Sekedar Pengantar
Oleh: Nurdin Kalim
Saya
akan memulai dengan penggal cerita seorang wartawan kawakan. Alkisah, suatu
hari sang wartawan ditanya mengenai teori yang digunakan untuk menuangkan ide
ke dalam tulisan-tulisannya. Apa yang terjadi?
Mendengar
pertanyaan itu si wartawan kelihatan tak “siap”. Meski sejatinya, profesi itu
telah bertahun-tahun digelutinya. Ia jadi tercenung kala dihadapkan dengan
persoalan teori. Maka, dengan nada agak lirih, bung jurnalis kawakan ini
menjawab, “Apa saudara tahu adanya teori naik sepeda?”
Pekerjaan
utama seorang wartawan memang bukan naik sepeda. Bukan pula melukis. Bukan
membuat sinetron, menyebarkan pamflet, berkampanye atau mengutak-atik komputer.
Pekerjaan pokok seorang jurnalis adalah menulis.
Cuma,
banyak wartawan – dan penulis lepas (free lance) – kerap mengalami kesulitan
untuk menjelaskan: bagaimana cara ia melakukan pekerjaan pokoknya tersebut?
Seringkali seorang wartawan sulit memberi jawaban, tatkala ia disodorkan
pertanyaan: bagaimana cara menulis (yang baik)?
Kesulitan
yang dihadapi sebenarnya bukan pada cara ia menyajikan tulisan. Tapi, bagaimana
ia merumuskan langkah-langkah tersebut – hingga menjadi tulisan (yang baik).
Maksudnya, ia sudah mengerti “caranya”, tetapi sulit mengutarakan
“bagaimananya”.
Nah,
menurut pemikiran saya, bagaimana cara menulis feature – ya, barangkali – bisa
diibaratkan dengan bagaimana cara naik sepeda? Bagaimana cara melukis?
Bagaimana cara membuat sinetron, menyebarkan pamflet, berkampanye atau
mengutak-utik komputer? Atau – deretkan sajalah – segerobak bagaimana cara...?
Repot, khan?
Apa sih feature itu?
Merujuk
kamus Inggris-Indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadily, feature
(baca:ficer) adalah karangan istimewa yang menarik pembaca. Feature bisa juga:
karangan khas yang menghibur – sekedar santapan tambahan agar yang berat-berat
terasa nyaman (Wolseley dan Campbell).
Atau,
feature merupakan tulisan yang menghibur, memberi informasi dan mengajar (Elmo
Scott Watson). Untuk menghibur, menimbulkan rasa heran, geli, takjub, cemas,
haru dan jengkel; atau untuk mendidik, menambah pengetahuan dan membangkitkan
rasa estetis atau pengenak pembaca (Mochtar Lubis).
Perkembangan
dewasa ini menunjukkan, feature merupakan wadah bertemunya keterampilan
jurnalisme dengan prosa. Karena itu, kemudian diperkenalkanlah “jalan pintas”
bagi yang ingin menjadi penulis feature: bila ingin menjadi penulis feature,
belajarlah menjadi penulis cerpen alias cerita pendek!
Akan
tetapi, harus pula disadari, menulis cerpen sendiri bukan pula suatu perkara enteng.
Itu sebabnya “fatwa” tadi harus dipahami secara tepat. Ia lebih dimaksudkan
pada penguasaan umum terhadap syarat-syarat yang dituntut sebuah cerpen.
Misalnya, ada tema, ada plot, ada pembukaan (opening), ada penutup (ending) dan
– di sela opening dan ending – ada aneka bumbu serta warna, seperti: humor,
suasana, suspense (ketegangan), misteri, bahkan impresi penulis.
Seperti
kita ketahui, berita (straight news), secara umum: kaku, kering dan sekedar
mengumpulkan fakta-fakta. Dalam penulisan berita pendapat pribadi sejauh
mungkin harus dihindari. Sementara feature lebih luwes, santai dan pendapat
pribadi “sah” masuknya. Atau feature lebih “mengisahkan cerita”.
