Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    dimensi autentisitas dalam pendidikan

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    dimensi autentisitas dalam pendidikan Empty dimensi autentisitas dalam pendidikan

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 7:42 pm

    Dimensi
    Autentisitas di dalam Pembelajaran BIPA






    B.
    Widharyanto


    PBSID,
    FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta




    Abstrak







    Autentisitas di dalam pembelajaran
    bahasa asing, seperti BIPA, merupakan aspek yang penting dan harus
    diperjuangkan. Autentisitas bukan hanya terkait dengan bahasa yang dipelajari
    oleh pembelajar, namun juga terkait dengan bahan-bahan yang dipersiapkan oleh
    pengajar, dengan teknik pembelajaran, khususnya yang terlihat dalam tugas-tugas
    pembelajarannya, serta dengan bentuk-bentuk pengukuran keberhasilan
    pembelajaran BIPA.


    Makalah ini secara khusus akan
    mengupas ihwal autentisitas ini di dalam konteks (1) bahasa yang diajarkan, (2)
    bahan-bahan pembelajaran bahasa Indonesia yang dipelajari pembelajar asing, (3)
    tugas-tugas pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas-kelas BIPA, dan (4)
    bentuk-bentuk tes BIPA yang diberikan pada para pembelajar. Dasar pemikiran
    yang digunakan dalam makalah ini adalah autentisitas bukanlah bersifat “hitam”
    dan “putih” atau autentik dan tidak autentik. Autentisitas dalam hal ini lebih
    dilihat sebagai suatu kontinum, di mana bahasa, bahan pembelajaran, tugas-tugas
    pembelajaran, dan bentuk-bentuk tes BIPA selalu mengandung unsur-unsur yang
    alamiah.


    Makalah ini juga akan menyuarakan
    pandangan yang ditujukan kepada para pengajar BIPA, bahwa walaupun kelas bahasa
    adalah suatu bentuk rekayasa pembelajaran bahasa yang sifatnya tidak autentik,
    kelas bahasa perlu memaksimalkan sifat-sifat autentik yang terdapat di dalam
    keempat komponen pembelajaran di atas.





    ________________________





    1.
    Pendahuluan





    Aktivitas berbahasa yang tercipta sebagai proses
    pembelajaran di kelas pada dasarnya adalah aktivitas semu. Semua itu merupakan
    bentuk rekayasa, bentuk peniruan, bentuk penyederhanaan, yang terkadang jauh
    dari kenyataan pemakaian bahasa sewajarnya. Aktivitas berbahasa seperti itu
    tidak memenuhi sifat yang disebut sebagai “authentic
    real-life language
    ”.


    Memang tidak mungkin membuat aktivitas berbahasa di kelas
    100% autentik. Ini disebabkan oleh sifat hakiki dari pembelajaran di kelas yang
    memang serba rekayasa itu. Pengajar di dalam interaksi belajar mengajarnya
    cenderung memodifikasi bahasanya sehingga bahasa pengajar oleh sementara ahli
    pembelajaran dicurigai penuh dengan simplifikasi dalam banyak hal. Bahasa siswa
    pun tidak kalah menariknya. Bahasa yang dituturkan siswa di kelas adalah bahasa
    yang belum sepenuhnya bahasa sasaran atau bahasa target. Banyak ahli yang
    menyebut fenomena ini sebagai bahasa antara atau interlanguage. Setting
    yang tercipta di kelas adalah lingkungan fisik yang dibuat oleh pengajar demi
    tercapainya tujuan pembelajaran. Setting
    yang seperti ini tidak akan pernah dapat memasukkan seluruh sifat dan
    karakteristik yang dimiliki oleh setting
    dalam komunikasi senyatanya.


    Selanjutnya,
    topik atau isi yang dibicarakan dalam aktivitas berbahasa, tidaklah muncul
    menurut kesepakatan antara dua pihak yang berperan dalam aktivitas berbahasa.
    Topik tersebut sudah ditentukan berdasarkan pada silabus yang disusun secara
    ketat oleh pengajar atau perancang program pembelajaran. Peran yang dibawakan
    oleh siswa berkaitan dengan topik yang dibicarakan adalah peran yang sudah
    dipilihkan. Siswa A berperan sebagai dokter dan siswa B berperan sebagai
    pasien, misalnya. Semua itu, mengukuhkan bahwa kelas bahasa adalah suatu bentuk
    aktivitas pembelajaran yang tidak autentik atau tidak alami.


