Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    pendekatan silang budaya

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    pendekatan silang budaya Empty pendekatan silang budaya

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 4:20 pm

    Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya
    Indonesia Melalui Pengajaran BIPA





    Arif Budi Wurianto



    Lembaga
    Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang











    1.
    Pengantar





    Memasuki
    era globalisasi dan teknologi informasi, bahasa Indonesia tidak saja dilihat sebagai
    aset kebudayaan melainkan merupakan sarana perhubungan dan aset di bidang
    ekonomi, politik, dan strategi hubungan global, misalnya semakin dipelajarinya
    bahasa Indonesia di Jepang, Australia, Amerika, dll. Dengan demikian bahasa
    Indonesia telah menjadi bahasa kedua di
    negara-negara berbahasa asing yang dipelajari dan diajarkan, khususnya untuk
    kepentingan politik, ekonomi dan pengembangan hubungan global. Untuk itulah
    yang perlu dipertanyakan kembali, apakah orang asing yang belajar bahasa
    Indonesia, hanya belajar bahasa sebagai ilmu bahasa (linguistik) dan untuk
    kepentingan berkomunikasi dengan penduduk penutur bahasa Indonesia. Kenyataan
    secara asumtif masih demikian, bahasa Indonesia diajarkan dalam bentuk
    aturan-aturan linguistik tanpa melihat bahwa keberagaman suku bangsa di
    Indonesia menyebabkan nilai rasa dan aspek rohaniah masyarakat mempengaruhi
    bentuk dan makna bahasa Indonesia yang diucapkan. Untuk itu perlu sekali
    penutur bahasa asing yang belajar bahasa Indonesia harus mempelajari juga aspek
    psikologis masyarakat Indonesia. Pemahaman aspek kebudayaan dan psikologi
    masyarakat dan kaitannya dengan berbahasa Indonesia perlu dikenalkan dan
    diajarkan kepada penutur asing yang sedang belajar bahasa Indonesia.





    Secara
    historis telah diketahui bahwa bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa
    nasional sejak Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan “ Kami Bangsa Indonesia
    mengaku Berbahasa yang Satu Bahasa Indonesia”. Padahal bahasa Indonesia yang
    dinyatakan sebagai bahasa persatuan merupakan salah satu bahasa daerah di
    Nusantara yaitu bahasa Melayu, sedangkan di luar daerah berbahasa Melayu, masih
    banyak bahasa daerah lain yang kalau dilihat dari sejarah kebudayaan, sastra
    dan penuturnya lebih besar, seperti bahasa Jawa, dll. Oleh karena itulah secara
    psikologis, terdorong oleh sifat
    nasionalisme yang tinggi serta “beberapa kearifan lokal” menjadikan suku-suku
    lain menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dengan nama Bahasa
    Indonesia. Dalam perkembangannya Bahasa Indonesia dijadikan bahasa resmi, bahasa
    negara dan bahasa nasional dan
    dikukuhkan dalam UUD 1945 pasal 36.


    Dalam
    pertumbuhannya, bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi
    antarpenduduk, antarsuku bangsa, yang sudah tentu memiliki latar belakang
    sosio-kultural yang beragam. Akibatnya bahasa Indonesia yang dituturkan oleh
    penutur dari Jawa berbeda dengan penutur dari Sunda, Madura, Batak, Bali,
    Melayu, Irian, Makassar, dll. Persamaan akar bangsa memungkinkan “toleransi
    pemahaman dan pemaknaan”. Selain itu karena faktor politik, seperti yang
    terjadi pada masa Orde Baru, yang lebih “berbau” Jawa, karena Pak Harto orang
    Jawa, berpengaruh terhadap kosa kata sampai pada penamaan gedung-gedung
    pemerintah dan istilah politik. Suku lain meskipun sulit untuk melafalkan,
    masih mudah (berusaha) untuk memahami. Persoalan yang timbul bagaimana kalau
    bahasa Indonesia ini dituturkan oleh penutur asing? Meskipun secara tatabahasa
    mungkin dapat dipelajari tetapi bagaimana dengan makna yang tersirat yang
    berhubungan dengan psikologis masyarakat Indonesia yang multikultural dan
    majemuk? Terlebih bagaimana implikasi pembelajaran BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing), apakah cukup
    mengenalkan aspek linguistiknya saja? Tentunya tidak. Perlu pemahaman psikologi
    masyarakat majemuk Indonesia melalui pendekatan silang budaya. Pendekatan
    silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia.








