Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    neoliberalisme dunia pendidikan

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    neoliberalisme dunia pendidikan Empty neoliberalisme dunia pendidikan

    Post by admin Mon May 17, 2010 2:13 pm





    Neoliberalisme Dunia Pendidikan:



    Otonomi Kampus dan Sekolah




    Dikeluarkan
    Oleh Departemen Litbang LMND





    1. Menelanjangi Otonomi Sekolah dan
    Kampus: Pemotongan Subsidi Pendidikan





    Menyoroti berbagai persoalan tentang
    sistem pendidikan belakangan ini, kita akan justru dengan terpaksa harus
    mengupas sebuah isu, yaitu otonomi sekolah dan otonomi kampus. Kedua hal ini
    sebenarnya adalah jalan keluar yang ditawarkan pemerintah untuk menghadapi
    kurangnya dana yang tersedia untuk penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakat.
    Selintas, kebijakan ini justru lebih berlaku untuk sekolah-sekolah dan
    kampus-kampus negeri yang memang dibiayai pemerintah. Namun, jika kita
    menelusuri secara historis dan lebih detail, maka akan terlihat bahwa kebijakan
    yang dicanangkan pemerintah dengan apa yang dinamakan Otonomi Pendidikan
    ternyata akan berpengaruh kepada keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia.


    1.1. Komersialisasi Pendidikan Semasa Orde Baru




    Sampai saat ini, dalam kenyataannya,
    negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam
    persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih
    terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru,
    pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan.



    Bertambahnya populasi manusia Indonesia
    semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial,
    termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah
    dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih
    membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang
    begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari
    pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD
    Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak
    gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan
    hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang
    ada.



    Dengan pembenaran kesulitan semacam
    inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang
    kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang
    ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas
    terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang!



    Seiring dengan pertumbuhan industri,
    kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang
    benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan
    tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada.
    Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2,
    dan D3. Iming-iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat
    program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan
    dirinya ke dalam program ini.



    Tahun-tahun terakhir dari masa Orde
    Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan
    yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model
    pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta
    didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan
    teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak
    industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya.



    “Link and Match” meski belum sempat
    diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya
    pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia.
    Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif
    berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalankan konsep ini, atau yang
    sering disebut Pendidikan Sistem Ganda[1].
    Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran
    bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di
    kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus
    dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar.



    Hasil akhir dari sistem pendidikan yang
    dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang
    dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB[2]
    menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di
    Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan
    70 persen yang lulus pada tahun kedelapan.



    Penyebaran kualitas pendidikan pun
    sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari
    sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata-rata untuk penerimaan mahasiswa
    baru (UMPTN) tahun 2000 yaitu 771, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar
    400-600.



    Salah satu argumen yang berkembang
    tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang
    sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar,
    dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam
    mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana
    yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. Akan
    tetapi, benarkah argumen ini?



    Intervensi komersialisasi justru
    menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan
    membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya
    pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia menyebabkan adanya buku-buku
    tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya
    sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat
    terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan
    pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari
    amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru.


    1.2.
    Anggaran
    Pendidikan dan Subsidi Pendidikan





    Semasa
    Orde Baru, dana pendidikan yang dikeluarkan tak lebih dari 8 persen dari APBN.
    Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand,
    maka dapat terlihat bahwa pemerintah Indonesia tak pernah memperhatikan
    pendidikan. Sejak tahun anggaran 1992, 1993, 1994, 1995, 1996 Thailand
    masing-masing mengalokasikan 18,8 persen, 19,3 persen, 19,5 persen, 18,9 dan
    20,40 persen maka untuk periode yang sama Indonesia hanya 8,08 persen, 7,69
    persen, 7,1 persen, 6,73 persen, dan 6,96 persen. Untuk hal yang sama, sering
    disebut-sebut Malaysia sudah mengalokasikan 25 persen sejak tahun 1974[3].