Jadi,
intinya, penulis feature adalah penulis yang berkisah. Ia melukiskan gambar,
menghidupkan imajinasi pembaca dan menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita –
dari awal hingga akhir.
Bila
seorang wartawan kampus menggambarkan rektor dengan sepatunya yang gemerlapan
dan rambutnya yang keputih-putihan dalam berita, redaktur pendidikan akan marah
dengan tulisan itu bertele-tele. Tapi, sebaiknya, bila reporter itu melupakan
gambaran sang rektor pada saat ia menulis feature, redaktur pendidikan
barangkali akan berujar, “Orangnya seperti apa? Saya tak bisa membayangkannya”
Penulis
feature sebagian besar tetap menerapkan kaidah dasar penulisan jurnalistik,
karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi.
Tapi, bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu
cerita, maka ia akan segera menerabas aturan itu.
Lebih
jauh lagi, penulis feature tentu saja membutuhkan imajinasi yang baik, karena
ia harus menjahit kata-kata dan rangkaian kalimat menjadi cerita yang menarik.
Tapi, seperti juga bentuk-bentuk jurnalisme lainnya, feature bukan fiksi dan
imajinasi penulis tak boleh mewarnai fakta-fakta dalam ceritanya. Pendek kata,
cerita khayalan haram hukumnya dalam penulisan feature.
Etika
menyebutkan bahwa, opini dan fiksi boleh ada – kecuali pada bagian tertentu
surat kabar. Tajuk Rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan opini.
Dan Edisi Minggu sebuah surat kabar diterbitkan untuk menampung fiksi –
misalnya, cerita pendek.
Yang
pasti, feature tak boleh berupa fiksi. Dan setiap “pewarnaan” kata-kata tak
boleh menipu pembaca. Seorang wartawan profesional tak akan menipu pembacanya,
walau sedikit, karena ia sadar terhadap etika dan bahaya yang akan mengancam.
Lantas,
sebenarnya, seperti apa sih feature itu?
Sekarang
kita sampai pada “sosok” sebuah feature. Seperti layaknya sebuah cerpen,
feature dapat menyentuh apa saja serta semua masalah. Bisa bertema oleh raga,
kriminal, kesehatan, gaya hidup dan sebagainya. Satu hal yang kudu diingat:
berusahalah mengangkat tema yang hangat (topical) dan yang khas (typical).
Pasalnya, tema yang mengandung kedua faktor ini biasanya lebih mudah mencapai
target sebuah feature – biasa disebut: Human Interest.
Hangat
(topical di sini maksudnya tak serta-merta berhubungan dengan newspeg (berita
lempang), sesuatu yang menjadi pekerjaan para penulis hard news. Daya pikatnya
justru muncul karena ada tenggang waktu. Ia bisa bertahan selama beberapa
minggu. Memang demikianlah sebuah feature diupayakan, agar mempunyai “nafas”
lebih panjang dibandingkan dengan berita biasa.
Sedangkan
khas (typical) berarti topiknya benar-benar khas. Ia menyentuh dan menyangkut
minat serta perhatian publik. Padat dan semrawutnya lalu lintas, misalnya,
adalah sebuah topik abadi untuk kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Tapi,
ketika kerap terjadi penodongan dan pencongkelan kaca spion di perempatan jalan,
ia menjadi topik yang cukup khas untuk beberapa saat. Nah, dari tema seperti
itulah kita bisa mengangkat sederet feature di seputar lalu lintas kota
sehari-hari.
Ragam
Feature
Nah,
setelah kita mencoba mengindentifikasi apa itu feature, kini kita lihar yang
disebut mengandung berita dan yang tidak mengandung berita. Yakni, feature
berita dan feature human interest. Acapkali batasan kedua jenis feature
tersebut sangat tipis – yah, bak kulit bawang merahlah.
Feature
Berita adalah yang terpengaruh unsur waktu, yang berhubungan dengan peristiwa
hangat menarik perhatian publik. Sementara feature Human Interest tak mempunyai
nilai berita. Biasanya ia tak lekang oleh waktu. Ia tak memberi informasi
mengenai kepentingan yang vital. Ia hanya menghimbau rasa ingin tahu pembaca
tentang, upamanya, orang lain, soal-soal yang jadi perhatian bersama, sejarah
dan sebagainya.
