Dimensi
Autentisitas di dalam Pembelajaran BIPA
B.
Widharyanto
PBSID,
FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Abstrak
Autentisitas di dalam pembelajaran
bahasa asing, seperti BIPA, merupakan aspek yang penting dan harus
diperjuangkan. Autentisitas bukan hanya terkait dengan bahasa yang dipelajari
oleh pembelajar, namun juga terkait dengan bahan-bahan yang dipersiapkan oleh
pengajar, dengan teknik pembelajaran, khususnya yang terlihat dalam tugas-tugas
pembelajarannya, serta dengan bentuk-bentuk pengukuran keberhasilan
pembelajaran BIPA.
Makalah ini secara khusus akan
mengupas ihwal autentisitas ini di dalam konteks (1) bahasa yang diajarkan, (2)
bahan-bahan pembelajaran bahasa Indonesia yang dipelajari pembelajar asing, (3)
tugas-tugas pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas-kelas BIPA, dan (4)
bentuk-bentuk tes BIPA yang diberikan pada para pembelajar. Dasar pemikiran
yang digunakan dalam makalah ini adalah autentisitas bukanlah bersifat “hitam”
dan “putih” atau autentik dan tidak autentik. Autentisitas dalam hal ini lebih
dilihat sebagai suatu kontinum, di mana bahasa, bahan pembelajaran, tugas-tugas
pembelajaran, dan bentuk-bentuk tes BIPA selalu mengandung unsur-unsur yang
alamiah.
Makalah ini juga akan menyuarakan
pandangan yang ditujukan kepada para pengajar BIPA, bahwa walaupun kelas bahasa
adalah suatu bentuk rekayasa pembelajaran bahasa yang sifatnya tidak autentik,
kelas bahasa perlu memaksimalkan sifat-sifat autentik yang terdapat di dalam
keempat komponen pembelajaran di atas.
________________________
1.
Pendahuluan
Aktivitas berbahasa yang tercipta sebagai proses
pembelajaran di kelas pada dasarnya adalah aktivitas semu. Semua itu merupakan
bentuk rekayasa, bentuk peniruan, bentuk penyederhanaan, yang terkadang jauh
dari kenyataan pemakaian bahasa sewajarnya. Aktivitas berbahasa seperti itu
tidak memenuhi sifat yang disebut sebagai “authentic
real-life language”.
Memang tidak mungkin membuat aktivitas berbahasa di kelas
100% autentik. Ini disebabkan oleh sifat hakiki dari pembelajaran di kelas yang
memang serba rekayasa itu. Pengajar di dalam interaksi belajar mengajarnya
cenderung memodifikasi bahasanya sehingga bahasa pengajar oleh sementara ahli
pembelajaran dicurigai penuh dengan simplifikasi dalam banyak hal. Bahasa siswa
pun tidak kalah menariknya. Bahasa yang dituturkan siswa di kelas adalah bahasa
yang belum sepenuhnya bahasa sasaran atau bahasa target. Banyak ahli yang
menyebut fenomena ini sebagai bahasa antara atau interlanguage. Setting
yang tercipta di kelas adalah lingkungan fisik yang dibuat oleh pengajar demi
tercapainya tujuan pembelajaran. Setting
yang seperti ini tidak akan pernah dapat memasukkan seluruh sifat dan
karakteristik yang dimiliki oleh setting
dalam komunikasi senyatanya.
Selanjutnya,
topik atau isi yang dibicarakan dalam aktivitas berbahasa, tidaklah muncul
menurut kesepakatan antara dua pihak yang berperan dalam aktivitas berbahasa.
Topik tersebut sudah ditentukan berdasarkan pada silabus yang disusun secara
ketat oleh pengajar atau perancang program pembelajaran. Peran yang dibawakan
oleh siswa berkaitan dengan topik yang dibicarakan adalah peran yang sudah
dipilihkan. Siswa A berperan sebagai dokter dan siswa B berperan sebagai
pasien, misalnya. Semua itu, mengukuhkan bahwa kelas bahasa adalah suatu bentuk
aktivitas pembelajaran yang tidak autentik atau tidak alami.
Namun demikian,
autentisitas di dalam kelas BIPA, terutama kelas yang berdasarkan pada
pendekatan komunikatif, perlu diperjuangkan oleh para pengajar BIPA. Karena
seperti yang dinyatakan Widharyanto (2000), autentisitas merupakan salah satu
karakteristik dari pembelajaran yang komunikatif.
2.
Autentisitas
sebagai Kontinum
Di dalam makalah ini saya berpendapat bahwa autentisitas
hendaklah jangan dipandang secara diskret “hitam dan putih”. Autentisitas
adalah suatu kontinum tinggi atau rendah yang di dalamnya terdapat banyak atau
sedikit sifat-sifat autentik. Sifat-sifat autentik itu terkait antara lain
dengan: (1) bahasa yang dipelajari, (2) sumber bahan pembelajaran, (3)
tugas-tugas pembelajaran, dan (4) bentuk tes dalam pembelajaran BIPA. Di dalam
kelas bahasa sangat dimungkinkan diupayakan autentisitas yang maksimal, yakni
dengan melibatkan sebagian besar dari sifat-sifat autentik di atas, walaupun
tetap tidak mungkin mencapai autentisitas obsolut 100% karena sifat kelas
bahasa yang rekayasa itu.
3.
Autentisitas
Bahasa
Bahasa seperti apakah yang harus diajarkan di kelas
bahasa? Pertanyaan seperti ini akan
menjadi indikator utama untuk menangkap seberapa besarkah kadar autentisitas
dari aspek ini.
