Penggalian Nilai-nilai Budaya
Melalui Karya Sastra
Dalam
Pembelajaran BIPA*
Setya
Tri Nugraha
Universitas Sanata
Dharma
Abstrak
Perkembangan pembelajaran BIPA yang semakin pesat dalam
dua dasa warsa terakhir ini harus diimbangi dengan kreativitas penentuan bahan
pembelajaran yang menarik dan
mengintegrasikan unsur budaya, kebahasaan, dan seni sekaligus.
Sehubungan dengan penentuan
karya sastra sebagai bahan pembelajaran BIPA, di dalam makalah ini diuraikan
(1) beberapa alasan pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran, (2)
faktor-faktor penting dalam pemilihan bahan pembelajaran, dan (3) beberapa
pendekatan pembelajaran, dan (4) analisis budaya Nostrand’s Emergent Model.
Beberapa alasan yang
mendasar dalam pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran adalah: (1) karya sastra dapat berfungsi
sebagai sarana memperkenalkan unsur-unsur budaya yang tercermin dalam ekspresi
bahasanya (2) teks sastra menawarkan cakupan yang luas dalam gaya dan ragam bahasa
(3) karya sastra merupakan akses pada latar belakang bahasa dan budaya (4)
karya sastra mendorong pemerolehan bahasa dan mengembangkan kemampuan
interpretasi pembelajar; (5) karya sastra menawarkan berbagai nilai kehidupan
yang terkespresikan melalui tindakan bahasa.
Faktor-faktor penting dalam
pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran meliputi: (1) karya/teks sastra yang dipergunakan sebagai bahan
pembelajaran, (2) latar belakang budaya dan kecakapan bahasa pembelajar, (3)
guru/pengajar, (4) tingkatan pembelajaran.
Adapun analisis budaya dalam
karya sastra mempergunakan Nostrand’s Emergent Model yang mendasarkan diri pada perasaan,
kepercayaan dan proses berpikir anggota masyarakat budaya target..
*****************
1. Pendahuluan
Suatu
program pembelajaran bahasa yang menyeluruh dan terpadu tidak dapat melepaskan
diri dari pemberian input kebahasaan dan aspek-aspek kebudayaan pada waktu yang
bersamaan. Hal ini perlu dilakukan agar pembelajar dapat mengaplikasikan
kecakapan linguistik dan
keterampilan berbahasa dalam
suatu konteks budaya sebagaimana dianut oleh suatu masyarakat. Pemberian kedua
input itu dapat diwujudnyatakan dalam karya sastra yang dijadikan sebagai bahan
pembelajaran setelah memenuhi berbagai pertimbangan demi terpenuhinya tujuan
pembelajaran bahasa yang integratif,
lebih-lebih dalam konteks pembelajaran BIPA baik di Indonesia maupun di
luar Indonesia.
Perkembangan
pembelajaran BIPA semakin pesat dalam dua dasa warsa terakhir ini baik di
Indonesia maupun juga di luar negeri. Perkembangan ini meliputi perkembangan
jumlah lembaga kursus dan atau lembaga pendidikan yang mengelola program
pembelajaran BIPA maupun perkembangan dari aspek kualitas program tersebut.
Peningkatan kualitas program ini dapat dilihat dengan berkembang pesatnya
penentuan bahan pembelajaran yang
menarik dan mengintegrasikan unsur budaya, kebahasaan, dan seni
sekaligus. Hal ini perlu dilakukan karena bahan pembelajaran merupakan wujud
penjelmaan sebuah perencanaan pembelajaran bahasa. Sebuah produk untuk
mengantarkan suatu proses pembelajaran menuju pada tujuannya.
Seperangkat bahan pembelajaran yang baik menuntut
adanya keterpaduan keterampilan yang diharapkan dikuasai oleh pembelajar
setelah mempelajari seperangkat bahan tersebut. Keterpaduan yang hendak dicapai
berupa pemahaman atas kaidah kebahasaan, keterampilan berbahasa, pemahaman dan penggalian nilai-nilai budaya
target, dan akan lebih lengkap lagi bila bahan itu mengandung unsur estetis.
Keterpaduan beberapa aspek di atas dapat terwujud dalam bentuk karya
sastra.
Penggunaan
karya sastra menawarkan keuntungan yang potensial asal saja pembelajaran bahasa
kedua dan atau bahasa asing mengembangkan pendekatan integratif yang memadukan
sastra dalam kurikulum sebagaimana dianjurkan oleh Stern yang dikutip oleh
Kelliny (1989 : 600) berikut ini: The use
of literature offers potential benefit for teaching and learning a
foreign/second language.....The benefits can be fully realised through an
integratif approach to language
teaching, one which integrates literature into the curriculum.
Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam makalah ini akan dipaparkan (1) beberapa alasan
pemakaian karya sastra sebagai bahan pembelajaran BIPA, (2) faktor-faktor
penting yang harus diperhatikan apabila karya sastra digunakan sebagai bahan
pembelajaran, dan (3) pendekatan
pembelajaran BIPA yang menjadikan karya sastra sebagai bahannya, dan (4)
analisis budaya dalam pembelajaran bahasa bermaterikan karya sastra dengan Nostrand’s Emergent Model.
2. Alasan
Pemilihan Karya Sastra sebagai Bahan Pembelajaran BIPA Bermuatan Budaya
Littlewood
(1987: 178-183), dalam artikelnya “Literature
in the School Foreign-Language Course memberikan beberapa hal penting
berkaitan dengan pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran bahasa
asing. Karya sastra, dalam level yang paling sederhana, tidak berbeda secara
kualitas dengan bentuk-bentuk linguistik lainnya. Karya sastra merupakan bentuk
instan dari penggunaan produktif sejumlah struktur linguistik agar tercapainya
komunikasi berbahasa. Selain itu, karya sastra menawarkan “banyak hal”
berkaitan dengan proses berbahasa, seperti kutipan ini: Apart from “literary style” which differ more or less acutely
(according to period, genre, and so on) from the styles of everyday usage,
literature can draw on all available styles, from the most elevated to the most
informal, in order to gain its effects or give its representation of life.(hal.
178).
Lebih lanjut, Littlewood mengajukan lima perspektif
berkaitan dengan sastra dan pembelajaran bahasa:
a
Pada perspektif paling awal, karya sastra meyediakan pemakaian struktur
kebahasaan. Hal ini sangat berkaitan dengan peningkatan keterampilan berbahasa
khususnya membaca pemahaman yang
disertai dengan berbagai analisis gramatikal dan penjelasannya.
b
Pada perspektif kedua, karya sastra menyajikan bentuk stilistik yang
berbeda dari bentuk bahasa lainnya. Pada tahap ini karya sastra digunakan
sebagai sarana pembelajaran berbagai bentuk ragam bahasa yang berbeda. Sebagai
contoh, karya sastra menyediakan ragam formal, informal, ragam percakapan,
dialog dan ragam naratif dalam teksnya.
c
Perspektif ketiga menempatkan karya sastra sebagai objek yang dikaji
dari segi babakan, situasi yang diciptakan, dan karakter yang diciptakan
pengarang dalam karya sastra itu sendiri. Dalam perspektif ini, pembelajar
dihadapkan pada ‘dunia’ kreasi yang diciptakan pengarang. Bertolak dari dunia
kreasi itu, pembelajar akan diperkaya dengan berbagai bentuk pemahaman atas
konteks kebahasaan, sekaligus dapat membandingkannya dengan kehidupan dunia
nyata, termasuk di dalamnya pemakaian bahasanya.
d
Perspektif keempat ini dapat ditangkap dan dinikmati oleh pembelajar
apabila dalam tingkat tertentu pembelajar sudah dapat memahami ketiga
perspektif sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dalam perspektif ini
pembelajar dituntun ke pemahaman atas visi dan misi pengarang lewat berbagai
ekspresi kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra. Dalam tataran ini pula
diskusi dalam bahasa target dapat diperdalam untuk mengetahui ide-ide dan
logika bernalar yang dimiliki oleh pembelajar.
e
Perspektif kelima menekankan pada pengetahuan di luar kebahasaan yang
sekiranya dapat membantu pemahaman pembelajar melalui deskripsi latar belakang
historis dan sosial budaya karya sastra yang digunakan sebagai bahan
pembelajaran. Pada perspektif ini mahasiswa digiring pada suatu pengenalan dan
pemahaman budaya yang menjadi latar sosial
atau tema karya sastra yang dibahas.
