Kolom: “Esai dengan Gaya”
Farid Gaban,
Majalah TEMPO*
PENGANTAR
Dalam dunia sastra, esai dimasukkan dalam
kategori non-fiksi, untuk membedakannya dengan puisi, cerpen, novel dan drama
yang dikategorikan sebagai fiksi.
Membuka halaman-halaman koran atau majalah,
kita akan menemukan banyak esai atau opini. Tulisan-tulisan itu punya
karakteristik sebagai berikut:
-
OPINI:
mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.
-
SUBYEKTIFITAS: memiliki
lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan jika tulisan itu dimaksudkan sebagai
analisis maupun pengamatan yang “obyektif”.
-
PERSUASIF:
memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar paparan “apa
adanya”. Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi sikap dan
pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang diharapkan penulis.
Meskipun banyak, sayang sekali,
tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survai media, rubrik opini
dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling sedikit pembacanya. Ada
beberapa alasan:
-
SERIUS dan PANJANG:
orang mengganggap tulisan rubrik opini terlampau serius dan berat. Para penulis
sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan
dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon
bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan
seperti itu takkan dibaca orang banyak.
-
KERING: banyak
tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak “berjiwa”, karena penulis
lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat
dingin: obyektif, berjarak, anti-humor
dan tanpa bumbu.
-
MENGGURUI: banyak
tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah, berkhotbah), sepertinya
penulis adalah dewa yang paling tahu.
-
SEMPIT: tema
spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya (mungkin
seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun pintarnya,
seringkali para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu banyak
menggunakan istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas
untuk menikmatinya.
KOLOM: “ESSAY WITH STYLE”
Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah,
menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir “semua orang”.
Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika
perlu), tanpa kehilangan kedalaman—tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan.
Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreatifitas.
Dalam era kebebasan seperti sekarang, seorang penulis dituntut memiliki
kreatifitas lebih tinggi untuk memikat pembaca. Pembaca memiliki demikian
banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak
hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi juga dengan
berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor, menonton
televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.
Mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan
serius, panjang dan melelahkan, tantangan para penulis esai lebih besar lagi.
Dari situlah kenapa belakangan ini muncul “genre” baru dalam esai, yakni
“creative non-fiction”, atau non-fiksi yang ditulis secara kreatif.
Dalam “creative non-fiction”, penulis esai
mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti
klimaks, serta ironi) ke dalam non-fiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang
kering dan berlagak obyektif, “creative non-fiction” juga memungkinkan penulis
lebih menonjolkan subyektifitas serta keterlibatan terhadap tema yang
ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subyektifitas lebih banyak, esai seperti
itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya (“style”) serta personalitas si
penulis.
Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di
koran atau majalah adalah pada keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu
halaman majalah, atau dua kolom koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap
(sekali baca tanpa interupsi).
PENULISAN KOLOM INDONESIA
“Creative non-fiction” bukan “genre” yang
sama sekali baru sebenarnya. Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita
memiliki banyak penulis esai/kolom yang handal, mereka yang sukses
mengembangkan “style” dan personalitas dalam tulisannya. Tulisan mereka
dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif,
populer serta “stylist”.
Para penulis itu adalah: Mahbub Junaedi,
Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam
Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar,
dan Emha Ainun Nadjib.
Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga
disebut beberapa penulis esai/kolom lain yang menonjol pada era itu: Faisal
Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno (manajemen-bisnis), Sanento
Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta Jalaluddin Rakhmat (media
dan agama).
Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis
esai-esai yang menarik itu adalah juga sastrawan—penyair dan cerpenis/novelis.
Dalam “creative non-fiction” batas antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung
kabur. Bahkan Bondan (ahli manajemen) dan Baraas (seorang dokter) memiliki
kumpulan cerpen sendiri. Dawam juga sesekali menulis cerpen di koran.
Namun, pada dasawarsa 1990-an kita kian
kehilangan penulis seperti itu. Kecuali Goenawan (“Catatan Pinggir”), Bondan
(“Asal-Usul” di Kompas) dan Kayam (Sketsa di Harian “Kedaulatan Rakyat”), para
penulis di era 1980-an sudah berhenti
menulis (Mahbub, Romo Mangun, Sanento dan Brower sudah almarhum).
Pada era 1990-an ini, kita memang menemukan
banyak penulis esai baru—namun inilah era yang didominasi oleh penulis pakar
ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith
Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-poilik), Imam
Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh Fatah (politik)
untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan substansi isinya, banyak
tulisan mereka umumnya “terlalu serius” dan kering. Eep barangkali adalah salah
satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali menulis cerpen.