    Anggaran
    pendidikan saat ini sangat memperlihatkan bahwa pemerintah memang benar-benar
    melepaskan tanggungjawabnya dari dunia pendidikan, apalagi memasukkan
    pendidikan sebagai salah satu yang diberikan tanggungjawabnya kepada pemerintah
    daerah.



    Sebelumnya,
    untuk kasus Universitas Indonesia, pemerintah menanggung subsidi untuk setiap
    mahasiswa sebesar 2,5 juta rupiah persemesternya untuk menghadapi kebutuhan
    sekitar 7 juta per semester per mahasiswa. Pemerintah lalu memotong subsidi
    ini, dengan alasan agar dapat digunakan di pendidikan dasar-menengah.
    Akibatnya, iuran SPP yang ditanggung mahasiswa UI meningkat menjadi 750.000
    rupiah dari 450.000 rupiah[4].
    Dan inipun harus ditambah dengan dana DPKP yang menyebabkan total biaya yang
    ditanggung per mahasiswa lebih dari 1 juta per semester.



    Lucunya,
    setelah mengatakan bahwa pemotongan subsidi untuk perguruan tinggi karena
    pemerintah ingin menggunakan dananya di pendidikan dasar dan menengah,
    diumumkanlah pemberlakuan otonomi pendidikan yang termasuk dalam paket otonomi
    daerah. Dalam otonomi pendidikan ini juga diperkenalkan manajemen pendidikan
    berbasis sekolah yang dapat disimpulkan dengan singkat: uang SPP SD-SMTA naik.


    2. Otonomi Sekolah dan Kampus: Antara
    Konsep dan Dampak





    Konsep yang berlaku dalam otonomi
    pendidikan adalah apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan
    kampus. Sekolah dan kampus bertanggung jawab atas keuangan, kegiatan atau
    program, sarana-prasarana, dan komponen-komponen penunjang pendidikan lainnya.
    Sekolah dan kampuslah yang merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol dirinya
    dalam melakukan pembangunan diri ataupun pendidikan bagi siswa-siswanya.



    Otonomi pendidikan ini juga
    sejalan dengan otonomi daerah yang berlaku 1 Januari 2001 lalu. Berbagai
    Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sudah menyatakan kesiapan dirinya. Mereka
    terutama adalah daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Sebagai
    contoh Pemda Kalimantan Timur yang mengklaim sudah menyiapkan anggaran
    pendidikan sebesar 340 milyar rupiah dan dengan tambahan dana dari sektor
    kehutanan sebesar dua dolar per meter kubik kayu hutan industri yang
    dimilikinya. Salah satu kabupatennya, Kutai Kertanegara, yang kaya akan hasil
    tambang minyak dan emas bahkan akan menggratiskan sekolah sampai SMA.


    Namun tak semua provinsi dan kabupaten
    seperti Kalimantan Timur dan Kutai Kertanegara. Provinsi dan kabupaten yang
    selama ini miskin kekayaan alam dan berjubel penduduknya tidak akan mengalami
    keindahan dunia pendidikan seperti yang dialami Kaltim dan Kutai. Artinya, ada
    beberapa hal yang harus dicermati dalam pelaksanaan otonomi pendidikan.




    2.1.
    Memperbesar Peran Birokrasi Kampus dan Sekolah untuk Menyediakan Dana








    Desentralisasi pendidikan dimulai dengan memberi peran kepada
    pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kotamadya sebagai basis pengelolaan
    pendidikan dasar. Sedangkan untuk pendidikan tinggi



    Pertama,
    otonomi daerah telah menyebabkan kembalinya sumber-sumber daya untuk pendidikan
    ke daerah-daerah. Asumsi dari otonomi
    daerah, atau lebih tepatnya sumber kepalsuannya, setiap daerah memiliki
    potensinya masing-masing sehingga justru dengan otonomi daerah setiap daerah
    bisa mencapai tingkat kemakmuran.



