Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    penggalian ilai budaya melalui karya sastra

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 58
    Lokasi : di belakangmu

    penggalian ilai budaya melalui karya sastra Empty penggalian ilai budaya melalui karya sastra

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 7:56 pm

    Penggalian Nilai-nilai Budaya
    Melalui Karya Sastra





    Dalam
    Pembelajaran BIPA*






    Setya
    Tri Nugraha


    Universitas Sanata
    Dharma







    Abstrak




    Perkembangan pembelajaran BIPA yang semakin pesat dalam
    dua dasa warsa terakhir ini harus diimbangi dengan kreativitas penentuan bahan
    pembelajaran yang menarik dan
    mengintegrasikan unsur budaya, kebahasaan, dan seni sekaligus.





    Sehubungan dengan penentuan
    karya sastra sebagai bahan pembelajaran BIPA, di dalam makalah ini diuraikan
    (1) beberapa alasan pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran, (2)
    faktor-faktor penting dalam pemilihan bahan pembelajaran, dan (3) beberapa
    pendekatan pembelajaran, dan (4) analisis budaya Nostrand’s Emergent Model.





    Beberapa alasan yang
    mendasar dalam pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran adalah: (1) karya sastra dapat berfungsi
    sebagai sarana memperkenalkan unsur-unsur budaya yang tercermin dalam ekspresi
    bahasanya (2) teks sastra menawarkan cakupan yang luas dalam gaya dan ragam bahasa
    (3) karya sastra merupakan akses pada latar belakang bahasa dan budaya (4)
    karya sastra mendorong pemerolehan bahasa dan mengembangkan kemampuan
    interpretasi pembelajar; (5) karya sastra menawarkan berbagai nilai kehidupan
    yang terkespresikan melalui tindakan bahasa.





    Faktor-faktor penting dalam
    pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran meliputi: (1) karya/teks sastra yang dipergunakan sebagai bahan
    pembelajaran, (2) latar belakang budaya dan kecakapan bahasa pembelajar, (3)
    guru/pengajar, (4) tingkatan pembelajaran.





    Adapun analisis budaya dalam
    karya sastra mempergunakan Nostrand’s Emergent Model yang mendasarkan diri pada perasaan,
    kepercayaan dan proses berpikir anggota masyarakat budaya target..





    *****************








    1. Pendahuluan





    Suatu
    program pembelajaran bahasa yang menyeluruh dan terpadu tidak dapat melepaskan
    diri dari pemberian input kebahasaan dan aspek-aspek kebudayaan pada waktu yang
    bersamaan. Hal ini perlu dilakukan agar pembelajar dapat mengaplikasikan
    kecakapan linguistik dan
    keterampilan berbahasa dalam
    suatu konteks budaya sebagaimana dianut oleh suatu masyarakat. Pemberian kedua
    input itu dapat diwujudnyatakan dalam karya sastra yang dijadikan sebagai bahan
    pembelajaran setelah memenuhi berbagai pertimbangan demi terpenuhinya tujuan
    pembelajaran bahasa yang integratif,
    lebih-lebih dalam konteks pembelajaran BIPA baik di Indonesia maupun di
    luar Indonesia.


    Perkembangan
    pembelajaran BIPA semakin pesat dalam dua dasa warsa terakhir ini baik di
    Indonesia maupun juga di luar negeri. Perkembangan ini meliputi perkembangan
    jumlah lembaga kursus dan atau lembaga pendidikan yang mengelola program
    pembelajaran BIPA maupun perkembangan dari aspek kualitas program tersebut.
    Peningkatan kualitas program ini dapat dilihat dengan berkembang pesatnya
    penentuan bahan pembelajaran yang
    menarik dan mengintegrasikan unsur budaya, kebahasaan, dan seni
    sekaligus. Hal ini perlu dilakukan karena bahan pembelajaran merupakan wujud
    penjelmaan sebuah perencanaan pembelajaran bahasa. Sebuah produk untuk
    mengantarkan suatu proses pembelajaran menuju pada tujuannya.


