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun. Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.
Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-pendapat itu telah pernah ditulis dalam buku-buku yang sudah berada di kalangan para peneliti, misalnya al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, jilid 4: 83 dan seterusnya al-Mughni oleh Ibnu Qudamah jilid 2: 6 Nail-Authar jilid 4: 148 Rudz an-Nadzir jilid 2; 41 dan Subul as-Salam jilid 2: 129.
Mencari Pendapat Yang Lebih Kuat Tentang Zakat Profesi
Yang mendesak, mengingat zaman sekarang, adalah menemukan hukum pasti harta penghasilan itu, oleh karena terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada harta penghasilan tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat harta penghasilan itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun. Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, harta penghasilan dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga. Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan Tumpang Tindih Pajak.
Yang kita bicarakan disini, adalah tentang harta penghasilan, yang berkembang bukan dari kekayaan lain, tetapi karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis dengan kekayaan lain yang ada padanya atau tidak.
Berlaku jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan zakat hartanya yang sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib zakat terhitung saat harta tersebut diperoleh dan susah terpenuhi syarat-syarat zakat yang berlaku seperti cukup senisab, bersih dari hutang, dan lebih dari kebutuhan-kebutuhan pokok?
Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama-ulama fiqh meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fiqh itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadits-hadits mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa hadits-hadits tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha.
Di bawah ini dijelaskan tingkatan kebenaran hadits-hadits tentang ketentuan setahun tersebut dan sejauh mana para imam hadits membenarkannya.
Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Ketentuan Setahun
Ketentuan setahun itu ditetapkan berdasarkan hadits-hadits dari empat sahabat, yaitu Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah r.a. Tetapi hadits-hadits itu lemah, tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Hadits dari Ali
hadits dari Ali diriwayatkan oleh Abu Daud tentang Zakat Ternak.
"Kami diberitahu oleh Sulaiman bin Daud al-Mahri, oleh Ibnu Wahab, oleh Jarir bin Hazim, yang lain mengatakan dari Abu Ishaq, dari Ashim bin Dzamra dan Haris 'A'war, dari Ali r.a., dari Nabi SAW Bila engkau mempunyai dua ratus dirham dan sudah mencapai waktu setahun, maka zakatnya adalah 5 (lima) dirham, dan tidak ada suatu kewajiban zakat yaitu atas emas-sampai engkau mempunyai dua puluh dinar dan sudah mencapai masa setahun, yang zakatnya adalah setengah dinar. Lebih dari itu menurut ketentuan di atas, Abu Daud berkata, "Saya tidak tahu apakah Ali yang mengatakan "Lebih dari itu menurut ketentuan" tersebut ataukah yang mengatakannya Nabi sendiri. Begitu juga tentang ketentuan masa setahun bagi wajib zakat, selain ucapan Jarir, "hadits dari Nabi tersebut bersambung dengan "Tidak ada kewajiban zakat atas satu kekayaan sampai melewati waktu setahun."
Demikian hadits Ali yang diriwayatkan oleh Abu Daud, sedangkan penilaian ulama-ulama hadits tentang hadits tersebut sebagai berikut: a. Ibnu Hazm berkata, diikuti oleh Abdul Haq dalam Ahkamuhu, "hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Jarir bin Hazim dari Abu Ishaq dari Ashim dan Haris dari Ali. Abu Ishaq membandingkan antara Ashim dan Haris, Haris adalah pembohong yang menyangkutkannya kepada Nabi SAW, sedangkan Ashim tidak menyangkutkannya. Kemudian Jarir menggabungkan kedua hadits dari kedua orang tersebut. hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Syuibah, Sufyan, dan Mu'ammar dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali secara mauquf. Demikian juga semua yang diriwayatkan oleh Ashim mesti hanya sampai kepada Ali. Seandainya Jarir menyangkutkannya ke Ashim dan menjelaskan hal tersebut, kita akan menerimanya.
b. Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhish -mengomentari pendapat Ibnu Hazm- hadits tersebut diriwayatkan oleh Turmizi dari Abu Awanah dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali sebagai hadits marfu'.
Menurut saya hadits Abu Awanah tidak menyebut-nyebut masalah setahun, yang oleh karena itu tidak bisa dijadikan landasan hukum. Teksnya sebagaimana diriwayatkan oleh Turmizi mengenai zakat emas dan uang adalah sabda Rasul, "Saya dulu memaafkan zakat kuda dan uang, sekarang keluarkanlah zakatnya: dari setiap empat puluh dirham satu dirham, seratus sembilan puluh tidak ada zakatnya, tetapi bila sudah mencapai dua ratus dirham maka zakatnya lima dirham".
c. Semua ini berdasarkan pendapat bahwa Ashim terjamin kejujurannya tetapi sebenarnya ia tidak bebas dari cacat. Mundziri dalam Mukhtashar as-Sunan mengatakan bahwa Haris dan Ashim tidak bisa dipercaya. Tetapi Zahabi dalam Mizan al-I'tidal mengatakan bahwa terdapat empat orang memperoleh hadits itu darinya dan dikuatkan oleh Ibnu Mu'ayyan dan Ibnu Madini. Ahmad berkata bahwa ia lebih baik dari Haris-A'war dan dapat dipercaya. Nasa'i juga berpendapat demikian. Tetapi Ibnu Adi mengatakan bahwa ia meriwayatkan hadits tersebut sendiri saja dari Ali. Menurut Ibnu Hiban, Ashim mempunyai daya hafal yang jelek, banyak salah, dan selalu menghubungkan ucapannya itu kepada Ali yang oleh karena itu lebih baik tidak diperhatikan, namun ia lebih baik dari Haris. Ucapan ini mendukung pendapat Mundzir, bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum.
