Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    mempertanyakan profesionalisme guru

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    mempertanyakan profesionalisme guru Empty mempertanyakan profesionalisme guru

    Post by ratri Fri Jun 18, 2010 9:08 pm

    Mempertanyakan
    Keprofesionalan Guru


    Oleh: Nurkolis




    GURU memiliki makna luas.
    Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah disebut guru, sedangkan di
    pendidikan tinggi di sebut dosen. Pertanyaannya adalah: bisakah guru menjadi
    profesi sebagaimana halnya profesi dokter, pengacara, atau akuntan?



    Profesi
    memiliki kedudukan tertentu di dalam struktur pekerjaan. Suatu jenis pekerjaan
    yang disebut profesi memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain
    yang tidak dianggap sebagai profesi. Kedudukan lebih itu berupa materiil maupun
    psirituil.



    Orang yang
    bekerja pada profesi tertentu disebut profesional. Oleh karena itu, seorang
    profesional menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap lebih dibanding
    pekerja lainnya.



    Untuk
    menjadi profesional harus memenuhi kriteria dan persyaratan tertentu. Bila guru
    merupakan profesi, maka untuk menjadi guru harus memenuhi kualifikasi minimun,
    sertifikasi, serta memiliki etika profesi. Dengan persyaratan dan perannya
    tersebut, guru seharusnya memiliki status istimewa, sehingga dapat disejajarkan
    dengan profesi terhormat lainnya.



    Dalam
    menganalisis apakah guru itu sebuah profesi atau bukan, maka digunakan dua
    model pendekatan, yaitu model komparatif dan model ideal.



    Model
    komparatif dilakukan dengan cara membandingkan profesi guru dengan profesi
    lain, misalnya dokter, pengacara, atau akuntan. Sementara model ideal
    menganalisa melalui kondisi ideal yang seharusnya ada pada sebuah profesi.



    Bagi ketiga
    profesi yang dijadikan perbandingan di atas, untuk menyandang profesional harus
    melalui tahapan-tahapan tertentu.



    Pertama,
    setelah lulus dari lembaga pendidikan formal, mereka harus menjalani
    serangkaian kerja lapangan, seperti magang atau praktik kerja di industri
    terkait dalam waktu tertentu. Hal ini sebagai salah satu jaminan bahwa yang
    bersangkutan profesional dalam menjalankan tugasnya.



    Di
    negara-negara maju, seperti Jerman dan Amerika, konon untuk mendapatkan status
    guru seseorang harus magang di lembaga pendidikan minimal dua tahun. Di
    Indonesia, setelah lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan
    bekerja di lembaga pendidikan, maka seseorang langsung disebut guru. Banyak
    pula lulusan non-LPTK, namun bekerja di lembaga pendidikan, juga disebut guru.



    Untuk
    disebut sebagai guru sangatlah mudah, sehingga profesi ini sering dijadikan
    pelarian.



    Kedua,
    untuk mendapatkan izin kerja, pada ketiga profesi yang disebut di atas, harus
    memiliki izin praktik dari lembaga terkait atau sertifikat dari lembaga
    profesi. Izin atau sertifikat itu diperoleh melalui serangkaian tes kompetensi
    yang terkait dengan profesi maupun sikap dan perilaku. Organisasi profesi
    memiliki kontrol yang ketat terhadap anggotanya, bahkan berani memberikan
    sanksi jika terjadi penyalahgunaan izin. Tetapi di negeri ini, izin kerja
    sebagai guru, berupa akta mengajar, diperoleh secara otomatis begitu seseorang
    lulus dari LPTK.



    Sertifikasi
    Guru



    Sekali
    seseorang menjadi guru, maka selamanya bisa menjadi guru. Padahal ilmu dan
    pengetahuan terus berkembang, dan apa yang diperolehnya pada saat di bangku kuliah
    telah berubah dari realita di lapangan pada era berikutnya. Seharusnya
    diberlakukan sertifikasi guru setiap kurun waktu tertentu sebagaimana
    diamanatkan UU No 20 Tahun 2003. Sertifikasi seharusnya tidak dilakukan oleh
    LPTK, melainkan diberikan oleh organisasi profesi atau lembaga lain yang
    independen. Bagi yang tidak layak lagi untuk menjadi guru, seharusnya
    dikeluarkan dari profesi ini.



