Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    teknik menulis essay / kolom

    sumanto
    sumanto
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Libra Jumlah posting : 123
    Join date : 03.07.10
    Age : 59
    Lokasi : di belakangmu

    teknik menulis essay / kolom Empty teknik menulis essay / kolom

    Post by sumanto Wed Jul 07, 2010 3:54 pm

    Kolom: “Esai dengan Gaya”






    Farid Gaban,
    Majalah TEMPO*










    PENGANTAR







    Dalam dunia sastra, esai dimasukkan dalam
    kategori non-fiksi, untuk membedakannya dengan puisi, cerpen, novel dan drama
    yang dikategorikan sebagai fiksi.






    Membuka halaman-halaman koran atau majalah,
    kita akan menemukan banyak esai atau opini. Tulisan-tulisan itu punya
    karakteristik sebagai berikut:



    -
    OPINI:
    mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.



    -
    SUBYEKTIFITAS: memiliki
    lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan jika tulisan itu dimaksudkan sebagai
    analisis maupun pengamatan yang “obyektif”.



    -
    PERSUASIF:
    memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar paparan “apa
    adanya”. Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi sikap dan
    pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang diharapkan penulis.






    Meskipun banyak, sayang sekali,
    tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survai media, rubrik opini
    dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling sedikit pembacanya. Ada
    beberapa alasan:



    -
    SERIUS dan PANJANG:
    orang mengganggap tulisan rubrik opini terlampau serius dan berat. Para penulis
    sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan
    dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon
    bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan
    seperti itu takkan dibaca orang banyak.



    -
    KERING: banyak
    tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak “berjiwa”, karena penulis
    lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat
    dingin: obyektif, berjarak, anti-humor
    dan tanpa bumbu.



    -
    MENGGURUI: banyak
    tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah, berkhotbah), sepertinya
    penulis adalah dewa yang paling tahu.



    -
    SEMPIT: tema
    spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya (mungkin
    seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun pintarnya,
    seringkali para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu banyak
    menggunakan istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas
    untuk menikmatinya.





    KOLOM: “ESSAY WITH STYLE”







    Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah,
    menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir “semua orang”.
    Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika
    perlu), tanpa kehilangan kedalaman—tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan.






    Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreatifitas.
    Dalam era kebebasan seperti sekarang, seorang penulis dituntut memiliki
    kreatifitas lebih tinggi untuk memikat pembaca. Pembaca memiliki demikian
    banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak
    hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi juga dengan
    berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor, menonton
    televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.






    Mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan
    serius, panjang dan melelahkan, tantangan para penulis esai lebih besar lagi.
    Dari situlah kenapa belakangan ini muncul “genre” baru dalam esai, yakni
    “creative non-fiction”, atau non-fiksi yang ditulis secara kreatif.






    Dalam “creative non-fiction”, penulis esai
    mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti
    klimaks, serta ironi) ke dalam non-fiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang
    kering dan berlagak obyektif, “creative non-fiction” juga memungkinkan penulis
    lebih menonjolkan subyektifitas serta keterlibatan terhadap tema yang
    ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subyektifitas lebih banyak, esai seperti
    itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya (“style”) serta personalitas si
    penulis.






    Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di
    koran atau majalah adalah pada keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu
    halaman majalah, atau dua kolom koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap
    (sekali baca tanpa interupsi).





    PENULISAN KOLOM INDONESIA







    “Creative non-fiction” bukan “genre” yang
    sama sekali baru sebenarnya. Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita
    memiliki banyak penulis esai/kolom yang handal, mereka yang sukses
    mengembangkan “style” dan personalitas dalam tulisannya. Tulisan mereka
    dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif,
    populer serta “stylist”.






    Para penulis itu adalah: Mahbub Junaedi,
    Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam
    Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar,
    dan Emha Ainun Nadjib.






    Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga
    disebut beberapa penulis esai/kolom lain yang menonjol pada era itu: Faisal
    Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno (manajemen-bisnis), Sanento
    Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta Jalaluddin Rakhmat (media
    dan agama).






    Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis
    esai-esai yang menarik itu adalah juga sastrawan—penyair dan cerpenis/novelis.
    Dalam “creative non-fiction” batas antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung
    kabur. Bahkan Bondan (ahli manajemen) dan Baraas (seorang dokter) memiliki
    kumpulan cerpen sendiri. Dawam juga sesekali menulis cerpen di koran.






    Namun, pada dasawarsa 1990-an kita kian
    kehilangan penulis seperti itu. Kecuali Goenawan (“Catatan Pinggir”), Bondan
    (“Asal-Usul” di Kompas) dan Kayam (Sketsa di Harian “Kedaulatan Rakyat”), para
    penulis di era 1980-an sudah berhenti
    menulis (Mahbub, Romo Mangun, Sanento dan Brower sudah almarhum).






    Pada era 1990-an ini, kita memang menemukan
    banyak penulis esai baru—namun inilah era yang didominasi oleh penulis pakar
    ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith
    Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-poilik), Imam
    Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh Fatah (politik)
    untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan substansi isinya, banyak
    tulisan mereka umumnya “terlalu serius” dan kering. Eep barangkali adalah salah
    satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali menulis cerpen.