Dalam pembelajaran BIPA masih terlihat tarik menarik
mengenai bahasa yang diajarkan, yakni bahasa yang bebas konteks ataukah bahasa
yang peka konteks. Ada sementara pembelajaran BIPA yang mendasarkan diri pada
pandangan bahwa bahasa itu suatu struktur, yang di dalamnya terdapat
komponen-komponen terpisah yang berinterelasi satu dengan yang lain dan
membentuk suatu sistem. Pandangan yang strukturalis seperti ini berakibat pada
pembelajaran BIPA yang cenderung diskret dan tatabahasa sentris. Penguasaan
kompetensi bahasa oleh karenanya lalu dipandang merupakan penggabungan atas
penguasaan komponen-komponen bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis,
membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Pandangan seperti ini memperlihatkan
bahwa bahasa yang diajarkan dalam pembelajaran BIPA adalah bahasa yang bebas
konteks, bahasa yang dipisahkan dari fungsi-fungsi sosial, dan bahasa yang
tidak berakar pada pemakaian senyatanya dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik bahasa seperti ini adalah bahasa yang memiliki tingkat
autentisitas rendah.
Beberapa pembelajaran BIPA yang lain mendasarkan diri
pada pandangan bahwa bahasa itu merupakan alat komunikasi. Sebagai alat
komunikasi, bahasa itu merupakan suatu entitas yang utuh, terpadu, dan
tidak terpisah-pisah. Bahasa itu
dipandang juga memiliki fungsi-fungsi sosial. Di samping itu, bahasa senyatanya
seperti yang ada dalam masyarakat penuturnya (real life language) merupakan bahasa yang diberikan dalam proses
pembelajaran BIPA, apakah itu dialek, apakah itu bahasa dalam ragam tertentu,
dan sebagainya. Penguasaan kompetensi bahasa dalam kaitan dengan ini dipandang
merupakan penguasaan kemampuan yang simultan antara bahasa, kemampuan
pragmatik, faktor-faktor sosiolinguistik, dan strategi komunikasi.
Karakteristik bahasa yang seperti ini adalah bahasa yang memenuhi sifat
autentisitas tinggi.
Selain isu bahasa bebas konteks dan bahasa peka konteks
itu, isu kedua mengenai tarik menarik bahasa yang diajarkan adalah bahasa
simplifikasi dan bahasa alami atau apa adanya. Dalam pembelajaran BIPA masih
banyak instruktur maupun pengajar yang “memaksakan” untuk menyederhanakan
struktur kalimat, mengganti kata-kata khusus dengan kata-kata umum,
menghilangkan implikatur percakapan, sasmita,
dan gaya bahasa dengan bentuk-bentuk percakapan yang bersifat langsung dan
lugas. Semua upaya ini membawa dampak pada “wajah” bahasa yang diajarkan
menjadi bahasa yang diinginkan oleh instruktur atau pengajarnya, dan bukan
bahasa alami atau natural.
Karakteristik bahasa simplifikasi ini kurang memiliki autentisitas yang tinggi.
Di sisi lain, banyak pula
instruktur atau pun pengajar BIPA yang berupaya keras menampilkan bahasa alami
di dalam pembelajaranya. Bahasa yang ada dalam komunikasi senyatanya merupakan
bahan utama yang diberikan dalam aktivitas berbahasa di kelas.
Kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai akibat diberikannya bahasa alami pada
pembelajar BIPA tidak dianggap sebagai masalah yang mengganggu, namun justru
sebagai tantangan yang harus disiasati oleh pengajar BIPA dalam pembelajarannya.
Dalam konteks ini, bahasa alami memang memenuhi sifat autentisitas yang sangat
tinggi.
4.
Autentisitas
Bahan-bahan Pembelajaran BIPA
Dalam pembelajaran BIPA seleksi bahan merupakan satu
tahapan penting yang harus dihadapi oleh seorang pengajar BIPA. Isu yang muncul
dalam tahapan ini berkaitan dengan pertanyaan dari manakah asal bahan-bahan
pembelajaran BIPA? Ada tiga isu yang menjadi polemik perdebatan, yakni (1)
bahan itu murni dibuat dan dihasilkan oleh pengajar BIPA sendiri, (2) bahan itu
diambil oleh pengajar BIPA dari bahan-bahan yang ada dalam komunikasi
sehari-hari dan mengalami modifikasi seperlunya oleh pengajar, dan (3) bahan
diambil oleh pengajar BIPA dari bahan-bahan yang ada dalam komunikasi
sehari-hari tanpa mengalami modifikasi sama sekali dari pengajar BIPA.
Bahan yang
pertama cenderung memiliki tingkat kesulitan yang lebih rendah daripada bahan
yang kedua dan ketiga, karena pengajar BIPA dapat menyesuaikan tingkat
kesulitan bahannya dengan formula (I + 1), seperti formulanya Krashen (1985).
Pengajar BIPA dengan segala imaginasinya dapat membuat percakapan, pengumuman,
surat, dan lain sebagainya yang sesuai dengan kegemaran pengajar, gaya dan style pengajar, serta tingkat penguasaan
bahasa pembelajarnya. Sementara itu, bahan yang kedua adalah bahan yang biasa
digunakan dalam komunikasi sehari-hari seperti percakapan atau dialog di radio
maupun di TV, pengumuman di Masjid,
undangan hajatan, iklan dalam
majalah, berita dalam surat kabar, form atau slip isian dari bank dan lain
sebagainya, namun dimodifikasi seperlunya oleh pengajar BIPA demi tujuan
tertentu. Bahan yang ketiga adalah bahan yang asli, apa adanya, tidak mendapatkan “campur tangan” dari
pengajar BIPA. Bahan ini cenderung memiliki tingkat kesukaran yang lebih
daripada bahan tipe pertama dan kedua.
Apabila dibuat
dalam suatu rentangan, maka tingkat autentisitas tiga tipe bahan dapat
digambarkan dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1: Tingkat
Autentisitas Tiga Tipe Bahan
Campur Tangan
Pengajar Autentisitas Bahan
TINGGI RENDAH
Bahan Tipe 1
Bahan Tipe 2
Bahan Tipe 3
RENDAH TINGGI
5.