Sementara itu, kita juga melihat kian jarang
para sastrawan muda sekarang menulis esai, apalagi esai yang kreatif. Arswendo
Atmowiloto, Ayu Utami dan Seno Gumiro Adjidarma adalah pengecualian.
Padahal, sekali lagi, mengingat “reputasi”
esai sebagai bacaan serius (panjang dan melelahkan), tantangan kreatifitas para
penulis esai lebih besar lagi.
TUNTUTAN BAGI SEORANG PENULIS KOLOM
Kenapa esai astronomi Stephen Hawking (“A
Brief History of Time”), observasi antropologis Oscar Lewis (“Children of
Sanchez”) dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun (“Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan”) bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa
tulisan manajemen Bondan Winarno (“Kiat”) dan artikel kedokteran-psikologi
Faisal Baraas (“Beranda Kita”) bisa dinikmati seperti cerpen?
Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas
adalah beberapa penulis “pakar” yang mampu mentrandensikan tema-tema spesifik
menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik
penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif
dalam esai-esai mereka.
Untuk mencapai ketrampilan penulis semacam
itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:
Keingintahuan
dan Ketekunan:
Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka
harus terlebih dulu “memelihara” keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah.
Mereka melakukan riset, membaca referensidi perpustakaan, mengamati di lapangan
bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar
menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal
di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham
tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?
Kesediaan
untuk berbagi:
Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan
sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan
sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya;
mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih
universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak
percaya bahwa tulisan yang “rumit” dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih
bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas
mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.
Kepekaan
dan Keterlibatan:
Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan
jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan,
pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?
Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa
menulis skripsi yang “sastrawi” jika dia bukan seorang pendaki gunung yang
akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di
Gunung Semeru).
Menulis catatan harian serta membuat sketsa
dengan gambar tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan
lingkungan sosial yang beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi,
terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya.
Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan
karena susunan katanya yang indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai
kemanusiaan.
Kekayaan
Bahan (resourcefulness):
Meski meminati bidang yang spesifik, penulis
esai yang piawai umumnya bukan penulis yang “berkacamata kuda”. Dia membaca dan
melihat apasaja. Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada
pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai filsafat),
menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar musik (dari dangdut
sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi dia tak sulit harus
mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di buku apa, di situs
internet mana.
Kemampuan
Sang Pendongeng (storyteller):
Cara berkhotbah yang baik adalah tidak
berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi
menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog
seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.
APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?
Kebanyakan penulis pemula mengira hanya
tema-tema sosial-politik yang bisa laku dijual di koran. Mereka juga keliru
jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang membuat penulis menjadi
memiliki gengsi.
Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa
ditulis dalam bentuk esai yang populer dan diminati pembaca. “Beranda Kita”-nya
Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema kedokteran dan psikologi bisa disajikan
untuk khalayak pembaca awam sekalipun.
Ada banyak penulis yang cenderung bersifat
generalis, mereka menulis apa saja. Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan
masyarakat sekarang ini menuntut penulis-penulis spesialis.
-
Politik lokal (bersama maraknya
otonomi daerah)
-
Bisnis (industri, manajemen dan
pemasaran)
-
Keuangan (perbankan, asuransi, pajak,
bursa saham, personal finance)
-
Teknologi Informasi (internet,
komputer, e-commerce)
-
Media dan Telekomunikasi
-
Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD,
pentas)
-
Kimia dan Fisika Terapan
-
Elektronika
-
Otomotif
-
Perilaku dan gaya hidup
-
Keluarga dan parenting
-
Psikologi dan kesehatan
-
Arsitektur, interior, gardening
-
Pertanian dan lingkungan
Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta
Anda dan kuasai serta ikuti perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan
gunakan kacamata kuda.
TEKNIK PENULISAN KOLOM
Mencari ide tulisan
Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun
kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat
dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan
sebenarnya “sudah ada di situ” tanpa kita perlu mencarinya.
Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita
kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek
signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu
tidak terlampau basi).
Merumuskan masalah
Esai yang baik umumnya ringkas (“Less is
more” kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis
secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan
apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.
Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan.
Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan
interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.
Mengumpulkan Bahan
Jika kita rajin menulis catatan harian,
sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada catatan harian itu. Namun
seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan,
wawancara, reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.
