Hegemoni pendidikan yang terperangkap pada kapitalisme telah membentuk lingkaran setan kemiskinan struktural, ya kemiskinan struktural budaya, ekonomi dan politik, secara permanen. Karena tak memiliki kapital yang cukup, seorang anak dari kelompok sosial kelas bawah, tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi -- kendati mungkin ia kreatif.
--------------------------
Pendidikan Berwatak Hegemonik
Oleh I Gusti Putu Artha
HARIAN Bali Post Sabtu (29/4) halaman 2 dengan cermat mengungkap fenomena pendidikan terkini. Judulnya menyentak, ''Menyoal Bisnis Guru, Siswa TK pun Dijejali dengan Les''. Liputan itu mengungkap kegelisahan para orangtua siswa akibat perilaku sekolah terhadap anak-anak mereka. Siswa TK dijejali dengan macam-macam les, mulai dari bahasa Inggris, fashion, menggambar, dan lainnya. Di SD, siswa pun dijejali les menggambar, sempoa, bahasa Inggris, komputer, berenang, dan sebagainya. Orangtua menangis karena tak punya uang, waktu bermain siswa dirampok, guru dituding berbisnis berkedok les-les tersebut.
----------------------------------
Sejatinya, problem komersialisasi pendidikan sebagaimana gambaran sekilas dalam liputan harian ini, oleh sejumlah pemikir sosial dan pendidikan disebut-sebut bagian dari proses hegemoni pendidikan. Dengan kata lain denyut pendidikan kita makin berwatak hegemonik.
Untuk memahami konsep tersebut, teori hegemoni yang dipopulerkan oleh ahli filsafat politik terkemuka Italia Antonio Gramsci (1891-1937) menarik dikedepankan. Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar.
Dua Perangkap
Konsep hegemoni pendidikan ini dalam praktiknya mengambil dua bentuk perangkap, yakni melalui perangkap alat ekonomi (kapitalisme) dan perangkap kekuasaan politik. Kita selama ini secara tidak sadar terbangun oleh pembenaran wacana bahwa pendidikan itu mahal, bahwa wajar orangtua merogoh saku dalam jumlah cukup besar atas nama pendidikan. Oleh karena itu, para orangtua menjadi ''amat rela'' merogoh saku untuk membayari anak-anaknya yang masuk taman kanak-kanak yang nilainya bahkan melebihi SPP mahasiswa pascasarjana. Orangtua pun secara halus terperangkap dengan berbagai bentuk les yang ujung-ujungnya adalah kapitalisme. Para orangtua tak sadar apakah substansi les-les seabrek itu akan serta merta secara instan mampu membiakkan kecerdasan emosional, spiritual, intelektual dan kecerdasan sosial sang anak. Yang terjadi adalah, jeritan orangtua yang tak punya uang, sebagaimana dilaporkan Bali Post. Atau anak-anak yang dirampok waktu bermainnya. Anak menjadi korban dari sebuah industri pendidikan yang berwatak kapitalis, namun masuk dengan cara halus dan sadar -- cara-cara hegemonik.
Ketika memasuki SMP dan SMA, para orangtua pun kembali ikhlas merogoh uang jutaan rupiah untuk mendapatkan sekolah tertentu yang diinginkan bagi putra-putrinya. Dengan otoritas sosial yang dimiliki, dunia pendidikan membangun pembenaran bahwa uang jutaan rupiah yang terkumpul tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Terbangun pembenaran bahwa memang orangtualah yang amat bertanggung jawab atas pembangunan gedung (representasi atas kualitas itu) sehingga harus rela menyetor uang dalam jumlah besar. Lantas, berbagai les pun -- mendompleng sekolah atau bukan -- seakan-akan berjalan secara wajar, seolah-olah memang amat dibutuhkan oleh siswa. Ketika memasuki bangku perguruan tinggi, atas nama mutu pendidikan, beberapa fakultas dengan halus menyodorkan list kepada para orangtua untuk ''menyumbang'' puluhan juta rupiah. Fenomena ini terjadi hampir di semua fakultas favorit.
Bentuk hegemonik lainnya yang mengemuka di kampus, atas nama pemerataan pendidikan, maka menjadi amat ''sah'' perguruan tinggi negeri membuka program ekstensi. Celakanya program ini tak terkontrol. Maunya menjaring calon mahasiswa yang telah bekerja, namun sebaliknya yang terjadi. Ekstensi atau reguler sama saja. Atas nama percepatan mutu pendidikan dan efisiensi, PTN pun menjadi sah membuka semester pendek -- masa kuliah enam bulan yang dirapel dua bulan intensif namun nilainya satu semester pula. Atas nama pemerataan pula, menjadi sah perguruan tinggi swasta membentuk kelas jauh -- nyaris hingga ke pelosok desa. Yang terjadi adalah pendidikan instan dengan kualitas yang dipertanyakan. Ideologi di balik semua ini jelas: kapitalisme pendidikan yang mengambil watak hegemonik.