Kelima
perspektif di atas, menurut saya, menyiratkan suatu proses penahapan dari
tataran surface linguistik ke bentuk-bentuk stilistik bahasa
yang kemudian dipertajam dengan pemahaman yang lebih dalam dengan penggalian
aspek-aspek di ”bawah” unsur gramatikal serta diperkaya dengan berbagai
pengetahuan di luar bahasa berupa unsur budaya. Dengan tahap-tahap ini,
pembelajar akan mendapatkan keterpaduan keterampilan berbahasa sekaligus aspek
kebahasaan dan budaya sekaligus.
Lazar
(1993: 15-20) mengajukan beberapa alasan penggunaan karya sastra dalam
pembelajaran bahasa asing/kedua. Lazar menyatakan bahwa karya sastra merupakan
materi pembelajaran yang menimbulkan motivasi pembelajar. Hal ini didorong oleh
karakter karya sastra itu sendiri yang menawarkan tema-tema yang kompleks dan
segar kepada pembelajar. Sebuah novel atau cerita pendek yang bagus akan
melibatkan pembelajar dalam tegangan plot yang dirangkai sedemikian rupa
menarik minat. Motivasi ini dapat ditimbulkan karena adanya unsur seni yang menyertai teks-teks sastra tersebut.
Motivasi yang dimiliki oleh pembelajar akan semakin mendorong mereka untuk
bergiat dalam belajar bahasa.
Lebih
lanjut, dia menyatakan bahwa karya sastra menyediakan akses ke budaya
masyarakat yang bahasanya dipelajari oleh pembelajar. Hal ini dapat diperoleh
dari karya sastra yang bertemakan budaya atau
yang mengekpos permasalahan budaya dalam cakupan yang luas. Perlu
diingat bahwa karya sastra sendiri mempunyai tugas menggambarkan kehidupan
berbudaya masyarakatnya sehingga apabila materi ini digunakan, seakan
pembelajar membuka sebuah ensiklopedia budaya yang terekspresikan secara
estetis bermediakan bahasa verbal.
Selain
itu, karya sastra mendorong pemerolehan bahasa dan mengembangkan kemampuan
interpretasi pembelajar. Ini sangat dimungkinkan karena karya sastra
menghadirkan konteks yang bermakna dan mudah diingat dalam pemrosesan dan
interpretasi bahasa yang baru dipelajari.
Berkaitan dengan interpretasi, karya sastra merupakan sumber yang bagus
untuk mengembangkan kemampuan pembelajar untuk mendalami makna dan membuat
interpretasi . Proses ini dapat dijalani oleh pembelajar karena teks-teks
sastra diperkaya dengan lapis-lapis makna dan menuntut pembaca untuk aktif
terlibat dalam menggali implikasi yang tidak terekspresikan dalam tataran
gramatikalnya. Ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ketajaman analisis
dan kepekaan menangkap simbol dan metafor-metafor yang ada dalam teks sastra.
Menurut saya, Lazar mencoba menggabungkan potensi
kebahasaan yang terkandung dalam karya sastra dengan potensi makna yang harus
diinterpretasi pembelajar yang berujung pada tercapainya pemahaman atas
struktur gramatikal dengan berbagai aspeknya dan tercapainya pemahaman
nilai-nilai budaya dan kehidupan lewat kepekaan interpretasi yang
terkespresikan melalui tindakan bahasa sebagai wujud meningkatnya berbagai keterampilan berbahasa.
Berbeda
dengan Lazar yang menekankan diri pada aspek bahasa dan makna
karya sastra, Valdes (1986:
137-147) membahas secara khusus mengenai budaya dalam karya sastra. Pokok pemikirannya berkaitan dengan alasan
dipilihnya karya sastra sebagai media
ekplorasi budaya dibandingkan dengan teks bacaan lain diilhami oleh Povey
(1968:188) sebagai berikut:
It is simply
accepted as a given that literature is to serve as a medium to transmit the culture of the people who speak the
language in which it is written. Perhaps it would not to amiss, however, to
include a warning against teaching literature
solely as a means of presenting cultural slices of live.
Dari kutipan itu, kita dapat melihat bahwa budaya
yang melingkupi suatu masyarakat di mana suatu bahasa dituturkan dapat
dihadirkan melalui karya sastra. Di sini, karya sastra dapat berfungsi sebagai
media transfer budaya yang menghadirkan sisi-sisi budaya kehidupan. Bertolak
dari sudut inilah, pembelajar diperkenalkan dengan aspek-aspek budaya yang
lebih luas yang terkandung dalam karya sastra dan nantinya mereka temukan dalam kehidupan nyata. Paling
tidak, mereka dapat menemukan berbagai hal yang berkaitan dengan aspek budaya
tertentu dari berbagai sudut pandang dan mengambil sikap tertentu atas aspek
tersebut. Hal ini dipertegas dalam kutipan berikut ini:
An understanding of literature depends upon discernment of the values
inherent, but not necessarily specifically expressed, in the work. the value of
any cultural group, even if the author’s own values differ from those of the
group to which he or she belongs, underlie plots and become the theme in
virtually all works of literature (Valdes, 1986:138)
“Penemuan” nilai-nilai budaya tersebut akan
diharapkan memunculkan respon dari pembelajar; Mengapa aspek budaya ini muncul?
Apa sisi positif dan negatif budaya itu terhadap masyarakat? Bagaimana
orang-orang menyikapi aspek tersebut? Bagaimana kami (pembelajar) harus
menyikapi aspek budaya itu? Bagaimana latar belakang historis aspek budaya
tersebut? Apabila respon-respon ini (dan tentu saja respon -respon yang lain)
muncul, proses selanjutnya adalah
ekpresi dalam berbagi bentuk
keterampilan berbahasa. Berkaitan dengan munculnya respon budaya dari
pembelajaran sastra ini, Long dalam
esainya berjudul “ A feeling for
Language: The multiple values of teaching literature” yang terkumpul dalam
Brumfit dan Carter (1987:42-59) menyatakan bahwa respon dari pembelajar
asing merupakan hal penting dalam
pembelajaran bahasa asing dan atau kedua
yang bermediakan karya sastra. Respon tersebut dibangun dari proses
interpretasi atas keluasan cakupan kata yang dipakai dalam karya sastra
sebagaimana terpapar dalam kutipan ini: The
teaching of literature is an arid business
unless there is a respon, and even negative responses can create an
interesting classroom situation (as then the learner has to say why he or she
dislike the texts). The teaching of literature to non native speakers should
seek to develop responses.
Alasan lain yang mendukung pemakaian karya sastra
dalam pembelajaran bahasa asing dikemukakan oleh McKay dalam esainya “Literature in the ESL Classroom”. Dalam
esainya McKay berpendapat bahwa karya sastra dapat menyediakan keluasan pemakaian bahasa ....