Autentisitas
Tugas-Tugas Pembelajaran
Dalam pembelajaran BIPA, pengajar dapat memberikan
berbagai macam tugas yang harus dilakukan oleh pembelajar sebagai wujud respon
atas bahan pembelajaran yang diberikan. Isu yang muncul adalah tugas itu lebih mengarah pada penguasaan grammatical content dan lexical content atau mengarah pada discourse and rhetorical skills. Tugas
yang mengarah pada penguasaan grammatical
content dan lexical content
adalah tugas-tugas yang jauh dari kegiatan komunikatif. Tugas-tugas ini
didasari asumsi bahwa kemampuan menyelesaikan soal-soal struktur baik dalam
tataran morfologi maupun sintaksis mencerminkan kompetensi berbahasa
pembelajar. Tugas-tugas seperti ini bersifat tidak langsung dan memiliki
tingkat autentisitas yang sangat rendah.
Sebaliknya, ada pula pengajar BIPA yang memberikan
tugas-tugas yang mengarahkan pada penguasaan grammatical content dan lexical
content dalam konteks pemakaian wacana. Tugas-tugas seperti mengarahkan
pembelajar menguasai komponen-komponen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi
yang nyata, termasuk semua kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa
sehari-hari. Salah satu contoh tugas dari tipe ini adalah pengajar meminta
pembelajar untuk merekonstruksi wacana yang elemen-elemen tertentu
dihilangkan (lihat bentuk cloze menurut
Oller (1979:39)). Tugas-tugas seperti ini oleh sementara ahli pengajaran bahasa
dikatakan memenuhi ciri-ciri pragmatik karena melibatkan pembelajar dengan
wacana yang mengandung konteks dan bukan semata-mata kalimat dan kata-kata
lepas.
Namun demikian, tugas-tugas
pembelajaran tipe kedua ini walaupun telah melibatkan konteks, tetap saja masih
bersifat tugas yang tidak langsung dan lebih menekankan pada kemampuan
kebahasaan daripada performansi aktual pembelajar. Berkaitan dengan ini, ada
sementara ahli pengajaran bahasa yang mengusulkan tugas tipe ketiga yang
bersifat langsung, yakni tugas peformansi aktual. Pembelajar diminta melakukan
tugas-tugas komunikatif yang berupa interaksi dalam berbagai situasi berbahasa,
seperti menulis pikiran pembaca dalam
surat kabar, mewawancarai seorang tokoh, melakukan brifing untuk suatu kegiatan
tertentu, dan sebagainya. Tugas tipe ketiga ini, apabila dilihat dari
perspektif autentisitas, memiliki sifat autentik yang lebih tinggi daripada
tugas tipe satu dan dua karena tugas tipe tiga memiliki sifat-sifat yang
mendekati tugas komunikasi senyatanya dalam komunikasi sehari-hari.
Apabila dibuat
dalam suatu rentangan, maka tingkat autentisitas tiga tipe tugas pembelajaran
dapat digambarkan dalam Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2: Tingkat Autentisitas Tipe Tugas
6.
Autentisitas Alat
Tes BIPA
Mengukur
keberhasilan pembelajar BIPA merupakan tahapan akhir dalam pembelajaran BIPA.
Isu yang muncul berkaitan dengan upaya mengukur keberhasilan pembelajar BIPA
adalah tipe tes apa yang digunakan oleh para pengajar BIPA? Sampai saat ini
paling tidak terdapat beberapa tipe tes yang mengemuka dalam wacana para
pengajar BIPA, yakni tes diskret, tes integratif, tes pragmatik, dan tes
komunikatif. Berikut ini akan diuraikan satu persatu.
Pertama adalah
tes diskret. Tes BIPA tipe ini hanya menyangkut
satu aspek kebahasaan saja pada satu kesempatan pengetesan, misalnya
aspek fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa kata. Tiap-tiap butir soal
hanya dimaksudkan untuk mengukur satu
aspek kebahasaan saja. Dari segi model jawaban, tes BIPA tipe ini berupa
penjodohan (matching), benar-salah (true-false), pilihan ganda (multiple choice), atau mengisi kotak
kosong yang disediakan dengan jawaban yang sudah tersedia pada kolom lain.
Kedua adalah tes
BIPA tipe integratif. Tes BIPA tipe ini merupakan bentuk penyempurnaan dari tes
BIPA diskret. Jika dalam tes BIPA diskret
aspek-aspek kebahasaan dan kemampuan berbahasa diperlakukan secara terpisah,
maka dalam tes BIPA integratif aspek-aspek kebahasaan ini dicakup secara
bersamaan. Dasar pemikiran yang diacu
dalam penyusunan tes BIPA integratif adalah bahasa itu merupakan
integrasi dari bagian-bagian terkecil yang membentuk bagian-bagian yang besar, dan pada akhirnya
merupakan bentukan terbesar yang berupa bahasa. Menurut Oller (1979) jika dalam
tes diskret hanya diujikan satu aspek kebahasaan saja dalam satu waktu, maka
dalam tes integratif berusaha diukur beberapa aspek kebahasaan secara
bersamaan. Tes BIPA tipe ini melakukan pengukuran penguasaan kemampuan
berbahasa atas dasar penguasaan pembelajar BIPA terhadap gabungan antara
beberapa komponen bahasa dan kemampuan berbahasa. Mengubah bentuk suatu kalimat
menjadi bentuk kalimat yang lain, misalnya,
tidak saja menuntut kemampuan pembelajar tentang pengetahuan struktur
kalimat, melainkan juga memerlukan penguasaan perubahan bentuk kata, dan bahkan
makna kata yang merupakan bagian dari penguasaan kosa kata.
Ketiga adalah tes
BIPA pragmatik. Tes BIPA integratif yang berkembang sebagai reaksi terhadap tes
BIPA diskret pada dasarnya hanyalah pelibatan beberapa aspek kebahasaan dan
keterampilan berbahasa dalam tes yang diujikan pada pembelajar BIPA secara
bersamaan. Tes BIPA integratif yang demikian seringkali sulit dibedakan dengan
tes BIPA diskret yang melibatkan konteks kalimat. Selain itu, tes BIPA
integratif masih terisolasi dari konteks komunikasi yang nyata dan masih tetap
berkutat pada pengetesan kompetensi bahasa. Tes BIPA pragmatik muncul sebagai
koreksi atas tes BIPA diskret dan tes BIPA integratif.
