.
Diskursus seputar pendidikan tak pupus diterjang masa. Ragam ide dan aplikasi di dalamnya akan tetap krusial dan penting.
Dan pendidikan hendaknya diberi posisi yang strategis dalam kancah kehidupan manusia. Artinya, pendidikan sudah sepantasnya dipahami sebagai perangkat yang berdaya guna menghadapi dan memecahkan berbagai problematika yang
ada. Barangkali itulah misi dari pendidikan sepanjang yang kita ketahui selama ini dan telah menjadi sebuah keniscayaan.
Di samping itu, biasanya kita menduga pendidikan sebagai kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral.
Namun ternyata pendidikan itu tidaklah steril, bebas nilai. Inilah yang coba dituangkan oleh seorang pakar pendidikan dari Universitas California Selatan, William F. O’neil dalam “Ideologi-Ideologi Pendidikan”. Ia
mengisyaratkan bahwa tidak ada pendidikan yang bersifat netral. Dengan demikian pendidikan selalu sarat dengan agenda ideologi.
Ideologi, seperti yang dikutip O’neil dari Sargent dalam Contemporary Political Ideologies, adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai
fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat. Ia menyediakan sebuah potret dunia sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya dunia
itu bagi mereka yang meyakininya. (Hal. 33)
Mengenai korelasi antara ideologi dan pendidikan, Mansour Fakih dalam
pengantarnya berkomentar bahwa saat ini pendidikan sedang diuji untuk mampu menjatuhkan opsi antara melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada, ataupun pendidikan harus berperan kritis dan melakukan transformasi sosial.
Kedua peran dilematis pendidikan tersebut hanya bisa dijawab melalui paradigma dan ideologi pendidikan yang menjadi landas tumpunya.
Dalam perspektif yang memandang level negara vis a vis rakyat, negara sebagai power holder selalu mengatasirakyat. Posisi rakyat menjadi subordinat. Negara melalui instrumen ideologisnya berikhtiar menjejali
alam berpikir dan mendominasi wacana rakyat sehingga akan terbentuk kesadaran kolektif (collective consciousness). Tentunya instrumen ideologis yang disebut Louis Althusser dengan Ideological State Aparateur (ISA) sesuai dengan logika kekuasaan yang sedang berlangsung dan satu-satunya
dianggap legitimate.
Tak pelak instrumen ideologis ini juga didistribusikan pada media pendidikan
dan “disuntikkan” ke dalam otak peserta didik melalui muatan kurikulum yang diberlakukan. Karena diterapkan secara sistematis, maka implikasinya terjadilah apa yang oleh Paulo Freire identifikasi sebagai “reproduksi
ideologi” dari the rulling class. Tidak heran jika kondisi ini akan dapat mengamankan
dan kian memapankan posisi status quo.
Yang menarik dari buku ini yaitu kemampuan penulisnya secara deskriptif
untuk memberi ulasan yang proporsional terhadap berbagai ideologi yang mendasarinya. Yang ingin dicapai adalah penyajian sebuah ikhtisar tentang pilihan-pilihan ideologis yang dianggap paling signifikan dalam filosofi pendidikan,
yaitu Fundamentalisme, Intelektualisme, Konservatisme, Liberlisme, Liberasionisme dan Anarkisme.
Fundamentalisme pendidikan bersifat anti intelektual. Fundamentalisme cenderung mendasarkan anggapan-anggapannya di atas penerimaan yang tidak kritis terhadap kebenaran yang diwahyukan atau kesepakatan
sosial yang sudah mapan. Intelektualisme didasari oleh sistem-sistem pemikiran filosofis atau teologis yang relatif rigid dan secara fundamental bersifat otoritarian. Konservatisme mengajukan kepatuhan terhadap institusi-institusi dan proses-proses kultur atau pola-pola sosial yang
sudah mapan. Liberalisme menekankan perubahan serta teknik-teknik untuk menangani perubahan. Kaum
liberal mengajukan transformasi sosial demi memajukan kebebasan individual serta untuk memaksimalkan perujudan potensi-potensi manusia sepenuhnya. Liberasionisme adalah perspektif yang menganggap bahwa kita harus mengupayakan pembaharuan/perombakan segera dalam
ruang lingkup besar atas tatanan politis yang ada sebagai cara menuju perluasan kebebasan individual serta untuk mempromosikan perujudan potensi-potensi personal sepenuhnya. Sedangkan Anarkisme meyakini bahwa kita harus sejauh munkin mendeinstitusionalisasikan masyarakat. Pendekatan terbaik yaitu
mengusahakan untuk mempercepat pembaharuanpembaharuan humanistis yang segera dan berskala luas dalam masyarakat dengan menghapuskan sistem sekolah seluruhnya. Penghapusan kekangan ini diyakini sebagai jalan lempang untuk
menyediakan ungkapan sepenuhnya dari potensi-potensi manusia yang dibebaskan. (Hal. 531-536)
Akan tetapi mesti disadari bahwa taksonomi keenam ideologi tersebut senantiasa
disekat oleh limitasi ruang dan waktu. Bisa jadi ideologi yang kini dikategorikan sebagai manifestasi Konservatisme justru dalam kurun sebelumnya malah diyakini merupakan derivasi dari ideologi pendidikan tandingannya, Liberalisme.