Most present-day literature texts assume that literature can provide a basic
for extending language usage. Many of these focus on the particular grammatical
points that are salient in the texts. Furthermore, vocabulary expansion is
dealt with attention to word forms and common expression.
Hal ini diilhami oleh pendapat Povey (1972: 187)
sebagai berikut:“.......literature will
increase all language skills because literature will extend linguistic
knowledge by giving evidence of extensive and subtle vocabulary usage, and
complex and exact syntax”.
Berhubungan
dengan aspek budaya McKay menyatakan bahwa
karya sastra merupakan bentuk yang memungkinkan adanya toleransi yang
lebih besar dalam perbedaan budaya antara guru dan pembelajar. Selain itu karya
sastra juga dapat menjembatani berbagai masalah budaya yang dihadapi oleh
pembelajar dengan merangsang kreativitas pembelajar dalam sikap hidup mereka.
Jadi, uraian McKay di atas dapat diambil intisari
bahwa dengan karya sastra diperoleh tiga
manfaat yaitu (1) mengembangkan pengetahuan linguistik baik dalam usage level atau pun use level, (2) meningkatkan kemampuan
membaca sebagai implikasi dari penikmatan karya sastra, dan (3) meningkatkan
pemahaman budaya target.
3.
Faktor-faktor penting dalam pemilihan bahan pembelajaran BIPA berupa karya
sastra
Setelah di atas diuraikan alasan penggunaan karya sastra
dalam eksplorasi budaya dan bahasa, pada bagian ini akan diuraikan beberapa
hal/faktor penting yang harus diperhatikan oleh perencana program pembelajaran
BIPA, pengajar, dan juga pembelajarnya.
Karya
sastra yang dipakai sebagai bahan pembelajaran merupakan aspek penting untuk
diperhatikan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra itulah yang akan menjadi pusat
perhatian pembelajaran dalam proses belajar baik dari segi bahasa, isi, dan
terutama nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya.
Dari segi bahasa, karya sastra tersebut hendaknya sesuai dengan kecakapan linguistik
pembelajar sehingga tidak ada kesenjangan yang begitu Lear antara linguistic proficiency pembelajar dengan struktur gramatikal yang
dipakai dalam karya sastra tersebut.
Berkaitan dengan hal di atas, McKay menyatakan bahwa
kunci sukses dalam pembelajaran bahasa asing yang mempergunakan karya sastra
sebagai bahan pembelajaran terletak pada
karya sastra yang telah dipilih sedemikian rupa dapat menarik perhatian
pembelajar.
Lebih
lanjut, dengan mengutip pendapat Honeyfield, McKay menyarankan penggunaan karya
sastra yang tingkat keterbacaannya
relatif mudah baik dari segi kosa kata, kompleksitas sintaksis,
panjang-pendeknya kalimat, atau juga kompleksitas pemakaian istilah-istilah
khususnya. Selain itu, ia menyarankan pemakaian karya sastra yang ditulis oleh
remaja karena tema-tema yang diangkat relatif “ringan” dan dikemas dalam bahasa
yang mudah dimengerti, tidak bertele-tele dan relatif pendek (McKay, 1987:
193-194).
Lazar
(1993: 52-54) mengajukan beberapa kriteria karya sastra yang dipergunakan dalam
pembelajaran bahasa asing. Kriteria pertama adalah kesesuaian karya sastra
dengan latar belakang budaya pembelajar. Kriteria kedua adalah kesesuaian karya
sastra dengan kecakapan linguistik pembelajar, dan kriteria ketiga ditekankan
pada kesesuaian karya sastra dengan latar belakang sastra pembelajar.
Kesesuaian
karya sastra dengan latar belakang budaya pembelajar penting karena hal ini
akan menjadikan dasar atas pemahaman teks sastra yang digunakan dan semakin
meningkatkan keingintahuan pembelajar atas budaya lain yang terkandung dalam
karya sastra tersebut. Kecakapan linguistik pembelajar perlu diketahui untuk
menentukan karya sastra apa yang dipilih dan seberapa sulit/mudah pemakaian
bahasa di dalamnya. Berkaitan dengan kriteria ini hendaknya diperhatikan
beberapa hal ini; penggunaan bahasa yang sudah familier bagi pembelajar;
tingkat kesulitan gramatikal/struktur kalimatnya, dan pemakaian bahasa yang
sesuai dengan bahasa yang telah dan sedang dipelajari. Kriteria ketiga perlu
diperhatikan untuk mendapat informasi seberapa tingkat ketertarikan pembelajar
terhadap sastra. Hal penting dalam kriteria ini adalah perhatian kita pada teks
sastra tidak boleh hanya terpaku pada gradasi bahasa dalam teks tetapi juga
kualitas sastra dan kemampuan bersastra pembelajar.
Faktor
penting lain yang perlu mendapat
perhatian adalah pembatasan antara studi sastra dan penggunaan karya sastra
sebagai sumber pembelajaran bahasa. Studi sastra melibatkan pendekatan teks
sebagai bentuk estetika dan memerlukan analisis intrinsik yang mendalam.
Penggunaan sastra sebagai sumber
pembelajaran bahasa didasarkan pada fakta bahwa kesusastraan adalah bentuk
nyata penggunaan bahasa dan dapat di eksploitasi untuk tujuan pembelajar bahasa
seleluasa mungkin. Pembedaan ini penting agar pembelajaran bahasa kepada orang
asing tidak terjebak pada analisis sastra semata dan menyampingkan analisis
kebahasaannya ( Maley, 1996: xx).
Lebih tegas, Sihui menekankan bahwa yang penting
dalam pembelajaran ini adalah apa yang dilakukan dengan teks sastra tersebut
daripada bagaimana mengajarkan teks. Hal ini dilatarbelakangi dengan pemikiran
bahwa teks tersebut memuat banyak aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek
budaya, yang harus digali. Lebih lanjut, Sihui menegaskan ulang bahwa bahasa adalah hal yang tidak terpisahkan dari
budaya dan pembelajar dapat mengalaminya lewat pembacaan, penikmatan, dan
penganalisaan karya sastra. Kutipan di bawah ini memperjelas pernyataan di
atas:
Perhaps it is necessary to re-state that language is an inseparable
part of culture. The value, norms and taboos of a society, and the ideas,
feelings, and identities (personal, national, political, sexual, or cultural)
of a particular group of people are constructed and communicated through the
use of language. For a non-native learner, the most exciting and rewarding way
of “experiencing” them is through reading, tasting and analysing its literary
and cultural products, hence interfacing language and literature in our
classroom. In other words, language learning has to be put back into its
cultural context (Sihui, 1996: 168)
Untuk
semakin cepat terwujudnya tujuan di atas, diperlukan peran guru dalam
“memanipulasi” bahan pembelajaran. Guru diharapkan dapat memaksimalkan
penggunaan bahan yang berupa karya sastra untuk perkembangan individual
pembelajar, penyediaan akses pemerolehan pengalaman baru dan berbeda, dan
merangsang kepekaan perasaan, keinginan, dan kreativitas mereka (Sinclair,
1996: 144)
Sehubungan
dengan tugas guru tersebut, Valdes menegaskan bahwa tugas guru adalah
memperjelas nilai-nilai budaya yang tergambar pada tokoh yang dicipta oleh
pengarang dan pandangan-pandangannya. Ini
dilakukan agar pembelajar benar-benar memahami budaya dan karya sastra yang berisi tentangnya, ....the task of the classroom teacher,
then, aside from teaching literature for all the other good reason literature
should be taught, is to make clear the values.....in order to understand them
and the literary works that contain them (Valdes, 1986: 139).