d. Dengan demikian hadits tersebut ada cacatnya, sebagaimana diperingatkan oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish bahwa hadits yang kita sebutkan dari Abu Daud tersebut ada cacatnya. Ia mengatakan bahwa Ibnu Muwaq memperingatkan bahwa hadits tersebut mempunyai cacat yang tersembunyi, yaitu bahwa Jarir bin Hazim tidak mungkin mendengarnya dari Abu Ishaq, tetapi diriwayatkan oleh banyak penghafal seperti Sahnun, Harmala, Yunus, Bahr bin Nashir, dan lain- lainnya dari Ibnu Wahab dari Jarir bin Hazim dari Haris bin Nabhan dari Hasan bin 'Imarah dari Abu Ishaq. Ibnu Muwaq berkata bahwa meragui kebenaran hadits tersebut karena Sulaiman adalah guru Abu Daud merupakan dugaan-dugaan untuk menjatuhkan seseorang saja. Hasan bin 'Imarah yang tidak terdapat dalam sanad jelas tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan landasan. Sikap Ibnu Hajar yang diam saja atas kritikan Ibnu Muwaq atas hadits tersebut, bahkan menegaskan hadits tersebut ada cacatnya, dinilai sudah menyimpang dari pendapatnya dalam at-Talkhish, bahwa hadits Ali benar sanadnya dan dikuatkan oleh banyak atsar sehingga dapat dijadikan landasan hukum.
Jelaslah bahwa dalam hadits tersebut terdapat banyak kekurangan. Yaitu dari pihak Haris yang diduga pembohong karena sebagian saja mengatakan hadits itu ke pihak sebelumnya, dari pihak Ashim yang dipersoalkan kejujurannya, dan dari segi cacat seperti disebut oleh Ibnu Muwaq dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar. Dan menurut pendapat saya, Allahlah yang lebih tahu bahwa orang-orang yang menganggap bahwa hadits Ali adalah hasan, bila mengetahui cacat yang diperingatkan oleh Ibnu Muwaq yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya tersebut, pasti akan meralat pendapat mereka, dan akan menyatakan bahwa hadits tersebut betul bercacat.
Hadits dari Ibnu Umar
Mengenai hadits dari Ibnu Umar, Ibnu Hajar berkata bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Baihaqi, didalamnya terdapat Ismail bin Iyasy yang menerima dari sumber bukan penduduk Syam, adalah lemah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Numair, Mu'tamar, dan lain-lain dari gurunya, yaitu Ubaidillah bin Umar, yang meriwayatkan dari Nafi' kemudian terputus, yang dibenarkan oleh Daruquthni dalam al-'Ilal bahwa hadits tersebut memang mauquf.
Hadits dari Anas
Mengenai hadits dari Anas, Daruquthni meriwayatkan yang didalamnya ada Hasan bin Siyah yang lemah yang telah meriwayatkan sendiri saja dari Sabit (Talkhish: 175) bahwa Ibnu Hiban berkata dalam kitab adz-Dzu'afa' bahwa ia meragui hadits itu yang tidak diperbolehkannya untuk landasan hokum karena ia meriwayatkannya sendiri saja.
Hadits dari Aisyah
hadits dari Aisyah diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruquthni, Baihaqi, serta Uqaili dalam adz-Dzu'afa' bahwa didalamnya terdapat Harisha bin Abur Rijal, yang lemah.
Ibnu Qayyim berkata dalam Tahdhib Sunan Abi Daud hadits bahwa tidak ada zakat pada harta benda sampai lewat setahun diriwayatkan dari Aisyah dengan sanad yang shahih. Muhammad bin Ubaidillah bin Munadi berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan kepada mereka oleh Abu Zaid Syuja, bin al-Walid, dari Harisha bin Muhammad dari Umrah dari Aisyah "Saya mendengar Rasulullah bersabda: "Tidak ada zakat pada suatu harta sampai lewat setahun," diriwayatkan oleh Abu Husain bin Basyran dari Usman bin Samak dari Ibnu Munadi.
Menurut saya adalah aneh Ibnu Qayyim menilai hadits tersebut shahih dengan sanad tersebut oleh karena bila kita tidak menggubris Syuja, bin Walid ayah Badr gelar yang diberikan padanya lihat al-Mizan, jilid 2: 264 sedangkan tentangnya Abu Hakim mengatakan suaranya hampir tidak kedengaran, tua, tidak kuat, tidak dapat dipercaya, tetapi mempunyai hadits-hadits shahih lain dari sumber Muhammad bin Amru, maka kita tidak bisa pula menganggap tidak ada gurunya yaitu Harisha bin Muhammad yang sebenarnya adalah Harisha bin Abu Rijal sendiri, yang meriwayatkan dari Umrah yang hadits-hadits darinya dianggap lemah oleh Daruquthni dan Uqaili. Zahabi berpendapat dalam bukunya bahwa Ahmad dan Ibnu Mu'ayyan menganggap hadits itu lemah, Nasa'i berpendapat bahwa hadits tersebut matruk, sedangkan Bukhari menilai hadits tersebut tidak benar tak seorang pun yang mengakuinya. Madini berkata bahwa sahabat-sahabatnya masih menganggapnya lemah, sedangkan lbnu Adi mengatakan bahwa kebanyakan hadits yang diriwayatkan olehnya tidak benar. Ini berarti bahwa menurut ijmak perawinya lemah dan bercacat, yang oleh karena itu tidak mungkin hadits yang diriwayatkan sendirian bias dianggap shahih. Agaknya ia memakai nama ayahnya -yaitu Muhammad- dan tidak dengan nama aslinya yang terkenal -yaitu Abu Rija- merupakan petunjuk ketidakbenaran tersebut.
hadits-hadits tersebut adalah hadits-hadits yang berhubungan dengan persyaratan waktu setahun (haul) bagi wajib zakat semua jenis harta benda baik harta pendapatan maupun bukan.
