Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    hentikan pendidikan mahal

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 59
    Lokasi : di belakangmu

    hentikan pendidikan mahal Empty hentikan pendidikan mahal

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 7:38 pm

    Belum lama
    energi bangsa ini terkuras oleh persoalan pro-kontra RUU Sisdiknas menjadi UU
    Sisdiknas, kembali dunia pendidikan menarik perhatian kita. Pro dan kontra
    kembali terjadi, meskipun persoalan Aceh, "Sukhoigate", dan isu
    sebagian anggota MPR berfoya-foya di luar negeri juga turut mengemuka.

    Persoalan pendidikan kali ini mengenai mahalnya biaya pendaftaran masuk sekolah
    dan Perguruan Tinggi. Persoalan ini memang persoalan klasik yang selalu hadir
    dari tahun ke tahun saat tahun baru ajaran akan dimulai. Tapi persoalan
    besarnya biaya pendidikan yang timbul tidak bisa dianggap persoalan yang remeh,
    karena hal ini menyangkut keadilan dan hak bagi seluruh anggota masyarakat
    untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

    Adalah sejak tahun 2000 pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara
    (BHMN) kepada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia. PTN
    yang mendapat status BHMN yang dimaksud adalah Institut Teknologi Bandung
    (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan
    Universitas Gadjah Mada (UGM). Keempat PTN ini termasuk PT yang paling diminati
    oleh calon mahasiswa di antara PT yang ada di Indonesia. Maka tidak heran jika
    kemudian keempat PTN ini selalu menjadi incaran bagi calon mahasiswa baru. Dan,
    menjadi PT yang bestatus BHMN nampaknya kini menjadi suatu hal yang bergengsi
    dan membanggakan dalam dunia perguruan tinggi kita.

    Sejak berstatus BHMN keempat PTN ini makin mandiri saja mencari dana. Sebab
    pemberian status BHMN itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari
    pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri
    untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing. Dari sinilah
    pro-kontra dan perang opini mengenai besarnya biaya pendidikan itu mencuat.
    Mengapa? Bagi pihak PTN yang berstatus BHMN tentu saja hal ini menguntungkan
    dengan alasan bahwa, untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya
    besar dan mahal. Dengan demikian, tentu saja tunjangan isensif para dosen dan
    karyawan akan ditingkatkan. Maka persoalan mutu pendidikan sebenarnya dapat
    terbaca. Bukan terletak pada biaya pendidikan harus mahal, tapi gaji guru dan
    dosen harus tinggi. Dan saya kira, ini tugasnya pemerintah dan berkaitan erat
    dengan kebijakan yang dibuat dalam memajukan dunia pendidikan ke depan.

    Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat
    yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu
    menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan
    biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang
    bermutu. Kalaulah alasannya pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini
    hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini.
    Karena di Jerman, Perancis, Belanda, dan di negara berkembang lainnya, menurut
    para ahli pendidikan, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya
    pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan
    biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka,
    formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di
    Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang
    mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul
    istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia
    pendidikan kita saat ini.

    Setuju atau tidak istilah itu timbul, namun kenyataannya tidak jauh berbeda
    dengan makna istilah yang dimaksud. Lihat saja giatnya keempat PTN yang
    berstatus BHMN itu dalam mencari dana. Masing-masing mereka berkompetisi dalam
    penerimaan calon mahasiswa baru dengan cara membuka "jalur khusus"
    dengan tarif Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (gila!). Di samping itu, IPB
    mencari dana operasional pendidikannya ke depan dengan cara membangun mal. ITB
    dengan cara menjaring calon mahasiswa baru melalui penelusuran minat, bakat,
    dan potensi (PMBP) dengan berkewajiban membayar uang masuk atau pendaftaran
    sebanyak Rp. 45 Juta. UGM mencari dana dengan cara menerima pendaftaran dan
    mengadakan tes mahasiswa baru lebih awal dari PT lainnya, dan sebagainya.

    Sofian Efendi (rektor UGM), menulis di Kompas (24/6/2003), bahwa ada dua
    permasalahan mendasar yang dihadapi oleh PT di Indonesia. Pertama, krisis mutu.
    Kedua, krisis pembiayaan. Untuk menghadapi globalisasi pendidikan yang sudah
    mulai merambah ke Indonesia, dunia PT harus melakukan tugas pokok. Pertama,
    meningkatkan kualitas. Kedua, menjaga pemerataan akses tetap terjaga. Untuk
    mencapai kedua tujuan ini menurut Sofian diperlukan biaya besar. Inilah mungkin
    penyebab universitas yang dipimpinnya menerapkan kebijakan yang kontroversial
    itu. Namun pertanyaan yang timbul adalah: Mengapa harus mengorbankan keadilan
    untuk mendapat pendidikan bermutu bagi masyarakat? Kalaulah harus demikian, apa
    bedanya PT negeri dengan PT swasta? Kalaulah kebijakannya seperti yang berlaku
    saat ini, maka dunia pendidikan kita telah menjalankan program "Yang kaya
    sekolah dan kuliah, Yang miskin dan ekonominya rendah, pengangguran saja".
    Bukankah ini suatu kejahatan? Terakhir, di mana tanggung jawab pemerintah?