4. Beberapa
Pendekatan
Penentuan pendekatan yang dipergunakan
sebagai dasar pembelajaran BIPA yang berbahankan karya sastra sangat penting
karena pendekatan ini akan menjiwai penentuan metode dan teknik operasional di
dalam kelas. Beberapa pendekatan akan diuraikan di bagian berikut ini.
4.1 Language
based- approach
Pendekatan
ini mendasarkan diri pada analisis bahasa untuk menginterpretasikan dan
memahami karya sastra. Pendekatan ini akan memadukan aspek-aspek kebahasaan dan
aspek sastra sekaligus. Melalui penelusuran atas kedua aspek tersebut,
kesadaran dan pemahaman atas bahasa dan budaya Indonesia akan semakin meningkat. Pembelajar akan terdorong
untuk menerapkan kemampuan gramatikal,
leksikal, wacana mereka untuk mengekspresikan apresiasi mereka terhadap karya
sastra dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya (Lazar, 1993: 23)
Pendekatan
berbasiskan bahasa ini dapat dipilih
bila kita ingin mengembangkan keterampilan
interpreatasi dan inferensi atas
bentuk dan makna karya sastra. Untuk mencapai hal ini, diperlukan dua prinsip
yaitu (1) prinsip aktivitas, dan (2) prinsip proses seperti disarankan oleh
Carter. Prinsip aktivitas ini menyarankan adanya partisipasi pembelajar dalam
merekonstruksi karya sastra. Mereka tidak hanya merespon karya sastra yang
sudah ada, tetapi harus membangun lagi
konstruksi suatu karya yang tidak utuh. Prinsip proses mendorong pembelajar
untuk mengantisipasi dan mengerti teks sastra melalui pengalaman langsung
proses penciptaan makna (Carter, 1996: 2 - 3, xiii - xxiv).
4.2 Literature as content
Pendekatan ini menempatkan karya sastra
sebagai isi kursus bahasa yang berkonsentrasi pada beberapa hal seperti: latar
belakang sejarah karya sastra, genre, piranti
retorikalnya, dan karakteristik gerakan kesusastraan yang melahirkannya.
Karya-karya sastra yang dipakai dalam
pendekatan ini biasanya karya-karya kanon atau masterpiece sarat dengan
muatan budaya. Apabila pendekatan ini diimplementasikan, diharapkan pembelajar
dapat membuat interpretasi yang bermakna
dari teks sastra itu sendiri dan mengidentifikasi bentuk-bentuk bahasa khusus
untuk menyampaikan pesan, serta dapat memperluas pengetahuan dan kesadaran
tentang bahasa dan budaya pada umumnya
(Lazar, 1993: 31 - 38).
5. Analisis
budaya Nostrand’s Emergent Model
Nostrand’s Emergent Model merupakan
suatu model analisis budaya yang mendasarkan diri pada perasaan, kepercayaan,
dan proses berpikir anggota masyarakat budaya target. Prosedur analisis ini
adalah menggabungkan pengalaman-pengalaman budaya dan cara hidup masyarakat dengan pengetahuan
deskriptif tentang masyarakat tersebut.
Analisis budaya Nostrand mendasarkan diri pada empat
hal penting yaitu: personality, social
relations, culture pattern, dan ecology dan menekankan diri pada tiga element budaya
masyarakatnya yaitu: nilai-nilai, karakteristik-karakteristik tertentu, dan
pandangan dunia masyarakat.
Dengan analisis ini, budaya-budaya yang
terkandung di dalam karya sastra dapat tergali tuntas karena hal-hal khusus
yang terjadi dan menjadi “trade mark” dalam masyarakat tertentu dapat diketahui
nilai-nilainya. Dalam konteks Indonesia, analisis ini sangatlah tepat mengingat
berbagai kekhasan budaya dan masyarakat Indonesia yang masih mendasarkan diri
pada perasaan, kepercayaan, dan pola pikir yang khusus. Beberapa hal nyata
dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai landas tumpu analisis ini antara
lain: ‘seni hidup’, intektualitas, personalitas, kenyataan hidup, hukum dan
tatanan masyarakat, persahabatan, keluarga, agama, kesetiaan kepada daerah/
lokalitas, dan kecintaan pada nation (
Hughes, 1986: 165 - 167).
Penerapan
analisis ini dalam karya sastra dapat dilakukan dengan memberikan karya sastra
sebagaimana diungkapkan di bagian awal tulisan ini untuk kemudian digali
aspek-aspek penting yang disarankan Nostrand. Teknik yang dipilih bisa beragam dari analisis individu,
kerja berpasangan, membandingkan dengan aspek-aspek yang ada dalam budaya
mereka, atau dengan penilaian objektif/ logis atas hal-hal yang mereka temukan
dalam karya sastra tersebut. Apabila
pembelajar dapat menemukan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kenyataan
tersebut, tercapailah sudah tujuan pembelajaran budaya melalui karya sastra.
6. Penutup
Pembelajaran BIPA yang menekankan diri pada
penggalian budaya masyarakat Indonesia dapat dilakukan dengan mempergunakan karya sastra sebagai bahan
pembelajarannya. Karya sastra menawarkan berbagai kelebihan berupa pengetahuan
bahasa/ struktur gramatikal pada umumnya, penggunaan bahasa-bahasan khusus
dalam penyampaian pesan/makna, pengungkapan unsur-unsur budaya melalui daya imajinasi dan interpretasi,
serta mempertajam daya analisis untuk mendapatkan pengetahuan dan kesadaran
budaya target sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran bahasa.
Daftar Pustaka
Carter, Ronald dan McRae, John.
1996. Language, Literature and the
Learner: Creative Classroom Practice. London: Longman.
Hughes, George H. 1986. “An
Argument for culture analysis in the second language classroom”. dalam Joyce Merrill Valdes. Culture Bound: Bridging the cultural gap in
language teaching. New York: Cambridge University Press.
Lazar, Gillian. 1993. Literature
and Language Teaching. New York : Cambridge University Press.
Littlewood, William T. 1987. “Literature in the School Foreign-Language
Course” dalam Christopher Brumfit dan
Ronald Carter. 1987. Literature and
Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Long, Michael N. 1987. “ A
feeling for Language: The multiple values of teaching literature” dalam Chistoper
Brumfit dan Ronald Carter. 1987. Literature
and Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Maley, A. 1989. “ Down from the pedestal: literature as resource”.
dalam Carter, R, Walker, R, dan
Brumfit, C.J. (editor). Literature and
the Learner: Methodological
Approaches. London: Modern English Publication.
McKay, Sandra. 1987. “Literature
in the ESL Classroom” dalam Christopher Brumfit dan Ronald Carter. 1987. Literature and Language Teaching.
Oxford: Oxford University Press.
Povey, John. 1972. “Literature in TESL Programs: The Language and the
Culture.” TESOL Quarterly 1 ( June). Reprinted in Harold
B. Allen dan Russel Campbell. Teaching
English as a Second Language:
A Book of Reading, 2nd ed. New York : McGraw-Hill.
Sihui, Mao. 1996. “ ‘Interfacing’ language and literature: with special
reference to the teaching of British
cultural studies”. dalam Ronald Carter dalam John McRae. Language, Literature and the
Learner: Creative Classroom Practice. London: Longman.
Sinclair, Barbara. 1996. “ Learner autonomy and literature teaching”.
dalam Ronald Carter dalam John McRae. Language, Literature and the Learner: Creative Classroom Practice. London:
Longman.
Valdes. Joyce Merrill. 1986. Culture
Bound: Bridging the Cultural Gap in Language Teaching. New York: Cambridge University Press.