Juga terjadi komersialisasi gelar. Berbagai jenis gelar bisa dibeli dengan berbekal Rp 10 juta saja, terbang ke Jakarta, menulis artikel pendek, ikut wisuda dan beres. Mulai dari M.Sc., M.M., Ph.D., DR. (HC) bahkan hingga Profesor. Belakangan, baru setelah polisi mengejar para produsen gelar dan pemakainya, serentak konsumen gelar pun ramai-ramai mencopotnya.
Hegemoni pendidikan yang terperangkap pada kapitalisme tersebut, telah membentuk lingkaran setan kemiskinan struktural, ya kemiskinan struktural budaya, ekonomi dan politik, secara permanen. Karena tak memiliki kapital yang cukup, seorang anak dari kelompok sosial kelas bawah, tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi --kendati mungkin ia kreatif. Karena tak mampu, ia tidak produktif dan terjebak menjadi manusia yang miskin akses secara ekonomi, politik dan budaya. Generasi ini akan melanjutkan kemiskinan struktural itu kepada generasi berikutnya, dan seterusnya.
Dekonstruksi Paradigma
Mengingat implikasi yang cukup menggelisahkan atas watak hegemonik pendidikan semacam itu, saatnya dilakukan dekonstruksi (pembongkaran) atas paradigma pendidikan kita. Kurikulum pendidikan seyogianya dijiwai oleh semangat terakomodasinya berbagai keragaman sistem sosial masyarakat. Kurikulum mestilah mampu secara kongkret mendorong terbentuk generasi yang cerdas secara intelektual, emosional, sosial dan spiritual. Sekolah dan kampus mesti direposisi sebagai lembaga sosial yang sejatinya memproduksi pengetahuan dan kebajikan, bukan mengedepankan komersialisme yang cenderung menjadikan kampus dan sekolah sebagai supermarket pendidikan. Guru dan dosen mesti memposisikan diri sebagai fasilitator bukan otorisator klaim kebenaran. Kenakalan siswa mestilah dipahami sebagai ''ruang belajar'', yang tidak harus dilihat dengan penghakiman hitam putih, namun sebuah pencarian identitas.
Pada sisi ini, orangtua siswa tak pada posisinya lagi menjadi penonton atas semua proses pendidikan. Mereka mesti menjadi ''penjaga garis'' yang berhak mengangkat ''bendera'' manakala ada proses pendidikan yang menyimpang.
--------------------------
Pendidikan Berwatak Hegemonik
Oleh I Gusti Putu Artha
HARIAN Bali Post Sabtu (29/4) halaman 2 dengan cermat mengungkap fenomena pendidikan terkini. Judulnya menyentak, ''Menyoal Bisnis Guru, Siswa TK pun Dijejali dengan Les''. Liputan itu mengungkap kegelisahan para orangtua siswa akibat perilaku sekolah terhadap anak-anak mereka. Siswa TK dijejali dengan macam-macam les, mulai dari bahasa Inggris, fashion, menggambar, dan lainnya. Di SD, siswa pun dijejali les menggambar, sempoa, bahasa Inggris, komputer, berenang, dan sebagainya. Orangtua menangis karena tak punya uang, waktu bermain siswa dirampok, guru dituding berbisnis berkedok les-les tersebut.
----------------------------------
Sejatinya, problem komersialisasi pendidikan sebagaimana gambaran sekilas dalam liputan harian ini, oleh sejumlah pemikir sosial dan pendidikan disebut-sebut bagian dari proses hegemoni pendidikan. Dengan kata lain denyut pendidikan kita makin berwatak hegemonik.
Untuk memahami konsep tersebut, teori hegemoni yang dipopulerkan oleh ahli filsafat politik terkemuka Italia Antonio Gramsci (1891-1937) menarik dikedepankan. Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korbannya sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Berbeda dengan manipulasi atau indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar.
Dua Perangkap
Konsep hegemoni pendidikan ini dalam praktiknya mengambil dua bentuk perangkap, yakni melalui perangkap alat ekonomi (kapitalisme) dan perangkap kekuasaan politik. Kita selama ini secara tidak sadar terbangun oleh pembenaran wacana bahwa pendidikan itu mahal, bahwa wajar orangtua merogoh saku dalam jumlah cukup besar atas nama pendidikan. Oleh karena itu, para orangtua menjadi ''amat rela'' merogoh saku untuk membayari anak-anaknya yang masuk taman kanak-kanak yang nilainya bahkan melebihi SPP mahasiswa pascasarjana. Orangtua pun secara halus terperangkap dengan berbagai bentuk les yang ujung-ujungnya adalah kapitalisme. Para orangtua tak sadar apakah substansi les-les seabrek itu akan serta merta secara instan mampu membiakkan kecerdasan emosional, spiritual, intelektual dan kecerdasan sosial sang anak. Yang terjadi adalah, jeritan orangtua yang tak punya uang, sebagaimana dilaporkan Bali Post. Atau anak-anak yang dirampok waktu bermainnya. Anak menjadi korban dari sebuah industri pendidikan yang berwatak kapitalis, namun masuk dengan cara halus dan sadar -- cara-cara hegemonik.