    Seperangkat bahan pembelajaran yang baik menuntut
    adanya keterpaduan keterampilan yang diharapkan dikuasai oleh pembelajar
    setelah mempelajari seperangkat bahan tersebut. Keterpaduan yang hendak dicapai
    berupa pemahaman atas kaidah kebahasaan, keterampilan berbahasa, pemahaman dan penggalian nilai-nilai budaya
    target, dan akan lebih lengkap lagi bila bahan itu mengandung unsur estetis.
    Keterpaduan beberapa aspek di atas dapat terwujud dalam bentuk karya
    sastra.


    Penggunaan
    karya sastra menawarkan keuntungan yang potensial asal saja pembelajaran bahasa
    kedua dan atau bahasa asing mengembangkan pendekatan integratif yang memadukan
    sastra dalam kurikulum sebagaimana dianjurkan oleh Stern yang dikutip oleh
    Kelliny (1989 : 600) berikut ini: The use
    of literature offers potential benefit for teaching and learning a
    foreign/second language.....The benefits can be fully realised through an
    integratif approach to language
    teaching, one which integrates literature into the curriculum.



    Sehubungan
    dengan hal tersebut, dalam makalah ini akan dipaparkan (1) beberapa alasan
    pemakaian karya sastra sebagai bahan pembelajaran BIPA, (2) faktor-faktor
    penting yang harus diperhatikan apabila karya sastra digunakan sebagai bahan
    pembelajaran, dan (3) pendekatan
    pembelajaran BIPA yang menjadikan karya sastra sebagai bahannya, dan (4)
    analisis budaya dalam pembelajaran bahasa bermaterikan karya sastra dengan Nostrand’s Emergent Model.








    2. Alasan
    Pemilihan Karya Sastra sebagai Bahan Pembelajaran BIPA Bermuatan Budaya






    Littlewood
    (1987: 178-183), dalam artikelnya “Literature
    in the School Foreign-Language Course
    memberikan beberapa hal penting
    berkaitan dengan pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran bahasa
    asing. Karya sastra, dalam level yang paling sederhana, tidak berbeda secara
    kualitas dengan bentuk-bentuk linguistik lainnya. Karya sastra merupakan bentuk
    instan dari penggunaan produktif sejumlah struktur linguistik agar tercapainya
    komunikasi berbahasa. Selain itu, karya sastra menawarkan “banyak hal”
    berkaitan dengan proses berbahasa, seperti kutipan ini: Apart from “literary style” which differ more or less acutely
    (according to period, genre, and so on) from the styles of everyday usage,
    literature can draw on all available styles, from the most elevated to the most
    informal, in order to gain its effects or give its representation of life.(hal.
    178).



    Lebih lanjut, Littlewood mengajukan lima perspektif
    berkaitan dengan sastra dan pembelajaran bahasa:


    a
    Pada perspektif paling awal, karya sastra meyediakan pemakaian struktur
    kebahasaan. Hal ini sangat berkaitan dengan peningkatan keterampilan berbahasa
    khususnya membaca pemahaman yang
    disertai dengan berbagai analisis gramatikal dan penjelasannya.


    b
    Pada perspektif kedua, karya sastra menyajikan bentuk stilistik yang
    berbeda dari bentuk bahasa lainnya. Pada tahap ini karya sastra digunakan
    sebagai sarana pembelajaran berbagai bentuk ragam bahasa yang berbeda. Sebagai
    contoh, karya sastra menyediakan ragam formal, informal, ragam percakapan,
    dialog dan ragam naratif dalam teksnya.


    c
    Perspektif ketiga menempatkan karya sastra sebagai objek yang dikaji
    dari segi babakan, situasi yang diciptakan, dan karakter yang diciptakan
    pengarang dalam karya sastra itu sendiri. Dalam perspektif ini, pembelajar
    dihadapkan pada ‘dunia’ kreasi yang diciptakan pengarang. Bertolak dari dunia
    kreasi itu, pembelajar akan diperkaya dengan berbagai bentuk pemahaman atas
    konteks kebahasaan, sekaligus dapat membandingkannya dengan kehidupan dunia
    nyata, termasuk di dalamnya pemakaian bahasanya.


