Mempertanyakan
Keprofesionalan Guru
Oleh: Nurkolis
GURU memiliki makna luas.
Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah disebut guru, sedangkan di
pendidikan tinggi di sebut dosen. Pertanyaannya adalah: bisakah guru menjadi
profesi sebagaimana halnya profesi dokter, pengacara, atau akuntan?
Profesi
memiliki kedudukan tertentu di dalam struktur pekerjaan. Suatu jenis pekerjaan
yang disebut profesi memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain
yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu berupa materiil maupun
psirituil.
Orang yang
bekerja pada profesi tertentu disebut profesional. Oleh karena itu, seorang
profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding
pekerja lainnya.
Untuk
menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Bila guru
merupakan profesi, maka untuk menjadi guru harus memenuhi kualifikasi minimun,
sertifikasi, serta memiliki etika profesi. Dengan persyaratan dan perannya
tersebut, guru seharusnya memiliki status istimewa, sehingga dapat disejajarkan
dengan profesi terhormat lainnya.
Dalam
menganalisis apakah guru itu sebuah profesi atau bukan, maka digunakan dua
model pendekatan, yaitu model komparatif dan model ideal.
Model
komparatif dilakukan dengan cara membandingkan profesi guru dengan profesi
lain, misalnya dokter, pengacara, atau akuntan. Sementara model ideal
menganalisa melalui kondisi ideal yang seharusnya ada pada sebuah profesi.
Bagi ketiga
profesi yang dijadikan perbandingan di atas, untuk menyandang profesional harus
melalui tahapan-tahapan tertentu.
Pertama,
setelah lulus dari lembaga pendidikan formal, mereka harus menjalani
serangkaian kerja lapangan, seperti magang atau praktik kerja di industri
terkait dalam waktu tertentu. Hal ini sebagai salah satu jaminan bahwa yang
bersangkutan profesional dalam menjalankan tugasnya.
Di
negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk mendapatkan status
guru seseorang harus magang di lembaga pendidikan minimal dua tahun. Di
Indonesia, setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan
bekerja di lembaga pendidikan, maka seseorang langsung disebut guru. Banyak
pula lulusan non-LPTK, namun bekerja di lembaga pendidikan, juga disebut guru.
Untuk
disebut sebagai guru sangatlah mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan
pelarian.
Kedua,
untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut di atas, harus
memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau sertifikat dari lembaga
profesi. Izin atau sertifikat itu diperoleh melalui serangkaian tes kompetensi
yang terkait dengan profesi maupun sikap dan perilaku. Organisasi profesi
memiliki kontrol yang ketat terhadap anggotanya, bahkan berani memberikan
sanksi jika terjadi penyalahgunaan izin. Tetapi di negeri ini, izin kerja
sebagai guru, berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu seseorang
lulus dari LPTK.
Sertifikasi
Guru
Sekali
seseorang menjadi guru, maka selamanya bisa menjadi guru. Padahal ilmu dan
pengetahuan terus berkembang, dan apa yang diperolehnya pada saat di bangku kuliah
telah berubah dari realita di lapangan pada era berikutnya. Seharusnya
diberlakukan sertifikasi guru setiap kurun waktu tertentu sebagaimana
diamanatkan UU No 20 Tahun 2003. Sertifikasi seharusnya tidak dilakukan oleh
LPTK, melainkan diberikan oleh organisasi profesi atau lembaga lain yang
independen. Bagi yang tidak layak lagi untuk menjadi guru, seharusnya
dikeluarkan dari profesi ini.
Faktanya,
setiap orang bisa menjadi guru, mulai dari guru di pendidikan dasar swasta yang
tidak mendapatkan gaji layak, hingga guru besar di perguruan tinggi. Orang yang
tidak pernah sekolah keguruan, tiba-tiba menjadi guru besar? Itulah pertanyaan
yang dilontarkan Prof Edy Swasono ketika mejadi penceramah di hadapan para
calon doktor di sebuah PTN di Jakarta. Begitu gampangkah seseorang memasuki
profesi keguruan sehingga hampir tidak ada persyaratan yang harus dipenuhi?
Ketiga,
tiga profesi yang dijadikan model perbandingan di atas memiliki standar gaji
dan renomerasi yang jelas. Sebagai seorang profesional, mereka mampu menghargai
diri sendiri, mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik. Namun banyak
guru di pelosok negeri ini yang bergaji Rp 30.000 per bulan, dan di
kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah masih banyak guru yang bergaji Rp. 60.000
per bulan. Banyak guru yang gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak
mengikuti standar UMK, karena kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam
mengajar, dan kebanyakan guru tidak memiliki serikat pekerja, sehingga tidak
bisa menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup harus
membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti mengojek atau berjualan.
Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa, sebuah tuntutan yang
amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini rendah, pantaskah kita menyalahkan,
gurunya tidak profesional?
Keempat,
pada ketiga model perbandingan di atas, organisasi profesi aktif memperjuangkan
anggotanya. Bagi organisasi profesi keguruan, yang paling penting adalah
menegakkan etika profesi, sehingga guru disegani masyarakat. Apa yang terjadi
selama ini, organisasi profesi keguruan hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan.
Orang-orang yang duduk di dalamnya tidak pernah berjuang setulusnya untuk
anggotanya, tetapi lebih cenderung sebagai batu loncatan untuk memperoleh kedudukan
yang lebih strategis. Bila demikian, bagaimana ia akan mengurusi
profesionalisme guru dan mutu pendidikan?
Model
Ideal
Bagaimana
bila dilihat dari model ideal? Idealnya sebuah profesi memiliki superioritas di
dalam struktur pekerjaan, sehingga status profesional itu
"diinginkan" dan mendapat ganjaran berupa "hak-hak
istimewa". Jika guru adalah sebuah profesi, maka seharusnya banyak orang,
dan terutama orang-orang terbaik di negeri ini ingin menjadi guru. Idealnya
guru adalah profesi yang semestinya mendapatkah perlakuan istimewa dari
pemerintah dan masyarakat. Kenyataannya siswa terbaik kita tidak memilih untuk
melanjutkan studi ke jurusan keguruan.
Secara
ideal, status profesional bisa berasal dari beberapa unsur, seperti adanya
undang-undang, otonomi atau hak untuk mengatur dirinya sendiri, keahlian yang
menyangkut pengetahuan dan adanya penghargaan tinggi dari masyarakat atau
kliennya (Humes, 1986). Status profesional juga bisa dipandang dari sudut yang
lebih luas, yaitu dalam konteks politik, sosial, dan ekonomi (Siegrist, 1994).
Bila kita beranggapan bahwa guru adalah sebuah profesi, marilah kita analisis
satu per satu.
Pertama,
berdasarkan pasal 39 ayat 2 UU No 20 Tahun 2003, secara tegas dinyatakan bahwa
guru merupakan tenaga profesional. Artinya guru adalah sebuah profesi. Namun
undang-undang tidak selalu berjalan seperti yang diinginkan, dan kenyataannya
berdasarkan kriteria ideal dan komparatif tidak mendukung bunyi UU tersebut.
Masihkah kita menganggap bahwa guru adalah sebuah profesi?
Kedua, apakah
guru telah memiliki otonomi? Otonomi keilmuan pun belum, karena masih banyak
dibebani dengan muatan-muatan politis yang tidak ada kaitannya dengan upaya
pendewasaan dan pencerdasan manusia. Hal ini tercermin dari tidak merdekanya
guru dalam menentukan materi pelajaran, penggunaan buku pelajaran, hingga
pelaksanaan evaluasi yang masih didominasi oleh kekuatan penguasa. Ketika
pemerintah pusat menginginkan adanya otonomi pendidikan, justru pemerintah
daerah berperan sebagai penguasa baru. Dan pada saat ujian akhir nasional
ditiadakan, maka pemerintah daerah menginginkan ujian akhir regional. Pada saat
otonomi pendidikan digulirkan, justru penguasa memaksa guru untuk menggunakan
buku wajib. Otonomi seperti apa yang bisa dimiliki guru?
Ketiga,
sudahkah masyarakat menghargai dengan nilai tinggi keahlian dan pengetahuan
guru? Satu-satunya penghargaan yang hingga kini melekat pada guru adalah pujian
"pahlawan tanpa tanda jasa". Buktinya, para guru, terutama guru
swasta, banyak yang kehidupannya tidak layak, apalagi mereka yang mendidik anak
dan keluarga tidak mampu.
Keempat,
secara politik, pendidikan tidak pernah punya akses strategis terhadap
kekuasaan. Menurut Husen dan Kogan (1984) karya-karya (baca hasil temuan atau
penelitian) para guru tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan kebijakan
para penguasa, dan hubungan keduanya tidaklah jelas. Temuan-temuan para guru
sebagus apa pun dan sepenting apa pun jika tidak mendukung kedudukan penguasa,
maka tidak ada artinya dan tidak dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Bila
ingin dekat dengan penguasa, maka guru harus tunduk pada penguasa. Karena itu,
di mata penguasa, guru tidak memiliki kekuatan tawar.