    Namun demikian,
    autentisitas di dalam kelas BIPA, terutama kelas yang berdasarkan pada
    pendekatan komunikatif, perlu diperjuangkan oleh para pengajar BIPA. Karena
    seperti yang dinyatakan Widharyanto (2000), autentisitas merupakan salah satu
    karakteristik dari pembelajaran yang komunikatif.








    2.
    Autentisitas
    sebagai Kontinum






    Di dalam makalah ini saya berpendapat bahwa autentisitas
    hendaklah jangan dipandang secara diskret “hitam dan putih”. Autentisitas
    adalah suatu kontinum tinggi atau rendah yang di dalamnya terdapat banyak atau
    sedikit sifat-sifat autentik. Sifat-sifat autentik itu terkait antara lain
    dengan: (1) bahasa yang dipelajari, (2) sumber bahan pembelajaran, (3)
    tugas-tugas pembelajaran, dan (4) bentuk tes dalam pembelajaran BIPA. Di dalam
    kelas bahasa sangat dimungkinkan diupayakan autentisitas yang maksimal, yakni
    dengan melibatkan sebagian besar dari sifat-sifat autentik di atas, walaupun
    tetap tidak mungkin mencapai autentisitas obsolut 100% karena sifat kelas
    bahasa yang rekayasa itu.








    3.
    Autentisitas
    Bahasa






    Bahasa seperti apakah yang harus diajarkan di kelas
    bahasa? Pertanyaan seperti ini akan
    menjadi indikator utama untuk menangkap seberapa besarkah kadar autentisitas
    dari aspek ini.


    Dalam pembelajaran BIPA masih terlihat tarik menarik
    mengenai bahasa yang diajarkan, yakni bahasa yang bebas konteks ataukah bahasa
    yang peka konteks. Ada sementara pembelajaran BIPA yang mendasarkan diri pada
    pandangan bahwa bahasa itu suatu struktur, yang di dalamnya terdapat
    komponen-komponen terpisah yang berinterelasi satu dengan yang lain dan
    membentuk suatu sistem. Pandangan yang strukturalis seperti ini berakibat pada
    pembelajaran BIPA yang cenderung diskret dan tatabahasa sentris. Penguasaan
    kompetensi bahasa oleh karenanya lalu dipandang merupakan penggabungan atas
    penguasaan komponen-komponen bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis,
    membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Pandangan seperti ini memperlihatkan
    bahwa bahasa yang diajarkan dalam pembelajaran BIPA adalah bahasa yang bebas
    konteks, bahasa yang dipisahkan dari fungsi-fungsi sosial, dan bahasa yang
    tidak berakar pada pemakaian senyatanya dalam kehidupan sehari-hari.
    Karakteristik bahasa seperti ini adalah bahasa yang memiliki tingkat
    autentisitas rendah.


    Beberapa pembelajaran BIPA yang lain mendasarkan diri
    pada pandangan bahwa bahasa itu merupakan alat komunikasi. Sebagai alat
    komunikasi, bahasa itu merupakan suatu entitas yang utuh, terpadu, dan
    tidak terpisah-pisah. Bahasa itu
    dipandang juga memiliki fungsi-fungsi sosial. Di samping itu, bahasa senyatanya
    seperti yang ada dalam masyarakat penuturnya (real life language) merupakan bahasa yang diberikan dalam proses
    pembelajaran BIPA, apakah itu dialek, apakah itu bahasa dalam ragam tertentu,
    dan sebagainya. Penguasaan kompetensi bahasa dalam kaitan dengan ini dipandang
    merupakan penguasaan kemampuan yang simultan antara bahasa, kemampuan
    pragmatik, faktor-faktor sosiolinguistik, dan strategi komunikasi.
    Karakteristik bahasa yang seperti ini adalah bahasa yang memenuhi sifat
    autentisitas tinggi.