Menentukan bentuk penuturan
Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat
disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat
disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan
anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema
yang ditulisnya:
-
Dialog (Umar Kayam)
-
Reflektif (Goenawan Mohamad)
-
Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno,
Ahmad Tohari)
-
Humor/Satir (Mahbub Junaedi)
Menulis
Tata
Bahasa dan Ejaan: Taati tata bahasa Indonesia yang baku
dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda
hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip (jika ragu
cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan).
Akurasi
Fakta: tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya,
bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan
nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di
buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun dan
angka-angka secara benar?
Jargon
dan Istilah Teknis: hindari sebisa mungkin jargon atau
istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan
deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari sebisa
mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.
Sunting
dan Pendekkan: seraya menulis atau setelah tulisan
selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua
kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek: melakukan
pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. “Tidak” sering bisa diringkas
menjadi “tak”, “meskipun” menjadi “meski” dan sebagainya.
Pakai
kata kerja aktif: kata kerja aktif adalah motor dalam
kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja
pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak terhindarkan.
Tak
menggurui: meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda
menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap
menggurui. Jika mungkin hindari kata “seharusnya”, “semestinya” dan sejenisnya.
Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don’t
tell it, show it.
Tampilkan
anekdot: jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan
anekdot, ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih “basah” dan berjiwa.
Jangan
arogan: orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu
bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya
sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di “luar sana”.
Uji
Tulisan Anda: minta teman dekat, saudara, istri, pacar
untuk membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik
mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa membantu kita
menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita koreksi sebelum diluncurkan
ke media.
“MENJUAL” KOLOM KE MEDIA
Apa yang umumnya dipertimbangkan oleh
redaktur esai/opini untuk memuat tulisan Anda?
Nama
penulis: para redaktur tak mau ambil pusing, mereka
umumnya akan cepat memilih penulis yang sudah punya namaketimbang penulis baru.
Jika Anda penulis baru, ini merupakan tantangan terbesar. Tapi, bukankah tak
pernah ada penulis yang “punya nama” tanpa pernah menjadi penulis pemula?
Jangan segan mencoba dan mencoba jika tulisan ditolak. Tidak ada pula penulis
yang langsung berada di puncak; mereka melewati tangga yang panjang dan terjal.
Anda bisa melakukannya dengan menulis di media mahasiswa, lalu menguji
keberanian di koran lokal sebelum menulis untuk koran seperti Kompas atau
majalah Tempo.
Otoritas:
redaktur umumnya juga lebih senang menerima tulisan dari
penulis yang bisa menunjukkan bahwa dia menguasai masalah. Tidak selalu ini
berarti sang penulis adalah master atau doktor dalam bidang tersebut.
Style
dan Personalitas: tema tulisan barangkali biasa saja,
tapi jika Anda menuliskannya dengan gaya “style” yang orisinal dan istimewa serta
sudut pandang yang unik, kemungkinan besar sang redaktur akan memuatnya.
Populer:
koran dan majalah dibaca oleh khalayak yang luas. Tema tulisan harus cukup
populer bagi pembaca awam, tanpa kehilangan kedalaman. Bahkan seorang doktor
dalam antropologi adalah pembaca awam dalam fisika. Kuncinya: tidak nampak
bodoh dibaca oleh orang yang paham bidang itu, tapi tidak terlalu rumit bagi
yang tidak banyak mendalaminya.
BAHAN BACAAN LANJUTAN
Teknik Penulisan
-
Argumentasi dan Narasi (Gorys Keraf)
-
Yuk, Menulis Cerpen, yuk (Mohammad
Diponegoro)
Catatan Harian dan Korespondensi
-
Catatan Harian Soe Hok Gie
-
Surat-surat Iwan Simatupang
-
Catatan Harian Ahmad Wahib
Kumpulan Esai
-
Catatan Pinggir dan Kata, Waktu
(Goenawan Mohamad)
-
Mangan Ora Mangan Kumpul dan Sugih
tanpa Banda (Umar Kayam)
-
Faisal Baraas (Beranda Kita)
-
Puntung-Puntung Roro Mendut (YB
Mangunwijaya)
Kumpulan Cerpen
-
Orang-orang Bloomington (Budidarma)
-
Lukisan Perkawinan (Hamsad Rangkuti)
-
Odah (Mohamad Diponegoro)
-
Leak (Faisal Baraas)
-
Tegak Lurus Dengan Langit (Iwan
Simatupang)
-
Bromocorah (Mochtar Lubis)
SELESAI
* Farid Gaban (fgaban@yahoo.com)
kini Redaktur Pelaksana Majalah Tempo. Dua bukunya yang pernah diterbitkan
Mizan, Bandung: “Dor! Sarajevo”
(reportase Perang Bosnia) dan “Belajar
Tidak Bicara” (kumpulan esai di Harian Republika).