Sekadar
untuk diketahui, ada sejumlah ragam feature yang kerap kita temui dalam media
massa. Antara lain, profilel personality feature (memperkenalkan seorang tokoh,
sekolompok orang atau lembaga. Pembaca bisa mengetahui sepak terjang tokoh
tersebut, motivasinya, pandangannya, wawasan, serta kerangka pikirnya. Meski
selalu, penulisan profil biasanya berkaitan dengan suatu peristiwa yang
dilakukan/melibatkan tokoh.
Historical
Feature mengungkapkan apa yang pernah terjadi di masa silam, ditulis dengan
berita lempang (nespeg) masa kini yang berunsur kebaruan. Feature ini mengacu
pada keterkaitan antara masa lampau dan masa kini. Maksud dari feature jenis
ini adalah untuk menyegarkan ingatan pembaca tentang kejadian yang bersejarah.
Seasonal
Feature: mengisahkan aspek baru dari suatu peristiwa teragenda, misalnya, saat
lebaran, natal, peringatan hari tertentu dan sebagainya. Jadi, feature ini
mengacu kepada peristiwa yang berkenaan dengan hari-hari besar (hari raya) dan
yang dituangkan dalam feature ini adalah hal-hal non-fisik yang menyangkut
emosi atau hal-hal ironis.
Adventure
Feature: menyajikan kejadian unik dan menarik yang dialami seseorang, sekolompol
orang atau lembaga – baik dalam perjalanan, ekspedisi, percobaan, kecelakaan
dan sebagainya. Feature jenis ini juga disebut Cerita Perjalanan. Dengan kata
lain, ia berisi pengalaman penulis ketika melakukan perjalanan ke sebuah tempat
yang menarik. Misalnya, oyek wisata, pedalaman Baduy, hutan Amazon, puncak
gunung Jayawijaya dan lain-lain.
Trend
Feature: menyuguhkan kisah sekelompok anak manusia yang berubah gaya hidupnya,
dalam proses transformasi sosial-budaya, yang kadangkala bergulir begitu cepat.
Human
Interest Feature: mengisahkan kejadian yang menyentuh perasaan, lewat penuturan
yang mampu mengajak pembaca bercermin dan melihat dirinya sebagai anak manusia
yang bergelut dalam tragedi atau komedi kehidupan. Pendek kata, feature ini
menonjolkan aspek-aspek dramatis, emosional dan materi latar belakang yang
menyangkut manusia. Tujuannya untuk memberi sentuhan kepada pembaca yang dapat
memberikan perasaan simpati, empati, senang, benci atau marah.
Memikat
dengan Lead
Untuk
memikat dan menarik minat pembaca memasuki tulisannya, sebuah feature harus
punya kepala (lead) yang menggoda. Lead yang menarik merupakan kunci
keberhasilan sebuah feature. Mencoba menangkap minat pembaca tanpa lead yang
baik, ya, ibarat kita mengail ikan tanpa umpan.
Feature
memiliki perbedaan dalam penempatan lead. Dalam berita, lead mengadung sesuatu
yang penting. Sementara pada feature, apa yang penting dan menarik bisa
ditempatkan di tengah tulisan. Bisa pula di akhir tulisan. Kepentingan tulisan
dan ketertarikan pembaca dijaga pada setiap bagian tulisan, agar pembaca
terpikat untuk membaca sampai akhir tulisan.
Yang
pasti, lead untuk feature mempunyai dua tujuan utama. Pertama, untuk menarik
pembaca mengikuti cerita. Dan kedua, membuat jalan seupaya alur ceritanya
lancar. Banyak pilihan lead; sebagian untuk menuentak pembaca, sebagian untuk
menggelitik rasa ingin tahu pembaca dan memberi pembaca tentang cerita yang
bersangkutan secar ringkas.