    2.
    Keadaan
    Sosial Budaya Indonesia






    Secara
    spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia kurang lebih sudah di atas
    200 juta dalam 30 kesatuan suku bangsa. Oleh karena itu pada bagian ini akan
    dibicarakan keadaan sosial budaya Indonesia dalam garis besar. Kesatuan politis
    Negara Kesatuan Republik Indonesia
    terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 buah pulau.
    Dapat dibayangkan bahwa bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa nasional
    belum tentu sudah tersosialisasikan pada
    6000 pulau tersebut, mengingat sebagian besar bermukim di pedesaan. Hanya
    10-15% penduduk Indonesia yang bermukim di daerah urban. Indonesia sudah tentu
    bukan hanya Jawa dan Bali saja, karena kenyataan Jawa mencakup 8% penduduk
    urban. Sementara itu bahasa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai “bahasa
    bagi kaum terdidik/sekolah” pada daerah-daerah yang tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia.
    Bagaimana dengan yang lain? Sementara ada orang asing pada tahun 1998 sangat
    kebingungan mengartikan kata lengser
    keprabon
    yang dalam Kamus Bahasa Indonesia belum tercantum, sedangkan untuk
    mengartikan lengser keprabon tidak
    sekedar pengertian definitif dalam semantik bahasa Indonesia. Lengser keprabon
    (yang sekarang sudah dianggap bahasa Indonesia, seperti dengan kata lain
    seperti “legawa”) harus dipahami dalam perspektif sejarah
    kebudayaan dan sistem politik Jawa. Oleh karena itu dengan mempelajari aspek
    psikologis budaya Jawa, penutur asing dapat memahami makna sebenarnya kata “Lengser Keprabon”. Contoh lain, seperti kata “ Gemah Ripah Loh
    Jinawi” yang sering digunakan dalam kosa kata bahasa Indonesia yang
    menggambarkan kesuburan Indonesia, antara penutur Jawa dan Sunda memiliki
    konsep yang berbeda. Dalam konsep Jawa “Gemah
    Ripah Loh Jinawi, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwa Tinuku, Tata
    Tentrem Kerta Raharja”,
    sementara saudara-saudara dari Sunda
    mengekspresikan dalam “ Tata Tentrem
    Kerta Raharja, Gemah
    Ripah Loh Jinawi
    , Rea Ketan Rea Keton Buncir Leuit Loba
    Duit”
    yang artinya saudara dari suku Sunda yang lebih memahami. Sementara
    itu di Sumatera Barat dengan adat Minangkabau yang didalamnya terdapat suatu
    sistem yang sempurna dan bulat, dalam berbahasa sangat memperhatikan raso, pareso, malu dan sopan, sehingga
    bahasa Indonesia yang dituturkannya pun sangat terkait dengan psikologi budaya
    Minangkabau.


    Demikianlah,
    Indonesia sebagai sebuah “nation state
    yang menurut Benedict Anderson merupakan sebuah imajinasi. Kenyataan di dalam “nation state” terdapat komunitas dalam kemajemukan (heterogeneity), perbedaan (diversity). Dengan demikian bahasa Indonesia merupakan suatu
    pengertian tanda budaya
    yang didalamnya penuh dengan perbedaan
    (hibriditas). Hampir sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah
    “rural” sehingga budaya heterogen pedesaan sangat mewarnai pola tutur bahasa
    Indonesia. Kenyataan menunjukkan tidak semua masyarakat Indonesia hidup di
    daerah industri dan berperan sebagai masyarakat industrial, masyarakat
    informatif, dan bagian dari masyarakat global. Di sebaran pulau-pulau
    Indonesia masih ditemui kebudayaan
    “hunting and gathering” yang terdapat secara terbatas di Sumatera, Kalimantan,
    Sulawesi dan beberapa pulau kecil lain yang kira-kira berjumlah 1-2 juta dengan
    pola hidup langsung dari alam. Demikian juga kehidupan berkebudayaan nomadis
    pun masih dijumpai. Hampir semua pula di
    Indonesia masih banyak kebudayaan masyarakat bercorak agraris, baik dengan
    bercocok tanam yang berpindah-pindah, pertanian tadah hujan, pertanian irigasi
    sawah, perkebunan dan pertanian mekanis. Oleh karena unsur budaya agraris masih
    mendominasi masyarakat Indonesia, maka masih dijumpai masyarakat dengan akar
    primordialisme yang kuat serta kebiasaan feodal. Hal ini turut mengkondisikan
    warna kebudayaan Indonesia serta masyarakat dalam bertutur dalam bahasa
    Indonesia. Terlebih-lebih kondisi sekarang, saat politik memberi kesempatan
    desentralisasi dan hak otonom, maka semangat primordialisme dapat muncul dalam
    berbagai aspek salah satunya dalam penggunaan
    bahasa Indonesia.