Melalui Karya Sastra
Dalam
Pembelajaran BIPA*
Setya
Tri Nugraha
Universitas Sanata
Dharma
Abstrak
Perkembangan pembelajaran BIPA yang semakin pesat dalam
dua dasa warsa terakhir ini harus diimbangi dengan kreativitas penentuan bahan
pembelajaran yang menarik dan
mengintegrasikan unsur budaya, kebahasaan, dan seni sekaligus.
Sehubungan dengan penentuan
karya sastra sebagai bahan pembelajaran BIPA, di dalam makalah ini diuraikan
(1) beberapa alasan pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran, (2)
faktor-faktor penting dalam pemilihan bahan pembelajaran, dan (3) beberapa
pendekatan pembelajaran, dan (4) analisis budaya Nostrand’s Emergent Model.
Beberapa alasan yang
mendasar dalam pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran adalah: (1) karya sastra dapat berfungsi
sebagai sarana memperkenalkan unsur-unsur budaya yang tercermin dalam ekspresi
bahasanya (2) teks sastra menawarkan cakupan yang luas dalam gaya dan ragam bahasa
(3) karya sastra merupakan akses pada latar belakang bahasa dan budaya (4)
karya sastra mendorong pemerolehan bahasa dan mengembangkan kemampuan
interpretasi pembelajar; (5) karya sastra menawarkan berbagai nilai kehidupan
yang terkespresikan melalui tindakan bahasa.
Faktor-faktor penting dalam
pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran meliputi: (1) karya/teks sastra yang dipergunakan sebagai bahan
pembelajaran, (2) latar belakang budaya dan kecakapan bahasa pembelajar, (3)
guru/pengajar, (4) tingkatan pembelajaran.
Adapun analisis budaya dalam
karya sastra mempergunakan Nostrand’s Emergent Model yang mendasarkan diri pada perasaan,
kepercayaan dan proses berpikir anggota masyarakat budaya target..
*****************
1. Pendahuluan
Suatu
program pembelajaran bahasa yang menyeluruh dan terpadu tidak dapat melepaskan
diri dari pemberian input kebahasaan dan aspek-aspek kebudayaan pada waktu yang
bersamaan. Hal ini perlu dilakukan agar pembelajar dapat mengaplikasikan
kecakapan linguistik dan
keterampilan berbahasa dalam
suatu konteks budaya sebagaimana dianut oleh suatu masyarakat. Pemberian kedua
input itu dapat diwujudnyatakan dalam karya sastra yang dijadikan sebagai bahan
pembelajaran setelah memenuhi berbagai pertimbangan demi terpenuhinya tujuan
pembelajaran bahasa yang integratif,
lebih-lebih dalam konteks pembelajaran BIPA baik di Indonesia maupun di
luar Indonesia.
Perkembangan
pembelajaran BIPA semakin pesat dalam dua dasa warsa terakhir ini baik di
Indonesia maupun juga di luar negeri. Perkembangan ini meliputi perkembangan
jumlah lembaga kursus dan atau lembaga pendidikan yang mengelola program
pembelajaran BIPA maupun perkembangan dari aspek kualitas program tersebut.
Peningkatan kualitas program ini dapat dilihat dengan berkembang pesatnya
penentuan bahan pembelajaran yang
menarik dan mengintegrasikan unsur budaya, kebahasaan, dan seni
sekaligus. Hal ini perlu dilakukan karena bahan pembelajaran merupakan wujud
penjelmaan sebuah perencanaan pembelajaran bahasa. Sebuah produk untuk
mengantarkan suatu proses pembelajaran menuju pada tujuannya.
Seperangkat bahan pembelajaran yang baik menuntut
adanya keterpaduan keterampilan yang diharapkan dikuasai oleh pembelajar
setelah mempelajari seperangkat bahan tersebut. Keterpaduan yang hendak dicapai
berupa pemahaman atas kaidah kebahasaan, keterampilan berbahasa, pemahaman dan penggalian nilai-nilai budaya
target, dan akan lebih lengkap lagi bila bahan itu mengandung unsur estetis.
Keterpaduan beberapa aspek di atas dapat terwujud dalam bentuk karya
sastra.
Penggunaan
karya sastra menawarkan keuntungan yang potensial asal saja pembelajaran bahasa
kedua dan atau bahasa asing mengembangkan pendekatan integratif yang memadukan
sastra dalam kurikulum sebagaimana dianjurkan oleh Stern yang dikutip oleh
Kelliny (1989 : 600) berikut ini: The use
of literature offers potential benefit for teaching and learning a
foreign/second language.....The benefits can be fully realised through an
integratif approach to language
teaching, one which integrates literature into the curriculum.
Sehubungan
dengan hal tersebut, dalam makalah ini akan dipaparkan (1) beberapa alasan
pemakaian karya sastra sebagai bahan pembelajaran BIPA, (2) faktor-faktor
penting yang harus diperhatikan apabila karya sastra digunakan sebagai bahan
pembelajaran, dan (3) pendekatan
pembelajaran BIPA yang menjadikan karya sastra sebagai bahannya, dan (4)
analisis budaya dalam pembelajaran bahasa bermaterikan karya sastra dengan Nostrand’s Emergent Model.
2. Alasan
Pemilihan Karya Sastra sebagai Bahan Pembelajaran BIPA Bermuatan Budaya
Littlewood
(1987: 178-183), dalam artikelnya “Literature
in the School Foreign-Language Course memberikan beberapa hal penting
berkaitan dengan pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran bahasa
asing. Karya sastra, dalam level yang paling sederhana, tidak berbeda secara
kualitas dengan bentuk-bentuk linguistik lainnya. Karya sastra merupakan bentuk
instan dari penggunaan produktif sejumlah struktur linguistik agar tercapainya
komunikasi berbahasa. Selain itu, karya sastra menawarkan “banyak hal”
berkaitan dengan proses berbahasa, seperti kutipan ini: Apart from “literary style” which differ more or less acutely
(according to period, genre, and so on) from the styles of everyday usage,
literature can draw on all available styles, from the most elevated to the most
informal, in order to gain its effects or give its representation of life.(hal.
178).
Lebih lanjut, Littlewood mengajukan lima perspektif
berkaitan dengan sastra dan pembelajaran bahasa:
a
Pada perspektif paling awal, karya sastra meyediakan pemakaian struktur
kebahasaan. Hal ini sangat berkaitan dengan peningkatan keterampilan berbahasa
khususnya membaca pemahaman yang
disertai dengan berbagai analisis gramatikal dan penjelasannya.
b
Pada perspektif kedua, karya sastra menyajikan bentuk stilistik yang
berbeda dari bentuk bahasa lainnya. Pada tahap ini karya sastra digunakan
sebagai sarana pembelajaran berbagai bentuk ragam bahasa yang berbeda. Sebagai
contoh, karya sastra menyediakan ragam formal, informal, ragam percakapan,
dialog dan ragam naratif dalam teksnya.
c
Perspektif ketiga menempatkan karya sastra sebagai objek yang dikaji
dari segi babakan, situasi yang diciptakan, dan karakter yang diciptakan
pengarang dalam karya sastra itu sendiri. Dalam perspektif ini, pembelajar
dihadapkan pada ‘dunia’ kreasi yang diciptakan pengarang. Bertolak dari dunia
kreasi itu, pembelajar akan diperkaya dengan berbagai bentuk pemahaman atas
konteks kebahasaan, sekaligus dapat membandingkannya dengan kehidupan dunia
nyata, termasuk di dalamnya pemakaian bahasanya.
d
Perspektif keempat ini dapat ditangkap dan dinikmati oleh pembelajar
apabila dalam tingkat tertentu pembelajar sudah dapat memahami ketiga
perspektif sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dalam perspektif ini
pembelajar dituntun ke pemahaman atas visi dan misi pengarang lewat berbagai
ekspresi kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra. Dalam tataran ini pula
diskusi dalam bahasa target dapat diperdalam untuk mengetahui ide-ide dan
logika bernalar yang dimiliki oleh pembelajar.
e
Perspektif kelima menekankan pada pengetahuan di luar kebahasaan yang
sekiranya dapat membantu pemahaman pembelajar melalui deskripsi latar belakang
historis dan sosial budaya karya sastra yang digunakan sebagai bahan
pembelajaran. Pada perspektif ini mahasiswa digiring pada suatu pengenalan dan
pemahaman budaya yang menjadi latar sosial
atau tema karya sastra yang dibahas.