    d
    Perspektif keempat ini dapat ditangkap dan dinikmati oleh pembelajar
    apabila dalam tingkat tertentu pembelajar sudah dapat memahami ketiga
    perspektif sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dalam perspektif ini
    pembelajar dituntun ke pemahaman atas visi dan misi pengarang lewat berbagai
    ekspresi kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra. Dalam tataran ini pula
    diskusi dalam bahasa target dapat diperdalam untuk mengetahui ide-ide dan
    logika bernalar yang dimiliki oleh pembelajar.


    e
    Perspektif kelima menekankan pada pengetahuan di luar kebahasaan yang
    sekiranya dapat membantu pemahaman pembelajar melalui deskripsi latar belakang
    historis dan sosial budaya karya sastra yang digunakan sebagai bahan
    pembelajaran. Pada perspektif ini mahasiswa digiring pada suatu pengenalan dan
    pemahaman budaya yang menjadi latar sosial
    atau tema karya sastra yang dibahas.





    Kelima
    perspektif di atas, menurut saya, menyiratkan suatu proses penahapan dari
    tataran surface linguistik ke bentuk-bentuk stilistik bahasa
    yang kemudian dipertajam dengan pemahaman yang lebih dalam dengan penggalian
    aspek-aspek di ”bawah” unsur gramatikal serta diperkaya dengan berbagai
    pengetahuan di luar bahasa berupa unsur budaya. Dengan tahap-tahap ini,
    pembelajar akan mendapatkan keterpaduan keterampilan berbahasa sekaligus aspek
    kebahasaan dan budaya sekaligus.


    Lazar
    (1993: 15-20) mengajukan beberapa alasan penggunaan karya sastra dalam
    pembelajaran bahasa asing/kedua. Lazar menyatakan bahwa karya sastra merupakan
    materi pembelajaran yang menimbulkan motivasi pembelajar. Hal ini didorong oleh
    karakter karya sastra itu sendiri yang menawarkan tema-tema yang kompleks dan
    segar kepada pembelajar. Sebuah novel atau cerita pendek yang bagus akan
    melibatkan pembelajar dalam tegangan plot yang dirangkai sedemikian rupa
    menarik minat. Motivasi ini dapat ditimbulkan karena adanya unsur seni yang menyertai teks-teks sastra tersebut.
    Motivasi yang dimiliki oleh pembelajar akan semakin mendorong mereka untuk
    bergiat dalam belajar bahasa.


    Lebih
    lanjut, dia menyatakan bahwa karya sastra menyediakan akses ke budaya
    masyarakat yang bahasanya dipelajari oleh pembelajar. Hal ini dapat diperoleh
    dari karya sastra yang bertemakan budaya atau
    yang mengekpos permasalahan budaya dalam cakupan yang luas. Perlu
    diingat bahwa karya sastra sendiri mempunyai tugas menggambarkan kehidupan
    berbudaya masyarakatnya sehingga apabila materi ini digunakan, seakan
    pembelajar membuka sebuah ensiklopedia budaya yang terekspresikan secara
    estetis bermediakan bahasa verbal.


    Selain
    itu, karya sastra mendorong pemerolehan bahasa dan mengembangkan kemampuan
    interpretasi pembelajar. Ini sangat dimungkinkan karena karya sastra
    menghadirkan konteks yang bermakna dan mudah diingat dalam pemrosesan dan
    interpretasi bahasa yang baru dipelajari.
    Berkaitan dengan interpretasi, karya sastra merupakan sumber yang bagus
    untuk mengembangkan kemampuan pembelajar untuk mendalami makna dan membuat
    interpretasi . Proses ini dapat dijalani oleh pembelajar karena teks-teks
    sastra diperkaya dengan lapis-lapis makna dan menuntut pembaca untuk aktif
    terlibat dalam menggali implikasi yang tidak terekspresikan dalam tataran
    gramatikalnya. Ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ketajaman analisis
    dan kepekaan menangkap simbol dan metafor-metafor yang ada dalam teks sastra.