    Oleh
    sebab itulah dalam memahami Sosial Budaya dan psikologi masyarakat Indonesia
    yang nantinya berimplikasi pada tindak tutur berbahasa Indonesia, paling tidak
    dalam pendekatan silang budaya memperhatikan tiga hal yaitu (a) masyarakat
    dalam perspektif agama, (b) perspektif spiritual, dan (c) perspektif budaya.
    Dari perspektif agama, masyarakat Indonesia dalam berperilaku menyelaraskan
    diri dengan tatanan yang diyakini berasal dari Tuhan, perspektif spiritual
    merujuk pada pengembangan potensi-potensi internal diri manusia dalam
    aktualisasi yang selaras dengan hukum non materi, dan perspektif budaya yang
    merujuk pada tradisi penghayatan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan untuk
    membangun sebuah kehidupan yang comfort
    baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks perubahan social sekarang
    masyarakat Indonesia dalam sekat pluralisme terakomodasi secara otomatis dalam civics responsibility, social economics responsibilities, dan personal responsibility.








    3.
    Pendekatan
    Silang Budaya sebagai Pencitraan Budaya Indonesia






    Masalah
    silang budaya tidak hanya berupaya melihat bahasa dari konteks budaya, tetapi
    sebagai bentuk ekspresi nurani masyarakat Indonesia yaitu hakikat pola hidup
    dalam keragaman. Bahasa Indonesia memiliki “roh, jiwa dan semangat” pluralistik
    yang harus dipakai melalui ekspresi bentuk dan isi bahasa. Kemajemukan
    masyarakat Indonesia merupakan suatu kenyataan yang dalam tataran satu bahasa
    nasional disinergikan dengan kepentingan
    sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan. Dengan demikian melalui pendekatan
    silang budaya, Bahasa Indonesia dapat diajarkan dari tataran formal ke tataran
    substansial. Pemahaman atas kenyataan pluralistik budaya Indonesia inilah
    sangat dimungkinkan adanya usaha membangun pola hubungan manusia dan kelompok
    yang diawali dengan sistem budaya khusnudzan
    ( sebagai dataran budaya tinggi). Yang dimaksud adalah pemahaman budaya sebagai
    rujukan dari cara bersikap dan bertindak (code
    of conduct
    ). Dalam sebuah gambar dapat dilihat sebagai berikut :














    pendekatan silang budaya Clip_image001





    Manusia Indonesia


    Kearifan
    Lokal Agama dan Spiritual


    Perilaku
    Code of


    Conduct


    Bahasa Ibu (Daerah)