Kelima
perspektif di atas, menurut saya, menyiratkan suatu proses penahapan dari
tataran surface linguistik ke bentuk-bentuk stilistik bahasa
yang kemudian dipertajam dengan pemahaman yang lebih dalam dengan penggalian
aspek-aspek di ”bawah” unsur gramatikal serta diperkaya dengan berbagai
pengetahuan di luar bahasa berupa unsur budaya. Dengan tahap-tahap ini,
pembelajar akan mendapatkan keterpaduan keterampilan berbahasa sekaligus aspek
kebahasaan dan budaya sekaligus.
Lazar
(1993: 15-20) mengajukan beberapa alasan penggunaan karya sastra dalam
pembelajaran bahasa asing/kedua. Lazar menyatakan bahwa karya sastra merupakan
materi pembelajaran yang menimbulkan motivasi pembelajar. Hal ini didorong oleh
karakter karya sastra itu sendiri yang menawarkan tema-tema yang kompleks dan
segar kepada pembelajar. Sebuah novel atau cerita pendek yang bagus akan
melibatkan pembelajar dalam tegangan plot yang dirangkai sedemikian rupa
menarik minat. Motivasi ini dapat ditimbulkan karena adanya unsur seni yang menyertai teks-teks sastra tersebut.
Motivasi yang dimiliki oleh pembelajar akan semakin mendorong mereka untuk
bergiat dalam belajar bahasa.
Lebih
lanjut, dia menyatakan bahwa karya sastra menyediakan akses ke budaya
masyarakat yang bahasanya dipelajari oleh pembelajar. Hal ini dapat diperoleh
dari karya sastra yang bertemakan budaya atau
yang mengekpos permasalahan budaya dalam cakupan yang luas. Perlu
diingat bahwa karya sastra sendiri mempunyai tugas menggambarkan kehidupan
berbudaya masyarakatnya sehingga apabila materi ini digunakan, seakan
pembelajar membuka sebuah ensiklopedia budaya yang terekspresikan secara
estetis bermediakan bahasa verbal.
Selain
itu, karya sastra mendorong pemerolehan bahasa dan mengembangkan kemampuan
interpretasi pembelajar. Ini sangat dimungkinkan karena karya sastra
menghadirkan konteks yang bermakna dan mudah diingat dalam pemrosesan dan
interpretasi bahasa yang baru dipelajari.
Berkaitan dengan interpretasi, karya sastra merupakan sumber yang bagus
untuk mengembangkan kemampuan pembelajar untuk mendalami makna dan membuat
interpretasi . Proses ini dapat dijalani oleh pembelajar karena teks-teks
sastra diperkaya dengan lapis-lapis makna dan menuntut pembaca untuk aktif
terlibat dalam menggali implikasi yang tidak terekspresikan dalam tataran
gramatikalnya. Ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ketajaman analisis
dan kepekaan menangkap simbol dan metafor-metafor yang ada dalam teks sastra.
Menurut saya, Lazar mencoba menggabungkan potensi
kebahasaan yang terkandung dalam karya sastra dengan potensi makna yang harus
diinterpretasi pembelajar yang berujung pada tercapainya pemahaman atas
struktur gramatikal dengan berbagai aspeknya dan tercapainya pemahaman
nilai-nilai budaya dan kehidupan lewat kepekaan interpretasi yang
terkespresikan melalui tindakan bahasa sebagai wujud meningkatnya berbagai keterampilan berbahasa.
Berbeda
dengan Lazar yang menekankan diri pada aspek bahasa dan makna
karya sastra, Valdes (1986:
137-147) membahas secara khusus mengenai budaya dalam karya sastra. Pokok pemikirannya berkaitan dengan alasan
dipilihnya karya sastra sebagai media
ekplorasi budaya dibandingkan dengan teks bacaan lain diilhami oleh Povey
(1968:188) sebagai berikut:
It is simply
accepted as a given that literature is to serve as a medium to transmit the culture of the people who speak the
language in which it is written. Perhaps it would not to amiss, however, to
include a warning against teaching literature
solely as a means of presenting cultural slices of live.
Dari kutipan itu, kita dapat melihat bahwa budaya
yang melingkupi suatu masyarakat di mana suatu bahasa dituturkan dapat
dihadirkan melalui karya sastra. Di sini, karya sastra dapat berfungsi sebagai
media transfer budaya yang menghadirkan sisi-sisi budaya kehidupan. Bertolak
dari sudut inilah, pembelajar diperkenalkan dengan aspek-aspek budaya yang
lebih luas yang terkandung dalam karya sastra dan nantinya mereka temukan dalam kehidupan nyata. Paling
tidak, mereka dapat menemukan berbagai hal yang berkaitan dengan aspek budaya
tertentu dari berbagai sudut pandang dan mengambil sikap tertentu atas aspek
tersebut. Hal ini dipertegas dalam kutipan berikut ini:
An understanding of literature depends upon discernment of the values
inherent, but not necessarily specifically expressed, in the work. the value of
any cultural group, even if the author’s own values differ from those of the
group to which he or she belongs, underlie plots and become the theme in
virtually all works of literature (Valdes, 1986:138)
“Penemuan” nilai-nilai budaya tersebut akan
diharapkan memunculkan respon dari pembelajar; Mengapa aspek budaya ini muncul?
Apa sisi positif dan negatif budaya itu terhadap masyarakat? Bagaimana
orang-orang menyikapi aspek tersebut? Bagaimana kami (pembelajar) harus
menyikapi aspek budaya itu? Bagaimana latar belakang historis aspek budaya
tersebut? Apabila respon-respon ini (dan tentu saja respon -respon yang lain)
muncul, proses selanjutnya adalah
ekpresi dalam berbagi bentuk
keterampilan berbahasa. Berkaitan dengan munculnya respon budaya dari
pembelajaran sastra ini, Long dalam
esainya berjudul “ A feeling for
Language: The multiple values of teaching literature” yang terkumpul dalam
Brumfit dan Carter (1987:42-59) menyatakan bahwa respon dari pembelajar
asing merupakan hal penting dalam
pembelajaran bahasa asing dan atau kedua
yang bermediakan karya sastra. Respon tersebut dibangun dari proses
interpretasi atas keluasan cakupan kata yang dipakai dalam karya sastra
sebagaimana terpapar dalam kutipan ini: The
teaching of literature is an arid business
unless there is a respon, and even negative responses can create an
interesting classroom situation (as then the learner has to say why he or she
dislike the texts). The teaching of literature to non native speakers should
seek to develop responses.
Alasan lain yang mendukung pemakaian karya sastra
dalam pembelajaran bahasa asing dikemukakan oleh McKay dalam esainya “Literature in the ESL Classroom”. Dalam
esainya McKay berpendapat bahwa karya sastra dapat menyediakan keluasan pemakaian bahasa ....