    Menurut saya, Lazar mencoba menggabungkan potensi
    kebahasaan yang terkandung dalam karya sastra dengan potensi makna yang harus
    diinterpretasi pembelajar yang berujung pada tercapainya pemahaman atas
    struktur gramatikal dengan berbagai aspeknya dan tercapainya pemahaman
    nilai-nilai budaya dan kehidupan lewat kepekaan interpretasi yang
    terkespresikan melalui tindakan bahasa sebagai wujud meningkatnya berbagai keterampilan berbahasa.


    Berbeda
    dengan Lazar yang menekankan diri pada aspek bahasa dan makna
    karya sastra, Valdes (1986:
    137-147) membahas secara khusus mengenai budaya dalam karya sastra. Pokok pemikirannya berkaitan dengan alasan
    dipilihnya karya sastra sebagai media
    ekplorasi budaya dibandingkan dengan teks bacaan lain diilhami oleh Povey
    (1968:188) sebagai berikut:


    It is simply
    accepted as a given that literature is to serve as a medium to transmit the culture of the people who speak the
    language in which it is written. Perhaps it would not to amiss, however, to
    include a warning against teaching literature
    solely as a means of presenting cultural slices of live.






    Dari kutipan itu, kita dapat melihat bahwa budaya
    yang melingkupi suatu masyarakat di mana suatu bahasa dituturkan dapat
    dihadirkan melalui karya sastra. Di sini, karya sastra dapat berfungsi sebagai
    media transfer budaya yang menghadirkan sisi-sisi budaya kehidupan. Bertolak
    dari sudut inilah, pembelajar diperkenalkan dengan aspek-aspek budaya yang
    lebih luas yang terkandung dalam karya sastra dan nantinya mereka temukan dalam kehidupan nyata. Paling
    tidak, mereka dapat menemukan berbagai hal yang berkaitan dengan aspek budaya
    tertentu dari berbagai sudut pandang dan mengambil sikap tertentu atas aspek
    tersebut. Hal ini dipertegas dalam kutipan berikut ini:


    An understanding of literature depends upon discernment of the values
    inherent, but not necessarily specifically expressed, in the work. the value of
    any cultural group, even if the author’s own values differ from those of the
    group to which he or she belongs, underlie plots and become the theme in
    virtually all works of literature (Valdes, 1986:138)



    “Penemuan” nilai-nilai budaya tersebut akan
    diharapkan memunculkan respon dari pembelajar; Mengapa aspek budaya ini muncul?
    Apa sisi positif dan negatif budaya itu terhadap masyarakat? Bagaimana
    orang-orang menyikapi aspek tersebut? Bagaimana kami (pembelajar) harus
    menyikapi aspek budaya itu? Bagaimana latar belakang historis aspek budaya
    tersebut? Apabila respon-respon ini (dan tentu saja respon -respon yang lain)
    muncul, proses selanjutnya adalah
    ekpresi dalam berbagi bentuk
    keterampilan berbahasa. Berkaitan dengan munculnya respon budaya dari
    pembelajaran sastra ini, Long dalam
    esainya berjudul “ A feeling for
    Language: The multiple values of teaching literature”
    yang terkumpul dalam
    Brumfit dan Carter (1987:42-59) menyatakan bahwa respon dari pembelajar
    asing merupakan hal penting dalam
    pembelajaran bahasa asing dan atau kedua
    yang bermediakan karya sastra. Respon tersebut dibangun dari proses
    interpretasi atas keluasan cakupan kata yang dipakai dalam karya sastra
    sebagaimana terpapar dalam kutipan ini: The
    teaching of literature is an arid business
    unless there is a respon, and even negative responses can create an
    interesting classroom situation (as then the learner has to say why he or she
    dislike the texts). The teaching of literature to non native speakers should
    seek to develop responses.



    Alasan lain yang mendukung pemakaian karya sastra
    dalam pembelajaran bahasa asing dikemukakan oleh McKay dalam esainya “Literature in the ESL Classroom”. Dalam
    esainya McKay berpendapat bahwa karya sastra dapat menyediakan keluasan pemakaian bahasa ....
    Most present-day literature texts assume that literature can provide a basic
    for extending language usage. Many of these focus on the particular grammatical
    points that are salient in the texts. Furthermore, vocabulary expansion is
    dealt with attention to word forms and common expression.