Tes BIPA
pragmatik mendasarkan diri pada pandangan fungsional, yakni focus on the total communicative effect.
Tes BIPA tipe ini mengukur seberapa baik pembelajar BIPA mempergunakan
elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata, termasuk
kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa sehari-hari. Tes BIPA pragmatik
mengaitkan bahasa dengan penggunaan bahasa senyatanya yang melibatkan tidak
saja unsur-unsur kebahasaan seperti
kata, frasa, atau kalimat, melainkan juga unsur-unsur di luarnya yang selalu
terkait dalam setiap bentuk penggunaan bahasa. Beberapa contoh bentuk tes BIPA
pragmatik antara lain adalah dikte, tes cloze, dan tes C.
Keempat adalah
tes BIPA komunikatif. Tes BIPA komunikatif muncul sebagai koreksi terhadap tes
BIPA pragmatik. Tes BIPA pragmatik bagaimanapun masih terjebak pada aspek usage dan bukan use dalam pengetesan BIPA. Tes BIPA komunikatif dimaksudkan untuk
benar-benar mengukur performansi pembelajar BIPA dalam komunikasi yang
sesungguhnya yang di dalamnya tercermin kompetensi gramatikal, kompetensi
sosiolinguistik, dan kompetensi strategis. Tipe tes seperti ini selaras dengan
apa yang dikemukakan Canale dan Swain (1980) mengenai tes komunikatif pada
umumnya. Dalam tes BIPA komunikatif dituntut pengukuran performansi komunikasi
pembelajar BIPA dengan cara langsung (direct)
dalam konteks komunikasi yang didasarkan pada interaksi yang nyata, baik bentuk
lisan maupun tulisan, dan didasarkan pada analisis kebutuhan (need analysis) komunikatif.
Apabila keempat
tipe tes BIPA ini dilihat dari perspektif indikator keautentikan tes seperti
(1) bersifat langsung, (2) orientasi pada use
dan bukan usage, (3) mencakup
banyak komponen bahasa dan berbahasa, (4) mengukur kompetensi gramatikal
sekaligus kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis, (5) mengandung
konteks, dan (6)didasarkan pada
analisis kebutuhan komunikatif, maka tes BIPA yang paling memenuhi sifat-sifat
keautentikan tinggi adalah tes BIPA komunikatif. Tiga tipe tes BIPA yang lain,
yakni diskret, integratif, dan pragmatik, kurang memenuhi sifat-sifat
autentisitas. Tabel 3 berikut ini memperlihatkan fenomena yang dimaksud.
Tabel 3: Autentisitas dalam Empat
Tipe Tes BIPA
7.
Penutup
Berikut ini diberikan beberapa kesimpulan berkaitan dengan
pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. Pertama, dimensi autentisitas di dalam pembelajaran BIPA merupakan
suatu hal yang penting manakala pembelajaran BIPA bertujuan pada kompetensi
komunikatif pembelajar. Kedua,
sifat-sifat autentik sangat mungkin untuk diupayakan pada pembelajaran BIPA
walaupun sifat hakiki dari pembelajaran BIPA itu adalah suatu bentuk rekayasa
yang disengaja. Ketiga, autentisitas
tinggi dalam pembelajaran BIPA dapat diupayakan melalui penyajian: (1) bahasa
alami atau natural dalam pembelajarannya, (2) bahan-bahan pembelajaran yang
dipilih adalah bahan-bahan yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari baik
lisan maupun tulisan, (3) tugas-tugas pembelajaran yang diberikan adalah
tugas-tugas yang berupa unjuk performansi aktual pembelajar, dan (4) alat tes
pembelajaran yang digunakan adalah tipe tes BIPA komunikatif. Keempat, dimensi autentisitas dalam
pembelajaran BIPA hendaklah dimaknai sebagai suatu kontinum tinggi dan rendah
dan bukan suatu pembedaan autentik dan tidak autentik.
Referensi
Canale,
M. dan M. Swain. 1980. “Theoretical Basis of Communicative Approaches to Second
Language Teaching and Testing”, dalam Applied
Linguistics, I: 1-47.
Krashen,
S. 1985. The Input Hypothesis.
London: Longman.
Oller,
Jr. John W. 1979. Language Test at
School. London: Longman.
Widharyanto,
B. 2000. “Perkembangan Pendekatan Tes Bahasa”, dalam Atmadi, A. dan Yuliana
Setiyaningsih (eds),Transformasi
Pendidikan: Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Universitas
Sanata Dharma.
Biodata Calon Pemakalah
Penulis
makalah ini adalah Dr. B. Widharyanto, M.Pd., dosen dan Kaprodi pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta. Selain menaruh minat dalam bidang Sosiopolitikolinguistik dan
Analisis Wacana Kritis, penulis juga menggeluti bidang Pengajaran BIPA karena
di Prodi PBSID, BIPA merupakan paket pilihan dengan jumlah 20 SKS. Alamat
penulis adalah sebagai berikut ini: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
Mrican Tromol Pos 29, Yogyakarta, Telp. (0274) 513301 (Pesawat 230 atau 330).
Autentisitas di dalam Pembelajaran BIPA
B.
Widharyanto
PBSID,
FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Abstrak
Autentisitas di dalam pembelajaran
bahasa asing, seperti BIPA, merupakan aspek yang penting dan harus
diperjuangkan. Autentisitas bukan hanya terkait dengan bahasa yang dipelajari
oleh pembelajar, namun juga terkait dengan bahan-bahan yang dipersiapkan oleh
pengajar, dengan teknik pembelajaran, khususnya yang terlihat dalam tugas-tugas
pembelajarannya, serta dengan bentuk-bentuk pengukuran keberhasilan
pembelajaran BIPA.