    Selain isu bahasa bebas konteks dan bahasa peka konteks
    itu, isu kedua mengenai tarik menarik bahasa yang diajarkan adalah bahasa
    simplifikasi dan bahasa alami atau apa adanya. Dalam pembelajaran BIPA masih
    banyak instruktur maupun pengajar yang “memaksakan” untuk menyederhanakan
    struktur kalimat, mengganti kata-kata khusus dengan kata-kata umum,
    menghilangkan implikatur percakapan, sasmita,
    dan gaya bahasa dengan bentuk-bentuk percakapan yang bersifat langsung dan
    lugas. Semua upaya ini membawa dampak pada “wajah” bahasa yang diajarkan
    menjadi bahasa yang diinginkan oleh instruktur atau pengajarnya, dan bukan
    bahasa alami atau natural.
    Karakteristik bahasa simplifikasi ini kurang memiliki autentisitas yang tinggi.


    Di sisi lain, banyak pula
    instruktur atau pun pengajar BIPA yang berupaya keras menampilkan bahasa alami
    di dalam pembelajaranya. Bahasa yang ada dalam komunikasi senyatanya merupakan
    bahan utama yang diberikan dalam aktivitas berbahasa di kelas.
    Kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai akibat diberikannya bahasa alami pada
    pembelajar BIPA tidak dianggap sebagai masalah yang mengganggu, namun justru
    sebagai tantangan yang harus disiasati oleh pengajar BIPA dalam pembelajarannya.
    Dalam konteks ini, bahasa alami memang memenuhi sifat autentisitas yang sangat
    tinggi.








    4.
    Autentisitas
    Bahan-bahan Pembelajaran BIPA






    Dalam pembelajaran BIPA seleksi bahan merupakan satu
    tahapan penting yang harus dihadapi oleh seorang pengajar BIPA. Isu yang muncul
    dalam tahapan ini berkaitan dengan pertanyaan dari manakah asal bahan-bahan
    pembelajaran BIPA? Ada tiga isu yang menjadi polemik perdebatan, yakni (1)
    bahan itu murni dibuat dan dihasilkan oleh pengajar BIPA sendiri, (2) bahan itu
    diambil oleh pengajar BIPA dari bahan-bahan yang ada dalam komunikasi
    sehari-hari dan mengalami modifikasi seperlunya oleh pengajar, dan (3) bahan
    diambil oleh pengajar BIPA dari bahan-bahan yang ada dalam komunikasi
    sehari-hari tanpa mengalami modifikasi sama sekali dari pengajar BIPA.


    Bahan yang
    pertama cenderung memiliki tingkat kesulitan yang lebih rendah daripada bahan
    yang kedua dan ketiga, karena pengajar BIPA dapat menyesuaikan tingkat
    kesulitan bahannya dengan formula (I + 1), seperti formulanya Krashen (1985).
    Pengajar BIPA dengan segala imaginasinya dapat membuat percakapan, pengumuman,
    surat, dan lain sebagainya yang sesuai dengan kegemaran pengajar, gaya dan style pengajar, serta tingkat penguasaan
    bahasa pembelajarnya. Sementara itu, bahan yang kedua adalah bahan yang biasa
    digunakan dalam komunikasi sehari-hari seperti percakapan atau dialog di radio
    maupun di TV, pengumuman di Masjid,
    undangan hajatan, iklan dalam
    majalah, berita dalam surat kabar, form atau slip isian dari bank dan lain
    sebagainya, namun dimodifikasi seperlunya oleh pengajar BIPA demi tujuan
    tertentu. Bahan yang ketiga adalah bahan yang asli, apa adanya, tidak mendapatkan “campur tangan” dari
    pengajar BIPA. Bahan ini cenderung memiliki tingkat kesukaran yang lebih
    daripada bahan tipe pertama dan kedua.


    Apabila dibuat
    dalam suatu rentangan, maka tingkat autentisitas tiga tipe bahan dapat
    digambarkan dalam Tabel 1 berikut ini.





    Tabel 1: Tingkat
    Autentisitas Tiga Tipe Bahan


    dimensi autentisitas dalam pendidikan Clip_image001


    Campur Tangan
    Pengajar Autentisitas Bahan


    dimensi autentisitas dalam pendidikan Clip_image002dimensi autentisitas dalam pendidikan Clip_image003dimensi autentisitas dalam pendidikan Clip_image004 TINGGI RENDAH


    dimensi autentisitas dalam pendidikan Clip_image005 dimensi autentisitas dalam pendidikan Clip_image006
    Bahan Tipe 1