    Mari
    kita lihat kenyataannya, tak usah jauh-jauh dari pusat kekuasaan. Di Jabotabek
    dan Jawa Barat masih banyak SD-SD yang fasilitasnya dan mutu pendidikan yang
    diperoleh siswa-siswanya sama-sama menyedihkan dengan di daerah-daerah lainnya.
    Dibandingkan dengan SD-SD yang berada dalam perkembangan infrastruktur di
    daerah-daerah luar Jawa di mana alam masih menjadi sumber keterbatasan,
    sebenarnya SD-SD di Jawa, di mana segala macam fasilitas telah tersedia,
    ternyata memiliki nasib sama-sama menyedihkan.



    Yang
    tak kalah penting adalah kondisi yang sangat dipenuhi ketimpangan di awal
    pemberlakuan pendidikan. Kondisi SD-SD di Jawa Barat dan SD-SD di Papua jelas
    sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, kemampuan siswa,
    dan mutu pendidikannya. Atau dalam contoh ekstrem, sebuah SMA negeri unggulan
    di Jakarta dengan semua ruang kelas ber-AC, memiliki lab komputer, dan segudang
    fasilitas lainnya bisa beroperasi karena SPPnya mencapai ratusan ribu rupiah.
    Bahkan saat ini juga telah muncul sekolah-sekolah plus dari swasta yang
    berfasilitas hebat dan berstandar pendidikan internasional[5].
    Ya, sekolah-sekolah ini memang berkualitas karena dananya juga berasal dari
    murid-muridnya yang kaya. Tapi bagaimana menciptakan pendidikan yang
    berkualitas dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat? Dengan
    otonomi pendidikan, menyerahkan segala urusan
    pembiayaan kepada kampus dan sekolah? Jelas tidak. Otonomi pendidikan
    justru akan menghambat pemerataan mutu pendidikan baik antar daerah dan juga
    antar lapisan-lapisan ekonomi masyarakat.



    Jika
    begitu, otonomi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolahnya menjadi
    upaya cuci tangan pemerintahan dari tanggung jawab membenahi segala macam
    kerusakan yang telah terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia.



    Kedua,
    otonomi pendidikan tidaklah berarti peningkatan porsi anggaran pendidikan, atau
    titik perhatian pemerintah. Padahal, penyebab utama rendahnya mutu pendidikan
    Indonesia adalah rendahnya dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan.
    Jangan pernah tertipu oleh jumlah uang yang dianggarkan untuk pendidikan, tapi
    perhatikanlah persentasinya dari total anggaran. Jika alokasi anggarannya tetap
    rendah, maka justru otonomi pendidikan justru akan menyengsarakan siswa-siswa.
    Kenapa? Karena otonomi pendidikan juga berarti menyerahkan tanggung jawab
    penyediaan dana kepada sekolah-sekolah, dan yang paling mudah untuk mendapatkan
    dana adalah menaikkan iuran sekolah.


    2.2.
    Kampus sebagai Pusat Bisnis Riset IPTEK





    Seperti yang pernah diungkapkan di atas, masuknya
    intervensi industri ke dalam kampus telah menciptakan basis bisnis baru, riset
    dan pengembangan produk. Awalnya, ladang bisnis ini dijalankan secara diam-diam
    ataupun bahkan diselimuti oleh institusi-institusi penelitian kampus untuk membiayai
    berbagai macam kegiatan akademik. Yang digunakan juga fasilitas-fasilitas
    kampus. Kenapa tidak? Di negara-negara maju hal ini sudah menjadi sesuatu yang
    lumrah. Apalagi hampir kebanyakan tenaga pengajar yang dinilai terbaik oleh
    kampus-kampus Indonesia dididik di negara-negara tersebut.



    Namun lama kelamaan, ia menjadi lahan bisnis yang
    menguntungkan, terutama untuk beberapa kalangan di dalam kampus yang dekat
    dengan fasilitas penelitian dan pengembangan kampus. Dan pihak birokrasi
    kampuspun mulai melihat riset IPTEK sebagai lahan bisnis yang dapat memberikan
    pemasukkan untuk anggaran kampus, ataupun anggaran pribadi jika
    person-personnya terlibat KKN.