Makalah ini secara khusus akan
mengupas ihwal autentisitas ini di dalam konteks (1) bahasa yang diajarkan, (2)
bahan-bahan pembelajaran bahasa Indonesia yang dipelajari pembelajar asing, (3)
tugas-tugas pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas-kelas BIPA, dan (4)
bentuk-bentuk tes BIPA yang diberikan pada para pembelajar. Dasar pemikiran
yang digunakan dalam makalah ini adalah autentisitas bukanlah bersifat “hitam”
dan “putih” atau autentik dan tidak autentik. Autentisitas dalam hal ini lebih
dilihat sebagai suatu kontinum, di mana bahasa, bahan pembelajaran, tugas-tugas
pembelajaran, dan bentuk-bentuk tes BIPA selalu mengandung unsur-unsur yang
alamiah.
Makalah ini juga akan menyuarakan
pandangan yang ditujukan kepada para pengajar BIPA, bahwa walaupun kelas bahasa
adalah suatu bentuk rekayasa pembelajaran bahasa yang sifatnya tidak autentik,
kelas bahasa perlu memaksimalkan sifat-sifat autentik yang terdapat di dalam
keempat komponen pembelajaran di atas.
________________________
1.
Pendahuluan
Aktivitas berbahasa yang tercipta sebagai proses
pembelajaran di kelas pada dasarnya adalah aktivitas semu. Semua itu merupakan
bentuk rekayasa, bentuk peniruan, bentuk penyederhanaan, yang terkadang jauh
dari kenyataan pemakaian bahasa sewajarnya. Aktivitas berbahasa seperti itu
tidak memenuhi sifat yang disebut sebagai “authentic
real-life language”.
Memang tidak mungkin membuat aktivitas berbahasa di kelas
100% autentik. Ini disebabkan oleh sifat hakiki dari pembelajaran di kelas yang
memang serba rekayasa itu. Pengajar di dalam interaksi belajar mengajarnya
cenderung memodifikasi bahasanya sehingga bahasa pengajar oleh sementara ahli
pembelajaran dicurigai penuh dengan simplifikasi dalam banyak hal. Bahasa siswa
pun tidak kalah menariknya. Bahasa yang dituturkan siswa di kelas adalah bahasa
yang belum sepenuhnya bahasa sasaran atau bahasa target. Banyak ahli yang
menyebut fenomena ini sebagai bahasa antara atau interlanguage. Setting
yang tercipta di kelas adalah lingkungan fisik yang dibuat oleh pengajar demi
tercapainya tujuan pembelajaran. Setting
yang seperti ini tidak akan pernah dapat memasukkan seluruh sifat dan
karakteristik yang dimiliki oleh setting
dalam komunikasi senyatanya.
Selanjutnya,
topik atau isi yang dibicarakan dalam aktivitas berbahasa, tidaklah muncul
menurut kesepakatan antara dua pihak yang berperan dalam aktivitas berbahasa.
Topik tersebut sudah ditentukan berdasarkan pada silabus yang disusun secara
ketat oleh pengajar atau perancang program pembelajaran. Peran yang dibawakan
oleh siswa berkaitan dengan topik yang dibicarakan adalah peran yang sudah
dipilihkan. Siswa A berperan sebagai dokter dan siswa B berperan sebagai
pasien, misalnya. Semua itu, mengukuhkan bahwa kelas bahasa adalah suatu bentuk
aktivitas pembelajaran yang tidak autentik atau tidak alami.
Namun demikian,
autentisitas di dalam kelas BIPA, terutama kelas yang berdasarkan pada
pendekatan komunikatif, perlu diperjuangkan oleh para pengajar BIPA. Karena
seperti yang dinyatakan Widharyanto (2000), autentisitas merupakan salah satu
karakteristik dari pembelajaran yang komunikatif.
2.
Autentisitas
sebagai Kontinum
Di dalam makalah ini saya berpendapat bahwa autentisitas
hendaklah jangan dipandang secara diskret “hitam dan putih”. Autentisitas
adalah suatu kontinum tinggi atau rendah yang di dalamnya terdapat banyak atau
sedikit sifat-sifat autentik. Sifat-sifat autentik itu terkait antara lain
dengan: (1) bahasa yang dipelajari, (2) sumber bahan pembelajaran, (3)
tugas-tugas pembelajaran, dan (4) bentuk tes dalam pembelajaran BIPA. Di dalam
kelas bahasa sangat dimungkinkan diupayakan autentisitas yang maksimal, yakni
dengan melibatkan sebagian besar dari sifat-sifat autentik di atas, walaupun
tetap tidak mungkin mencapai autentisitas obsolut 100% karena sifat kelas
bahasa yang rekayasa itu.
3.
Autentisitas
Bahasa
Bahasa seperti apakah yang harus diajarkan di kelas
bahasa? Pertanyaan seperti ini akan
menjadi indikator utama untuk menangkap seberapa besarkah kadar autentisitas
dari aspek ini.
Dalam pembelajaran BIPA masih terlihat tarik menarik
mengenai bahasa yang diajarkan, yakni bahasa yang bebas konteks ataukah bahasa
yang peka konteks. Ada sementara pembelajaran BIPA yang mendasarkan diri pada
pandangan bahwa bahasa itu suatu struktur, yang di dalamnya terdapat
komponen-komponen terpisah yang berinterelasi satu dengan yang lain dan
membentuk suatu sistem. Pandangan yang strukturalis seperti ini berakibat pada
pembelajaran BIPA yang cenderung diskret dan tatabahasa sentris. Penguasaan
kompetensi bahasa oleh karenanya lalu dipandang merupakan penggabungan atas
penguasaan komponen-komponen bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis,
membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Pandangan seperti ini memperlihatkan
bahwa bahasa yang diajarkan dalam pembelajaran BIPA adalah bahasa yang bebas
konteks, bahasa yang dipisahkan dari fungsi-fungsi sosial, dan bahasa yang
tidak berakar pada pemakaian senyatanya dalam kehidupan sehari-hari.