Farid Gaban,
Majalah TEMPO*
PENGANTAR
Dalam dunia sastra, esai dimasukkan dalam
kategori non-fiksi, untuk membedakannya dengan puisi, cerpen, novel dan drama
yang dikategorikan sebagai fiksi.
Membuka halaman-halaman koran atau majalah,
kita akan menemukan banyak esai atau opini. Tulisan-tulisan itu punya
karakteristik sebagai berikut:
-
OPINI:
mewakili opini si penulis tentang sesuatu hal atau peristiwa.
-
SUBYEKTIFITAS: memiliki
lebih banyak unsur subyektifitas, bahkan jika tulisan itu dimaksudkan sebagai
analisis maupun pengamatan yang “obyektif”.
-
PERSUASIF:
memiliki lebih banyak unsur imbauan si penulis ketimbang sekadar paparan “apa
adanya”. Dia dimaksudkan untuk mempengaruhi pembaca agar mengadopsi sikap dan
pemikiran penulis, atau bahkan bertindak sesuai yang diharapkan penulis.
Meskipun banyak, sayang sekali,
tulisan-tulisan itu jarang dibaca. Dalam berbagai survai media, rubrik opini
dan editorial (OP-ED) umumnya adalah rubrik yang paling sedikit pembacanya. Ada
beberapa alasan:
-
SERIUS dan PANJANG:
orang mengganggap tulisan rubrik opini terlampau serius dan berat. Para penulis
sendiri juga sering terjebak pada pandangan keliru bahwa makin sulit tulisan
dibaca (makin teknis, makin panjang dan makin banyak jargon, khususnya jargon
bahasa Inggris) makin tinggi nilainya, bahkan makin bergengsi. Keliru! Tulisan
seperti itu takkan dibaca orang banyak.
-
KERING: banyak
tulisan dalam rubrik opini cenderung kering, tidak “berjiwa”, karena penulis
lagi-lagi punya pandangan keliru bahwa tulisan analisis haruslah bersifat
dingin: obyektif, berjarak, anti-humor
dan tanpa bumbu.
-
MENGGURUI: banyak
tulisan opini terlalu menggurui (berpidato, berceramah, berkhotbah), sepertinya
penulis adalah dewa yang paling tahu.
-
SEMPIT: tema
spesifik umumnya ditulis oleh penulis yang ahli dalam bidangnya (mungkin
seorang doktor dalam bidang yang bersangkutan). Tapi, seberapa pun pintarnya,
seringkali para penulis ahli ini terlalu asik dengan bidangnya, terlalu banyak
menggunakan istilah teknis, sehingga tidak mampu menarik pembaca lebih luas
untuk menikmatinya.
KOLOM: “ESSAY WITH STYLE”
Berbeda dengan menulis untuk jurnal ilmiah,
menulis untuk koran atau majalah adalah menulis untuk hampir “semua orang”.
Tulisan harus lebih renyah, mudah dikunyah, ringkas, dan menghibur (jika
perlu), tanpa kehilangan kedalaman—tanpa terjatuh menjadi tulisan murahan.
Bagaimana itu bisa dilakukan? Kreatifitas.
Dalam era kebebasan seperti sekarang, seorang penulis dituntut memiliki
kreatifitas lebih tinggi untuk memikat pembaca. Pembaca memiliki demikian
banyak pilihan bacaan. Lebih dari itu, sebuah tulisan di koran dan majalah tak
hanya bersaing dengan tulisan lain di koran/majalah lain, tapi juga dengan
berbagai kesibukan yang menyita waktu pembaca: pekerjaan di kantor, menonton
televisi, mendengar musik di radio, mengasuh anak dan sebagainya.
Mengingat “reputasi” esai sebagai bacaan
serius, panjang dan melelahkan, tantangan para penulis esai lebih besar lagi.
Dari situlah kenapa belakangan ini muncul “genre” baru dalam esai, yakni
“creative non-fiction”, atau non-fiksi yang ditulis secara kreatif.
Dalam “creative non-fiction”, penulis esai
mengadopsi teknik penulisan fiksi (dialog, narasi, anekdot, klimaks dan anti
klimaks, serta ironi) ke dalam non-fiksi. Berbeda dengan penulisan esai yang
kering dan berlagak obyektif, “creative non-fiction” juga memungkinkan penulis
lebih menonjolkan subyektifitas serta keterlibatan terhadap tema yang
ditulisnya. Karena memberi kemungkinan subyektifitas lebih banyak, esai seperti
itu juga umumnya menawarkan kekhasan gaya (“style”) serta personalitas si
penulis.