Hadits-Hadits Tentang "Harta Penghasilan"
hadits khusus tentang harta penghasilan diriwayatkan oleh Turmizi dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai lewat setahun di sisi Tuhannya."
hadits yang diriwayatkan oleh Turmizi juga dari Ayyub bin Nafi, dari Ibnu Umar, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakat atasnya dan seterusnya," tanpa dihubungkan kepada Nabi SAW
Turmizi mengatakan bahwa hadits itu lebih shahih daripada hadits Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Ayyub, Ubaidillah, dan lainnya yang lebih dari seorang meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar secara mauquf. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam lemah mengenai hadits, dianggap lemah oleh Ahmad bin Hanbal, Ali Madini, serta ahli hadits lainnya, dan dia itu terlalu banyak salahnya. hadits dari Abdurrahman bin Zaid juga diriwayatkan oleh Daruquthni dan al-Baihaqi, tetapi Baihaqi, Ibnu Jauzi, dan yang lain menganggapnya mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Turmizi. Daruquthni dalam Gharaibu Malik meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim Hunaini dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar begitu juga Daruquthni mengatakan bahwa hadits tersebut lemah, dan yang shahih menurut Malik adalah mauquf. Baihaqi meriwayatkan dari Abu Bakr, Ali, dan Aisyah secara mauquf, begitu juga dari Ibnu Umar. Ia mengatakan bahwa yang jadi pegangan dalam masalah tersebut adalah hadits-hadits shahih dari Abu Bakr ash-Shiddiq, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, dan lain-lainnya.
Dengan penjelasan ini jelaslah bagi kita bahwa mengenai persyaratan waktu setahun (haul) tidak berdasar hadits yang tegas dan berasal dari Nabi SAW, apalagi mengenai "harta penghasilan" seperti dikatakan oleh Baihaqi.
Bila benar berasal dari Nabi SAW, maka hal itu tentulah mengenai kekayaan yang bukan harta penghasilan berdasarkan jalan tengah dan banyak dalil tersebut. Ini bisa diterima, yaitu bahwa harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya tidak wajib zakat lagi sampai setahun berikutnya. Zakat adalah tahunan tidak bisa dipertengahan lagi. Dalam hal ini hadits itu bisa berarti bahwa zakat tidak wajib atas suatu kekayaan sampai lewat setahun. Artinya tidak ada kewajiban zakat lagi atas harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya sampai lewat lagi masanya setahun penuh. Hal ini sudah kita jelaskan dalam fasal pertama bab ini.
Petunjuk lain bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ketentuan setahun atas harta penghasilan itu adalah ketidaksepakatan para sahabat yang akan kita jelaskan. Bila hadits-hadits tersebut shahih, mereka tentu akan mendukungnya.
Ketidaksepakatan para Sahabat dan Tabi'in dan Sesudahnya tentang Harta Benda Hasil Usaha
Bila mengenai ketentuan setahun tidak ada nash yang shahih, tidak pula ada ijmak qauli ataupun sukuti, maka para sahabat dan tabi'in tidak sependapat pula tentang ketentuan setahun pada harta penghasilan. Diantara mereka ada yang memberikan ketentuan setahun itu, dan ada pula yang tidak dan mewajibkan zakat dikeluarkan sesaat setelah seseorang memperoleh kekayaan penghasilan tersebut.
Ketidaksepakatan mereka itu tidak berarti bahwa pendapat salah satu pihak lebih kuat dari pendapat yang lain. Persoalannya harus diteropong dengan nash-nash lain dan aksioma umum Islam seperti firman Allah, "Bila kalian berselisih dalam sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul." (al-Qur'an 4: 59). Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr ash-Shiddiq mengatakan bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq tidak mengambil zakat dari suatu harta sehingga lewat setahun. Umra binti Abdirrahman dari Aisyah mengatakan zakat tidak dikeluarkan sampai lewat setahun, yaitu zakat harta penghasilan. hadits dari Ali bin Abi Thalib, "Siapa yang memperoleh harta, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya sampai lewat setahun." Demikian pula dari Ibnu Umar.
Hadits-hadits dari para sahabat itu menunjukkan, bahwa zakat tidak wajib atas harta benda sampai berada pada pemiliknya selama setahun, meskipun harta penghasilan. Namun sahabat lainnya tidak menerima pendapat tersebut, dan tidak memberikan syarat satu tahun atas zakat harta penghasilan. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Syaibah dan Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Abbas, bahwa kewajiban pengeluaran zakat setiap harta benda yang dizakati adalah yang memilikinya adalah seseorang Muslim.
Mereka yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas tersebut bahwa zakat dari harta penghasilan harus segera dikeluarkan zakatnya tanpa menunggu satu tahun adalah lbnu Mas'ud, Mu'awiyah dari sahabat, Umar bin Abdul Aziz, Hasan, dan az-Zuhri dari kalangan tabi'in, yang akan kita jelaskan dalam fasal-fasal berikut.
Harta Penghasilan Menurut Para Sahabat Dan Tabi'in
1. Ibnu Abbas
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya."
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. hadits tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan ketiadaan ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda pendapat mengenai itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak sedangkan saya menganggapnya tidak demikian. Menurut saya ia sama sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai dengan pendapat umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda. Bila Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak tahu apa maksud hadits tersebut.
Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan zakat harta benda dan ini tidak bisa diragukan. Ia memiliki beberapa ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering saya kutip, namun saya menilai pendapatnya dalam masalah ini lemah; karena tidak sesuai dengan apa yang difahami dengan serta merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka ia tidak akan dipandang istimewa oleh Ibnu Abbas, yang banyak meriwayatkan darinya.
Pada dasarnya hadits tersebut harus difahami menurut zahirnya tanpa penafsiran, kecuali bila terdapat sesuatu yang menghambat pemahaman menurut zahirnya tersebut tetapi penghambat itu tidak ada.
Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk menerima pengertian zahir hadits tersebut tidak dapat diterima karena: 1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat. Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya.
2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian, maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak terjadi.
3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang terjadi dalam warisan hukum fiqh kita. Ibnu Abbas misalnya mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya.
Abu Ubaid sendiri tidak mengharuskan penafsiran tersebut mesti diumumkan, tetapi mengatakan saya duga atau saya mengira, dan dalam penutup ia mengatakan; "Bila ia (Ibnu Abbas) tidak memaksudkan, maka saya tidak tahu apa maksud hadits tersebut?"
2. Ibnu Mas'ud
Abu Ubaid meriwayatkan pula dari Hubairah bin Yaryam, Abdullah bin Mas'ud memberikan kami keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya. Abu Ubaid menafsirkan lain hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah wajib dikeluarkan zakatnya waktu itu, bukan karena diberikan.
Penafsiran lain itu kadang-kadang dilakukan takwil serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna yang dapat langsung difahami, dan berbeda pula dengan pendapat yang berasal dari Ibnu Mas'ud bahwa maksud penarikan zakat diatas adalah penarikan zakat atas pemberian Hubairah mengatakan bahwa lbnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah, dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang dengan Pengurangan Sumber, bukan diambil karena kekayaan asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari pemberian lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari seharusnya. Barangkali Abu Ubaid belum mengetahui riwayat itu, sehingga dia memberikan takwil tersebut.
3. Mu'awiyah
Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu Mas'ud tersebut, karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.
Yang jelas adalah bahwa Mu'awiyah mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan yang jelas adalah bahwa zaman Mu'awiyah penuh dengan kumpulan para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu'awiyah melanggar hadits Nabi atau ijmak yang dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu'awiyah tentang masalah lain, ketika Mu'awiyah memungut setengah sha' gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha' bukan gandum, seperti diberitakan hadits Abu Said.
Oleh: DR. Yusuf Qardhawi
Pendahuluan
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan dan profesinya. Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam.
Pertama, adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor, insinyur, advokat. seniman, penjahit, tukang kayu dan lain-lainnya.
Kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak ataupun kedua-duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti itu berupa gaji, upah ataupun honorarium.
Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Bila wajib, berapakah nisabnya, besar zakatnya dan bagaimana tinjauan fiqh Islam tentang masalah itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu sekali memperoleh jawaban pada masa sekarang, supaya setiap orang mengetahui kewajiban dan haknya. Bentuk-bentuk penghasilan dengan bentuknya yang modern, volumenya yang besar dan sumbernya yang luas itu, merupakan sesuatu yang belum dikenal oleh para ulama fiqh pada masa silam. Kita menguraikan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok fasal: 1. Pandangan fiqh tentang penghasilan dan profesi, serta pendapat para ulama fiqh pada zaman dulu dan sekarang tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang kuat;
2. Nisab, besarnya dan cara menetapkannya; dan
3. Besar zakatnya.
Pandangan Fiqh Tentang Penghasilan Dan Profesi
Pendapat Mutakhir
Guru-guru seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf telah mengemukakan persoalan ini dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952. Ceramah mereka tersebut sampai pada suatu kesimpulan yang teksnya sebagai berikut:
"Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fiqh sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat."
"Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang -untuk bisa dianggap kaya- yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama, maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat."
"Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut."
Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, "Penghasilan dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fiqh, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab."
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.
Gaji Dan Upah Adalah Harta Pendapatan
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, adalah bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
Yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan persamaannya dalam fiqh selain apa yang dilaporkan tentang pendapat Ahmad tentang sewa rumah diatas. Tetapi sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan di sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada kekayaan penghasilan, "yaitu kekayaan yang diperoleh seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syariat agama. Jadi pandangan fiqh tentang bentuk penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah harta penghasilan."
Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu setahun. Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.
Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-pendapat itu telah pernah ditulis dalam buku-buku yang sudah berada di kalangan para peneliti, misalnya al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, jilid 4: 83 dan seterusnya al-Mughni oleh Ibnu Qudamah jilid 2: 6 Nail-Authar jilid 4: 148 Rudz an-Nadzir jilid 2; 41 dan Subul as-Salam jilid 2: 129.
Mencari Pendapat Yang Lebih Kuat Tentang Zakat Profesi
Yang mendesak, mengingat zaman sekarang, adalah menemukan hukum pasti harta penghasilan itu, oleh karena terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat digolongkan kepada harta penghasilan tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalamnya terdapat harta penghasilan itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun. Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, harta penghasilan dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20, begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga. Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam perpajakan dinamakan Tumpang Tindih Pajak.
Yang kita bicarakan disini, adalah tentang harta penghasilan, yang berkembang bukan dari kekayaan lain, tetapi karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis dengan kekayaan lain yang ada padanya atau tidak.
Berlaku jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan zakat hartanya yang sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib zakat terhitung saat harta tersebut diperoleh dan susah terpenuhi syarat-syarat zakat yang berlaku seperti cukup senisab, bersih dari hutang, dan lebih dari kebutuhan-kebutuhan pokok?
Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas adalah pendapat ulama-ulama fiqh meskipun yang terkenal banyak di kalangan para ulama fiqh itu adalah bahwa masa setahun merupakan syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadits-hadits mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa hadits-hadits tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk harta hasil usaha.
Di bawah ini dijelaskan tingkatan kebenaran hadits-hadits tentang ketentuan setahun tersebut dan sejauh mana para imam hadits membenarkannya.
Kelemahan Hadits-Hadits Tentang Ketentuan Setahun
Ketentuan setahun itu ditetapkan berdasarkan hadits-hadits dari empat sahabat, yaitu Ali, Ibnu Umar, Anas dan Aisyah r.a. Tetapi hadits-hadits itu lemah, tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Hadits dari Ali
hadits dari Ali diriwayatkan oleh Abu Daud tentang Zakat Ternak.
"Kami diberitahu oleh Sulaiman bin Daud al-Mahri, oleh Ibnu Wahab, oleh Jarir bin Hazim, yang lain mengatakan dari Abu Ishaq, dari Ashim bin Dzamra dan Haris 'A'war, dari Ali r.a., dari Nabi SAW Bila engkau mempunyai dua ratus dirham dan sudah mencapai waktu setahun, maka zakatnya adalah 5 (lima) dirham, dan tidak ada suatu kewajiban zakat yaitu atas emas-sampai engkau mempunyai dua puluh dinar dan sudah mencapai masa setahun, yang zakatnya adalah setengah dinar. Lebih dari itu menurut ketentuan di atas, Abu Daud berkata, "Saya tidak tahu apakah Ali yang mengatakan "Lebih dari itu menurut ketentuan" tersebut ataukah yang mengatakannya Nabi sendiri. Begitu juga tentang ketentuan masa setahun bagi wajib zakat, selain ucapan Jarir, "hadits dari Nabi tersebut bersambung dengan "Tidak ada kewajiban zakat atas satu kekayaan sampai melewati waktu setahun."
Demikian hadits Ali yang diriwayatkan oleh Abu Daud, sedangkan penilaian ulama-ulama hadits tentang hadits tersebut sebagai berikut: a. Ibnu Hazm berkata, diikuti oleh Abdul Haq dalam Ahkamuhu, "hadits itu diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dari Jarir bin Hazim dari Abu Ishaq dari Ashim dan Haris dari Ali. Abu Ishaq membandingkan antara Ashim dan Haris, Haris adalah pembohong yang menyangkutkannya kepada Nabi SAW, sedangkan Ashim tidak menyangkutkannya. Kemudian Jarir menggabungkan kedua hadits dari kedua orang tersebut. hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Syuibah, Sufyan, dan Mu'ammar dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali secara mauquf. Demikian juga semua yang diriwayatkan oleh Ashim mesti hanya sampai kepada Ali. Seandainya Jarir menyangkutkannya ke Ashim dan menjelaskan hal tersebut, kita akan menerimanya.
b. Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhish -mengomentari pendapat Ibnu Hazm- hadits tersebut diriwayatkan oleh Turmizi dari Abu Awanah dari Abu Ishaq dari Ashim dari Ali sebagai hadits marfu'.
Menurut saya hadits Abu Awanah tidak menyebut-nyebut masalah setahun, yang oleh karena itu tidak bisa dijadikan landasan hukum. Teksnya sebagaimana diriwayatkan oleh Turmizi mengenai zakat emas dan uang adalah sabda Rasul, "Saya dulu memaafkan zakat kuda dan uang, sekarang keluarkanlah zakatnya: dari setiap empat puluh dirham satu dirham, seratus sembilan puluh tidak ada zakatnya, tetapi bila sudah mencapai dua ratus dirham maka zakatnya lima dirham".
c. Semua ini berdasarkan pendapat bahwa Ashim terjamin kejujurannya tetapi sebenarnya ia tidak bebas dari cacat. Mundziri dalam Mukhtashar as-Sunan mengatakan bahwa Haris dan Ashim tidak bisa dipercaya. Tetapi Zahabi dalam Mizan al-I'tidal mengatakan bahwa terdapat empat orang memperoleh hadits itu darinya dan dikuatkan oleh Ibnu Mu'ayyan dan Ibnu Madini. Ahmad berkata bahwa ia lebih baik dari Haris-A'war dan dapat dipercaya. Nasa'i juga berpendapat demikian. Tetapi Ibnu Adi mengatakan bahwa ia meriwayatkan hadits tersebut sendiri saja dari Ali. Menurut Ibnu Hiban, Ashim mempunyai daya hafal yang jelek, banyak salah, dan selalu menghubungkan ucapannya itu kepada Ali yang oleh karena itu lebih baik tidak diperhatikan, namun ia lebih baik dari Haris. Ucapan ini mendukung pendapat Mundzir, bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum.
d. Dengan demikian hadits tersebut ada cacatnya, sebagaimana diperingatkan oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish bahwa hadits yang kita sebutkan dari Abu Daud tersebut ada cacatnya. Ia mengatakan bahwa Ibnu Muwaq memperingatkan bahwa hadits tersebut mempunyai cacat yang tersembunyi, yaitu bahwa Jarir bin Hazim tidak mungkin mendengarnya dari Abu Ishaq, tetapi diriwayatkan oleh banyak penghafal seperti Sahnun, Harmala, Yunus, Bahr bin Nashir, dan lain- lainnya dari Ibnu Wahab dari Jarir bin Hazim dari Haris bin Nabhan dari Hasan bin 'Imarah dari Abu Ishaq. Ibnu Muwaq berkata bahwa meragui kebenaran hadits tersebut karena Sulaiman adalah guru Abu Daud merupakan dugaan-dugaan untuk menjatuhkan seseorang saja. Hasan bin 'Imarah yang tidak terdapat dalam sanad jelas tidak dapat dibenarkan.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan landasan. Sikap Ibnu Hajar yang diam saja atas kritikan Ibnu Muwaq atas hadits tersebut, bahkan menegaskan hadits tersebut ada cacatnya, dinilai sudah menyimpang dari pendapatnya dalam at-Talkhish, bahwa hadits Ali benar sanadnya dan dikuatkan oleh banyak atsar sehingga dapat dijadikan landasan hukum.