    Sementara itu, kita juga melihat kian jarang
    para sastrawan muda sekarang menulis esai, apalagi esai yang kreatif. Arswendo
    Atmowiloto, Ayu Utami dan Seno Gumiro Adjidarma adalah pengecualian.






    Padahal, sekali lagi, mengingat “reputasi”
    esai sebagai bacaan serius (panjang dan melelahkan), tantangan kreatifitas para
    penulis esai lebih besar lagi.





    TUNTUTAN BAGI SEORANG PENULIS KOLOM







    Kenapa esai astronomi Stephen Hawking (“A
    Brief History of Time”), observasi antropologis Oscar Lewis (“Children of
    Sanchez”) dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun (“Orang-orang di
    Persimpangan Kiri Jalan”) bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa
    tulisan manajemen Bondan Winarno (“Kiat”) dan artikel kedokteran-psikologi
    Faisal Baraas (“Beranda Kita”) bisa dinikmati seperti cerpen?






    Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas
    adalah beberapa penulis “pakar” yang mampu mentrandensikan tema-tema spesifik
    menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik
    penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif
    dalam esai-esai mereka.






    Untuk mencapai ketrampilan penulis semacam
    itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:






    Keingintahuan
    dan Ketekunan:



    Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka
    harus terlebih dulu “memelihara” keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah.
    Mereka melakukan riset, membaca referensidi perpustakaan, mengamati di lapangan
    bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar
    menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal
    di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham
    tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?






    Kesediaan
    untuk berbagi:



    Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan
    sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan
    sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya;
    mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih
    universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak
    percaya bahwa tulisan yang “rumit” dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih
    bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas
    mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.






    Kepekaan
    dan Keterlibatan:



    Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan
    jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan,
    pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?



    Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa
    menulis skripsi yang “sastrawi” jika dia bukan seorang pendaki gunung yang
    akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di
    Gunung Semeru).



    Menulis catatan harian serta membuat sketsa
    dengan gambar tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan
    lingkungan sosial yang beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi,
    terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya.



    Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan
    karena susunan katanya yang indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai
    kemanusiaan.






    Kekayaan
    Bahan (resourcefulness):



    Meski meminati bidang yang spesifik, penulis
    esai yang piawai umumnya bukan penulis yang “berkacamata kuda”. Dia membaca dan
    melihat apasaja. Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada
    pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai filsafat),
    menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar musik (dari dangdut
    sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi dia tak sulit harus
    mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di buku apa, di situs
    internet mana.






    Kemampuan
    Sang Pendongeng (storyteller):



    Cara berkhotbah yang baik adalah tidak
    berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi
    menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog
    seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.





    APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?







    Kebanyakan penulis pemula mengira hanya
    tema-tema sosial-politik yang bisa laku dijual di koran. Mereka juga keliru
    jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang membuat penulis menjadi
    memiliki gengsi.






    Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa
    ditulis dalam bentuk esai yang populer dan diminati pembaca. “Beranda Kita”-nya
    Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema kedokteran dan psikologi bisa disajikan
    untuk khalayak pembaca awam sekalipun.






    Ada banyak penulis yang cenderung bersifat
    generalis, mereka menulis apa saja. Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan
    masyarakat sekarang ini menuntut penulis-penulis spesialis.






    -
    Politik lokal (bersama maraknya
    otonomi daerah)



    -
    Bisnis (industri, manajemen dan
    pemasaran)



    -
    Keuangan (perbankan, asuransi, pajak,
    bursa saham, personal finance)



    -
    Teknologi Informasi (internet,
    komputer, e-commerce)



    -
    Media dan Telekomunikasi


    -
    Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD,
    pentas)



    -
    Kimia dan Fisika Terapan


    -
    Elektronika


    -
    Otomotif


    -
    Perilaku dan gaya hidup


    -
    Keluarga dan parenting


    -
    Psikologi dan kesehatan


    -
    Arsitektur, interior, gardening


    -
    Pertanian dan lingkungan





    Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta
    Anda dan kuasai serta ikuti perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan
    gunakan kacamata kuda.





    TEKNIK PENULISAN KOLOM






    Mencari ide tulisan




    Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun
    kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat
    dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan
    sebenarnya “sudah ada di situ” tanpa kita perlu mencarinya.



    Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita
    kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek
    signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu
    tidak terlampau basi).





    Merumuskan masalah




    Esai yang baik umumnya ringkas (“Less is
    more” kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis
    secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan
    apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.



    Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan.
    Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan
    interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.





    Mengumpulkan Bahan




    Jika kita rajin menulis catatan harian,
    sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada catatan harian itu. Namun
    seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan,
    wawancara, reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.