    Faktanya,
    setiap orang bisa menjadi guru, mulai dari guru di pendidikan dasar swasta yang
    tidak mendapatkan gaji layak, hingga guru besar di perguruan tinggi. Orang yang
    tidak pernah sekolah keguruan, tiba-tiba menjadi guru besar? Itulah pertanyaan
    yang dilontarkan Prof Edy Swasono ketika mejadi penceramah di hadapan para
    calon doktor di sebuah PTN di Jakarta. Begitu gampangkah seseorang memasuki
    profesi keguruan sehingga hampir tidak ada persyaratan yang harus dipenuhi?



    Ketiga,
    tiga profesi yang dijadikan model perbandingan di atas memiliki standar gaji
    dan renomerasi yang jelas. Sebagai seorang profesional, mereka mampu menghargai
    diri sendiri, mereka juga mampu menjaga etika profesi dengan baik. Namun banyak
    guru di pelosok negeri ini yang bergaji Rp 30.000 per bulan, dan di
    kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah masih banyak guru yang bergaji Rp. 60.000
    per bulan. Banyak guru yang gajinya di bawah buruh pabrik. Gaji guru tidak
    mengikuti standar UMK, karena kebanyakan dibayar berdasarkan jumlah jam
    mengajar, dan kebanyakan guru tidak memiliki serikat pekerja, sehingga tidak
    bisa menuntut hak-haknya. Akhirnya, untuk mencukupi kebutuhan hidup harus
    membanting tulang di luar profesi keguruan, seperti mengojek atau berjualan.
    Padahal mereka dituntut untuk mencerdaskan anak bangsa, sebuah tuntutan yang
    amat berat. Jika kualitas pendidikan di negeri ini rendah, pantaskah kita menyalahkan,
    gurunya tidak profesional?



    Keempat,
    pada ketiga model perbandingan di atas, organisasi profesi aktif memperjuangkan
    anggotanya. Bagi organisasi profesi keguruan, yang paling penting adalah
    menegakkan etika profesi, sehingga guru disegani masyarakat. Apa yang terjadi
    selama ini, organisasi profesi keguruan hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan.
    Orang-orang yang duduk di dalamnya tidak pernah berjuang setulusnya untuk
    anggotanya, tetapi lebih cenderung sebagai batu loncatan untuk memperoleh kedudukan
    yang lebih strategis. Bila demikian, bagaimana ia akan mengurusi
    profesionalisme guru dan mutu pendidikan?



    Model
    Ideal



    Bagaimana
    bila dilihat dari model ideal? Idealnya sebuah profesi memiliki superioritas di
    dalam struktur pekerjaan, sehingga status profesional itu
    "diinginkan" dan mendapat ganjaran berupa "hak-hak
    istimewa". Jika guru adalah sebuah profesi, maka seharusnya banyak orang,
    dan terutama orang-orang terbaik di negeri ini ingin menjadi guru. Idealnya
    guru adalah profesi yang semestinya mendapatkah perlakuan istimewa dari
    pemerintah dan masyarakat. Kenyataannya siswa terbaik kita tidak memilih untuk
    melanjutkan studi ke jurusan keguruan.



    Secara
    ideal, status profesional bisa berasal dari beberapa unsur, seperti adanya
    undang-undang, otonomi atau hak untuk mengatur dirinya sendiri, keahlian yang
    menyangkut pengetahuan dan adanya penghargaan tinggi dari masyarakat atau
    kliennya (Humes, 1986). Status profesional juga bisa dipandang dari sudut yang
    lebih luas, yaitu dalam konteks politik, sosial, dan ekonomi (Siegrist, 1994).
    Bila kita beranggapan bahwa guru adalah sebuah profesi, marilah kita analisis
    satu per satu.



    Pertama,
    berdasarkan pasal 39 ayat 2 UU No 20 Tahun 2003, secara tegas dinyatakan bahwa
    guru merupakan tenaga profesional. Artinya guru adalah sebuah profesi. Namun
    undang-undang tidak selalu berjalan seperti yang diinginkan, dan kenyataannya
    berdasarkan kriteria ideal dan komparatif tidak mendukung bunyi UU tersebut.
    Masihkah kita menganggap bahwa guru adalah sebuah profesi?