    Hal ini diilhami oleh pendapat Povey (1972: 187)
    sebagai berikut:“.......literature will
    increase all language skills because literature will extend linguistic
    knowledge by giving evidence of extensive and subtle vocabulary usage, and
    complex and exact syntax”.






    Berhubungan
    dengan aspek budaya McKay menyatakan bahwa
    karya sastra merupakan bentuk yang memungkinkan adanya toleransi yang
    lebih besar dalam perbedaan budaya antara guru dan pembelajar. Selain itu karya
    sastra juga dapat menjembatani berbagai masalah budaya yang dihadapi oleh
    pembelajar dengan merangsang kreativitas pembelajar dalam sikap hidup mereka.


    Jadi, uraian McKay di atas dapat diambil intisari
    bahwa dengan karya sastra diperoleh tiga
    manfaat yaitu (1) mengembangkan pengetahuan linguistik baik dalam usage level atau pun use level, (2) meningkatkan kemampuan
    membaca sebagai implikasi dari penikmatan karya sastra, dan (3) meningkatkan
    pemahaman budaya target.








    3.
    Faktor-faktor penting dalam pemilihan bahan pembelajaran BIPA berupa karya
    sastra






    Setelah di atas diuraikan alasan penggunaan karya sastra
    dalam eksplorasi budaya dan bahasa, pada bagian ini akan diuraikan beberapa
    hal/faktor penting yang harus diperhatikan oleh perencana program pembelajaran
    BIPA, pengajar, dan juga pembelajarnya.


    Karya
    sastra yang dipakai sebagai bahan pembelajaran merupakan aspek penting untuk
    diperhatikan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra itulah yang akan menjadi pusat
    perhatian pembelajaran dalam proses belajar baik dari segi bahasa, isi, dan
    terutama nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya.


    Dari segi bahasa, karya sastra tersebut hendaknya sesuai dengan kecakapan linguistik
    pembelajar sehingga tidak ada kesenjangan yang begitu Lear antara linguistic proficiency pembelajar dengan struktur gramatikal yang
    dipakai dalam karya sastra tersebut.


    Berkaitan dengan hal di atas, McKay menyatakan bahwa
    kunci sukses dalam pembelajaran bahasa asing yang mempergunakan karya sastra
    sebagai bahan pembelajaran terletak pada
    karya sastra yang telah dipilih sedemikian rupa dapat menarik perhatian
    pembelajar.


    Lebih
    lanjut, dengan mengutip pendapat Honeyfield, McKay menyarankan penggunaan karya
    sastra yang tingkat keterbacaannya
    relatif mudah baik dari segi kosa kata, kompleksitas sintaksis,
    panjang-pendeknya kalimat, atau juga kompleksitas pemakaian istilah-istilah
    khususnya. Selain itu, ia menyarankan pemakaian karya sastra yang ditulis oleh
    remaja karena tema-tema yang diangkat relatif “ringan” dan dikemas dalam bahasa
    yang mudah dimengerti, tidak bertele-tele dan relatif pendek (McKay, 1987:
    193-194).


    Lazar
    (1993: 52-54) mengajukan beberapa kriteria karya sastra yang dipergunakan dalam
    pembelajaran bahasa asing. Kriteria pertama adalah kesesuaian karya sastra
    dengan latar belakang budaya pembelajar. Kriteria kedua adalah kesesuaian karya
    sastra dengan kecakapan linguistik pembelajar, dan kriteria ketiga ditekankan
    pada kesesuaian karya sastra dengan latar belakang sastra pembelajar.