Ada
berbagai lead yang telah dikenal selama ini. Antara lain, menuliskan langsung
inti ceritanya (lead ringkasan); melukiskan suasananya (lead bercerita);
mendeskripsikan sosok tokoh cerita (lead deskriptif); membuka dengan kutipan
(lead kutipan); membukan dengan pertanyaan (lead pertanyaan); menggoda dengan
humor atau misteri (lead penggoda); atau gabungan dari semua itu (lead
gabungan).
Persiapkanlah
senjata dan amunisi
Selain
lead, yang tak boleh disepelekan adalah fokus. Agar aman dan tetap pada
persoalan yang akan dituangkan, sebaiknya dibuat sebuah out-line atau kerangka.
Apalagi bila penulis diberi tugas untuk membuat tulisasn yang sangat panjang.
Meski
dalam proses penulisan acapkali tiba-tiba muncul ide baru, adanya out-line
tetap akan membantu memudahkan penulis menyelesaikan tugasnya dengan memikat.
Singkat kata, sebuah out-line menghindarkan kekacauan urutan dan
pengulangan-pengulangan yang tak perlu – alias mubazir!
Karena
harus “mengisahkan cerita” (menghidupkan imajinasi pembaca, menarik pembaca
menarik masuk ke dalam cerita dan melukis dengan kata-kata), seorang penulis
feature harus menyiapkan senjata. Dan dengan senjata ini ia bisa “menaklukkan”
pembacanya. Ada empat senjata pokok yang dibutuhkan sang penulis feature.
Yakni, fokus, deskripsi, anekdot dan kutipan.
Penguasaan
Bahasa
Pokok
paling penting selanjutnya adalah penguasaan terhadap bahasa. Yaitu, perangkat
ang digunakan sebagai medium sebuah feature dituturkan. Tentu saja, bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Namun,
kalau mau jujur, bahasa yang baik dan benar (menurut aturan resmi saja)
terkadang belum cukup untuk melahirkan feature bagus. Penggunaan bahasa sering
membuat tulisan itu komunikatif, seringkali “memaksa” kita menggunakan bahasa
sehari-hari, bahasa daerah, bahasa gaulm dialek tertentu – yang tak atau belum
ada di kamus. Itu, menurut saya, sah-sah saja – sejauh tak semakin menyulitkan
pembaca.
Penutup
Berbeda
dengan Arswendo Atmowiloto, yang menganggap “Mengarang itu Gampang”, saya
menganggap “Mengarang itu Susah-suasah Gampang”. Susahnya, mengarang perlu
bakat (talenta) dasar. Tanpa bakat yang memadai, betapapun besarnya nminat, tak
akan berhasil maksimal. Sebaliknya, tanpa minat, bkat akan menjadi barang
tambang yang tak tereksplorasi.
Namun,
bakat dan minat saja tidak cukup. Bakat dan minat harus dikembangkan secara
bersam. Bahkan harus diasah terus-menerus – hingga anda ingin berhenti menjadi
seorang pengarang. Jika bakat, minat dan usaha besar, maka mengarang itu memang
menjadi gampang sekali.
Akhirnya,
kembali ke soal seluk-beluk feature, menurut hemat saya, penulis feature yang
baik, biasanya kaya kosa kata, kreatif, punya daya imajinasi tinggi, peka dan
(tentu saja) pengenalan yang cukup terhadap masalah yang hendak ditulisnya.
Kalau
masih ada waktu, sebaiknya penulis feature “mengendapkan” dulu tulisannya untuk
beberapa saat, sebelum dikirim ke meja redaksi. Sebab, biasanya, dengan cara
itu, setelah otak segar kembali dan sedikit berjarak, penulis akan menemukan
kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Bukankah akurasi merupakan (salah satu)
unsur yang sangat penting dalam dunia jurnalisme?
Jakarta, pertengahan Mei 2002
Catatan :
Makalah ini disampaikan pada “Diklat
Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjut Se-Jawa, Bali dan Nusa Tenggara” yang
diselenggarakan Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UAPKM) Universitas
Brawijaya, 13 – 15 Mei 2002, di Malang, Jawa Timur.