    Kedua, apakah
    guru telah memiliki otonomi? Otonomi keilmuan pun belum, karena masih banyak
    dibebani dengan muatan-muatan politis yang tidak ada kaitannya dengan upaya
    pendewasaan dan pencerdasan manusia. Hal ini tercermin dari tidak merdekanya
    guru dalam menentukan materi pelajaran, penggunaan buku pelajaran, hingga
    pelaksanaan evaluasi yang masih didominasi oleh kekuatan penguasa. Ketika
    pemerintah pusat menginginkan adanya otonomi pendidikan, justru pemerintah
    daerah berperan sebagai penguasa baru. Dan pada saat ujian akhir nasional
    ditiadakan, maka pemerintah daerah menginginkan ujian akhir regional. Pada saat
    otonomi pendidikan digulirkan, justru penguasa memaksa guru untuk menggunakan
    buku wajib. Otonomi seperti apa yang bisa dimiliki guru?



    Ketiga,
    sudahkah masyarakat menghargai dengan nilai tinggi keahlian dan pengetahuan
    guru? Satu-satunya penghargaan yang hingga kini melekat pada guru adalah pujian
    "pahlawan tanpa tanda jasa". Buktinya, para guru, terutama guru
    swasta, banyak yang kehidupannya tidak layak, apalagi mereka yang mendidik anak
    dan keluarga tidak mampu.



    Keempat,
    secara politik, pendidikan tidak pernah punya akses strategis terhadap
    kekuasaan. Menurut Husen dan Kogan (1984) karya-karya (baca hasil temuan atau
    penelitian) para guru tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan kebijakan
    para penguasa, dan hubungan keduanya tidaklah jelas. Temuan-temuan para guru
    sebagus apa pun dan sepenting apa pun jika tidak mendukung kedudukan penguasa,
    maka tidak ada artinya dan tidak dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Bila
    ingin dekat dengan penguasa, maka guru harus tunduk pada penguasa. Karena itu,
    di mata penguasa, guru tidak memiliki kekuatan tawar.



    Kelima,
    peran dan kedudukan guru di tengah masyarakat terus merosot. Ini bukan hanya
    terjadi di negara kita, tapi juga banyak terjadi di negara berkembang. Apalagi
    masyarakat menghargai seseorang lebih cenderung dari sisi materi, padahal guru
    rata-rata kekurangan materi. Bagaimana guru akan kecukupan materi bila anggaran
    pendidikan yang ditetapkan 20 % dari APBN atau APBD belum pernah terealisir.
    Bagaimana guru bisa cukup materi bila kenaikan anggaran pendidikan justru
    dikorup oleh pejabat?



    Keenam,
    pendidikan tidak pernah diperhitungkan sama sekali memiliki pengaruh terhadap
    perkembangan ekonomi. Hal ini karena pendidikan tidak dipandang sebagai
    investasi yang menguntungkan, tetapi hanyalah sebagai biaya (cost).
    Pendidikan dipandang tidak pernah bisa mendongkrak perkembangan ekonomi. Ini
    pendapat sesat yang hanya dianut oleh negeri yang tidak menghargai manusia
    sebagai modal pembangunan. Ketika pendidikan tidak dianggap memberi sumbangan
    terhadap ekonomi, maka guru tidak dianggap sebagai profesi (Kydd dkk, 1997).



    Dengan
    membaca tulisan in,i pastilah sidang pembaca bertanya-tanya, mungkinkan guru
    menjadi sebuah profesi. Untuk mewujudkannya, kita harus terus menagih janji
    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui program 100 hari Mendiknas Bambang
    Sudibyo. Salah satu hal yang mendesak untuk diselesaikan adalah Undang Undang
    Guru yang hingga kini masih digodog. Tanpa undang-undang itu, sulit kiranya
    menjadikan guru sebagai sebuah profesi. Itu semua sangat tergantung pada
    kemauan politik pemerintah untuk menyejahterakan guru demi kemajuan sumber daya
    manusia Indonesia. (29)



    --Nurkolis, kandidat doktor pada Universitas Negeri Jakarta,
    tinggal di Semarang.

      Waktu sekarang Sat Nov 23, 2024 8:52 pm