    Menentukan bentuk penuturan




    Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat
    disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat
    disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan
    anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema
    yang ditulisnya:






    -
    Dialog (Umar Kayam)


    -
    Reflektif (Goenawan Mohamad)


    -
    Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno,
    Ahmad Tohari)



    -
    Humor/Satir (Mahbub Junaedi)




    Menulis




    Tata
    Bahasa dan Ejaan:
    Taati tata bahasa Indonesia yang baku
    dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda
    hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip (jika ragu
    cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan).






    Akurasi
    Fakta:
    tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya,
    bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan
    nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di
    buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun dan
    angka-angka secara benar?






    Jargon
    dan Istilah Teknis:
    hindari sebisa mungkin jargon atau
    istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan
    deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari sebisa
    mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.






    Sunting
    dan Pendekkan:
    seraya menulis atau setelah tulisan
    selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua
    kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek: melakukan
    pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. “Tidak” sering bisa diringkas
    menjadi “tak”, “meskipun” menjadi “meski” dan sebagainya.






    Pakai
    kata kerja aktif:
    kata kerja aktif adalah motor dalam
    kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja
    pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak terhindarkan.






    Tak
    menggurui:
    meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda
    menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap
    menggurui. Jika mungkin hindari kata “seharusnya”, “semestinya” dan sejenisnya.
    Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don’t
    tell it, show it.






    Tampilkan
    anekdot:
    jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan
    anekdot, ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih “basah” dan berjiwa.






    Jangan
    arogan:
    orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu
    bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya
    sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di “luar sana”.






    Uji
    Tulisan Anda:
    minta teman dekat, saudara, istri, pacar
    untuk membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik
    mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa membantu kita
    menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita koreksi sebelum diluncurkan
    ke media.





    “MENJUAL” KOLOM KE MEDIA







    Apa yang umumnya dipertimbangkan oleh
    redaktur esai/opini untuk memuat tulisan Anda?






    Nama
    penulis:
    para redaktur tak mau ambil pusing, mereka
    umumnya akan cepat memilih penulis yang sudah punya namaketimbang penulis baru.
    Jika Anda penulis baru, ini merupakan tantangan terbesar. Tapi, bukankah tak
    pernah ada penulis yang “punya nama” tanpa pernah menjadi penulis pemula?
    Jangan segan mencoba dan mencoba jika tulisan ditolak. Tidak ada pula penulis
    yang langsung berada di puncak; mereka melewati tangga yang panjang dan terjal.
    Anda bisa melakukannya dengan menulis di media mahasiswa, lalu menguji
    keberanian di koran lokal sebelum menulis untuk koran seperti Kompas atau
    majalah Tempo.






    Otoritas:
    redaktur umumnya juga lebih senang menerima tulisan dari
    penulis yang bisa menunjukkan bahwa dia menguasai masalah. Tidak selalu ini
    berarti sang penulis adalah master atau doktor dalam bidang tersebut.






    Style
    dan Personalitas:
    tema tulisan barangkali biasa saja,
    tapi jika Anda menuliskannya dengan gaya “style” yang orisinal dan istimewa serta
    sudut pandang yang unik, kemungkinan besar sang redaktur akan memuatnya.






    Populer:
    koran dan majalah dibaca oleh khalayak yang luas. Tema tulisan harus cukup
    populer bagi pembaca awam, tanpa kehilangan kedalaman. Bahkan seorang doktor
    dalam antropologi adalah pembaca awam dalam fisika. Kuncinya: tidak nampak
    bodoh dibaca oleh orang yang paham bidang itu, tapi tidak terlalu rumit bagi
    yang tidak banyak mendalaminya.





    BAHAN BACAAN LANJUTAN






    Teknik Penulisan




    -
    Argumentasi dan Narasi (Gorys Keraf)


    -
    Yuk, Menulis Cerpen, yuk (Mohammad
    Diponegoro)





    Catatan Harian dan Korespondensi




    -
    Catatan Harian Soe Hok Gie


    -
    Surat-surat Iwan Simatupang


    -
    Catatan Harian Ahmad Wahib




    Kumpulan Esai




    -
    Catatan Pinggir dan Kata, Waktu
    (Goenawan Mohamad)



    -
    Mangan Ora Mangan Kumpul dan Sugih
    tanpa Banda (Umar Kayam)



    -
    Faisal Baraas (Beranda Kita)


    -
    Puntung-Puntung Roro Mendut (YB
    Mangunwijaya)





    Kumpulan Cerpen




    -
    Orang-orang Bloomington (Budidarma)


    -
    Lukisan Perkawinan (Hamsad Rangkuti)


    -
    Odah (Mohamad Diponegoro)


    -
    Leak (Faisal Baraas)


    -
    Tegak Lurus Dengan Langit (Iwan
    Simatupang)



    -
    Bromocorah (Mochtar Lubis)




    SELESAI














    * Farid Gaban (fgaban@yahoo.com)
    kini Redaktur Pelaksana Majalah Tempo. Dua bukunya yang pernah diterbitkan
    Mizan, Bandung: “Dor! Sarajevo”
    (reportase Perang Bosnia) dan “Belajar
    Tidak Bicara”
    (kumpulan esai di Harian Republika).

      Waktu sekarang Mon Nov 25, 2024 1:56 pm