Oleh: Nurdin Kalim
Saya
akan memulai dengan penggal cerita seorang wartawan kawakan. Alkisah, suatu
hari sang wartawan ditanya mengenai teori yang digunakan untuk menuangkan ide
ke dalam tulisan-tulisannya. Apa yang terjadi?
Mendengar
pertanyaan itu si wartawan kelihatan tak “siap”. Meski sejatinya, profesi itu
telah bertahun-tahun digelutinya. Ia jadi tercenung kala dihadapkan dengan
persoalan teori. Maka, dengan nada agak lirih, bung jurnalis kawakan ini
menjawab, “Apa saudara tahu adanya teori naik sepeda?”
Pekerjaan
utama seorang wartawan memang bukan naik sepeda. Bukan pula melukis. Bukan
membuat sinetron, menyebarkan pamflet, berkampanye atau mengutak-atik komputer.
Pekerjaan pokok seorang jurnalis adalah menulis.
Cuma,
banyak wartawan – dan penulis lepas (free lance) – kerap mengalami kesulitan
untuk menjelaskan: bagaimana cara ia melakukan pekerjaan pokoknya tersebut?
Seringkali seorang wartawan sulit memberi jawaban, tatkala ia disodorkan
pertanyaan: bagaimana cara menulis (yang baik)?
Kesulitan
yang dihadapi sebenarnya bukan pada cara ia menyajikan tulisan. Tapi, bagaimana
ia merumuskan langkah-langkah tersebut – hingga menjadi tulisan (yang baik).
Maksudnya, ia sudah mengerti “caranya”, tetapi sulit mengutarakan
“bagaimananya”.
Nah,
menurut pemikiran saya, bagaimana cara menulis feature – ya, barangkali – bisa
diibaratkan dengan bagaimana cara naik sepeda? Bagaimana cara melukis?
Bagaimana cara membuat sinetron, menyebarkan pamflet, berkampanye atau
mengutak-utik komputer? Atau – deretkan sajalah – segerobak bagaimana cara...?
Repot, khan?
Apa sih feature itu?
Merujuk
kamus Inggris-Indonesia, John M. Echols dan Hassan Shadily, feature
(baca:ficer) adalah karangan istimewa yang menarik pembaca. Feature bisa juga:
karangan khas yang menghibur – sekedar santapan tambahan agar yang berat-berat
terasa nyaman (Wolseley dan Campbell).
Atau,
feature merupakan tulisan yang menghibur, memberi informasi dan mengajar (Elmo
Scott Watson). Untuk menghibur, menimbulkan rasa heran, geli, takjub, cemas,
haru dan jengkel; atau untuk mendidik, menambah pengetahuan dan membangkitkan
rasa estetis atau pengenak pembaca (Mochtar Lubis).
Perkembangan
dewasa ini menunjukkan, feature merupakan wadah bertemunya keterampilan
jurnalisme dengan prosa. Karena itu, kemudian diperkenalkanlah “jalan pintas”
bagi yang ingin menjadi penulis feature: bila ingin menjadi penulis feature,
belajarlah menjadi penulis cerpen alias cerita pendek!
Akan
tetapi, harus pula disadari, menulis cerpen sendiri bukan pula suatu perkara enteng.
Itu sebabnya “fatwa” tadi harus dipahami secara tepat. Ia lebih dimaksudkan
pada penguasaan umum terhadap syarat-syarat yang dituntut sebuah cerpen.
Misalnya, ada tema, ada plot, ada pembukaan (opening), ada penutup (ending) dan
– di sela opening dan ending – ada aneka bumbu serta warna, seperti: humor,
suasana, suspense (ketegangan), misteri, bahkan impresi penulis.
Seperti
kita ketahui, berita (straight news), secara umum: kaku, kering dan sekedar
mengumpulkan fakta-fakta. Dalam penulisan berita pendapat pribadi sejauh
mungkin harus dihindari. Sementara feature lebih luwes, santai dan pendapat
pribadi “sah” masuknya. Atau feature lebih “mengisahkan cerita”.