    Bahasa
    Indonesia











    Pendekatan
    silang budaya merupakan suatu cara pemahaman budaya sebagai keseluruhan hasil
    respons kelompok manusia terhadap lingkungan dalam rangka memenuhi
    kebutuhan-kebutuhan dan pencapaian tujuan setelah melalui rentangan proses
    interaksi sosial. Pokok-pokok yang
    terpenting adalah kebutuhan dan tujuan mempelajari budaya, lingkungan target
    budaya, dan interaksi sosial yang diinginkan. Dasar pemahaman yang digunakan
    adalah masing-masing sub entitas budaya itu mewarisi “ pikiran, perasaan, makna
    , tanda budaya dan simbol-simbol” yang muncul dalam tuturan berbahasa
    Indonesia. Kata “Assalamu’alaikum
    Warrohmatullahiwabarokatuh”
    memang berasal dari bahasa Arab, karena kata
    ini dibawa serta oleh ajaran agama Islam. Tetapi kata ini telah identik dengan
    pola perilaku bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia. Untuk memahami dan
    menggunakan kata ini tidak sekedar
    dihafal dan dilihat artinya dalam kamus yang sementara diartikan semacam
    “salam” kepada orang. Padahal menurut pemahaman masyarakat Indonesia, khususnya
    kaum Muslim, kata ini memiliki makna yang lebih dalam yaitu semacam doa serta
    penggunaan nama Tuhan, sehingga sebelum diucapkan perlu pemahaman tentang tanda
    budaya kehidupan Muslim. Demikian juga misalnya sering kita dengar kata “Mendhem Jero Mikul Dhuwur” yang sering
    digunakan di era orde baru untuk konsep “tenggang rasa terhadap perasaan orang
    lain, terutama orang /generasi tua”, sudah berbeda artinya ketika kata ini
    digunakan dalam kalangan sistem tanda budaya Jawa. Oleh sebab itulah untuk
    memahami sistem tanda budaya dalam pendekatan silang budaya, khususnya dalam
    pembelajaran bahasa Indonesia sangat diperlukan sikap yang terbuka (open-minded) serta tidak ada penghalang
    komunikasi (communication barriers) ,
    baik dalam tindak tutur maupun dalam sikap bahasa. Kadang-kadang kecurigaan (suudzan) menjadikan “keengganan”
    berbahasa, karena hal inilah yang sering terjadi dalam suatu proses asimilasi.
    Kecurigaan (suudzan) merupakan
    persoalan psikologis sebagai akibat sifat stereotipe. Orang mungkin menyangka
    bahwa suku Jawa sangat identik dengan feodalisme mengingat sistem bahasanya
    yang berjenjang-jenjang, berputar-putar dan penuh makna konotatif. Padahal ini
    sebagai salah satu gambaran kurang dipahaminya sosiokultural Jawa, yang
    sesungguhnya memiliki tiga bentuk masyarakat secara sosiokultural yaitu
    Keraton, Pesantren dan Pedesaan, atau Pesisir, dan Pedalaman, sehingga
    memerlukan asimilasi untuk menghindari stereotipe. Asimilasi sebagai salah satu bentuk
    proses-proses sosial yang erat
    hubungannya dengan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Pendekatan silang
    budaya dalam belajar bahasa Indonesia memerlukan asimilasi sosio-struktural atau sharing their experience.





    Pendekatan
    silang budaya sebagai pencitraan budaya
    Indonesia merupakan upaya membangun citra
    diri yang didasarkan pada yang dimilikinya
    dibandingkan dengan berdasar
    kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah lebih
    diandalkan pada pemilikan ( to have).
    Apabila sikap demikian ini menjadi suatu mentalitas dalam kalangan trend setters dalam masyarakat Indonesia
    dapat digambarkan dampak selanjutnya secara sosial. Pencitraan budaya Indonesia





    pendekatan silang budaya Clip_image002 pendekatan silang budaya Clip_image003 pendekatan silang budaya Clip_image004







    pendekatan silang budaya Clip_image005pendekatan silang budaya Clip_image006pendekatan silang budaya Clip_image007 Kosa kata
    Citra Diri Belajar


    pendekatan silang budaya Clip_image008pendekatan silang budaya Clip_image009 Sistem nilai
    Bahasa


    pendekatan silang budaya Clip_image010 to
    have



    pendekatan silang budaya Clip_image011pendekatan silang budaya Clip_image012 Sistem Sosial


    pendekatan silang budaya Clip_image013 Jati
    diri Masyarakat


    pendekatan silang budaya Clip_image014 Artefak











    Penutur
    Bahasa Indonesia bukanlah orang Indonesia dalam arti sesungguhnya. Para penutur
    bahasa Indonesia adalah suku-suku bangsa di Indonesia yang dipersatukan oleh
    semangat “nation state”, sebuah gambaran
    imajinatif, yang senyatanya adalah orang Jawa berbicara bahasa Indonesia, orang
    Sunda berbicara bahasa Indonesia, orang Minangkabau berbicara bahasa Indonesia.
    Akar semua ini adalah digunakannya bahasa Melayu sebagai lingua franca dan
    semangat nasionalisme menghadapi kolonial.