Di samping kreatif, kekuatan tulisan esai di
koran atau majalah adalah pada keringkasannya. Tulisan itu umumnya pendek (satu
halaman majalah, atau dua kolom koran), sehingga bisa ditelan sekali lahap
(sekali baca tanpa interupsi).
PENULISAN KOLOM INDONESIA
“Creative non-fiction” bukan “genre” yang
sama sekali baru sebenarnya. Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita
memiliki banyak penulis esai/kolom yang handal, mereka yang sukses
mengembangkan “style” dan personalitas dalam tulisannya. Tulisan mereka
dikangeni karena memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif,
populer serta “stylist”.
Para penulis itu adalah: Mahbub Junaedi,
Goenawan Mohamad, Umar Kayam, YB Mangunwijaya, MAW Brower, Syubah Asa, Dawam
Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Arief Budiman, Mochtar Pabottingi, Rosihan Anwar,
dan Emha Ainun Nadjib.
Untuk menunjukkan keluasan tema, perlu juga
disebut beberapa penulis esai/kolom lain yang menonjol pada era itu: Faisal
Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno (manajemen-bisnis), Sanento
Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta Jalaluddin Rakhmat (media
dan agama).
Bukan kebetulan jika sebagian besar penulis
esai-esai yang menarik itu adalah juga sastrawan—penyair dan cerpenis/novelis.
Dalam “creative non-fiction” batas antara fiksi dan non-fiksi memang cenderung
kabur. Bahkan Bondan (ahli manajemen) dan Baraas (seorang dokter) memiliki
kumpulan cerpen sendiri. Dawam juga sesekali menulis cerpen di koran.
Namun, pada dasawarsa 1990-an kita kian
kehilangan penulis seperti itu. Kecuali Goenawan (“Catatan Pinggir”), Bondan
(“Asal-Usul” di Kompas) dan Kayam (Sketsa di Harian “Kedaulatan Rakyat”), para
penulis di era 1980-an sudah berhenti
menulis (Mahbub, Romo Mangun, Sanento dan Brower sudah almarhum).
Pada era 1990-an ini, kita memang menemukan
banyak penulis esai baru—namun inilah era yang didominasi oleh penulis pakar
ketimbang sastrawan. Faisal dan Chatib Basri (ekonomi), Reza Sihbudi, Smith
Alhadar (luar negeri, dunia Islam), Wimar Witoelar (bisnis-poilik), Imam
Prasodjo, Rizal dan Andi Malarangeng, Denny JA, Eep Saefulloh Fatah (politik)
untuk menyebut beberapa. Namun, tanpa mengecilkan substansi isinya, banyak
tulisan mereka umumnya “terlalu serius” dan kering. Eep barangkali adalah salah
satu pengecualian; tak lain karena dia juga sesekali menulis cerpen.
Sementara itu, kita juga melihat kian jarang
para sastrawan muda sekarang menulis esai, apalagi esai yang kreatif. Arswendo
Atmowiloto, Ayu Utami dan Seno Gumiro Adjidarma adalah pengecualian.
Padahal, sekali lagi, mengingat “reputasi”
esai sebagai bacaan serius (panjang dan melelahkan), tantangan kreatifitas para
penulis esai lebih besar lagi.
TUNTUTAN BAGI SEORANG PENULIS KOLOM
Kenapa esai astronomi Stephen Hawking (“A
Brief History of Time”), observasi antropologis Oscar Lewis (“Children of
Sanchez”) dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun (“Orang-orang di
Persimpangan Kiri Jalan”) bisa kita nikmati seperti sebuah novel? Kenapa
tulisan manajemen Bondan Winarno (“Kiat”) dan artikel kedokteran-psikologi
Faisal Baraas (“Beranda Kita”) bisa dinikmati seperti cerpen?
Hawking, Lewis, Hok Gie, Bondan dan Baraas
adalah beberapa penulis “pakar” yang mampu mentrandensikan tema-tema spesifik
menjadi bahan bacaan bagi khalayak yang lebih luas. Tak hanya mengadopsi teknik
penulisan populer, mereka juga menerapkan teknik penulisan fiksi secara kreatif
dalam esai-esai mereka.