Kelima,
peran dan kedudukan guru di tengah masyarakat terus merosot. Ini bukan hanya
terjadi di negara kita, tapi juga banyak terjadi di negara berkembang. Apalagi
masyarakat menghargai seseorang lebih cenderung dari sisi materi, padahal guru
rata-rata kekurangan materi. Bagaimana guru akan kecukupan materi bila anggaran
pendidikan yang ditetapkan 20 % dari APBN atau APBD belum pernah terealisir.
Bagaimana guru bisa cukup materi bila kenaikan anggaran pendidikan justru
dikorup oleh pejabat?
Keenam,
pendidikan tidak pernah diperhitungkan sama sekali memiliki pengaruh terhadap
perkembangan ekonomi. Hal ini karena pendidikan tidak dipandang sebagai
investasi yang menguntungkan, tetapi hanyalah sebagai biaya (cost).
Pendidikan dipandang tidak pernah bisa mendongkrak perkembangan ekonomi. Ini
pendapat sesat yang hanya dianut oleh negeri yang tidak menghargai manusia
sebagai modal pembangunan. Ketika pendidikan tidak dianggap memberi sumbangan
terhadap ekonomi, maka guru tidak dianggap sebagai profesi (Kydd dkk, 1997).
Dengan
membaca tulisan in,i pastilah sidang pembaca bertanya-tanya, mungkinkan guru
menjadi sebuah profesi. Untuk mewujudkannya, kita harus terus menagih janji
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui program 100 hari Mendiknas Bambang
Sudibyo. Salah satu hal yang mendesak untuk diselesaikan adalah Undang Undang
Guru yang hingga kini masih digodog. Tanpa undang-undang itu, sulit kiranya
menjadikan guru sebagai sebuah profesi. Itu semua sangat tergantung pada
kemauan politik pemerintah untuk menyejahterakan guru demi kemajuan sumber daya
manusia Indonesia. (29)
--Nurkolis, kandidat doktor pada Universitas Negeri Jakarta,
tinggal di Semarang.
Keprofesionalan Guru
Oleh: Nurkolis
GURU memiliki makna luas.
Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah disebut guru, sedangkan di
pendidikan tinggi di sebut dosen. Pertanyaannya adalah: bisakah guru menjadi
profesi sebagaimana halnya profesi dokter, pengacara, atau akuntan?
Profesi
memiliki kedudukan tertentu di dalam struktur pekerjaan. Suatu jenis pekerjaan
yang disebut profesi memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain
yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu berupa materiil maupun
psirituil.
Orang yang
bekerja pada profesi tertentu disebut profesional. Oleh karena itu, seorang
profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding
pekerja lainnya.
Untuk
menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Bila guru
merupakan profesi, maka untuk menjadi guru harus memenuhi kualifikasi minimun,
sertifikasi, serta memiliki etika profesi. Dengan persyaratan dan perannya
tersebut, guru seharusnya memiliki status istimewa, sehingga dapat disejajarkan
dengan profesi terhormat lainnya.
Dalam
menganalisis apakah guru itu sebuah profesi atau bukan, maka digunakan dua
model pendekatan, yaitu model komparatif dan model ideal.
Model
komparatif dilakukan dengan cara membandingkan profesi guru dengan profesi
lain, misalnya dokter, pengacara, atau akuntan. Sementara model ideal
menganalisa melalui kondisi ideal yang seharusnya ada pada sebuah profesi.
Bagi ketiga
profesi yang dijadikan perbandingan di atas, untuk menyandang profesional harus
melalui tahapan-tahapan tertentu.
Pertama,
setelah lulus dari lembaga pendidikan formal, mereka harus menjalani
serangkaian kerja lapangan, seperti magang atau praktik kerja di industri
terkait dalam waktu tertentu. Hal ini sebagai salah satu jaminan bahwa yang
bersangkutan profesional dalam menjalankan tugasnya.
Di
negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk mendapatkan status
guru seseorang harus magang di lembaga pendidikan minimal dua tahun. Di
Indonesia, setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan
bekerja di lembaga pendidikan, maka seseorang langsung disebut guru. Banyak
pula lulusan non-LPTK, namun bekerja di lembaga pendidikan, juga disebut guru.