Ketika memasuki SMP dan SMA, para orangtua pun kembali ikhlas merogoh uang jutaan rupiah untuk mendapatkan sekolah tertentu yang diinginkan bagi putra-putrinya. Dengan otoritas sosial yang dimiliki, dunia pendidikan membangun pembenaran bahwa uang jutaan rupiah yang terkumpul tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Terbangun pembenaran bahwa memang orangtualah yang amat bertanggung jawab atas pembangunan gedung (representasi atas kualitas itu) sehingga harus rela menyetor uang dalam jumlah besar. Lantas, berbagai les pun -- mendompleng sekolah atau bukan -- seakan-akan berjalan secara wajar, seolah-olah memang amat dibutuhkan oleh siswa. Ketika memasuki bangku perguruan tinggi, atas nama mutu pendidikan, beberapa fakultas dengan halus menyodorkan list kepada para orangtua untuk ''menyumbang'' puluhan juta rupiah. Fenomena ini terjadi hampir di semua fakultas favorit.
Bentuk hegemonik lainnya yang mengemuka di kampus, atas nama pemerataan pendidikan, maka menjadi amat ''sah'' perguruan tinggi negeri membuka program ekstensi. Celakanya program ini tak terkontrol. Maunya menjaring calon mahasiswa yang telah bekerja, namun sebaliknya yang terjadi. Ekstensi atau reguler sama saja. Atas nama percepatan mutu pendidikan dan efisiensi, PTN pun menjadi sah membuka semester pendek -- masa kuliah enam bulan yang dirapel dua bulan intensif namun nilainya satu semester pula. Atas nama pemerataan pula, menjadi sah perguruan tinggi swasta membentuk kelas jauh -- nyaris hingga ke pelosok desa. Yang terjadi adalah pendidikan instan dengan kualitas yang dipertanyakan. Ideologi di balik semua ini jelas: kapitalisme pendidikan yang mengambil watak hegemonik.
Juga terjadi komersialisasi gelar. Berbagai jenis gelar bisa dibeli dengan berbekal Rp 10 juta saja, terbang ke Jakarta, menulis artikel pendek, ikut wisuda dan beres. Mulai dari M.Sc., M.M., Ph.D., DR. (HC) bahkan hingga Profesor. Belakangan, baru setelah polisi mengejar para produsen gelar dan pemakainya, serentak konsumen gelar pun ramai-ramai mencopotnya.
Hegemoni pendidikan yang terperangkap pada kapitalisme tersebut, telah membentuk lingkaran setan kemiskinan struktural, ya kemiskinan struktural budaya, ekonomi dan politik, secara permanen. Karena tak memiliki kapital yang cukup, seorang anak dari kelompok sosial kelas bawah, tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi --kendati mungkin ia kreatif. Karena tak mampu, ia tidak produktif dan terjebak menjadi manusia yang miskin akses secara ekonomi, politik dan budaya. Generasi ini akan melanjutkan kemiskinan struktural itu kepada generasi berikutnya, dan seterusnya.
Dekonstruksi Paradigma
Mengingat implikasi yang cukup menggelisahkan atas watak hegemonik pendidikan semacam itu, saatnya dilakukan dekonstruksi (pembongkaran) atas paradigma pendidikan kita. Kurikulum pendidikan seyogianya dijiwai oleh semangat terakomodasinya berbagai keragaman sistem sosial masyarakat. Kurikulum mestilah mampu secara kongkret mendorong terbentuk generasi yang cerdas secara intelektual, emosional, sosial dan spiritual. Sekolah dan kampus mesti direposisi sebagai lembaga sosial yang sejatinya memproduksi pengetahuan dan kebajikan, bukan mengedepankan komersialisme yang cenderung menjadikan kampus dan sekolah sebagai supermarket pendidikan. Guru dan dosen mesti memposisikan diri sebagai fasilitator bukan otorisator klaim kebenaran. Kenakalan siswa mestilah dipahami sebagai ''ruang belajar'', yang tidak harus dilihat dengan penghakiman hitam putih, namun sebuah pencarian identitas.
Pada sisi ini, orangtua siswa tak pada posisinya lagi menjadi penonton atas semua proses pendidikan. Mereka mesti menjadi ''penjaga garis'' yang berhak mengangkat ''bendera'' manakala ada proses pendidikan yang menyimpang.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as