Karakteristik bahasa seperti ini adalah bahasa yang memiliki tingkat
autentisitas rendah.
Beberapa pembelajaran BIPA yang lain mendasarkan diri
pada pandangan bahwa bahasa itu merupakan alat komunikasi. Sebagai alat
komunikasi, bahasa itu merupakan suatu entitas yang utuh, terpadu, dan
tidak terpisah-pisah. Bahasa itu
dipandang juga memiliki fungsi-fungsi sosial. Di samping itu, bahasa senyatanya
seperti yang ada dalam masyarakat penuturnya (real life language) merupakan bahasa yang diberikan dalam proses
pembelajaran BIPA, apakah itu dialek, apakah itu bahasa dalam ragam tertentu,
dan sebagainya. Penguasaan kompetensi bahasa dalam kaitan dengan ini dipandang
merupakan penguasaan kemampuan yang simultan antara bahasa, kemampuan
pragmatik, faktor-faktor sosiolinguistik, dan strategi komunikasi.
Karakteristik bahasa yang seperti ini adalah bahasa yang memenuhi sifat
autentisitas tinggi.
Selain isu bahasa bebas konteks dan bahasa peka konteks
itu, isu kedua mengenai tarik menarik bahasa yang diajarkan adalah bahasa
simplifikasi dan bahasa alami atau apa adanya. Dalam pembelajaran BIPA masih
banyak instruktur maupun pengajar yang “memaksakan” untuk menyederhanakan
struktur kalimat, mengganti kata-kata khusus dengan kata-kata umum,
menghilangkan implikatur percakapan, sasmita,
dan gaya bahasa dengan bentuk-bentuk percakapan yang bersifat langsung dan
lugas. Semua upaya ini membawa dampak pada “wajah” bahasa yang diajarkan
menjadi bahasa yang diinginkan oleh instruktur atau pengajarnya, dan bukan
bahasa alami atau natural.
Karakteristik bahasa simplifikasi ini kurang memiliki autentisitas yang tinggi.
Di sisi lain, banyak pula
instruktur atau pun pengajar BIPA yang berupaya keras menampilkan bahasa alami
di dalam pembelajaranya. Bahasa yang ada dalam komunikasi senyatanya merupakan
bahan utama yang diberikan dalam aktivitas berbahasa di kelas.
Kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai akibat diberikannya bahasa alami pada
pembelajar BIPA tidak dianggap sebagai masalah yang mengganggu, namun justru
sebagai tantangan yang harus disiasati oleh pengajar BIPA dalam pembelajarannya.
Dalam konteks ini, bahasa alami memang memenuhi sifat autentisitas yang sangat
tinggi.
4.
Autentisitas
Bahan-bahan Pembelajaran BIPA
Dalam pembelajaran BIPA seleksi bahan merupakan satu
tahapan penting yang harus dihadapi oleh seorang pengajar BIPA. Isu yang muncul
dalam tahapan ini berkaitan dengan pertanyaan dari manakah asal bahan-bahan
pembelajaran BIPA? Ada tiga isu yang menjadi polemik perdebatan, yakni (1)
bahan itu murni dibuat dan dihasilkan oleh pengajar BIPA sendiri, (2) bahan itu
diambil oleh pengajar BIPA dari bahan-bahan yang ada dalam komunikasi
sehari-hari dan mengalami modifikasi seperlunya oleh pengajar, dan (3) bahan
diambil oleh pengajar BIPA dari bahan-bahan yang ada dalam komunikasi
sehari-hari tanpa mengalami modifikasi sama sekali dari pengajar BIPA.
Bahan yang
pertama cenderung memiliki tingkat kesulitan yang lebih rendah daripada bahan
yang kedua dan ketiga, karena pengajar BIPA dapat menyesuaikan tingkat
kesulitan bahannya dengan formula (I + 1), seperti formulanya Krashen (1985).
Pengajar BIPA dengan segala imaginasinya dapat membuat percakapan, pengumuman,
surat, dan lain sebagainya yang sesuai dengan kegemaran pengajar, gaya dan style pengajar, serta tingkat penguasaan
bahasa pembelajarnya. Sementara itu, bahan yang kedua adalah bahan yang biasa
digunakan dalam komunikasi sehari-hari seperti percakapan atau dialog di radio
maupun di TV, pengumuman di Masjid,
undangan hajatan, iklan dalam
majalah, berita dalam surat kabar, form atau slip isian dari bank dan lain
sebagainya, namun dimodifikasi seperlunya oleh pengajar BIPA demi tujuan
tertentu. Bahan yang ketiga adalah bahan yang asli, apa adanya, tidak mendapatkan “campur tangan” dari
pengajar BIPA. Bahan ini cenderung memiliki tingkat kesukaran yang lebih
daripada bahan tipe pertama dan kedua.
Apabila dibuat
dalam suatu rentangan, maka tingkat autentisitas tiga tipe bahan dapat
digambarkan dalam Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1: Tingkat
Autentisitas Tiga Tipe Bahan
Campur Tangan
Pengajar Autentisitas Bahan
TINGGI RENDAH
Bahan Tipe 1
Bahan Tipe 2
Bahan Tipe 3
RENDAH TINGGI
5.
Autentisitas
Tugas-Tugas Pembelajaran
Dalam pembelajaran BIPA, pengajar dapat memberikan
berbagai macam tugas yang harus dilakukan oleh pembelajar sebagai wujud respon
atas bahan pembelajaran yang diberikan. Isu yang muncul adalah tugas itu lebih mengarah pada penguasaan grammatical content dan lexical content atau mengarah pada discourse and rhetorical skills. Tugas
yang mengarah pada penguasaan grammatical
content dan lexical content
adalah tugas-tugas yang jauh dari kegiatan komunikatif. Tugas-tugas ini
didasari asumsi bahwa kemampuan menyelesaikan soal-soal struktur baik dalam
tataran morfologi maupun sintaksis mencerminkan kompetensi berbahasa
pembelajar. Tugas-tugas seperti ini bersifat tidak langsung dan memiliki
tingkat autentisitas yang sangat rendah.