Untuk mencapai ketrampilan penulis semacam
itu diperlukan sejumlah prasyarat dan sikap mental tertentu:
Keingintahuan
dan Ketekunan:
Sebelum memikat keingintahuan pembaca, mereka
harus terlebih dulu “memelihara” keingintahuannya sendiri akan sesuatu masalah.
Mereka melakukan riset, membaca referensidi perpustakaan, mengamati di lapangan
bahkan jika perlu melakukan eksperimen di laboratorium untuk bisa benar-benar
menguasai tema yang akan mereka tulis. Mereka tak puas hanya mengetahui hal-hal
di permukaan, mereka tekun menggali. Sebab, jika mereka tidak benar-benar paham
tentang tema yang ditulis, bagaimana mereka bisa membaginya kepada pembaca?
Kesediaan
untuk berbagi:
Mereka tak puas hanya menulis untuk kalangan
sendiri yang terbatas atau hanya untuk pembaca tertentu saja. Mereka akan
sesedikit mungkin memakai istilah teknis atau jargon yang khas pada bidangnya;
mereka menggantikannnya dengan anekdot, narasi, metafora yang bersifat lebih
universal sehingga tulisannya bisa dinikmati khalayak lebih luas. Mereka tidak
percaya bahwa tulisan yang “rumit” dan sulit dibaca adalah tulisan yang lebih
bergengsi. Mereka cenderung memanfaatkan struktur tulisan sederhana, seringkas
mungkin, untuk memudahkan pembaca menelan tulisan.
Kepekaan
dan Keterlibatan:
Bagaimana bisa menulis masalah kemiskinan
jika Anda tak pernah bergaul lebih intens dengan kehidupan gelandangan,
pengamen jalanan, nelayan dan penjual sayur di pasar?
Seorang Soe Hok Gie mungkin takkan bisa
menulis skripsi yang “sastrawi” jika dia bukan seorang pendaki gunung yang
akrab dengan alam dan suka merenungkan berbagai kejadian (dia meninggal di
Gunung Semeru).
Menulis catatan harian serta membuat sketsa
dengan gambar tangan maupun tulisan seraya kita bergaul dengan alam dan
lingkungan sosial yang beragam mengasah kepekaan kita. Kepekaan terhadap ironi,
terhadap tragedi, humor dan berbagai aspek kemanusiaan pada umumnya.
Sastra (novel dan cerpen) kita baca bukan
karena susunan katanya yang indah melainkan karena dia mengusung nilai-nilai
kemanusiaan.
Kekayaan
Bahan (resourcefulness):
Meski meminati bidang yang spesifik, penulis
esai yang piawai umumnya bukan penulis yang “berkacamata kuda”. Dia membaca dan
melihat apasaja. Hanya dengan itu dia bisa membawa tema tulisannya kepada
pembaca yang lebih luas. Dia membaca apa saja (dari komik sampai filsafat),
menonton film (dari India sampai Hollywood), mendengar musik (dari dangdut
sampai klasik). Dia bukan orang yang tahu semua hal, tapi dia tak sulit harus
mencari bahan yang diperlukannya: di perpustakaan mana, di buku apa, di situs
internet mana.
Kemampuan
Sang Pendongeng (storyteller):
Cara berkhotbah yang baik adalah tidak
berkhotbah. Persuasi yang berhasil umumnya disampaikan tanpa pretensi
menggurui. Pesan disampaikan melalui anekdot, alegori, metafora, narasi, dialog
seperti layaknya dalam pertunjukan wayang kulit.
APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN TEMA ESAI?
Kebanyakan penulis pemula mengira hanya
tema-tema sosial-politik yang bisa laku dijual di koran. Mereka juga keliru
jika menganggap tema-tema seperti itu saja yang membuat penulis menjadi
memiliki gengsi.
Semua hal, semua aspek kehidupan, bisa
ditulis dalam bentuk esai yang populer dan diminati pembaca. “Beranda Kita”-nya
Faisal Baraas menunjukkan bahwa tema kedokteran dan psikologi bisa disajikan
untuk khalayak pembaca awam sekalipun.
Ada banyak penulis yang cenderung bersifat
generalis, mereka menulis apa saja. Namun, segmentasi dalam media dan kehidupan
masyarakat sekarang ini menuntut penulis-penulis spesialis.