Demikian pula dalam konteks ruang, riwayat pendidikan yang dialami setiap komunitas atau negara akan menunjukkan adanya komparasi opsi ideologis tertentu yang khas.
Membincang tentang relasi antara prinsip dan praktek, seperti yang dinyatakan
penulisnya, buku ini hendak melacak kaitan logis mulai dari keyakinan-keyakinan filosofis ke prinsip-prinsip dan praktek-praktek pendidikan; lebih daripada membahas keterkaitan antara berbagai pengaruh dalam memperlawankan
praktek dan teori, atau dengan berbagai taraf dan matra teori.
Adapun kekurangan yang antara lain dapat ditemukan yaitu tidak tertampungnya
titik tolak proses munculnya alur pemikiran dari berbagai ideologi pendidikan yang telah dianalisis di sini seiring dengan kronologi perkembangan pendidikan. Dan ini diakui sendiri oleh sang penulis, meski sengaja dilakukannya.
Ia memang tidak berniat untuk menyajikan historisitas intelektual terbentuknya ideologi-ideologi tersebut.
Secara keseluruhan, karya tulis tebal ini kiranya patut diacungi jempol.
Upaya penerjemahannya pun perlu dihargai karena begitu membantu untuk memahami setting pertikaian dalam politik pendidikan. Informasi yang tersedia bersifat ekstensif sekaligus eksploratif. Hal ini bermanfaat untuk memperluas ruang lingkup dan menajamkan
sudut persepsi kita terhadap berbagai varian ideologi dalam pendidikan. Terbitnya “Ideologi-Ideologi Pendidikan” diharapkan mampu memberi stimulus, baik bagi policy maker hingga pemerhati pendidikan, agar bersedia melakukan refleksi untuk lebih menghayati
urgensi pendidikan bagi eksistensi kehidupan manusia, secara individual mapun sosial.
Diskursus seputar pendidikan tak pupus diterjang masa. Ragam ide dan aplikasi di dalamnya akan tetap krusial dan penting.
Dan pendidikan hendaknya diberi posisi yang strategis dalam kancah kehidupan manusia. Artinya, pendidikan sudah sepantasnya dipahami sebagai perangkat yang berdaya guna menghadapi dan memecahkan berbagai problematika yang
ada. Barangkali itulah misi dari pendidikan sepanjang yang kita ketahui selama ini dan telah menjadi sebuah keniscayaan.
Di samping itu, biasanya kita menduga pendidikan sebagai kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral.
Namun ternyata pendidikan itu tidaklah steril, bebas nilai. Inilah yang coba dituangkan oleh seorang pakar pendidikan dari Universitas California Selatan, William F. O’neil dalam “Ideologi-Ideologi Pendidikan”. Ia
mengisyaratkan bahwa tidak ada pendidikan yang bersifat netral. Dengan demikian pendidikan selalu sarat dengan agenda ideologi.
Ideologi, seperti yang dikutip O’neil dari Sargent dalam Contemporary Political Ideologies, adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai
fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat. Ia menyediakan sebuah potret dunia sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya dunia
itu bagi mereka yang meyakininya. (Hal. 33)
Mengenai korelasi antara ideologi dan pendidikan, Mansour Fakih dalam
pengantarnya berkomentar bahwa saat ini pendidikan sedang diuji untuk mampu menjatuhkan opsi antara melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada, ataupun pendidikan harus berperan kritis dan melakukan transformasi sosial.
Kedua peran dilematis pendidikan tersebut hanya bisa dijawab melalui paradigma dan ideologi pendidikan yang menjadi landas tumpunya.
Dalam perspektif yang memandang level negara vis a vis rakyat, negara sebagai power holder selalu mengatasirakyat. Posisi rakyat menjadi subordinat. Negara melalui instrumen ideologisnya berikhtiar menjejali
alam berpikir dan mendominasi wacana rakyat sehingga akan terbentuk kesadaran kolektif (collective consciousness). Tentunya instrumen ideologis yang disebut Louis Althusser dengan Ideological State Aparateur (ISA) sesuai dengan logika kekuasaan yang sedang berlangsung dan satu-satunya
dianggap legitimate.