    Sungguh ironis memang, para akademisi yang disebut-sebut sebagai ilmuwan,
    intelektual, yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan, ternyata berhadapan
    dengan uang sikap kritis hilang. Betapa tidak, karena rata-rata pihak PTN yang
    berstatus BHMN itu memperjuangkan cara mereka dalam menggulirkan roda
    pendidikan mahal itu. Masyarakat telah dibelenggu dengan pendidikan yang
    berbiaya tinggi. Padahal sikap yang diharapkan timbul dari kalangan ilmuwan
    kampus (baca: dosen) dalam menyikapi persoalan ini sebaliknya. Yaitu, mereka
    seharusnya mampu mengontrol dan menjadi representatif dalam pencegahan
    terjadinya "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan". Mengapa?
    Karena salah satu isi tri dharma perguruan tinggi adalah pengabdian pada
    masyarakat. Berangkat dari persoalan ini semua, maka pemerintah juga yang akan
    disalahkan. Kesalahan pemerintah itu, menurut Ali Khomsan (dosen IPB) dalam
    tulisannya "Brain Drain" Dosen PTN yang dimuat di salah satu koran
    nasional terbitan Jakarta, terletak pada sedikitnya pemberian isensif bagi guru
    dan dosen. Untuk mengantisipasi itu, dan mengantisipasi terjadinya brain drain
    dalam pendidikan, maka pemerintah harus meningkatkan penghargaan atas jerih
    payah dosen dengan cara memberikan gaji yang memadai. Bukankah sangat
    disayangkan, kata Ali, setelah dosen dikuliahkan lebih tinggi di luar negeri,
    namun negara lain yang memperolah manfaat ilmunya.

    Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari
    APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal
    pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang.
    Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang
    harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi.
    Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan
    harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita
    akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara
    berkembang lainnya.

    Negara Jerman, Perancis, dan Belanda adalah negara berkembang yang juga
    menghadapi persoalan yang sama dengan negara Indonesia dalam menyikapi
    liberalisasi dalam sektor-sektor publik. Namun, di bidang pendidikan mereka
    tetap memberi subsidi yang memadai. Malaysia misalnya contoh terdekat. Dahulu
    negara jiran ini yang belajar tentang pendidikan kepada Indonesia, dan para
    tenaga pendidik kita selalu diminta untuk mengajar di sana. Tapi kini
    realitasnya sungguh terbalik, saat ini kitalah yang menjadikan Malaysia sebagai
    referensi kemajuan dalam hal pendidikan. Ini disebabkan karena pihak
    pemerintahan Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik bagi kemajuan
    pendidikannya.

    Dengan memberikan hak otonomi dan status BHMN kepada beberapa PTN, menurut
    pandangan saya, secara tidak langsung pemerintah Indonesia ingin lepas tangan
    dari tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Akibatnya,
    timbullah pendidikan mahal dan komersialisasi pendidikan di negara ini. Siapa
    yang bertanggung jawab? Alih-alih membicarakan persoalan pendidikan mahal, maka
    siapapun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini. Oleh sebab itu, untuk
    membebaskan masyarakat dari belenggu pendidikan mahal saat ini merupakan
    tanggung jawab pemerintah!. Dalam konteks ini, masyarakat kota Batam patut
    berbangga. Karena pemerintah daerah (Pemda)-nya akan menggratiskan uang
    pendaftaran masuk ke sekolah negeri, sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala
    Dinas Pendidikan (Disdik) kota Batam, H. Moaz Ismail, SIP (Riau Mandiri,
    24/6/2003). "Tindakan tegas akan diambil kepada pihak sekolah yang meminta
    uang pendaftaran kepada calon siswa" ucap Ismail. Lalu, bagaimana dengan
    daerah lain dan tindakan pemerintah Indonesia? Allahua'lam. []
    Lidus Yardi S.Pd.I adalah Alumnus IAIN Susqa Pekanbaru,
    Instruktur Organisasi PII Riau.
    Alamat : Jl. Tiung No 50 D Kampung Melayu Sukajadi
    Pekanbaru 28124, Riau.

      Waktu sekarang Mon Nov 25, 2024 8:23 am