-
Politik lokal (bersama maraknya
otonomi daerah)
-
Bisnis (industri, manajemen dan
pemasaran)
-
Keuangan (perbankan, asuransi, pajak,
bursa saham, personal finance)
-
Teknologi Informasi (internet,
komputer, e-commerce)
-
Media dan Telekomunikasi
-
Seni-Budaya (film, TV, musik, VCD,
pentas)
-
Kimia dan Fisika Terapan
-
Elektronika
-
Otomotif
-
Perilaku dan gaya hidup
-
Keluarga dan parenting
-
Psikologi dan kesehatan
-
Arsitektur, interior, gardening
-
Pertanian dan lingkungan
Pilihlah tema apa saja yang menjadi minta
Anda dan kuasai serta ikuti perkembangannya dengan baik. Fokus, tapi jangan
gunakan kacamata kuda.
TEKNIK PENULISAN KOLOM
Mencari ide tulisan
Ada banyak sekali tema di sekitar kita. Namun
kita hanya bisa menemukannya jika memiliki kepekaan. Jika kita banyak melihat
dan mengamati lingkungan, lalu menuliskannya dalam catatan harian, ide tulisan
sebenarnya “sudah ada di situ” tanpa kita perlu mencarinya.
Tema itu bahkan terlalu banyak sehingga kita
kesulitan memilihnya. Untuk mempersempti pilihan, pertimbangkan aspek
signifikansi (apa pentingnya buat pembaca) dan aktualitas (apakah tema itu
tidak terlampau basi).
Merumuskan masalah
Esai yang baik umumnya ringkas (“Less is
more” kata Ernest Hemingway) dan fokus. Untuk bisa menjamin esai itu ditulis
secara sederhana, ringkas tapi padat, pertama-tama kita harus bisa merumuskan
apa yang akan kita tulis dalam sebuah kalimat pendek.
Rumusan itu akan merupakan fondasi tulisan.
Tulisan yang baik adalah bangunan arsitektur yang kokoh fondasinya, bukan
interior yang indah (kata-kata yang mendayu-dayu) tapi keropos dasarnya.
Mengumpulkan Bahan
Jika kita rajin menulis catatan harian,
sebagian bahan sebenarnya bisa bersumber pada catatan harian itu. Namun
seringkali, ini harus diperkaya lagi dengan bahan-bahan lain: pengamatan,
wawancara, reportase, riset kepustakaan dan sebagainya.
Menentukan bentuk penuturan
Beberapa tema tulisan bisa lebih kuat
disajikan dalam bentuk dialog. Tapi, tema yang lain mungkin lebih tepat
disajikan dengan lebih banyak narasi serta deskripsi yang diperkaya dengan
anekdot. Beberapa penulis memilih bentuk penuturan yang ajeg untuk setiap tema
yang ditulisnya:
-
Dialog (Umar Kayam)
-
Reflektif (Goenawan Mohamad)
-
Narasi (Faisal Baraas, Bondan Winarno,
Ahmad Tohari)
-
Humor/Satir (Mahbub Junaedi)
Menulis
Tata
Bahasa dan Ejaan: Taati tata bahasa Indonesia yang baku
dan benar. Apakah ejaan katanya benar, di mana meletakkan titik, koma dan tanda
hubung? Apakah koma ditulis sebelum atau sesudah penutup tanda kutip (jika ragu
cek kebuku rujukan Ejaan Yang Disempurnakan).
Akurasi
Fakta: tulisan nonfiksi, betapapun kreatifnya,
bersandar pada fakta. Apakah peristiwanya benar-benar terjadi? Apakah ejaan
nama kita tulisa secara benar? Apakah rujukan yang kita tulis sama dengan di
buku atau kutipan aslinya? Apakah kita menyebutkan nama kota, tahun dan
angka-angka secara benar?
Jargon
dan Istilah Teknis: hindari sebisa mungkin jargon atau
istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan tertentu. Kreatiflah menggunakan
deskripsi atau anekdot atau metafora untuk menggantikannya. Hindari sebisa
mungkin bahasa Inggris atau bahasa daerah.
Sunting
dan Pendekkan: seraya menulis atau setelah tulisan
selesai, baca kembali. Potong kalimat yang terlalu panjang; atau jadikan dua
kalimat. Hilangkan repetisi. Pilih frase kata yang lebih pendek: melakukan
pembunuhan bisa diringkas menjadi membunuh. “Tidak” sering bisa diringkas
menjadi “tak”, “meskipun” menjadi “meski” dan sebagainya.
Pakai
kata kerja aktif: kata kerja aktif adalah motor dalam
kalimat, dia mendorong pembaca menuju akhir, mempercepat bacaan. Kata kerja
pasif menghambat proses membaca. Pakai kalimat pasif hanya jika tak terhindarkan.