    Bahan Tipe 2


    dimensi autentisitas dalam pendidikan Clip_image007


    Bahan Tipe 3





    RENDAH TINGGI




















    5.
    Autentisitas
    Tugas-Tugas Pembelajaran






    Dalam pembelajaran BIPA, pengajar dapat memberikan
    berbagai macam tugas yang harus dilakukan oleh pembelajar sebagai wujud respon
    atas bahan pembelajaran yang diberikan. Isu yang muncul adalah tugas itu lebih mengarah pada penguasaan grammatical content dan lexical content atau mengarah pada discourse and rhetorical skills. Tugas
    yang mengarah pada penguasaan grammatical
    content
    dan lexical content
    adalah tugas-tugas yang jauh dari kegiatan komunikatif. Tugas-tugas ini
    didasari asumsi bahwa kemampuan menyelesaikan soal-soal struktur baik dalam
    tataran morfologi maupun sintaksis mencerminkan kompetensi berbahasa
    pembelajar. Tugas-tugas seperti ini bersifat tidak langsung dan memiliki
    tingkat autentisitas yang sangat rendah.


    Sebaliknya, ada pula pengajar BIPA yang memberikan
    tugas-tugas yang mengarahkan pada penguasaan grammatical content dan lexical
    content
    dalam konteks pemakaian wacana. Tugas-tugas seperti mengarahkan
    pembelajar menguasai komponen-komponen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi
    yang nyata, termasuk semua kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa
    sehari-hari. Salah satu contoh tugas dari tipe ini adalah pengajar meminta
    pembelajar untuk merekonstruksi wacana yang elemen-elemen tertentu
    dihilangkan (lihat bentuk cloze menurut
    Oller (1979:39)). Tugas-tugas seperti ini oleh sementara ahli pengajaran bahasa
    dikatakan memenuhi ciri-ciri pragmatik karena melibatkan pembelajar dengan
    wacana yang mengandung konteks dan bukan semata-mata kalimat dan kata-kata
    lepas.


    Namun demikian, tugas-tugas
    pembelajaran tipe kedua ini walaupun telah melibatkan konteks, tetap saja masih
    bersifat tugas yang tidak langsung dan lebih menekankan pada kemampuan
    kebahasaan daripada performansi aktual pembelajar. Berkaitan dengan ini, ada
    sementara ahli pengajaran bahasa yang mengusulkan tugas tipe ketiga yang
    bersifat langsung, yakni tugas peformansi aktual. Pembelajar diminta melakukan
    tugas-tugas komunikatif yang berupa interaksi dalam berbagai situasi berbahasa,
    seperti menulis pikiran pembaca dalam
    surat kabar, mewawancarai seorang tokoh, melakukan brifing untuk suatu kegiatan
    tertentu,
    dan sebagainya. Tugas tipe ketiga ini, apabila dilihat dari
    perspektif autentisitas, memiliki sifat autentik yang lebih tinggi daripada
    tugas tipe satu dan dua karena tugas tipe tiga memiliki sifat-sifat yang
    mendekati tugas komunikasi senyatanya dalam komunikasi sehari-hari.


    Apabila dibuat
    dalam suatu rentangan, maka tingkat autentisitas tiga tipe tugas pembelajaran
    dapat digambarkan dalam Tabel 2 berikut ini.





    Tabel 2: Tingkat Autentisitas Tipe Tugas





    Tipe Tugas

    Sifat Kegiatan Berbahasa

    Tingkat Autentisitas

    Tugas Tipe 1

    Tidak Langsung

    Rendah

    Tugas Tipe 2

    Semi Langsung

    Cukup

    Tugas Tipe 3

    Langsung

    Tinggi








    6.
    Autentisitas Alat
    Tes BIPA






    Mengukur
    keberhasilan pembelajar BIPA merupakan tahapan akhir dalam pembelajaran BIPA.
    Isu yang muncul berkaitan dengan upaya mengukur keberhasilan pembelajar BIPA
    adalah tipe tes apa yang digunakan oleh para pengajar BIPA? Sampai saat ini
    paling tidak terdapat beberapa tipe tes yang mengemuka dalam wacana para
    pengajar BIPA, yakni tes diskret, tes integratif, tes pragmatik, dan tes
    komunikatif. Berikut ini akan diuraikan satu persatu.