Jadi,
intinya, penulis feature adalah penulis yang berkisah. Ia melukiskan gambar,
menghidupkan imajinasi pembaca dan menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita –
dari awal hingga akhir.
Bila
seorang wartawan kampus menggambarkan rektor dengan sepatunya yang gemerlapan
dan rambutnya yang keputih-putihan dalam berita, redaktur pendidikan akan marah
dengan tulisan itu bertele-tele. Tapi, sebaiknya, bila reporter itu melupakan
gambaran sang rektor pada saat ia menulis feature, redaktur pendidikan
barangkali akan berujar, “Orangnya seperti apa? Saya tak bisa membayangkannya”
Penulis
feature sebagian besar tetap menerapkan kaidah dasar penulisan jurnalistik,
karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi.
Tapi, bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu
cerita, maka ia akan segera menerabas aturan itu.
Lebih
jauh lagi, penulis feature tentu saja membutuhkan imajinasi yang baik, karena
ia harus menjahit kata-kata dan rangkaian kalimat menjadi cerita yang menarik.
Tapi, seperti juga bentuk-bentuk jurnalisme lainnya, feature bukan fiksi dan
imajinasi penulis tak boleh mewarnai fakta-fakta dalam ceritanya. Pendek kata,
cerita khayalan haram hukumnya dalam penulisan feature.
Etika
menyebutkan bahwa, opini dan fiksi boleh ada – kecuali pada bagian tertentu
surat kabar. Tajuk Rencana, tentu saja, merupakan tempat mengutarakan opini.
Dan Edisi Minggu sebuah surat kabar diterbitkan untuk menampung fiksi –
misalnya, cerita pendek.
Yang
pasti, feature tak boleh berupa fiksi. Dan setiap “pewarnaan” kata-kata tak
boleh menipu pembaca. Seorang wartawan profesional tak akan menipu pembacanya,
walau sedikit, karena ia sadar terhadap etika dan bahaya yang akan mengancam.
Lantas,
sebenarnya, seperti apa sih feature itu?
Sekarang
kita sampai pada “sosok” sebuah feature. Seperti layaknya sebuah cerpen,
feature dapat menyentuh apa saja serta semua masalah. Bisa bertema oleh raga,
kriminal, kesehatan, gaya hidup dan sebagainya. Satu hal yang kudu diingat:
berusahalah mengangkat tema yang hangat (topical) dan yang khas (typical).
Pasalnya, tema yang mengandung kedua faktor ini biasanya lebih mudah mencapai
target sebuah feature – biasa disebut: Human Interest.
Hangat
(topical di sini maksudnya tak serta-merta berhubungan dengan newspeg (berita
lempang), sesuatu yang menjadi pekerjaan para penulis hard news. Daya pikatnya
justru muncul karena ada tenggang waktu. Ia bisa bertahan selama beberapa
minggu. Memang demikianlah sebuah feature diupayakan, agar mempunyai “nafas”
lebih panjang dibandingkan dengan berita biasa.
Sedangkan
khas (typical) berarti topiknya benar-benar khas. Ia menyentuh dan menyangkut
minat serta perhatian publik. Padat dan semrawutnya lalu lintas, misalnya,
adalah sebuah topik abadi untuk kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Tapi,
ketika kerap terjadi penodongan dan pencongkelan kaca spion di perempatan jalan,
ia menjadi topik yang cukup khas untuk beberapa saat. Nah, dari tema seperti
itulah kita bisa mengangkat sederet feature di seputar lalu lintas kota
sehari-hari.
Ragam
Feature
Nah,
setelah kita mencoba mengindentifikasi apa itu feature, kini kita lihar yang
disebut mengandung berita dan yang tidak mengandung berita. Yakni, feature
berita dan feature human interest. Acapkali batasan kedua jenis feature
tersebut sangat tipis – yah, bak kulit bawang merahlah.
Feature
Berita adalah yang terpengaruh unsur waktu, yang berhubungan dengan peristiwa
hangat menarik perhatian publik. Sementara feature Human Interest tak mempunyai
nilai berita. Biasanya ia tak lekang oleh waktu. Ia tak memberi informasi
mengenai kepentingan yang vital. Ia hanya menghimbau rasa ingin tahu pembaca
tentang, upamanya, orang lain, soal-soal yang jadi perhatian bersama, sejarah
dan sebagainya.