    Kesesuaian
    karya sastra dengan latar belakang budaya pembelajar penting karena hal ini
    akan menjadikan dasar atas pemahaman teks sastra yang digunakan dan semakin
    meningkatkan keingintahuan pembelajar atas budaya lain yang terkandung dalam
    karya sastra tersebut. Kecakapan linguistik pembelajar perlu diketahui untuk
    menentukan karya sastra apa yang dipilih dan seberapa sulit/mudah pemakaian
    bahasa di dalamnya. Berkaitan dengan kriteria ini hendaknya diperhatikan
    beberapa hal ini; penggunaan bahasa yang sudah familier bagi pembelajar;
    tingkat kesulitan gramatikal/struktur kalimatnya, dan pemakaian bahasa yang
    sesuai dengan bahasa yang telah dan sedang dipelajari. Kriteria ketiga perlu
    diperhatikan untuk mendapat informasi seberapa tingkat ketertarikan pembelajar
    terhadap sastra. Hal penting dalam kriteria ini adalah perhatian kita pada teks
    sastra tidak boleh hanya terpaku pada gradasi bahasa dalam teks tetapi juga
    kualitas sastra dan kemampuan bersastra pembelajar.


    Faktor
    penting lain yang perlu mendapat
    perhatian adalah pembatasan antara studi sastra dan penggunaan karya sastra
    sebagai sumber pembelajaran bahasa. Studi sastra melibatkan pendekatan teks
    sebagai bentuk estetika dan memerlukan analisis intrinsik yang mendalam.
    Penggunaan sastra sebagai sumber
    pembelajaran bahasa didasarkan pada fakta bahwa kesusastraan adalah bentuk
    nyata penggunaan bahasa dan dapat di eksploitasi untuk tujuan pembelajar bahasa
    seleluasa mungkin. Pembedaan ini penting agar pembelajaran bahasa kepada orang
    asing tidak terjebak pada analisis sastra semata dan menyampingkan analisis
    kebahasaannya ( Maley, 1996: xx).


    Lebih tegas, Sihui menekankan bahwa yang penting
    dalam pembelajaran ini adalah apa yang dilakukan dengan teks sastra tersebut
    daripada bagaimana mengajarkan teks. Hal ini dilatarbelakangi dengan pemikiran
    bahwa teks tersebut memuat banyak aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek
    budaya, yang harus digali. Lebih lanjut, Sihui menegaskan ulang bahwa bahasa adalah hal yang tidak terpisahkan dari
    budaya dan pembelajar dapat mengalaminya lewat pembacaan, penikmatan, dan
    penganalisaan karya sastra. Kutipan di bawah ini memperjelas pernyataan di
    atas:





    Perhaps it is necessary to re-state that language is an inseparable
    part of culture. The value, norms and taboos of a society, and the ideas,
    feelings, and identities (personal, national, political, sexual, or cultural)
    of a particular group of people are constructed and communicated through the
    use of language. For a non-native learner, the most exciting and rewarding way
    of “experiencing” them is through reading, tasting and analysing its literary
    and cultural products, hence interfacing language and literature in our
    classroom. In other words, language learning has to be put back into its
    cultural context (Sihui, 1996: 168)






    Untuk
    semakin cepat terwujudnya tujuan di atas, diperlukan peran guru dalam
    “memanipulasi” bahan pembelajaran. Guru diharapkan dapat memaksimalkan
    penggunaan bahan yang berupa karya sastra untuk perkembangan individual
    pembelajar, penyediaan akses pemerolehan pengalaman baru dan berbeda, dan
    merangsang kepekaan perasaan, keinginan, dan kreativitas mereka (Sinclair,
    1996: 144)


    Sehubungan
    dengan tugas guru tersebut, Valdes menegaskan bahwa tugas guru adalah
    memperjelas nilai-nilai budaya yang tergambar pada tokoh yang dicipta oleh
    pengarang dan pandangan-pandangannya. Ini
    dilakukan agar pembelajar benar-benar memahami budaya dan karya sastra yang berisi tentangnya, ....the task of the classroom teacher,
    then, aside from teaching literature for all the other good reason literature
    should be taught, is to make clear the values.....in order to understand them
    and the literary works that contain them (Valdes, 1986: 139).