Most present-day literature texts assume that literature can provide a basic
for extending language usage. Many of these focus on the particular grammatical
points that are salient in the texts. Furthermore, vocabulary expansion is
dealt with attention to word forms and common expression.
Hal ini diilhami oleh pendapat Povey (1972: 187)
sebagai berikut:“.......literature will
increase all language skills because literature will extend linguistic
knowledge by giving evidence of extensive and subtle vocabulary usage, and
complex and exact syntax”.
Berhubungan
dengan aspek budaya McKay menyatakan bahwa
karya sastra merupakan bentuk yang memungkinkan adanya toleransi yang
lebih besar dalam perbedaan budaya antara guru dan pembelajar. Selain itu karya
sastra juga dapat menjembatani berbagai masalah budaya yang dihadapi oleh
pembelajar dengan merangsang kreativitas pembelajar dalam sikap hidup mereka.
Jadi, uraian McKay di atas dapat diambil intisari
bahwa dengan karya sastra diperoleh tiga
manfaat yaitu (1) mengembangkan pengetahuan linguistik baik dalam usage level atau pun use level, (2) meningkatkan kemampuan
membaca sebagai implikasi dari penikmatan karya sastra, dan (3) meningkatkan
pemahaman budaya target.
3.
Faktor-faktor penting dalam pemilihan bahan pembelajaran BIPA berupa karya
sastra
Setelah di atas diuraikan alasan penggunaan karya sastra
dalam eksplorasi budaya dan bahasa, pada bagian ini akan diuraikan beberapa
hal/faktor penting yang harus diperhatikan oleh perencana program pembelajaran
BIPA, pengajar, dan juga pembelajarnya.
Karya
sastra yang dipakai sebagai bahan pembelajaran merupakan aspek penting untuk
diperhatikan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra itulah yang akan menjadi pusat
perhatian pembelajaran dalam proses belajar baik dari segi bahasa, isi, dan
terutama nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya.
Dari segi bahasa, karya sastra tersebut hendaknya sesuai dengan kecakapan linguistik
pembelajar sehingga tidak ada kesenjangan yang begitu Lear antara linguistic proficiency pembelajar dengan struktur gramatikal yang
dipakai dalam karya sastra tersebut.
Berkaitan dengan hal di atas, McKay menyatakan bahwa
kunci sukses dalam pembelajaran bahasa asing yang mempergunakan karya sastra
sebagai bahan pembelajaran terletak pada
karya sastra yang telah dipilih sedemikian rupa dapat menarik perhatian
pembelajar.
Lebih
lanjut, dengan mengutip pendapat Honeyfield, McKay menyarankan penggunaan karya
sastra yang tingkat keterbacaannya
relatif mudah baik dari segi kosa kata, kompleksitas sintaksis,
panjang-pendeknya kalimat, atau juga kompleksitas pemakaian istilah-istilah
khususnya. Selain itu, ia menyarankan pemakaian karya sastra yang ditulis oleh
remaja karena tema-tema yang diangkat relatif “ringan” dan dikemas dalam bahasa
yang mudah dimengerti, tidak bertele-tele dan relatif pendek (McKay, 1987:
193-194).
Lazar
(1993: 52-54) mengajukan beberapa kriteria karya sastra yang dipergunakan dalam
pembelajaran bahasa asing. Kriteria pertama adalah kesesuaian karya sastra
dengan latar belakang budaya pembelajar. Kriteria kedua adalah kesesuaian karya
sastra dengan kecakapan linguistik pembelajar, dan kriteria ketiga ditekankan
pada kesesuaian karya sastra dengan latar belakang sastra pembelajar.
Kesesuaian
karya sastra dengan latar belakang budaya pembelajar penting karena hal ini
akan menjadikan dasar atas pemahaman teks sastra yang digunakan dan semakin
meningkatkan keingintahuan pembelajar atas budaya lain yang terkandung dalam
karya sastra tersebut. Kecakapan linguistik pembelajar perlu diketahui untuk
menentukan karya sastra apa yang dipilih dan seberapa sulit/mudah pemakaian
bahasa di dalamnya. Berkaitan dengan kriteria ini hendaknya diperhatikan
beberapa hal ini; penggunaan bahasa yang sudah familier bagi pembelajar;
tingkat kesulitan gramatikal/struktur kalimatnya, dan pemakaian bahasa yang
sesuai dengan bahasa yang telah dan sedang dipelajari. Kriteria ketiga perlu
diperhatikan untuk mendapat informasi seberapa tingkat ketertarikan pembelajar
terhadap sastra. Hal penting dalam kriteria ini adalah perhatian kita pada teks
sastra tidak boleh hanya terpaku pada gradasi bahasa dalam teks tetapi juga
kualitas sastra dan kemampuan bersastra pembelajar.
Faktor
penting lain yang perlu mendapat
perhatian adalah pembatasan antara studi sastra dan penggunaan karya sastra
sebagai sumber pembelajaran bahasa. Studi sastra melibatkan pendekatan teks
sebagai bentuk estetika dan memerlukan analisis intrinsik yang mendalam.
Penggunaan sastra sebagai sumber
pembelajaran bahasa didasarkan pada fakta bahwa kesusastraan adalah bentuk
nyata penggunaan bahasa dan dapat di eksploitasi untuk tujuan pembelajar bahasa
seleluasa mungkin. Pembedaan ini penting agar pembelajaran bahasa kepada orang
asing tidak terjebak pada analisis sastra semata dan menyampingkan analisis
kebahasaannya ( Maley, 1996: xx).
Lebih tegas, Sihui menekankan bahwa yang penting
dalam pembelajaran ini adalah apa yang dilakukan dengan teks sastra tersebut
daripada bagaimana mengajarkan teks. Hal ini dilatarbelakangi dengan pemikiran
bahwa teks tersebut memuat banyak aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek
budaya, yang harus digali. Lebih lanjut, Sihui menegaskan ulang bahwa bahasa adalah hal yang tidak terpisahkan dari
budaya dan pembelajar dapat mengalaminya lewat pembacaan, penikmatan, dan
penganalisaan karya sastra. Kutipan di bawah ini memperjelas pernyataan di
atas:
Perhaps it is necessary to re-state that language is an inseparable
part of culture. The value, norms and taboos of a society, and the ideas,
feelings, and identities (personal, national, political, sexual, or cultural)
of a particular group of people are constructed and communicated through the
use of language. For a non-native learner, the most exciting and rewarding way
of “experiencing” them is through reading, tasting and analysing its literary
and cultural products, hence interfacing language and literature in our
classroom. In other words, language learning has to be put back into its
cultural context (Sihui, 1996: 168)
Untuk
semakin cepat terwujudnya tujuan di atas, diperlukan peran guru dalam
“memanipulasi” bahan pembelajaran. Guru diharapkan dapat memaksimalkan
penggunaan bahan yang berupa karya sastra untuk perkembangan individual
pembelajar, penyediaan akses pemerolehan pengalaman baru dan berbeda, dan
merangsang kepekaan perasaan, keinginan, dan kreativitas mereka (Sinclair,
1996: 144)
Sehubungan
dengan tugas guru tersebut, Valdes menegaskan bahwa tugas guru adalah
memperjelas nilai-nilai budaya yang tergambar pada tokoh yang dicipta oleh
pengarang dan pandangan-pandangannya. Ini
dilakukan agar pembelajar benar-benar memahami budaya dan karya sastra yang berisi tentangnya, ....the task of the classroom teacher,
then, aside from teaching literature for all the other good reason literature
should be taught, is to make clear the values.....in order to understand them
and the literary works that contain them (Valdes, 1986: 139).