    Bahasa
    Indonesia dalam tata kebudayaan Indonesia
    adalah sumber pertama sebuah pandangan yang memungkinkan seseorang
    menangkap gejala ontologis. Masyarakat penutur menangkap kesadaran berbahasa
    nasional dilakukan dengan sadar dalam sebuah keberaturan dan kebermaknaan
    (kosmologis). Dengan konsep kosmologis bahasa Indonesia dalam percaturan
    kebudayaan Indonesia ini, maka dalam mempelajari bahasa Indonesia dengan
    pendekatan silang budaya akan menjadikan kebudayaan sebagai sistem realitas ( system of reality) dan sistem makna (system of meaning). Dua acuan sistem
    inilah yang dapat dirujuk dalam pemahaman pendekatan silang budaya sebagai
    pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran BIPA. Bahasa Indonesia dewasa
    ini telah merupakan agen perubah sosial suatu masyarakat yang etnisitas, karena
    bahasa Indonesia menjadikan perubahan cara kerja ( misalnya dari pertanian ke industri), menimbulkan perubahan cara
    hidup (dari buta huruf ke melek huruf, termasuk dari buta bahasa Indonesia
    menjadi melek bahasa Indonesia), dan selanjutnya menimbulkan perubahan dalam
    cara pikir (dari apolitis menjadi politis). Kosa kata, pemilihan kata dan
    penggunaan kata-kata bahasa Indonesia
    sekarang selain melihat etnisitas penuturnya juga perubahan-perubahan social
    yang terjadi di masyarakat.


    Pengalaman
    saya ketika mengajar bahasa dan
    kebudayaan Indonesia untuk orang asing, secara tidak sadar selama berbicara
    bersikap (cara berdiri, menunjuk, dan berperilaku) menunjukkan bahwa saya orang
    Indonesia yang berasal dari suku Jawa. Selain itu si orang asing bertanya
    kepada saya bahwa mengapa saya selalu mengucapkan kata “maaf” atau “maaf ... barangkali” untuk memulai
    percakapan padahal saya tidak membuat kesalahan. Inilah sebuah rasa bahasa yang
    dapat dipahami melalui pendekatan silang budaya. Demikian juga di kalangan saya
    bekerja, dengan mudahnya seorang penutur, berganti-ganti bahasa saat berhadapan
    dengan orang yang berlainan, misalnya sesama pengajar atau dengan mahasiswa
    berbahasa Indonesia, tiba-tiba masuk seorang staf administrasi, secara otomatis
    langsung berbahasa Jawa (ingat: bahasa Jawa minimal terdiri dari tiga
    stratifikasi bahasa: bahasa ngoko, krama, dan krama inggil) dengan staf tersebut. Tak dapat dipungkiri munculnya
    alih kode dan campur kode dalam proses bertutur dalam bahasa Indonesia..


    Dengan
    meminjam istilah yang pernah ditulis oleh Dr. Ignas Kleden, bahwa bahasa
    Indonesia memiliki “kedekatan saudara” dengan “Eufemisme Bahasa, Konsensus
    Sosial dan Kreativitas Kata”. Rasa kata dalam bahasa Indonesia ( maaf: mungkin
    bagi penutur dari Jawa) lebih banyak digunakan, karena dalam konsep kebudayaan
    Jawa berkenaan dengan konsep “ adi
    luhung”
    tercermin suatu nilai bahwa
    pemakaian suatu ungkapan yang lembut atau samar harus digunakan untuk mengganti
    ungkapan yang terang atau kasar. Sudah
    lazim di Indonesia untuk menyebut orang kedua tunggal dengan “Bapak, Ibu, Pak,
    Bu, Saudara, Anda” dibandingkan dengan “kau atau kamu” sebagai pertimbangan
    nilai rasa. Bahkan sebutan “Bung” cukup populer saat Presiden Soekarno
    menggelorakan semangat nasional ketika awal-awal kemerdekaan Indonesia.
    Sekarang ada kecenderungan di kalangan anak muda lebih suka menggunakan bahasa
    Indonesia dialek Jakarta seperti penyebutan kata “ gue (saya) dan lu/elu “.
    Kata ini disebarkan melalui media TV dalam film-film, iklan dan sinetron
    bersamaan dengan disebarkannya gaya hidup dan fesyen. Di Malang Jawa Timur yang sehari-hari
    berbahasa Jawa (Jawa dialek Malangan) dan masyarakat yang terbuka/egaliter ada
    kebiasaan/tradisi membalik kata yang kemudian menjadi ciri khas, seperti “ wedok” (‘perempuan’) dibalik menjadi “kodew”. Kebiasaan ini oleh kalangan muda
    dikembangkan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya kata “tidak” menjadi “ kadit”,
    dan lain-lain. Dalam koran lokal pun
    tradisi ini banyak digunakan. Penutur di luar Malang (pendatang) pada awalnya agak kaku menggunakan,
    tetapi lama-kelamaan menjadi biasa dan
    merasa sebagai orang Malang yang terbuka dan egaliter. Pendekatan silang
    budaya sebagai pencitraan budaya
    Indonesia yang turut mengkondisikan cara belajar bahasa Indonesia sebagai
    bahasa asing merupakan upaya belajar sistem tingkah laku yang tergantung kepada
    sistem makna dan sistem nilai kebudayaan “nation
    state
    ” Indonesia.