Jelaslah bahwa dalam hadits tersebut terdapat banyak kekurangan. Yaitu dari pihak Haris yang diduga pembohong karena sebagian saja mengatakan hadits itu ke pihak sebelumnya, dari pihak Ashim yang dipersoalkan kejujurannya, dan dari segi cacat seperti disebut oleh Ibnu Muwaq dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar. Dan menurut pendapat saya, Allahlah yang lebih tahu bahwa orang-orang yang menganggap bahwa hadits Ali adalah hasan, bila mengetahui cacat yang diperingatkan oleh Ibnu Muwaq yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya tersebut, pasti akan meralat pendapat mereka, dan akan menyatakan bahwa hadits tersebut betul bercacat.
Hadits dari Ibnu Umar
Mengenai hadits dari Ibnu Umar, Ibnu Hajar berkata bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Baihaqi, didalamnya terdapat Ismail bin Iyasy yang menerima dari sumber bukan penduduk Syam, adalah lemah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Numair, Mu'tamar, dan lain-lain dari gurunya, yaitu Ubaidillah bin Umar, yang meriwayatkan dari Nafi' kemudian terputus, yang dibenarkan oleh Daruquthni dalam al-'Ilal bahwa hadits tersebut memang mauquf.
Hadits dari Anas
Mengenai hadits dari Anas, Daruquthni meriwayatkan yang didalamnya ada Hasan bin Siyah yang lemah yang telah meriwayatkan sendiri saja dari Sabit (Talkhish: 175) bahwa Ibnu Hiban berkata dalam kitab adz-Dzu'afa' bahwa ia meragui hadits itu yang tidak diperbolehkannya untuk landasan hokum karena ia meriwayatkannya sendiri saja.
Hadits dari Aisyah
hadits dari Aisyah diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Daruquthni, Baihaqi, serta Uqaili dalam adz-Dzu'afa' bahwa didalamnya terdapat Harisha bin Abur Rijal, yang lemah.
Ibnu Qayyim berkata dalam Tahdhib Sunan Abi Daud hadits bahwa tidak ada zakat pada harta benda sampai lewat setahun diriwayatkan dari Aisyah dengan sanad yang shahih. Muhammad bin Ubaidillah bin Munadi berkata bahwa hadits tersebut diriwayatkan kepada mereka oleh Abu Zaid Syuja, bin al-Walid, dari Harisha bin Muhammad dari Umrah dari Aisyah "Saya mendengar Rasulullah bersabda: "Tidak ada zakat pada suatu harta sampai lewat setahun," diriwayatkan oleh Abu Husain bin Basyran dari Usman bin Samak dari Ibnu Munadi.
Menurut saya adalah aneh Ibnu Qayyim menilai hadits tersebut shahih dengan sanad tersebut oleh karena bila kita tidak menggubris Syuja, bin Walid ayah Badr gelar yang diberikan padanya lihat al-Mizan, jilid 2: 264 sedangkan tentangnya Abu Hakim mengatakan suaranya hampir tidak kedengaran, tua, tidak kuat, tidak dapat dipercaya, tetapi mempunyai hadits-hadits shahih lain dari sumber Muhammad bin Amru, maka kita tidak bisa pula menganggap tidak ada gurunya yaitu Harisha bin Muhammad yang sebenarnya adalah Harisha bin Abu Rijal sendiri, yang meriwayatkan dari Umrah yang hadits-hadits darinya dianggap lemah oleh Daruquthni dan Uqaili. Zahabi berpendapat dalam bukunya bahwa Ahmad dan Ibnu Mu'ayyan menganggap hadits itu lemah, Nasa'i berpendapat bahwa hadits tersebut matruk, sedangkan Bukhari menilai hadits tersebut tidak benar tak seorang pun yang mengakuinya. Madini berkata bahwa sahabat-sahabatnya masih menganggapnya lemah, sedangkan lbnu Adi mengatakan bahwa kebanyakan hadits yang diriwayatkan olehnya tidak benar. Ini berarti bahwa menurut ijmak perawinya lemah dan bercacat, yang oleh karena itu tidak mungkin hadits yang diriwayatkan sendirian bias dianggap shahih. Agaknya ia memakai nama ayahnya -yaitu Muhammad- dan tidak dengan nama aslinya yang terkenal -yaitu Abu Rija- merupakan petunjuk ketidakbenaran tersebut.
hadits-hadits tersebut adalah hadits-hadits yang berhubungan dengan persyaratan waktu setahun (haul) bagi wajib zakat semua jenis harta benda baik harta pendapatan maupun bukan.