Tak
menggurui: meski Anda perlu menunjukkan bahwa Anda
menguasai persoalan (otoritatif dalam bidang yang ditulis) hindari bersikap
menggurui. Jika mungkin hindari kata “seharusnya”, “semestinya” dan sejenisnya.
Gunakan kreatifitas dan ketrampilan mendongeng seraya menyampaikan pesan. Don’t
tell it, show it.
Tampilkan
anekdot: jika mungkin perkaya tulisan Anda dengan
anekdot, ironi dan tragedi yang membuat tulisan Anda lebih “basah” dan berjiwa.
Jangan
arogan: orang yang tak setuju dengan Anda belum tentu
bodoh. Hormati keragaman pendapat. Opini Anda, bahkan jika Anda meyakininya
sepenuh hati, hanya satu saja kebenaran. Ada banyak kebenaran di “luar sana”.
Uji
Tulisan Anda: minta teman dekat, saudara, istri, pacar
untuk membaca tulisan yang sudah usai. Dengarkan komentar mereka atau kritik
mereka yang paling tajam sekalipun. Mereka juga seringkali bisa membantu kita
menemukan kalimat atau fakta bodoh yang perlu kita koreksi sebelum diluncurkan
ke media.
“MENJUAL” KOLOM KE MEDIA
Apa yang umumnya dipertimbangkan oleh
redaktur esai/opini untuk memuat tulisan Anda?
Nama
penulis: para redaktur tak mau ambil pusing, mereka
umumnya akan cepat memilih penulis yang sudah punya namaketimbang penulis baru.
Jika Anda penulis baru, ini merupakan tantangan terbesar. Tapi, bukankah tak
pernah ada penulis yang “punya nama” tanpa pernah menjadi penulis pemula?
Jangan segan mencoba dan mencoba jika tulisan ditolak. Tidak ada pula penulis
yang langsung berada di puncak; mereka melewati tangga yang panjang dan terjal.
Anda bisa melakukannya dengan menulis di media mahasiswa, lalu menguji
keberanian di koran lokal sebelum menulis untuk koran seperti Kompas atau
majalah Tempo.
Otoritas:
redaktur umumnya juga lebih senang menerima tulisan dari
penulis yang bisa menunjukkan bahwa dia menguasai masalah. Tidak selalu ini
berarti sang penulis adalah master atau doktor dalam bidang tersebut.
Style
dan Personalitas: tema tulisan barangkali biasa saja,
tapi jika Anda menuliskannya dengan gaya “style” yang orisinal dan istimewa serta
sudut pandang yang unik, kemungkinan besar sang redaktur akan memuatnya.
Populer:
koran dan majalah dibaca oleh khalayak yang luas. Tema tulisan harus cukup
populer bagi pembaca awam, tanpa kehilangan kedalaman. Bahkan seorang doktor
dalam antropologi adalah pembaca awam dalam fisika. Kuncinya: tidak nampak
bodoh dibaca oleh orang yang paham bidang itu, tapi tidak terlalu rumit bagi
yang tidak banyak mendalaminya.
BAHAN BACAAN LANJUTAN
Teknik Penulisan
-
Argumentasi dan Narasi (Gorys Keraf)
-
Yuk, Menulis Cerpen, yuk (Mohammad
Diponegoro)
Catatan Harian dan Korespondensi
-
Catatan Harian Soe Hok Gie
-
Surat-surat Iwan Simatupang
-
Catatan Harian Ahmad Wahib
Kumpulan Esai
-
Catatan Pinggir dan Kata, Waktu
(Goenawan Mohamad)
-
Mangan Ora Mangan Kumpul dan Sugih
tanpa Banda (Umar Kayam)
-
Faisal Baraas (Beranda Kita)
-
Puntung-Puntung Roro Mendut (YB
Mangunwijaya)
Kumpulan Cerpen
-
Orang-orang Bloomington (Budidarma)
-
Lukisan Perkawinan (Hamsad Rangkuti)
-
Odah (Mohamad Diponegoro)
-
Leak (Faisal Baraas)
-
Tegak Lurus Dengan Langit (Iwan
Simatupang)
-
Bromocorah (Mochtar Lubis)
SELESAI
* Farid Gaban (fgaban@yahoo.com)
kini Redaktur Pelaksana Majalah Tempo. Dua bukunya yang pernah diterbitkan
Mizan, Bandung: “Dor! Sarajevo”
(reportase Perang Bosnia) dan “Belajar
Tidak Bicara” (kumpulan esai di Harian Republika).
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as