    Konsep
    pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran
    BIPA menunjukkan suatu wacana baru dalam pengajaran Bahasa Indonesia untuk
    penutur asing dengan menekankan pada pertumbuhan, perubahan, perkembangan dan
    kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
    dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat Informatif. Bahasa Indonesia
    merupakan salah satu bahasa di Asia yang berpotensi untuk pertukaran kebutuhan
    informasi dunia, karena ciri pluralistik masyarakat penuturnya. Secara praktis
    pendekatan silang budaya dalam pengajaran Bahasa Indonesia bagi penutur asing
    menekankan pada penggalian metode pengajaran bahasa berdasar pola empatik. Pola
    ini digunakan untuk pemahaman masyarakat majemuk baik secara genetis maupun
    kultural.


    Konsep
    pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran
    BIPA merupakan sebuah konsep (yang menurut Ki Hadjar Dwantara disebut
    ‘tri-kon’) yaitu konsentrisitas, kontinuitas, dan konvergensi. Konsentrisitas
    menekankan pada suatu inti atau sentrum yaitu dari mana bahasa Indonesia
    sebagai perkembangan budaya mulai digerakkan; perkembangan ini selanjutnya akan
    memperkuat inti tersebut. Kontinyuitas menunjuk perkembangan dari waktu ke
    waktu, yaitu bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, kontemporer, yang kian
    dipelajari orang asing, dan konvergensi
    yang menunjuk gerak kebudayaan dalam ruang, saat bahasa Indonesia bersama-sama
    dengan bahasa bangsa lain menuju suatu bahasa yang bernilai informatif dan
    global.








    4.
    Pendekatan
    Silang Budaya dalam Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing






    Konsep
    pendekatan silang budaya sebagai pencitraan budaya Indonesia melalui pengajaran
    BIPA menunjukkan suatu wacana baru dalam pengajaran Bahasa Indonesia untuk
    penutur asing dengan menekankan pada pertumbuhan, perubahan, perkembangan dan
    kesinambungan yang menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang
    dinamis dan bersinergi dengan kebutuhan masyarakat Informatif. Bahasa Indonesia
    merupakan salah satu bahasa di Asia yang berpotensi untuk pertukaran kebutuhan
    informasi dunia, karena ciri pluralistik masyarakat penuturnya. Bahasa Indonesia dan pendekatan silang budaya
    merupakan upaya “kembali ke etnisitas”. Terlepas dari penafsiran hegemoni
    sukuisme, dalam belajar bahasa Indonesia (khususnya bagi orang asing) merupakan
    realitas sosial bahwa pluralisme masyarakat Indonesia berbicara bahasa
    Indonesia dengan pola pikir, pola hidup dan berdasar nilai etnisitas, sehingga
    bersifat “Indonesianisasi tata krama
    komunikasi etnisitas”
    . Keragaman suku di Indonesia dapat dilihat sebagai perbedaan yang masing-masing memiliki
    kelebihan dan kekurangan. Perbedaan itulah yang dipelajari secara silang budaya
    untuk dilihat nilai-nilai psikologis masyarakatnya. Silang budaya
    antar-berbagai tradisi di nusantara baik dengan anasir kesatuan Indonesia
    sebagai “nation state”, maupun dengan
    asing sebagai rasional globalisasi tentunya akan membawa ke arah suatu
    perubahan yang dinamis. Budaya lokal akan melakukan filterisasi sebelum menjadi
    sebuah acuan. Pendekatan silang budaya akan melakukan kompromi secara
    sistematik terhadap konteks kearifan budaya lokal di Indonesia. Oleh sebab itu
    sangat bijaksana sebelum mengajarkan bahasa secara aspek linguistik
    (pembelajaran berbahasa Indonesia), perlu diajarkan (dikenalkan) pengetahuan
    budaya-budaya etnik yang meliputi sistem nilai, sistem sosial, dan produk
    budaya serta implikasinya terhadap tindak berbahasa. Selain itu pengenalan
    “sikap berbahasa” secara “PDL “ atau “pandang dengar dan lihat”
    dari guru, tutor/instruktur sangat membantu proses belajar bahasa ini..
    Ideologi yang dikembangkan adalah multikulturalisme atau keanekaragaman budaya,
    sehingga perlu seorang pengajar bahasa
    Indonesia yang berasal dari (yang merupakan wakil dari) etnis yang ada. Pigura
    besarnya adalah Linguistik Indonesia sedangkan gambar yang ditampilkan adalah
    tanda-tanda budaya multikultural. Dalam konsep budaya Jawa hal ini disebut
    dengan ngertos caranipun ngertos atau
    pengertian bagaimana caranya mengerti (model pendidikan heuristik).