Hadits-Hadits Tentang "Harta Penghasilan"
hadits khusus tentang harta penghasilan diriwayatkan oleh Turmizi dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai lewat setahun di sisi Tuhannya."
hadits yang diriwayatkan oleh Turmizi juga dari Ayyub bin Nafi, dari Ibnu Umar, "Siapa yang memperoleh kekayaan maka tidak ada kewajiban zakat atasnya dan seterusnya," tanpa dihubungkan kepada Nabi SAW
Turmizi mengatakan bahwa hadits itu lebih shahih daripada hadits Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Ayyub, Ubaidillah, dan lainnya yang lebih dari seorang meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar secara mauquf. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam lemah mengenai hadits, dianggap lemah oleh Ahmad bin Hanbal, Ali Madini, serta ahli hadits lainnya, dan dia itu terlalu banyak salahnya. hadits dari Abdurrahman bin Zaid juga diriwayatkan oleh Daruquthni dan al-Baihaqi, tetapi Baihaqi, Ibnu Jauzi, dan yang lain menganggapnya mauquf, sebagaimana dikatakan oleh Turmizi. Daruquthni dalam Gharaibu Malik meriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim Hunaini dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar begitu juga Daruquthni mengatakan bahwa hadits tersebut lemah, dan yang shahih menurut Malik adalah mauquf. Baihaqi meriwayatkan dari Abu Bakr, Ali, dan Aisyah secara mauquf, begitu juga dari Ibnu Umar. Ia mengatakan bahwa yang jadi pegangan dalam masalah tersebut adalah hadits-hadits shahih dari Abu Bakr ash-Shiddiq, Usman bin Affan, Abdullah bin Umar, dan lain-lainnya.
Dengan penjelasan ini jelaslah bagi kita bahwa mengenai persyaratan waktu setahun (haul) tidak berdasar hadits yang tegas dan berasal dari Nabi SAW, apalagi mengenai "harta penghasilan" seperti dikatakan oleh Baihaqi.
Bila benar berasal dari Nabi SAW, maka hal itu tentulah mengenai kekayaan yang bukan harta penghasilan berdasarkan jalan tengah dan banyak dalil tersebut. Ini bisa diterima, yaitu bahwa harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya tidak wajib zakat lagi sampai setahun berikutnya. Zakat adalah tahunan tidak bisa dipertengahan lagi. Dalam hal ini hadits itu bisa berarti bahwa zakat tidak wajib atas suatu kekayaan sampai lewat setahun. Artinya tidak ada kewajiban zakat lagi atas harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya sampai lewat lagi masanya setahun penuh. Hal ini sudah kita jelaskan dalam fasal pertama bab ini.
Petunjuk lain bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ketentuan setahun atas harta penghasilan itu adalah ketidaksepakatan para sahabat yang akan kita jelaskan. Bila hadits-hadits tersebut shahih, mereka tentu akan mendukungnya.
Ketidaksepakatan para Sahabat dan Tabi'in dan Sesudahnya tentang Harta Benda Hasil Usaha
Bila mengenai ketentuan setahun tidak ada nash yang shahih, tidak pula ada ijmak qauli ataupun sukuti, maka para sahabat dan tabi'in tidak sependapat pula tentang ketentuan setahun pada harta penghasilan. Diantara mereka ada yang memberikan ketentuan setahun itu, dan ada pula yang tidak dan mewajibkan zakat dikeluarkan sesaat setelah seseorang memperoleh kekayaan penghasilan tersebut.
Ketidaksepakatan mereka itu tidak berarti bahwa pendapat salah satu pihak lebih kuat dari pendapat yang lain. Persoalannya harus diteropong dengan nash-nash lain dan aksioma umum Islam seperti firman Allah, "Bila kalian berselisih dalam sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul." (al-Qur'an 4: 59). Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr ash-Shiddiq mengatakan bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq tidak mengambil zakat dari suatu harta sehingga lewat setahun. Umra binti Abdirrahman dari Aisyah mengatakan zakat tidak dikeluarkan sampai lewat setahun, yaitu zakat harta penghasilan. hadits dari Ali bin Abi Thalib, "Siapa yang memperoleh harta, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya sampai lewat setahun." Demikian pula dari Ibnu Umar.
Hadits-hadits dari para sahabat itu menunjukkan, bahwa zakat tidak wajib atas harta benda sampai berada pada pemiliknya selama setahun, meskipun harta penghasilan. Namun sahabat lainnya tidak menerima pendapat tersebut, dan tidak memberikan syarat satu tahun atas zakat harta penghasilan. Ibnu Hazm mengatakan bahwa Ibnu Syaibah dan Malik meriwayatkan dalam al-Muwaththa dari Ibnu Abbas, bahwa kewajiban pengeluaran zakat setiap harta benda yang dizakati adalah yang memilikinya adalah seseorang Muslim.
Mereka yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas tersebut bahwa zakat dari harta penghasilan harus segera dikeluarkan zakatnya tanpa menunggu satu tahun adalah lbnu Mas'ud, Mu'awiyah dari sahabat, Umar bin Abdul Aziz, Hasan, dan az-Zuhri dari kalangan tabi'in, yang akan kita jelaskan dalam fasal-fasal berikut.
Harta Penghasilan Menurut Para Sahabat Dan Tabi'in
1. Ibnu Abbas
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan "Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya."
Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas. hadits tersebut shahih dari Ibnu Abbas, sebagaimana ditegaskan Ibnu Hazm. Hal itu menunjukkan ketiadaan ketentuan satu tahun bagi harta penghasilan, menurut yang difahami dari perkataan Ibnu Abbas. Tetapi Abu Ubaid berbeda pendapat mengenai itu, "Orang menafsirkan bahwa Ibnu Abbas memaksudkan penghasilan Itu berupa emas dan perak sedangkan saya menganggapnya tidak demikian. Menurut saya ia sama sekali tidak mengatakan demikian karena tidak sesuai dengan pendapat umat. Ibnu Abbas sesungguhnya memaksudkannya zakat tanah, karena penduduk Madinah menamakan tanah harta benda. Bila Ibnu Abbas tidak memaksudkan demikian, maka saya tidak tahu apa maksud hadits tersebut.