    Pertama adalah
    tes diskret. Tes BIPA tipe ini hanya menyangkut
    satu aspek kebahasaan saja pada satu kesempatan pengetesan, misalnya
    aspek fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa kata. Tiap-tiap butir soal
    hanya dimaksudkan untuk mengukur satu
    aspek kebahasaan saja. Dari segi model jawaban, tes BIPA tipe ini berupa
    penjodohan (matching), benar-salah (true-false), pilihan ganda (multiple choice), atau mengisi kotak
    kosong yang disediakan dengan jawaban yang sudah tersedia pada kolom lain.


    Kedua adalah tes
    BIPA tipe integratif. Tes BIPA tipe ini merupakan bentuk penyempurnaan dari tes
    BIPA diskret. Jika dalam tes BIPA diskret
    aspek-aspek kebahasaan dan kemampuan berbahasa diperlakukan secara terpisah,
    maka dalam tes BIPA integratif aspek-aspek kebahasaan ini dicakup secara
    bersamaan. Dasar pemikiran yang diacu
    dalam penyusunan tes BIPA integratif adalah bahasa itu merupakan
    integrasi dari bagian-bagian terkecil yang membentuk bagian-bagian yang besar, dan pada akhirnya
    merupakan bentukan terbesar yang berupa bahasa. Menurut Oller (1979) jika dalam
    tes diskret hanya diujikan satu aspek kebahasaan saja dalam satu waktu, maka
    dalam tes integratif berusaha diukur beberapa aspek kebahasaan secara
    bersamaan. Tes BIPA tipe ini melakukan pengukuran penguasaan kemampuan
    berbahasa atas dasar penguasaan pembelajar BIPA terhadap gabungan antara
    beberapa komponen bahasa dan kemampuan berbahasa. Mengubah bentuk suatu kalimat
    menjadi bentuk kalimat yang lain, misalnya,
    tidak saja menuntut kemampuan pembelajar tentang pengetahuan struktur
    kalimat, melainkan juga memerlukan penguasaan perubahan bentuk kata, dan bahkan
    makna kata yang merupakan bagian dari penguasaan kosa kata.


    Ketiga adalah tes
    BIPA pragmatik. Tes BIPA integratif yang berkembang sebagai reaksi terhadap tes
    BIPA diskret pada dasarnya hanyalah pelibatan beberapa aspek kebahasaan dan
    keterampilan berbahasa dalam tes yang diujikan pada pembelajar BIPA secara
    bersamaan. Tes BIPA integratif yang demikian seringkali sulit dibedakan dengan
    tes BIPA diskret yang melibatkan konteks kalimat. Selain itu, tes BIPA
    integratif masih terisolasi dari konteks komunikasi yang nyata dan masih tetap
    berkutat pada pengetesan kompetensi bahasa. Tes BIPA pragmatik muncul sebagai
    koreksi atas tes BIPA diskret dan tes BIPA integratif.


    Tes BIPA
    pragmatik mendasarkan diri pada pandangan fungsional, yakni focus on the total communicative effect.
    Tes BIPA tipe ini mengukur seberapa baik pembelajar BIPA mempergunakan
    elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata, termasuk
    kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa sehari-hari. Tes BIPA pragmatik
    mengaitkan bahasa dengan penggunaan bahasa senyatanya yang melibatkan tidak
    saja unsur-unsur kebahasaan seperti
    kata, frasa, atau kalimat, melainkan juga unsur-unsur di luarnya yang selalu
    terkait dalam setiap bentuk penggunaan bahasa. Beberapa contoh bentuk tes BIPA
    pragmatik antara lain adalah dikte, tes cloze, dan tes C.


    Keempat adalah
    tes BIPA komunikatif. Tes BIPA komunikatif muncul sebagai koreksi terhadap tes
    BIPA pragmatik. Tes BIPA pragmatik bagaimanapun masih terjebak pada aspek usage dan bukan use dalam pengetesan BIPA. Tes BIPA komunikatif dimaksudkan untuk
    benar-benar mengukur performansi pembelajar BIPA dalam komunikasi yang
    sesungguhnya yang di dalamnya tercermin kompetensi gramatikal, kompetensi
    sosiolinguistik, dan kompetensi strategis. Tipe tes seperti ini selaras dengan
    apa yang dikemukakan Canale dan Swain (1980) mengenai tes komunikatif pada
    umumnya. Dalam tes BIPA komunikatif dituntut pengukuran performansi komunikasi
    pembelajar BIPA dengan cara langsung (direct)
    dalam konteks komunikasi yang didasarkan pada interaksi yang nyata, baik bentuk
    lisan maupun tulisan, dan didasarkan pada analisis kebutuhan (need analysis) komunikatif.