    4. Beberapa
    Pendekatan






    Penentuan pendekatan yang dipergunakan
    sebagai dasar pembelajaran BIPA yang berbahankan karya sastra sangat penting
    karena pendekatan ini akan menjiwai penentuan metode dan teknik operasional di
    dalam kelas. Beberapa pendekatan akan diuraikan di bagian berikut ini.





    4.1 Language
    based- approach



    Pendekatan
    ini mendasarkan diri pada analisis bahasa untuk menginterpretasikan dan
    memahami karya sastra. Pendekatan ini akan memadukan aspek-aspek kebahasaan dan
    aspek sastra sekaligus. Melalui penelusuran atas kedua aspek tersebut,
    kesadaran dan pemahaman atas bahasa dan budaya Indonesia akan semakin meningkat. Pembelajar akan terdorong
    untuk menerapkan kemampuan gramatikal,
    leksikal, wacana mereka untuk mengekspresikan apresiasi mereka terhadap karya
    sastra dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya (Lazar, 1993: 23)


    Pendekatan
    berbasiskan bahasa ini dapat dipilih
    bila kita ingin mengembangkan keterampilan
    interpreatasi dan inferensi atas
    bentuk dan makna karya sastra. Untuk mencapai hal ini, diperlukan dua prinsip
    yaitu (1) prinsip aktivitas, dan (2) prinsip proses seperti disarankan oleh
    Carter. Prinsip aktivitas ini menyarankan adanya partisipasi pembelajar dalam
    merekonstruksi karya sastra. Mereka tidak hanya merespon karya sastra yang
    sudah ada, tetapi harus membangun lagi
    konstruksi suatu karya yang tidak utuh. Prinsip proses mendorong pembelajar
    untuk mengantisipasi dan mengerti teks sastra melalui pengalaman langsung
    proses penciptaan makna (Carter, 1996: 2 - 3, xiii - xxiv).





    4.2 Literature as content


    Pendekatan ini menempatkan karya sastra
    sebagai isi kursus bahasa yang berkonsentrasi pada beberapa hal seperti: latar
    belakang sejarah karya sastra, genre, piranti
    retorikalnya, dan karakteristik gerakan kesusastraan yang melahirkannya.
    Karya-karya sastra yang dipakai dalam
    pendekatan ini biasanya karya-karya kanon atau masterpiece sarat dengan
    muatan budaya. Apabila pendekatan ini diimplementasikan, diharapkan pembelajar
    dapat membuat interpretasi yang bermakna
    dari teks sastra itu sendiri dan mengidentifikasi bentuk-bentuk bahasa khusus
    untuk menyampaikan pesan, serta dapat memperluas pengetahuan dan kesadaran
    tentang bahasa dan budaya pada umumnya
    (Lazar, 1993: 31 - 38).








    5. Analisis
    budaya Nostrand’s Emergent Model






    Nostrand’s Emergent Model merupakan
    suatu model analisis budaya yang mendasarkan diri pada perasaan, kepercayaan,
    dan proses berpikir anggota masyarakat budaya target. Prosedur analisis ini
    adalah menggabungkan pengalaman-pengalaman budaya dan cara hidup masyarakat dengan pengetahuan
    deskriptif tentang masyarakat tersebut.


    Analisis budaya Nostrand mendasarkan diri pada empat
    hal penting yaitu: personality, social
    relations, culture pattern,
    dan ecology dan menekankan diri pada tiga element budaya
    masyarakatnya yaitu: nilai-nilai, karakteristik-karakteristik tertentu, dan
    pandangan dunia masyarakat.


    Dengan analisis ini, budaya-budaya yang
    terkandung di dalam karya sastra dapat tergali tuntas karena hal-hal khusus
    yang terjadi dan menjadi “trade mark” dalam masyarakat tertentu dapat diketahui
    nilai-nilainya. Dalam konteks Indonesia, analisis ini sangatlah tepat mengingat
    berbagai kekhasan budaya dan masyarakat Indonesia yang masih mendasarkan diri
    pada perasaan, kepercayaan, dan pola pikir yang khusus. Beberapa hal nyata
    dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai landas tumpu analisis ini antara
    lain: ‘seni hidup’, intektualitas, personalitas, kenyataan hidup, hukum dan
    tatanan masyarakat, persahabatan, keluarga, agama, kesetiaan kepada daerah/
    lokalitas, dan kecintaan pada nation (
    Hughes, 1986: 165 - 167).