Sebaliknya, ada pula pengajar BIPA yang memberikan
tugas-tugas yang mengarahkan pada penguasaan grammatical content dan lexical
content dalam konteks pemakaian wacana. Tugas-tugas seperti mengarahkan
pembelajar menguasai komponen-komponen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi
yang nyata, termasuk semua kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa
sehari-hari. Salah satu contoh tugas dari tipe ini adalah pengajar meminta
pembelajar untuk merekonstruksi wacana yang elemen-elemen tertentu
dihilangkan (lihat bentuk cloze menurut
Oller (1979:39)). Tugas-tugas seperti ini oleh sementara ahli pengajaran bahasa
dikatakan memenuhi ciri-ciri pragmatik karena melibatkan pembelajar dengan
wacana yang mengandung konteks dan bukan semata-mata kalimat dan kata-kata
lepas.
Namun demikian, tugas-tugas
pembelajaran tipe kedua ini walaupun telah melibatkan konteks, tetap saja masih
bersifat tugas yang tidak langsung dan lebih menekankan pada kemampuan
kebahasaan daripada performansi aktual pembelajar. Berkaitan dengan ini, ada
sementara ahli pengajaran bahasa yang mengusulkan tugas tipe ketiga yang
bersifat langsung, yakni tugas peformansi aktual. Pembelajar diminta melakukan
tugas-tugas komunikatif yang berupa interaksi dalam berbagai situasi berbahasa,
seperti menulis pikiran pembaca dalam
surat kabar, mewawancarai seorang tokoh, melakukan brifing untuk suatu kegiatan
tertentu, dan sebagainya. Tugas tipe ketiga ini, apabila dilihat dari
perspektif autentisitas, memiliki sifat autentik yang lebih tinggi daripada
tugas tipe satu dan dua karena tugas tipe tiga memiliki sifat-sifat yang
mendekati tugas komunikasi senyatanya dalam komunikasi sehari-hari.
Apabila dibuat
dalam suatu rentangan, maka tingkat autentisitas tiga tipe tugas pembelajaran
dapat digambarkan dalam Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2: Tingkat Autentisitas Tipe Tugas
Tipe Tugas | Sifat Kegiatan Berbahasa | Tingkat Autentisitas |
Tugas Tipe 1 | Tidak Langsung | Rendah |
Tugas Tipe 2 | Semi Langsung | Cukup |
Tugas Tipe 3 | Langsung | Tinggi |
6.
Autentisitas Alat
Tes BIPA
Mengukur
keberhasilan pembelajar BIPA merupakan tahapan akhir dalam pembelajaran BIPA.
Isu yang muncul berkaitan dengan upaya mengukur keberhasilan pembelajar BIPA
adalah tipe tes apa yang digunakan oleh para pengajar BIPA? Sampai saat ini
paling tidak terdapat beberapa tipe tes yang mengemuka dalam wacana para
pengajar BIPA, yakni tes diskret, tes integratif, tes pragmatik, dan tes
komunikatif. Berikut ini akan diuraikan satu persatu.
Pertama adalah
tes diskret. Tes BIPA tipe ini hanya menyangkut
satu aspek kebahasaan saja pada satu kesempatan pengetesan, misalnya
aspek fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa kata. Tiap-tiap butir soal
hanya dimaksudkan untuk mengukur satu
aspek kebahasaan saja. Dari segi model jawaban, tes BIPA tipe ini berupa
penjodohan (matching), benar-salah (true-false), pilihan ganda (multiple choice), atau mengisi kotak
kosong yang disediakan dengan jawaban yang sudah tersedia pada kolom lain.
Kedua adalah tes
BIPA tipe integratif. Tes BIPA tipe ini merupakan bentuk penyempurnaan dari tes
BIPA diskret. Jika dalam tes BIPA diskret
aspek-aspek kebahasaan dan kemampuan berbahasa diperlakukan secara terpisah,
maka dalam tes BIPA integratif aspek-aspek kebahasaan ini dicakup secara
bersamaan. Dasar pemikiran yang diacu
dalam penyusunan tes BIPA integratif adalah bahasa itu merupakan
integrasi dari bagian-bagian terkecil yang membentuk bagian-bagian yang besar, dan pada akhirnya
merupakan bentukan terbesar yang berupa bahasa. Menurut Oller (1979) jika dalam
tes diskret hanya diujikan satu aspek kebahasaan saja dalam satu waktu, maka
dalam tes integratif berusaha diukur beberapa aspek kebahasaan secara
bersamaan. Tes BIPA tipe ini melakukan pengukuran penguasaan kemampuan
berbahasa atas dasar penguasaan pembelajar BIPA terhadap gabungan antara
beberapa komponen bahasa dan kemampuan berbahasa. Mengubah bentuk suatu kalimat
menjadi bentuk kalimat yang lain, misalnya,
tidak saja menuntut kemampuan pembelajar tentang pengetahuan struktur
kalimat, melainkan juga memerlukan penguasaan perubahan bentuk kata, dan bahkan
makna kata yang merupakan bagian dari penguasaan kosa kata.
Ketiga adalah tes
BIPA pragmatik. Tes BIPA integratif yang berkembang sebagai reaksi terhadap tes
BIPA diskret pada dasarnya hanyalah pelibatan beberapa aspek kebahasaan dan
keterampilan berbahasa dalam tes yang diujikan pada pembelajar BIPA secara
bersamaan. Tes BIPA integratif yang demikian seringkali sulit dibedakan dengan
tes BIPA diskret yang melibatkan konteks kalimat. Selain itu, tes BIPA
integratif masih terisolasi dari konteks komunikasi yang nyata dan masih tetap
berkutat pada pengetesan kompetensi bahasa. Tes BIPA pragmatik muncul sebagai
koreksi atas tes BIPA diskret dan tes BIPA integratif.