    Secara
    praktis pendekatan silang budaya dalam pengajaran Bahasa Indonesia bagi penutur
    asing menekankan pada penggalian metode pengajaran bahasa berdasar pola
    empatik. Pola ini digunakan untuk pemahaman masyarakat majemuk baik secara
    genetis maupun kultural. Cara yang dilakukan adalah menggabungkan kecerdasan
    yang berkaitan dengan kemampuan menangkap kata-kata dan kemampuan menyusun
    kalimat, kemampuan memahami orang lain, kemampuan memahami emosi sendiri, serta
    kemampuan melukiskan suatu konsep bahasa dalam perspektif (think in picture), sehingga mampu mempersepsi lingkungan,
    mengekspresikan konsep dalam gambar, coretan serta lukisan. Hal ini sangat
    diperlukan dalam mengantarkan pemahaman konsep budaya-budaya etnisitas di
    Indonesia sebelum ke aspek bahasanya. Dialog, puisi, novel, kliping koran,
    percakapan dalam drama (misalnya drama tradisional), kajian semiotik atas video
    klip iklan di TV merupakan sarana (media) yang menarik untuk pembelajaran
    silang budaya bahasa Indonesia bagi penutur asing. Beberapa aspek dalam
    pembelajaran bahasa Indonesia dengan pendekatan silang budaya sebagai
    pencitraan budaya Indonesia :





    Budaya Indonesia

    Aspek Struktural

    Aspek Tuturan

    Strategi Komunikasi

    1.Pola Bersikap

    2.Pola Bertindak

    dan
    kelakuan.

    3.Pola
    sarana ben-

    da-benda/tekno-

    logi.

    1) Kategorisasi
    :

    Kosa kata referen-

    sial-non emotif;

    kosakata referensi-

    al emotif dan emo-

    tif non referensial.

    2) Intonasi

    3) Gaya
    Bahasa

    4) Tindak
    tutur



    1)
    Tuturan/Ujaran

    Performatif

    2)
    Tuturan/Ujaran

    Konstantif

    1.Bertutur terus te-

    rang tanpa basa-

    basi.

    2. bertutur dengan

    kesantunan posi-

    tif

    3. bertutur dengan

    kesantunan nega-

    tif

    4.bertutur dengan

    samar-samar

    5.di dalam hati/ ti-

    dak bertutur





    Selanjutnya
    pencitraan itu akan tergambarkan dalam cara berbahasa, bertemu orang
    lain, menempatkan diri sendiri, menempatkan lawan bicara, dan pemberian atau
    pengisian “roh” nilai rasa bahasa dalam tindak komunikasi berbahasa Indonesia
    yang semuanya berpangkal pada konsep :





    pendekatan silang budaya Clip_image015pendekatan silang budaya Clip_image016Sistem nilai budaya


    pendekatan silang budaya Clip_image017











    Norma-norma




    pendekatan silang budaya Clip_image018 pendekatan silang budaya Clip_image019
    pendekatan silang budaya Clip_image020







    Sikap




    pendekatan silang budaya Clip_image021







    Pola-pola cara
    berpikir




    pendekatan silang budaya Clip_image022










    Pola-pola tindakan





    Lebih lanjut melalui pendekatan silang budaya dalam
    pembelajaran bahasa Indonesia, maka ada rasa “kearifan” dalam berbahasa
    Indonesia yang dilandasi oleh masalah mengenai :


    a.
    hakikat dan sifat hidup manusia Indonesia


    b.
    hakikat karya manusia Indonesia


    c.
    hakikat kedudukan manusia Indonesia dalam ruang dan
    waktu


    d.
    hakikat hubungan manusia dengan alam Indonesia


    e.
    hakikat hubungan dengan sesama manusia Indonesia.