Sekadar
untuk diketahui, ada sejumlah ragam feature yang kerap kita temui dalam media
massa. Antara lain, profilel personality feature (memperkenalkan seorang tokoh,
sekolompok orang atau lembaga. Pembaca bisa mengetahui sepak terjang tokoh
tersebut, motivasinya, pandangannya, wawasan, serta kerangka pikirnya. Meski
selalu, penulisan profil biasanya berkaitan dengan suatu peristiwa yang
dilakukan/melibatkan tokoh.
Historical
Feature mengungkapkan apa yang pernah terjadi di masa silam, ditulis dengan
berita lempang (nespeg) masa kini yang berunsur kebaruan. Feature ini mengacu
pada keterkaitan antara masa lampau dan masa kini. Maksud dari feature jenis
ini adalah untuk menyegarkan ingatan pembaca tentang kejadian yang bersejarah.
Seasonal
Feature: mengisahkan aspek baru dari suatu peristiwa teragenda, misalnya, saat
lebaran, natal, peringatan hari tertentu dan sebagainya. Jadi, feature ini
mengacu kepada peristiwa yang berkenaan dengan hari-hari besar (hari raya) dan
yang dituangkan dalam feature ini adalah hal-hal non-fisik yang menyangkut
emosi atau hal-hal ironis.
Adventure
Feature: menyajikan kejadian unik dan menarik yang dialami seseorang, sekolompol
orang atau lembaga – baik dalam perjalanan, ekspedisi, percobaan, kecelakaan
dan sebagainya. Feature jenis ini juga disebut Cerita Perjalanan. Dengan kata
lain, ia berisi pengalaman penulis ketika melakukan perjalanan ke sebuah tempat
yang menarik. Misalnya, oyek wisata, pedalaman Baduy, hutan Amazon, puncak
gunung Jayawijaya dan lain-lain.
Trend
Feature: menyuguhkan kisah sekelompok anak manusia yang berubah gaya hidupnya,
dalam proses transformasi sosial-budaya, yang kadangkala bergulir begitu cepat.
Human
Interest Feature: mengisahkan kejadian yang menyentuh perasaan, lewat penuturan
yang mampu mengajak pembaca bercermin dan melihat dirinya sebagai anak manusia
yang bergelut dalam tragedi atau komedi kehidupan. Pendek kata, feature ini
menonjolkan aspek-aspek dramatis, emosional dan materi latar belakang yang
menyangkut manusia. Tujuannya untuk memberi sentuhan kepada pembaca yang dapat
memberikan perasaan simpati, empati, senang, benci atau marah.
Memikat
dengan Lead
Untuk
memikat dan menarik minat pembaca memasuki tulisannya, sebuah feature harus
punya kepala (lead) yang menggoda. Lead yang menarik merupakan kunci
keberhasilan sebuah feature. Mencoba menangkap minat pembaca tanpa lead yang
baik, ya, ibarat kita mengail ikan tanpa umpan.
Feature
memiliki perbedaan dalam penempatan lead. Dalam berita, lead mengadung sesuatu
yang penting. Sementara pada feature, apa yang penting dan menarik bisa
ditempatkan di tengah tulisan. Bisa pula di akhir tulisan. Kepentingan tulisan
dan ketertarikan pembaca dijaga pada setiap bagian tulisan, agar pembaca
terpikat untuk membaca sampai akhir tulisan.
Yang
pasti, lead untuk feature mempunyai dua tujuan utama. Pertama, untuk menarik
pembaca mengikuti cerita. Dan kedua, membuat jalan seupaya alur ceritanya
lancar. Banyak pilihan lead; sebagian untuk menuentak pembaca, sebagian untuk
menggelitik rasa ingin tahu pembaca dan memberi pembaca tentang cerita yang
bersangkutan secar ringkas.