Tes BIPA
pragmatik mendasarkan diri pada pandangan fungsional, yakni focus on the total communicative effect.
Tes BIPA tipe ini mengukur seberapa baik pembelajar BIPA mempergunakan
elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata, termasuk
kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa sehari-hari. Tes BIPA pragmatik
mengaitkan bahasa dengan penggunaan bahasa senyatanya yang melibatkan tidak
saja unsur-unsur kebahasaan seperti
kata, frasa, atau kalimat, melainkan juga unsur-unsur di luarnya yang selalu
terkait dalam setiap bentuk penggunaan bahasa. Beberapa contoh bentuk tes BIPA
pragmatik antara lain adalah dikte, tes cloze, dan tes C.
Keempat adalah
tes BIPA komunikatif. Tes BIPA komunikatif muncul sebagai koreksi terhadap tes
BIPA pragmatik. Tes BIPA pragmatik bagaimanapun masih terjebak pada aspek usage dan bukan use dalam pengetesan BIPA. Tes BIPA komunikatif dimaksudkan untuk
benar-benar mengukur performansi pembelajar BIPA dalam komunikasi yang
sesungguhnya yang di dalamnya tercermin kompetensi gramatikal, kompetensi
sosiolinguistik, dan kompetensi strategis. Tipe tes seperti ini selaras dengan
apa yang dikemukakan Canale dan Swain (1980) mengenai tes komunikatif pada
umumnya. Dalam tes BIPA komunikatif dituntut pengukuran performansi komunikasi
pembelajar BIPA dengan cara langsung (direct)
dalam konteks komunikasi yang didasarkan pada interaksi yang nyata, baik bentuk
lisan maupun tulisan, dan didasarkan pada analisis kebutuhan (need analysis) komunikatif.
Apabila keempat
tipe tes BIPA ini dilihat dari perspektif indikator keautentikan tes seperti
(1) bersifat langsung, (2) orientasi pada use
dan bukan usage, (3) mencakup
banyak komponen bahasa dan berbahasa, (4) mengukur kompetensi gramatikal
sekaligus kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis, (5) mengandung
konteks, dan (6)didasarkan pada
analisis kebutuhan komunikatif, maka tes BIPA yang paling memenuhi sifat-sifat
keautentikan tinggi adalah tes BIPA komunikatif. Tiga tipe tes BIPA yang lain,
yakni diskret, integratif, dan pragmatik, kurang memenuhi sifat-sifat
autentisitas. Tabel 3 berikut ini memperlihatkan fenomena yang dimaksud.
Tabel 3: Autentisitas dalam Empat
Tipe Tes BIPA
Sifat Autentisitas Tes BIPA | Tes BIPA diskret | Tes BIPA integratif | Tes BIPA pragmatik | Tes BIPA komunikatif |
1. Bersifat langsung | 5 | 5 | 5 | 3 |
2. Orientasi pada use bukan usage | 5 | 5 | 5 | 3 |
3. Banyak mencakup komponen bahasa dan keterampilan berbahasa | 5 | 3 | 3 | 3 |
4. Mengukur kompetensi gramatikal sekaligus kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis | 5 | 5 | 5 | 3 |
5. Konteks | 5 | 5 | 3 | 3 |
6. Need Analysis | 5 | 5 | 5 | 3 |
7.
Penutup
Berikut ini diberikan beberapa kesimpulan berkaitan dengan
pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. Pertama, dimensi autentisitas di dalam pembelajaran BIPA merupakan
suatu hal yang penting manakala pembelajaran BIPA bertujuan pada kompetensi
komunikatif pembelajar. Kedua,
sifat-sifat autentik sangat mungkin untuk diupayakan pada pembelajaran BIPA
walaupun sifat hakiki dari pembelajaran BIPA itu adalah suatu bentuk rekayasa
yang disengaja. Ketiga, autentisitas
tinggi dalam pembelajaran BIPA dapat diupayakan melalui penyajian: (1) bahasa
alami atau natural dalam pembelajarannya, (2) bahan-bahan pembelajaran yang
dipilih adalah bahan-bahan yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari baik
lisan maupun tulisan, (3) tugas-tugas pembelajaran yang diberikan adalah
tugas-tugas yang berupa unjuk performansi aktual pembelajar, dan (4) alat tes
pembelajaran yang digunakan adalah tipe tes BIPA komunikatif. Keempat, dimensi autentisitas dalam
pembelajaran BIPA hendaklah dimaknai sebagai suatu kontinum tinggi dan rendah
dan bukan suatu pembedaan autentik dan tidak autentik.
Referensi
Canale,
M. dan M. Swain. 1980. “Theoretical Basis of Communicative Approaches to Second
Language Teaching and Testing”, dalam Applied
Linguistics, I: 1-47.
Krashen,
S. 1985. The Input Hypothesis.
London: Longman.
Oller,
Jr. John W. 1979. Language Test at
School. London: Longman.
Widharyanto,
B. 2000. “Perkembangan Pendekatan Tes Bahasa”, dalam Atmadi, A. dan Yuliana
Setiyaningsih (eds),Transformasi
Pendidikan: Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Universitas
Sanata Dharma.
Biodata Calon Pemakalah
Penulis
makalah ini adalah Dr. B. Widharyanto, M.Pd., dosen dan Kaprodi pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta. Selain menaruh minat dalam bidang Sosiopolitikolinguistik dan
Analisis Wacana Kritis, penulis juga menggeluti bidang Pengajaran BIPA karena
di Prodi PBSID, BIPA merupakan paket pilihan dengan jumlah 20 SKS. Alamat
penulis adalah sebagai berikut ini: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
Mrican Tromol Pos 29, Yogyakarta, Telp. (0274) 513301 (Pesawat 230 atau 330).
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as