Untuk
disebut sebagai guru sangatlah mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan
pelarian.
Kedua,
untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut di atas, harus
memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau sertifikat dari lembaga
profesi. Izin atau sertifikat itu diperoleh melalui serangkaian tes kompetensi
yang terkait dengan profesi maupun sikap dan perilaku. Organisasi profesi
memiliki kontrol yang ketat terhadap anggotanya, bahkan berani memberikan
sanksi jika terjadi penyalahgunaan izin. Tetapi di negeri ini, izin kerja
sebagai guru, berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu seseorang
lulus dari LPTK.
Sertifikasi
Guru
Sekali
seseorang menjadi guru, maka selamanya bisa menjadi guru. Padahal ilmu dan
pengetahuan terus berkembang, dan apa yang diperolehnya pada saat di bangku kuliah
telah berubah dari realita di lapangan pada era berikutnya. Seharusnya
diberlakukan sertifikasi guru setiap kurun waktu tertentu sebagaimana
diamanatkan UU No 20 Tahun 2003. Sertifikasi seharusnya tidak dilakukan oleh
LPTK, melainkan diberikan oleh organisasi profesi atau lembaga lain yang
independen. Bagi yang tidak layak lagi untuk menjadi guru, seharusnya
dikeluarkan dari profesi ini.
Faktanya,
setiap orang bisa menjadi guru, mulai dari guru di pendidikan dasar swasta yang
tidak mendapatkan gaji layak, hingga guru besar di perguruan tinggi. Orang yang
tidak pernah sekolah keguruan, tiba-tiba menjadi guru besar? Itulah pertanyaan
yang dilontarkan Prof Edy Swasono ketika mejadi penceramah di hadapan para
calon doktor di sebuah PTN di Jakarta. Begitu gampangkah seseorang memasuki
profesi keguruan sehingga hampir tidak ada persyaratan yang harus dipenuhi?
Ketiga,
tiga profesi yang dijadikan model perbandingan di atas memiliki standar gaji
dan renomerasi yang jelas. Sebagai seorang profesional, mereka mampu menghargai
diri sendiri, mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik. Namun banyak
guru di pelosok negeri ini yang bergaji Rp 30.000 per bulan, dan di
kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah masih banyak guru yang bergaji Rp. 60.000
per bulan. Banyak guru yang gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak
mengikuti standar UMK, karena kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam
mengajar, dan kebanyakan guru tidak memiliki serikat pekerja, sehingga tidak
bisa menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup harus
membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti mengojek atau berjualan.
Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa, sebuah tuntutan yang
amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini rendah, pantaskah kita menyalahkan,
gurunya tidak profesional?
Keempat,
pada ketiga model perbandingan di atas, organisasi profesi aktif memperjuangkan
anggotanya. Bagi organisasi profesi keguruan, yang paling penting adalah
menegakkan etika profesi, sehingga guru disegani masyarakat. Apa yang terjadi
selama ini, organisasi profesi keguruan hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan.
Orang-orang yang duduk di dalamnya tidak pernah berjuang setulusnya untuk
anggotanya, tetapi lebih cenderung sebagai batu loncatan untuk memperoleh kedudukan
yang lebih strategis. Bila demikian, bagaimana ia akan mengurusi
profesionalisme guru dan mutu pendidikan?
Model
Ideal
Bagaimana
bila dilihat dari model ideal? Idealnya sebuah profesi memiliki superioritas di
dalam struktur pekerjaan, sehingga status profesional itu
"diinginkan" dan mendapat ganjaran berupa "hak-hak
istimewa". Jika guru adalah sebuah profesi, maka seharusnya banyak orang,
dan terutama orang-orang terbaik di negeri ini ingin menjadi guru. Idealnya
guru adalah profesi yang semestinya mendapatkah perlakuan istimewa dari
pemerintah dan masyarakat. Kenyataannya siswa terbaik kita tidak memilih untuk
melanjutkan studi ke jurusan keguruan.
Secara
ideal, status profesional bisa berasal dari beberapa unsur, seperti adanya
undang-undang, otonomi atau hak untuk mengatur dirinya sendiri, keahlian yang
menyangkut pengetahuan dan adanya penghargaan tinggi dari masyarakat atau
kliennya (Humes, 1986). Status profesional juga bisa dipandang dari sudut yang
lebih luas, yaitu dalam konteks politik, sosial, dan ekonomi (Siegrist, 1994).
Bila kita beranggapan bahwa guru adalah sebuah profesi, marilah kita analisis
satu per satu.