    Dunia bisnis dengan dunia kampus memiliki perbedaan
    yang mendasar. Jika dunia kampus adalah bertugas melayani masyarakat, dunia
    bisnis memiliki hanya satu kepentingan: memperkaya para pemegang saham. Apa
    jadinya jika fasilitas penelitian di kampus-kampus lebih banyak dipakai untuk
    kebutuhan-kebutuhan komersil? Semua pusat perhatian penelitian di kampus akan
    lebih banyak tercurah kepada kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bukan
    mayoritas masyarakat.



    Saat inipun, banyak tugas-tugas akhir mahasiswa S1,
    terutama di fakultas-fakultas teknik, sudah sangat banyak dipengaruhi oleh
    pengembangan fasilitas penilitian kampus sebagai sarana bisnis. Banyak
    dosen-dosen pembimbing yang juga terlibat proyek penelitian dengan berbagai
    perusahaan justru memanfaatkan tenaga gratisnya para mahasiswa tugas akhir
    tersebut untuk membantu menyelesaikan proyeknya.


    2.3.
    Pola Subsidi Pendidikan





    Konsep otnomi kampus juga memperkenalkan model performance contract untuk pemberian
    subsidi pendidikan. Misal, di kampus A pemerintah memberikan sejumlah bantuan
    (block grant) yang diikat oleh sejumlah persyaratan seperti jumlah kelulusan yang
    dihasilkan dan kualitas dari kelulusan tersebut haruslah mencapai standar
    tertentu.



    Jika kuantitas dan kualitas yang ditentukan tidak
    dapat dipenuhi, maka akan menjadi evaluasi dalam pemberian bantuan selanjutnya.
    Bisa jadi evaluasi tersebut menjadi alasan pengurangan subsidi yang diberikan
    ke kampus A tersebut.



    Sistem semacam ini tak ubahnya membuat kampus menjadi
    pabrik sarjana, dimana manusia-manusia yang dididik di dalam kampus-kampus
    benar-benar hanya siap untuk menjadi mur dan baut dunia industri. Kurikulum
    jelas akan benar-benar dipengaruhi prasyarat-prasyarat yang tercantum dalam
    kontrak bantuan. Lihat saja betapa besar genjotan yang dilakukan pihak
    birokrasi kampus untuk mempercepat masa studi seorang mahasiswa perguruan
    tinggi negeri. Di banyak kampus negeri saat ini, dalam satu tahun dapat
    mengadakan tiga kali masa persidangan skripsi ataupun tugas akhir. Ini juga
    ditambah dengan batas maksimum masa studi yang perpanjangannya diembel-embeli
    dengan penambahan beban SPP. Dan semua itu sama sekali tidak memperhatikan apa
    yang diperoleh setiap wisudawan selama masa studinya di kampus-kampus tersebut.


    2.4.
    Pengaruh Korporat di dalam Sekolah dan Kampus





    Dalam konsep otonomi pendidikan saat ini memang negara
    tidak terlalu dominan dibanding masa Orde Baru. Namun yang menarik, pelibatan
    semua unsur-unsur masyarakat di dalam Lembaga Pertimbangan Pendidikan dan
    Kebudayaan (LPPK) untuk SD-SMTA di pemda-pemda setempat, dan Majelis Wali
    Amanat (MWA) untuk perguruan tinggi negeri.



    Kenapa menarik? Karena di dalam setiap lembaga
    tersebut, unsur usahawan selalu dimasukkan sebagai daftar pertama sebagai
    anggotanya. Jelas, masuknya usahawan ke dalam manajemen pendidikan tidak bisa
    ditolak jika yang bersangkutan benar-benar ingin membantu dunia pendidikan
    tanpa imbalan apapun. Namun kenyataannya, ini sering kali membuat
    institusi-institusi pendidikan memasukkan hitungan untung rugi finansial dalam
    memberikan pendidikan kepada peserta didiknya.



    Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara,
    terutama negara-negara maju. Di Kanada misalnya, pengaruh korporat mulai
    mengarahkan kampus sebagai pelayan kepentingan ekonomi mereka, yaitu pasar
    produk mereka dan riset yang dilakukan kampus. Komersialisasi riset dan
    pengembangan justru dianjurkan oleh sebuah badan yang didirikan oleh pemerintah
    federal,
    Expert Panel on the Commercialization of University
    Research. Ternyata, badan yang diketuai oleh Menteri Perindustrian Kanada ini
    tidak diisi oleh ahli-ahli akademik, melainkan para pengusaha dan non
    akademisis lainnya yang memang ditunjuk oleh pemerintah. Penerapan model MWA di
    Kanada juga terjadi, sebagai contoh Board of Governors dari McGill University
    adalah para pengusaha besar di Montreal[6].
    Kasus demi kasus terjadi, dua yang terakhir adalah pendirian McGill College
    International yang didanai swasta dan kasus kesepakatan rahasia mengenai riset
    minuman dingin.


    2.5.
    Dampak Utama: Naiknya Biaya SPP





    Terlepas dari semua frasa kosong yang dikeluarkan oleh
    para konseptor otonomi pendidikan di Indonesia, kita tak bisa melupakan satu
    hal yang berkaitan langsung dan paling terasa oleh masyarakat. Otonomi
    pendidikan akan selalu diikuti oleh kenaikan SPP. Pengalaman di UNAM, Meksiko,
    membuktikan gratisnya (sebenarnya tidak gratis tetapi sekitar 50 sen
    persemester, sehingga dapat dikatakan gratis) pendidikan tidak berarti buruknya
    fasilitas kampus. Bahkan UNAM yang jumlah mahasiswanya mencapai 268000 orang,
    memiliki fasilitas berupa empat buah SMA yang siswa-siswanya begitu lulus
    menjadi mahasiswa UNAM. Namun ketika program Neoliberalisme diperkenalkan, biaya
    SPP dinaikkan hingga US$ 140, sebuah angka yang cukup mahal di kota Meksiko.
    Akibatnya, hampir sebagian mahasiswa UNAM melakukan mogok kuliah yang kemudian
    berbentrokan dengan aparat kepolisian yang diundang oleh pemerintah untuk
    merebut kembali kampus[7].



    Di Indonesia, mahasiswa negeri angkatan 1999 dan 2000
    kini membayar uang mendekati 1 juta rupiah sebagai SPP. Sampai saat ini memang
    masih belum jelas untuk tingkat pendidikan di bawahnya, tetapi memang telah
    terlihat akibat-akibat kenaikan SPP ini, 3 juta anak usia SMTP tidak sekolah.
    Sementara itu, pemerintah tetap mendorong kebijakan otonomi pendidikan kepada
    pemda-pemda dan otonomi kampus. Untuk otonomi kampus saja, direncanakan subsidi
    untuk pendidikan tinggi akan terus-menerus dikurangi sampai nol dalam jangka
    beberapa tahun.



    ***


    Menjadi persoalan pelik jika di saat krisis saat ini
    sektor pendidikan tidak menjadi bagian perhatian pemerintah. Apabila
    terus-menerus seperti ini, maka bukan tidak mungkin pendidikan kembali hanya
    menjadi monopoli orang-orang yang memiliki modal yang hanya memberikan
    pendidikan kepada orang lain untuk memperlancar ekonominya.















    [1] Insentif bagi
    Industri yang Lakukan Pelatihan
    , Kompas, Kamis, 26 Juni 1997









    [2] Tempo,
    7 Januari 2001







    [3] Lewat
    Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain
    , Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998







    [4] Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan
    Dasar
    ,
    Kompas, Rabu, 24 Februari 1999







    [5] Sekolah Plus, Menghitung
    Dengan Dollar
    , Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001






    [6] Kasrai, Reza, Corporate
    University
    , CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur 2001.






    [7] http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 11:38 am