Abu Ubaid adalah imam dan ahli dalam persoalan zakat harta benda dan ini tidak bisa diragukan. Ia memiliki beberapa ijtihad dan tarjih yang cemerlang, yang sering saya kutip, namun saya menilai pendapatnya dalam masalah ini lemah; karena tidak sesuai dengan apa yang difahami dengan serta merta oleh umat dan dengan apa yang difahami oleh para ulama sebelumnya. Bila memang yang salah itu yang dimaksudkan maka ia tidak akan dipandang istimewa oleh Ibnu Abbas, yang banyak meriwayatkan darinya.
Pada dasarnya hadits tersebut harus difahami menurut zahirnya tanpa penafsiran, kecuali bila terdapat sesuatu yang menghambat pemahaman menurut zahirnya tersebut tetapi penghambat itu tidak ada.
Pendapat Abu Ubaid yang menyatakan terdapat penghambat untuk menerima pengertian zahir hadits tersebut tidak dapat diterima karena: 1. Ibnu Abbas tidak pernah menyendiri dari pendapat umat. Yaitu yang telah disepakati oleh Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah, yang kemudian diikuti orang-orang sesudahnya seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri dan lain-lainnya.
2. Tidak merupakan keharusan bagi seorang sahabat yang mujtahid dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya, untuk menunggu pendapat ulama yang lain, kemudian mengumumkan pendapat dan ijtihadnya bila sesuai dan tidak mengumumkannya bila tidak sesuai dengan ulama yang lain. Bila demikian, maka tentu tak seorang mujtahid pun mau mengeluarkan pendapatnya. Yang benar adalah seorang- mujtahid harus mengeluarkan pendapatnya baik sesuai dengan pendapat yang lain atau tidak, yang kadang-kadang betul terjadi kesepakatan secara konkrit tetapi kadang-kadang tidak terjadi.
3. Sahabat yang mempunyai pendapat sendiri merupakan hal yang tak dapat dielakkan, dan hal tersebut tidak jarang terjadi dalam warisan hukum fiqh kita. Ibnu Abbas misalnya mempunyai pendapat sendiri tentang perkawinan mut'ah, daging himar peliharaan, dan lain-lain. Pendapat Ibnu Abbas tersebut-bila benar-tidak bisa dibawa keluar dari zahirnya untuk disesuaikan dengan pendapat sahabat lainnya.
Abu Ubaid sendiri tidak mengharuskan penafsiran tersebut mesti diumumkan, tetapi mengatakan saya duga atau saya mengira, dan dalam penutup ia mengatakan; "Bila ia (Ibnu Abbas) tidak memaksudkan, maka saya tidak tahu apa maksud hadits tersebut?"
2. Ibnu Mas'ud
Abu Ubaid meriwayatkan pula dari Hubairah bin Yaryam, Abdullah bin Mas'ud memberikan kami keranjang-keranjang kecil kemudian menarik zakatnya. Abu Ubaid menafsirkan lain hal itu bahwa zakatnya ditarik karena memang benda itu sudah wajib dikeluarkan zakatnya waktu itu, bukan karena diberikan.
Penafsiran lain itu kadang-kadang dilakukan takwil serampangan yang berbeda maksudnya dengan makna yang dapat langsung difahami, dan berbeda pula dengan pendapat yang berasal dari Ibnu Mas'ud bahwa maksud penarikan zakat diatas adalah penarikan zakat atas pemberian Hubairah mengatakan bahwa lbnu Mas'ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima dari seribu. Ibnu Abi Syaibah, dan at Tabrani, juga meriwayatkan demikian. Hubairah sendiri sebenarnya mengakui riwayat pertama yang ditakwilkan oleh Abu Ubaid. Pemotongan sebesar tertentu itu hampir sama dengan apa yang disebut oleh para ahli perpajakan sekarang dengan Pengurangan Sumber, bukan diambil karena kekayaan asal memang sudah wajib bayar pajak karena sudah lewat masa setahunnya. Bila Ibnu Mas'ud mengambil zakat dari pemberian lain tentu ia tidak akan mengeluarkan zakat dari pemberian yang dikenakan dari kekayaan asalnya sebesar dua puluh lima dari setiap seribu yang mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari seharusnya. Barangkali Abu Ubaid belum mengetahui riwayat itu, sehingga dia memberikan takwil tersebut.
3. Mu'awiyah
Malik dalam al-Muwaththa dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama kali mengenakan zakat dari pemberian adalah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Barangkali yang ia maksudkan adalah orang yang pertama mengenakan zakat atas pemberian dari khalifah, karena sebelumnya sudah ada yang mengenakan zakat atas pemberian yaitu Ibnu Mas'ud sebagaimana sudah kita jelaskan. Atau barangkali dia belum mendengar perbuatan Ibnu Mas'ud tersebut, karena Ibnu Mas'ud berada di Kufah, sedangkan Ibnu Syihab berada di Madinah.
Yang jelas adalah bahwa Mu'awiyah mengenakan zakat atas pemberian menurut ukuran yang berlaku dalam negara Islam, karena ia adalah khalifah dan penguasa umat Islam. Dan yang jelas adalah bahwa zaman Mu'awiyah penuh dengan kumpulan para sahabat yang terhormat, yang apabila Mu'awiyah melanggar hadits Nabi atau ijmak yang dapat dipertanggungjawabkan para sahabat tidak begitu saja akan mau diam. Para sahabat pernah tidak menyetujui Mu'awiyah tentang masalah lain, ketika Mu'awiyah memungut setengah sha' gandum zakat fitrah untuk imbalan satu sha' bukan gandum, seperti diberitakan hadits Abu Said.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as