Ada
berbagai lead yang telah dikenal selama ini. Antara lain, menuliskan langsung
inti ceritanya (lead ringkasan); melukiskan suasananya (lead bercerita);
mendeskripsikan sosok tokoh cerita (lead deskriptif); membuka dengan kutipan
(lead kutipan); membukan dengan pertanyaan (lead pertanyaan); menggoda dengan
humor atau misteri (lead penggoda); atau gabungan dari semua itu (lead
gabungan).
Persiapkanlah
senjata dan amunisi
Selain
lead, yang tak boleh disepelekan adalah fokus. Agar aman dan tetap pada
persoalan yang akan dituangkan, sebaiknya dibuat sebuah out-line atau kerangka.
Apalagi bila penulis diberi tugas untuk membuat tulisasn yang sangat panjang.
Meski
dalam proses penulisan acapkali tiba-tiba muncul ide baru, adanya out-line
tetap akan membantu memudahkan penulis menyelesaikan tugasnya dengan memikat.
Singkat kata, sebuah out-line menghindarkan kekacauan urutan dan
pengulangan-pengulangan yang tak perlu – alias mubazir!
Karena
harus “mengisahkan cerita” (menghidupkan imajinasi pembaca, menarik pembaca
menarik masuk ke dalam cerita dan melukis dengan kata-kata), seorang penulis
feature harus menyiapkan senjata. Dan dengan senjata ini ia bisa “menaklukkan”
pembacanya. Ada empat senjata pokok yang dibutuhkan sang penulis feature.
Yakni, fokus, deskripsi, anekdot dan kutipan.
Penguasaan
Bahasa
Pokok
paling penting selanjutnya adalah penguasaan terhadap bahasa. Yaitu, perangkat
ang digunakan sebagai medium sebuah feature dituturkan. Tentu saja, bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Namun,
kalau mau jujur, bahasa yang baik dan benar (menurut aturan resmi saja)
terkadang belum cukup untuk melahirkan feature bagus. Penggunaan bahasa sering
membuat tulisan itu komunikatif, seringkali “memaksa” kita menggunakan bahasa
sehari-hari, bahasa daerah, bahasa gaulm dialek tertentu – yang tak atau belum
ada di kamus. Itu, menurut saya, sah-sah saja – sejauh tak semakin menyulitkan
pembaca.
Penutup
Berbeda
dengan Arswendo Atmowiloto, yang menganggap “Mengarang itu Gampang”, saya
menganggap “Mengarang itu Susah-suasah Gampang”. Susahnya, mengarang perlu
bakat (talenta) dasar. Tanpa bakat yang memadai, betapapun besarnya nminat, tak
akan berhasil maksimal. Sebaliknya, tanpa minat, bkat akan menjadi barang
tambang yang tak tereksplorasi.
Namun,
bakat dan minat saja tidak cukup. Bakat dan minat harus dikembangkan secara
bersam. Bahkan harus diasah terus-menerus – hingga anda ingin berhenti menjadi
seorang pengarang. Jika bakat, minat dan usaha besar, maka mengarang itu memang
menjadi gampang sekali.
Akhirnya,
kembali ke soal seluk-beluk feature, menurut hemat saya, penulis feature yang
baik, biasanya kaya kosa kata, kreatif, punya daya imajinasi tinggi, peka dan
(tentu saja) pengenalan yang cukup terhadap masalah yang hendak ditulisnya.
Kalau
masih ada waktu, sebaiknya penulis feature “mengendapkan” dulu tulisannya untuk
beberapa saat, sebelum dikirim ke meja redaksi. Sebab, biasanya, dengan cara
itu, setelah otak segar kembali dan sedikit berjarak, penulis akan menemukan
kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Bukankah akurasi merupakan (salah satu)
unsur yang sangat penting dalam dunia jurnalisme?
Jakarta, pertengahan Mei 2002
Catatan :
Makalah ini disampaikan pada “Diklat
Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjut Se-Jawa, Bali dan Nusa Tenggara” yang
diselenggarakan Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UAPKM) Universitas
Brawijaya, 13 – 15 Mei 2002, di Malang, Jawa Timur.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as