4. Beberapa
Pendekatan
Penentuan pendekatan yang dipergunakan
sebagai dasar pembelajaran BIPA yang berbahankan karya sastra sangat penting
karena pendekatan ini akan menjiwai penentuan metode dan teknik operasional di
dalam kelas. Beberapa pendekatan akan diuraikan di bagian berikut ini.
4.1 Language
based- approach
Pendekatan
ini mendasarkan diri pada analisis bahasa untuk menginterpretasikan dan
memahami karya sastra. Pendekatan ini akan memadukan aspek-aspek kebahasaan dan
aspek sastra sekaligus. Melalui penelusuran atas kedua aspek tersebut,
kesadaran dan pemahaman atas bahasa dan budaya Indonesia akan semakin meningkat. Pembelajar akan terdorong
untuk menerapkan kemampuan gramatikal,
leksikal, wacana mereka untuk mengekspresikan apresiasi mereka terhadap karya
sastra dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya (Lazar, 1993: 23)
Pendekatan
berbasiskan bahasa ini dapat dipilih
bila kita ingin mengembangkan keterampilan
interpreatasi dan inferensi atas
bentuk dan makna karya sastra. Untuk mencapai hal ini, diperlukan dua prinsip
yaitu (1) prinsip aktivitas, dan (2) prinsip proses seperti disarankan oleh
Carter. Prinsip aktivitas ini menyarankan adanya partisipasi pembelajar dalam
merekonstruksi karya sastra. Mereka tidak hanya merespon karya sastra yang
sudah ada, tetapi harus membangun lagi
konstruksi suatu karya yang tidak utuh. Prinsip proses mendorong pembelajar
untuk mengantisipasi dan mengerti teks sastra melalui pengalaman langsung
proses penciptaan makna (Carter, 1996: 2 - 3, xiii - xxiv).
4.2 Literature as content
Pendekatan ini menempatkan karya sastra
sebagai isi kursus bahasa yang berkonsentrasi pada beberapa hal seperti: latar
belakang sejarah karya sastra, genre, piranti
retorikalnya, dan karakteristik gerakan kesusastraan yang melahirkannya.
Karya-karya sastra yang dipakai dalam
pendekatan ini biasanya karya-karya kanon atau masterpiece sarat dengan
muatan budaya. Apabila pendekatan ini diimplementasikan, diharapkan pembelajar
dapat membuat interpretasi yang bermakna
dari teks sastra itu sendiri dan mengidentifikasi bentuk-bentuk bahasa khusus
untuk menyampaikan pesan, serta dapat memperluas pengetahuan dan kesadaran
tentang bahasa dan budaya pada umumnya
(Lazar, 1993: 31 - 38).
5. Analisis
budaya Nostrand’s Emergent Model
Nostrand’s Emergent Model merupakan
suatu model analisis budaya yang mendasarkan diri pada perasaan, kepercayaan,
dan proses berpikir anggota masyarakat budaya target. Prosedur analisis ini
adalah menggabungkan pengalaman-pengalaman budaya dan cara hidup masyarakat dengan pengetahuan
deskriptif tentang masyarakat tersebut.
Analisis budaya Nostrand mendasarkan diri pada empat
hal penting yaitu: personality, social
relations, culture pattern, dan ecology dan menekankan diri pada tiga element budaya
masyarakatnya yaitu: nilai-nilai, karakteristik-karakteristik tertentu, dan
pandangan dunia masyarakat.
Dengan analisis ini, budaya-budaya yang
terkandung di dalam karya sastra dapat tergali tuntas karena hal-hal khusus
yang terjadi dan menjadi “trade mark” dalam masyarakat tertentu dapat diketahui
nilai-nilainya. Dalam konteks Indonesia, analisis ini sangatlah tepat mengingat
berbagai kekhasan budaya dan masyarakat Indonesia yang masih mendasarkan diri
pada perasaan, kepercayaan, dan pola pikir yang khusus. Beberapa hal nyata
dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai landas tumpu analisis ini antara
lain: ‘seni hidup’, intektualitas, personalitas, kenyataan hidup, hukum dan
tatanan masyarakat, persahabatan, keluarga, agama, kesetiaan kepada daerah/
lokalitas, dan kecintaan pada nation (
Hughes, 1986: 165 - 167).
Penerapan
analisis ini dalam karya sastra dapat dilakukan dengan memberikan karya sastra
sebagaimana diungkapkan di bagian awal tulisan ini untuk kemudian digali
aspek-aspek penting yang disarankan Nostrand. Teknik yang dipilih bisa beragam dari analisis individu,
kerja berpasangan, membandingkan dengan aspek-aspek yang ada dalam budaya
mereka, atau dengan penilaian objektif/ logis atas hal-hal yang mereka temukan
dalam karya sastra tersebut. Apabila
pembelajar dapat menemukan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kenyataan
tersebut, tercapailah sudah tujuan pembelajaran budaya melalui karya sastra.
6. Penutup
Pembelajaran BIPA yang menekankan diri pada
penggalian budaya masyarakat Indonesia dapat dilakukan dengan mempergunakan karya sastra sebagai bahan
pembelajarannya. Karya sastra menawarkan berbagai kelebihan berupa pengetahuan
bahasa/ struktur gramatikal pada umumnya, penggunaan bahasa-bahasan khusus
dalam penyampaian pesan/makna, pengungkapan unsur-unsur budaya melalui daya imajinasi dan interpretasi,
serta mempertajam daya analisis untuk mendapatkan pengetahuan dan kesadaran
budaya target sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran bahasa.
Daftar Pustaka
Carter, Ronald dan McRae, John.
1996. Language, Literature and the
Learner: Creative Classroom Practice. London: Longman.
Hughes, George H. 1986. “An
Argument for culture analysis in the second language classroom”. dalam Joyce Merrill Valdes. Culture Bound: Bridging the cultural gap in
language teaching. New York: Cambridge University Press.
Lazar, Gillian. 1993. Literature
and Language Teaching. New York : Cambridge University Press.
Littlewood, William T. 1987. “Literature in the School Foreign-Language
Course” dalam Christopher Brumfit dan
Ronald Carter. 1987. Literature and
Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Long, Michael N. 1987. “ A
feeling for Language: The multiple values of teaching literature” dalam Chistoper
Brumfit dan Ronald Carter. 1987. Literature
and Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
Maley, A. 1989. “ Down from the pedestal: literature as resource”.
dalam Carter, R, Walker, R, dan
Brumfit, C.J. (editor). Literature and
the Learner: Methodological
Approaches. London: Modern English Publication.
McKay, Sandra. 1987. “Literature
in the ESL Classroom” dalam Christopher Brumfit dan Ronald Carter. 1987. Literature and Language Teaching.
Oxford: Oxford University Press.
Povey, John. 1972. “Literature in TESL Programs: The Language and the
Culture.” TESOL Quarterly 1 ( June). Reprinted in Harold
B. Allen dan Russel Campbell. Teaching
English as a Second Language:
A Book of Reading, 2nd ed. New York : McGraw-Hill.
Sihui, Mao. 1996. “ ‘Interfacing’ language and literature: with special
reference to the teaching of British
cultural studies”. dalam Ronald Carter dalam John McRae. Language, Literature and the
Learner: Creative Classroom Practice. London: Longman.
Sinclair, Barbara. 1996. “ Learner autonomy and literature teaching”.
dalam Ronald Carter dalam John McRae. Language, Literature and the Learner: Creative Classroom Practice. London:
Longman.
Valdes. Joyce Merrill. 1986. Culture
Bound: Bridging the Cultural Gap in Language Teaching. New York: Cambridge University Press.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as