    Apabila keempat
    tipe tes BIPA ini dilihat dari perspektif indikator keautentikan tes seperti
    (1) bersifat langsung, (2) orientasi pada use
    dan bukan usage, (3) mencakup
    banyak komponen bahasa dan berbahasa, (4) mengukur kompetensi gramatikal
    sekaligus kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis, (5) mengandung
    konteks, dan (6)didasarkan pada
    analisis kebutuhan komunikatif, maka tes BIPA yang paling memenuhi sifat-sifat
    keautentikan tinggi adalah tes BIPA komunikatif. Tiga tipe tes BIPA yang lain,
    yakni diskret, integratif, dan pragmatik, kurang memenuhi sifat-sifat
    autentisitas. Tabel 3 berikut ini memperlihatkan fenomena yang dimaksud.





    Tabel 3: Autentisitas dalam Empat
    Tipe Tes BIPA





    Sifat Autentisitas Tes BIPA

    Tes BIPA diskret

    Tes BIPA integratif

    Tes BIPA pragmatik

    Tes BIPA komunikatif

    1. Bersifat
    langsung

    5



    5

    5

    3

    2. Orientasi pada use bukan usage

    5

    5

    5

    3

    3. Banyak mencakup
    komponen bahasa dan keterampilan berbahasa

    5

    3

    3

    3

    4. Mengukur
    kompetensi gramatikal sekaligus kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi
    strategis

    5

    5

    5

    3

    5. Konteks

    5



    5

    3

    3

    6. Need Analysis

    5

    5

    5

    3








    7.
    Penutup





    Berikut ini diberikan beberapa kesimpulan berkaitan dengan
    pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. Pertama, dimensi autentisitas di dalam pembelajaran BIPA merupakan
    suatu hal yang penting manakala pembelajaran BIPA bertujuan pada kompetensi
    komunikatif pembelajar. Kedua,
    sifat-sifat autentik sangat mungkin untuk diupayakan pada pembelajaran BIPA
    walaupun sifat hakiki dari pembelajaran BIPA itu adalah suatu bentuk rekayasa
    yang disengaja. Ketiga, autentisitas
    tinggi dalam pembelajaran BIPA dapat diupayakan melalui penyajian: (1) bahasa
    alami atau natural dalam pembelajarannya, (2) bahan-bahan pembelajaran yang
    dipilih adalah bahan-bahan yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari baik
    lisan maupun tulisan, (3) tugas-tugas pembelajaran yang diberikan adalah
    tugas-tugas yang berupa unjuk performansi aktual pembelajar, dan (4) alat tes
    pembelajaran yang digunakan adalah tipe tes BIPA komunikatif. Keempat, dimensi autentisitas dalam
    pembelajaran BIPA hendaklah dimaknai sebagai suatu kontinum tinggi dan rendah
    dan bukan suatu pembedaan autentik dan tidak autentik.







    Referensi







    Canale,
    M. dan M. Swain. 1980. “Theoretical Basis of Communicative Approaches to Second
    Language Teaching and Testing”, dalam Applied
    Linguistics,
    I: 1-47.





    Krashen,
    S. 1985. The Input Hypothesis.
    London: Longman.





    Oller,
    Jr. John W. 1979. Language Test at
    School.
    London: Longman.





    Widharyanto,
    B. 2000. “Perkembangan Pendekatan Tes Bahasa”, dalam Atmadi, A. dan Yuliana
    Setiyaningsih (eds),Transformasi
    Pendidikan: Memasuki Milenium Ketiga.
    Yogyakarta: Penerbit Universitas
    Sanata Dharma.









    Biodata Calon Pemakalah





    Penulis
    makalah ini adalah Dr. B. Widharyanto, M.Pd., dosen dan Kaprodi pada Program
    Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Sanata Dharma,
    Yogyakarta. Selain menaruh minat dalam bidang Sosiopolitikolinguistik dan
    Analisis Wacana Kritis, penulis juga menggeluti bidang Pengajaran BIPA karena
    di Prodi PBSID, BIPA merupakan paket pilihan dengan jumlah 20 SKS. Alamat
    penulis adalah sebagai berikut ini: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
    Mrican Tromol Pos 29, Yogyakarta, Telp. (0274) 513301 (Pesawat 230 atau 330).










      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 7:34 pm