    Penerapan
    analisis ini dalam karya sastra dapat dilakukan dengan memberikan karya sastra
    sebagaimana diungkapkan di bagian awal tulisan ini untuk kemudian digali
    aspek-aspek penting yang disarankan Nostrand. Teknik yang dipilih bisa beragam dari analisis individu,
    kerja berpasangan, membandingkan dengan aspek-aspek yang ada dalam budaya
    mereka, atau dengan penilaian objektif/ logis atas hal-hal yang mereka temukan
    dalam karya sastra tersebut. Apabila
    pembelajar dapat menemukan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kenyataan
    tersebut, tercapailah sudah tujuan pembelajaran budaya melalui karya sastra.








    6. Penutup





    Pembelajaran BIPA yang menekankan diri pada
    penggalian budaya masyarakat Indonesia dapat dilakukan dengan mempergunakan karya sastra sebagai bahan
    pembelajarannya. Karya sastra menawarkan berbagai kelebihan berupa pengetahuan
    bahasa/ struktur gramatikal pada umumnya, penggunaan bahasa-bahasan khusus
    dalam penyampaian pesan/makna, pengungkapan unsur-unsur budaya melalui daya imajinasi dan interpretasi,
    serta mempertajam daya analisis untuk mendapatkan pengetahuan dan kesadaran
    budaya target sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pembelajaran bahasa.








    Daftar Pustaka





    Carter, Ronald dan McRae, John.
    1996. Language, Literature and the
    Learner
    : Creative Classroom Practice. London: Longman.





    Hughes, George H. 1986. “An
    Argument for culture analysis in the second language classroom”. dalam Joyce Merrill Valdes. Culture Bound: Bridging the cultural gap in
    language teaching.
    New York: Cambridge University Press.





    Lazar, Gillian. 1993. Literature
    and Language Teaching.
    New York : Cambridge University Press.





    Littlewood, William T. 1987. “Literature in the School Foreign-Language
    Course” dalam Christopher Brumfit dan
    Ronald Carter. 1987. Literature and
    Language Teaching.
    Oxford: Oxford University Press.





    Long, Michael N. 1987. A
    feeling for Language: The multiple values of teaching literaturedalam Chistoper
    Brumfit dan Ronald Carter. 1987. Literature
    and Language Teaching.
    Oxford: Oxford University Press.





    Maley, A. 1989. “ Down from the pedestal: literature as resource”.
    dalam Carter, R, Walker, R, dan
    Brumfit, C.J. (editor). Literature and
    the Learner: Methodological
    Approaches.
    London: Modern English Publication.





    McKay, Sandra. 1987. Literature
    in the ESL Classroom” dalam Christopher Brumfit dan Ronald Carter. 1987. Literature and Language Teaching.
    Oxford: Oxford University Press.





    Povey, John. 1972. “Literature in TESL Programs: The Language and the
    Culture.” TESOL Quarterly 1 ( June). Reprinted in Harold
    B. Allen dan Russel Campbell. Teaching
    English as a Second Language:
    A Book of Reading,
    2nd ed. New York : McGraw-Hill.





    Sihui, Mao. 1996. “ ‘Interfacing’ language and literature: with special
    reference to the teaching of British
    cultural studies”. dalam Ronald Carter dalam John McRae. Language, Literature and the
    Learner: Creative Classroom Practice.
    London: Longman.





    Sinclair, Barbara. 1996. “ Learner autonomy and literature teaching”.
    dalam Ronald Carter dalam John McRae. Language, Literature and the Learner: Creative Classroom Practice. London:
    Longman.





    Valdes. Joyce Merrill. 1986. Culture
    Bound: Bridging the Cultural Gap in Language Teaching.
    New York: Cambridge University Press.












      Waktu sekarang Fri May 10, 2024 12:42 am