Pertama,
berdasarkan pasal 39 ayat 2 UU No 20 Tahun 2003, secara tegas dinyatakan bahwa
guru merupakan tenaga profesional. Artinya guru adalah sebuah profesi. Namun
undang-undang tidak selalu berjalan seperti yang diinginkan, dan kenyataannya
berdasarkan kriteria ideal dan komparatif tidak mendukung bunyi UU tersebut.
Masihkah kita menganggap bahwa guru adalah sebuah profesi?
Kedua, apakah
guru telah memiliki otonomi? Otonomi keilmuan pun belum, karena masih banyak
dibebani dengan muatan-muatan politis yang tidak ada kaitannya dengan upaya
pendewasaan dan pencerdasan manusia. Hal ini tercermin dari tidak merdekanya
guru dalam menentukan materi pelajaran, penggunaan buku pelajaran, hingga
pelaksanaan evaluasi yang masih didominasi oleh kekuatan penguasa. Ketika
pemerintah pusat menginginkan adanya otonomi pendidikan, justru pemerintah
daerah berperan sebagai penguasa baru. Dan pada saat ujian akhir nasional
ditiadakan, maka pemerintah daerah menginginkan ujian akhir regional. Pada saat
otonomi pendidikan digulirkan, justru penguasa memaksa guru untuk menggunakan
buku wajib. Otonomi seperti apa yang bisa dimiliki guru?
Ketiga,
sudahkah masyarakat menghargai dengan nilai tinggi keahlian dan pengetahuan
guru? Satu-satunya penghargaan yang hingga kini melekat pada guru adalah pujian
"pahlawan tanpa tanda jasa". Buktinya, para guru, terutama guru
swasta, banyak yang kehidupannya tidak layak, apalagi mereka yang mendidik anak
dan keluarga tidak mampu.
Keempat,
secara politik, pendidikan tidak pernah punya akses strategis terhadap
kekuasaan. Menurut Husen dan Kogan (1984) karya-karya (baca hasil temuan atau
penelitian) para guru tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan kebijakan
para penguasa, dan hubungan keduanya tidaklah jelas. Temuan-temuan para guru
sebagus apa pun dan sepenting apa pun jika tidak mendukung kedudukan penguasa,
maka tidak ada artinya dan tidak dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Bila
ingin dekat dengan penguasa, maka guru harus tunduk pada penguasa. Karena itu,
di mata penguasa, guru tidak memiliki kekuatan tawar.
Kelima,
peran dan kedudukan guru di tengah masyarakat terus merosot. Ini bukan hanya
terjadi di negara kita, tapi juga banyak terjadi di negara berkembang. Apalagi
masyarakat menghargai seseorang lebih cenderung dari sisi materi, padahal guru
rata-rata kekurangan materi. Bagaimana guru akan kecukupan materi bila anggaran
pendidikan yang ditetapkan 20 % dari APBN atau APBD belum pernah terealisir.
Bagaimana guru bisa cukup materi bila kenaikan anggaran pendidikan justru
dikorup oleh pejabat?
Keenam,
pendidikan tidak pernah diperhitungkan sama sekali memiliki pengaruh terhadap
perkembangan ekonomi. Hal ini karena pendidikan tidak dipandang sebagai
investasi yang menguntungkan, tetapi hanyalah sebagai biaya (cost).
Pendidikan dipandang tidak pernah bisa mendongkrak perkembangan ekonomi. Ini
pendapat sesat yang hanya dianut oleh negeri yang tidak menghargai manusia
sebagai modal pembangunan. Ketika pendidikan tidak dianggap memberi sumbangan
terhadap ekonomi, maka guru tidak dianggap sebagai profesi (Kydd dkk, 1997).
Dengan
membaca tulisan in,i pastilah sidang pembaca bertanya-tanya, mungkinkan guru
menjadi sebuah profesi. Untuk mewujudkannya, kita harus terus menagih janji
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui program 100 hari Mendiknas Bambang
Sudibyo. Salah satu hal yang mendesak untuk diselesaikan adalah Undang Undang
Guru yang hingga kini masih digodog. Tanpa undang-undang itu, sulit kiranya
menjadikan guru sebagai sebuah profesi. Itu semua sangat tergantung pada
kemauan politik pemerintah untuk menyejahterakan guru demi kemajuan sumber daya
manusia Indonesia. (29)
--Nurkolis, kandidat doktor pada Universitas Negeri Jakarta,
tinggal di Semarang.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as