Tak pelak instrumen ideologis ini juga didistribusikan pada media pendidikan
dan “disuntikkan” ke dalam otak peserta didik melalui muatan kurikulum yang diberlakukan. Karena diterapkan secara sistematis, maka implikasinya terjadilah apa yang oleh Paulo Freire identifikasi sebagai “reproduksi
ideologi” dari the rulling class. Tidak heran jika kondisi ini akan dapat mengamankan
dan kian memapankan posisi status quo.
Yang menarik dari buku ini yaitu kemampuan penulisnya secara deskriptif
untuk memberi ulasan yang proporsional terhadap berbagai ideologi yang mendasarinya. Yang ingin dicapai adalah penyajian sebuah ikhtisar tentang pilihan-pilihan ideologis yang dianggap paling signifikan dalam filosofi pendidikan,
yaitu Fundamentalisme, Intelektualisme, Konservatisme, Liberlisme, Liberasionisme dan Anarkisme.
Fundamentalisme pendidikan bersifat anti intelektual. Fundamentalisme cenderung mendasarkan anggapan-anggapannya di atas penerimaan yang tidak kritis terhadap kebenaran yang diwahyukan atau kesepakatan
sosial yang sudah mapan. Intelektualisme didasari oleh sistem-sistem pemikiran filosofis atau teologis yang relatif rigid dan secara fundamental bersifat otoritarian. Konservatisme mengajukan kepatuhan terhadap institusi-institusi dan proses-proses kultur atau pola-pola sosial yang
sudah mapan. Liberalisme menekankan perubahan serta teknik-teknik untuk menangani perubahan. Kaum
liberal mengajukan transformasi sosial demi memajukan kebebasan individual serta untuk memaksimalkan perujudan potensi-potensi manusia sepenuhnya. Liberasionisme adalah perspektif yang menganggap bahwa kita harus mengupayakan pembaharuan/perombakan segera dalam
ruang lingkup besar atas tatanan politis yang ada sebagai cara menuju perluasan kebebasan individual serta untuk mempromosikan perujudan potensi-potensi personal sepenuhnya. Sedangkan Anarkisme meyakini bahwa kita harus sejauh munkin mendeinstitusionalisasikan masyarakat. Pendekatan terbaik yaitu
mengusahakan untuk mempercepat pembaharuanpembaharuan humanistis yang segera dan berskala luas dalam masyarakat dengan menghapuskan sistem sekolah seluruhnya. Penghapusan kekangan ini diyakini sebagai jalan lempang untuk
menyediakan ungkapan sepenuhnya dari potensi-potensi manusia yang dibebaskan. (Hal. 531-536)
Akan tetapi mesti disadari bahwa taksonomi keenam ideologi tersebut senantiasa
disekat oleh limitasi ruang dan waktu. Bisa jadi ideologi yang kini dikategorikan sebagai manifestasi Konservatisme justru dalam kurun sebelumnya malah diyakini merupakan derivasi dari ideologi pendidikan tandingannya, Liberalisme.
Demikian pula dalam konteks ruang, riwayat pendidikan yang dialami setiap komunitas atau negara akan menunjukkan adanya komparasi opsi ideologis tertentu yang khas.
Membincang tentang relasi antara prinsip dan praktek, seperti yang dinyatakan
penulisnya, buku ini hendak melacak kaitan logis mulai dari keyakinan-keyakinan filosofis ke prinsip-prinsip dan praktek-praktek pendidikan; lebih daripada membahas keterkaitan antara berbagai pengaruh dalam memperlawankan
praktek dan teori, atau dengan berbagai taraf dan matra teori.
Adapun kekurangan yang antara lain dapat ditemukan yaitu tidak tertampungnya
titik tolak proses munculnya alur pemikiran dari berbagai ideologi pendidikan yang telah dianalisis di sini seiring dengan kronologi perkembangan pendidikan. Dan ini diakui sendiri oleh sang penulis, meski sengaja dilakukannya.
Ia memang tidak berniat untuk menyajikan historisitas intelektual terbentuknya ideologi-ideologi tersebut.
Secara keseluruhan, karya tulis tebal ini kiranya patut diacungi jempol.
Upaya penerjemahannya pun perlu dihargai karena begitu membantu untuk memahami setting pertikaian dalam politik pendidikan. Informasi yang tersedia bersifat ekstensif sekaligus eksploratif. Hal ini bermanfaat untuk memperluas ruang lingkup dan menajamkan
sudut persepsi kita terhadap berbagai varian ideologi dalam pendidikan. Terbitnya “Ideologi-Ideologi Pendidikan” diharapkan mampu memberi stimulus, baik bagi policy maker hingga pemerhati pendidikan, agar bersedia melakukan refleksi untuk lebih menghayati
urgensi pendidikan bagi eksistensi kehidupan manusia, secara individual mapun sosial.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as