    5.
    Penutup





    Dapat disimpulkan
    bahwa sebagai sebuah pemangku “ nation
    state”,
    Indonesia adalah sebuah
    gambaran masyarakat majemuk yang terdiri dari suku-suku bangsa yang berada di
    bawah sebuah kekuasaan sebuah sistem nasional, termasuk di dalamnya bahasa
    nasional yaitu Bahasa Indonesia. Ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah
    pentingnya kesukuan yang terwujud dalam sistem komunitas suku bangsa sebagai
    acuan utama bagi jati diri manusia Indonesia.
    Pendekatan silang budaya sebagai
    pencitraan budaya Indonesia merupakan upaya membangun
    citra diri yang didasarkan pada yang dimilikinya
    dibandingkan dengan
    berdasar kesejatidirian. Dengan demikian upaya membangun citra diri ini sudah
    lebih diandalkan pada pemilikan ( to
    have)
    .


    Kenyataan
    yang menunjukkan bahwa orang Indonesia yang berbahasa Indonesia pada hakikatnya
    adalah orang dari suku-suku bangsa yang memiliki karakter jiwa kebudayaan
    lokalnya yang berbicara dengan bahasa nasional dan bahasa persatuannya. Untuk
    itu orang asing yang berkomunikasi dengan orang Indonesia dengan bahasa
    Indonesia yang telah dipelajarinya, paling tidak ia telah mempelajari
    linguistik bahasa Indonesia dalam konteks ruang dan waktu kebudayaan,
    kepribadian, dan pola-pola tindakan “manusia” Indonesia. Itulah sebabnya
    melalui pendekatan silang budaya dengan pendidikan heuristik dan pola-pola
    empatik sangat dimungkinkan linguistik
    bahasa Indonesia mendapat “roh” yang sangat “Indonesianis”.











    Daftar Pustaka





    Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge :
    Harvard University Press


    Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities (Komunitas-komunitas
    Terbayang)
    . (terj. Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Inist.


    Brown, Peneloe and S.C. Levinson. 1987.
    Politeness: Some Universals in
    Language Usage
    . Cambridge: Cambridge
    University Press.


    Budiman, Maneke 1999. ‘Jati Diri Budaya dalam Proses Nation Building di
    Indonesia: Mengubah Kendala
    Menjadi Aset’, Jurnal Wacana FSUI.No.1
    April 1999. Vol 1. hal. 3


    Hamengkubuwono X. 2001. ‘Implementasi
    Budaya Jawa dalam Menjaga Keutuhan dan Persatuan Bangsa, Mungkinkah?’ Makalah
    seminar Nasional. Surakarta: Univet.


    Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa.
    Yogyakarta: Bentang


    Kleden, Ignas.1987. Sikap Ilmiah
    dan Kritik Kebudayaan
    . Jakarta: LP3 Es.


    Roeder, O.G. 1987. Indonesia. A
    Personal Introduction
    . Jakarta : Gramedia.


    Sayogya. 1995. Sosiologi Pedesaan,
    Kumpulan Bacaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


    Soeparmo, dkk. 1986. Pola
    Berpikir Ilmuwan dalam Konteks Sosial Budaya Indonesia
    . Surabaya: Unair
    Press.


    Tampublon, Daulat. 2000. ‘Peran Bahasa dalam Pembangunan
    Bangsa’. Jurnal MLI. hal.69.


    Tasmara, Toto. 1999. Kecerdasan
    Ruhaniah
    . Jakarta : Gema Insani.


    Tim Lembaga Riset Kebudayaan. 1986. Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia. Bandung: Alumni


    Widdowson, H.G, 1995. Stilistika
    dan Pengajaran Sastra
    (terj. Sudijah). Surabaya: Unair Press.


    Yanti, Yusrita. 1999. ‘Tindak tutur Maaf di dalam Bahasa Indonesia di
    Kalangan Penutur Minangkabau’. Jurnal MLI.
    hal. 93

      Waktu sekarang Fri May 10, 2024 12:05 am