Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    titik temu islam dan kristen

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 37
    Lokasi : rahasia

    titik temu islam dan kristen Empty titik temu islam dan kristen

    Post by kutubuku Sat Jul 03, 2010 8:32 pm

    TITIK
    TEMU ISLAM DAN KRISTEN
    Persepsi dan Salah Persepsi





    oleh William
    Montgomery Watt

    Golongan Orentalis Eropa




    Pada dekade-dekade terakhir sebagian umat Islam
    menuduh kaum orientalis barat berkolusi dengan para kolonialis dalam mencoba
    memperlemah atau menghancurkan Islam. Satu ekspresi ini dapat diperoleh pada
    artikel yang ditulis oleh Abdallah Laroui [9]. Setelah mendefinisikan
    "Orientalist" sebagai orang "asing" dari luar -- dalam
    kasus ini adalah orang barat -- yang mengambil Islam sebagai subyek risetnya ,
    dia meneruskan:


    Pada karya-karya para Orientalis
    kita dapatkan kritik ideologis (dalam artian yang sederhana) terhadap kultur
    Islam. Hasil dari dorongan-dorongan intelektual yang besar adalah bagi sebagian
    terbesar yang tak berharga dan tak bernilai ...


    Cita-rasa para Orientalis merupakan bagian dari
    birokrasi dan berdasarkan alasan ini, menderita karena batas-batas yang secara
    buruk menghalangi kreasi bebas pendekatan-pendekatan baru atau bahkan penerapan
    pendekatan-pendekatan yang telah ada.


    Di samping mengkritik metode-metode kaum
    Orientalis, dia juga mengajukan asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang statis.
    Dia sendiri rupanya melihat reinterpretasi dan reformulasi terhadap keimanan
    Islam dan artikelnya menyimpulkan:


    Sangat mungkin bahwa reformulasi
    kepercayaan adalah ketaajuban person yang gaib yang segera menunggu hadirnya
    kemenangan. Satu saat lagi kita akan menjadi saksi verifikasi formal dalil,
    "Islam berlaku bagi semua zaman ... secara tepat karena keimanan itu tidak
    pernah Islam yang sama; kata yang secara sederhana benar-benar menunjukkan
    realitas yang senantiasa diulang dan diperbaharui. [10]


    Konsepsi tentang Islam ini sebagai dalam proses
    pembaharuan yang konstan tentu saja disambut dengan hangat.


    Orang-orang seperti saya sendiri yang masuk ke
    golongan orientalis pada asalnya tidak dipandang sebagai bagian dari birokrasi,
    namun nyatanya ada hubungan yang kompleks antara para orientalis dalam
    pengertiannya yang luas (mereka yang tidak tertarik dengan Islam) dan mereka
    adalah golongan kolonialis dan perwira-perwira asing dari luar. Selama abad
    sembilan belas sebagian terbesar orientalis tertarik untuk mempelajari
    bahasa-bahasa timur dan agama-agama besar periode klasik di timur. Sebagian
    kecil yang mempunyai daya tarik bagi para kolonialis. Sebagaimana kaum
    orientalis yang menghimpun informasi yang lebih banyak tentang kultur-kultur
    yang mereka pelajari, para kolonialis bertujuan menyatakan bahwa sebagian
    kajian ini berguna dalam membantu memahami bangsa dan rakyat yang mereka
    kuasai. Secara perlahan menteri-menteri urusan luar negeri mulai mempekerjakan
    ilmuwan- ilmuwan untuk meneliti topik-topik khusus yang menarik perhatian,
    namun sampai Perang Dunia Dua sebagian besar kaum orientalis akademik masih
    tetap jauh dari politik, sekalipun mereka mulai tertarik kepada Timur
    kontemporer. Jadi pada tahun 1932 Sir Hamilton Gibb mengedit sebuah buku yang
    berjudul Whither Islam? yang berkenaan dengan gerakan gerakan baru-baru ini di
    Afrika Utara, Mesir, India dan Indonesia, dan pada tahun 1946 menyampaikan
    ceramah-ceramah ilmiahnya di Chicago tentang Modern Trends in Islaml. [11]


    Selama Perang Dunia II, negara-negara barat
    menjadi sadar akan perlunya pengetahuan bahasa dan kultur Asia dan Afrika yang
    dijadikan hal yang esensial. Maka setelah perang usai mereka berencana untuk
    melakukan ekspansi besar-besaran bagi pengkajian-pengkajian budaya dan bahasa
    tersebut. Pembebasan kolonialisme dalam skala besar juga berarti bahwa hanya
    sebagian kecil administrator-administrator kolonial yang mempunyai ketrampilan linguistik.
    Bidang-bidang yang dipelajari para orientalis lebih tua diperluas sampai ke
    "area studi" untuk memperbandingkan ekonomi, politik kontemporer dan
    disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Dalam situasi akademik para
    orientalis yang berubah ini tetap dipertahankan kemerdekaannya, kecuali ketika
    terjadi perebutan untuk memperoleh dana, yang paling mungkin dijamin oleh
    proyek-proyek yang bertepatan dengan interes pemerintahan ataupun interes
    komersial. Posisi terakhir yang rupanya terjadi bahwa studi-studi ketimuran ini
    secara umum tidak dapat dikesampingkan oleh negarawan yang menyusun kebijakan
    luar negeri, agar pemerintah seharusnya dapat mempunyai ahli-ahli sendiri di
    bidang masing-masing, namun masih ada saja beberapa orientalis akademik yang mengejar
    garis-garis riset profesional yang hanya sedikit relevansinya dengan politik
    kontemporer.


    Perjuangan melawan para orientalis itu timbul
    pada suatu perspektif baru oleh Edward Said dalam bukunya tentang Orientalism
    [12]. Dia terutama tertarik kepada "orientalisme modern" yang mulai
    ke arah akhir abad ke delapan belas. Apakah ada persoalan orientalisme lebih
    tua yang dapat diperdebatkan, sejak Oxford English Dictionary menunjukkan bahwa
    kata "orientalist" pertama digunakan bagi seorang mahasiswa Ketimuran
    sekitar tahun 1780, walaupun "orientalism" tidak terjadi hingga tahun
    1812; equivalen kata dalam bahasa Perancis telah sedikit diperlihatkan
    terdahulu. Poin utama yang dibuat oleh Said adalah orientalisme modern telah
    memainkan peranan utama dalam menciptakan stereotype "Oriental" yang
    menjadi basis kebijakan kolonialis. Oriental adalah orang yang tidak mengetahui
    apa yang paling baik bagi diri, yang tidak mampu menguasai diri, yang mudah
    tertipu, tidak suka akurasi dan tidak jujur, tidak dapat berfikir secara lokal
    atau memberikan fakta-fakta yang jelas, mudah tergelincir ke dalam intrik [13].
    Hal ini barangkali dapat disimpulkan dalam kalimat: "Barat itu ... adalah
    rasional, maju, manusiawi, unggul, sementara Timur ... adalah menyimpang, terbelakang,
    rendah" [14].


    Harus diakui bahwa stereotype
    "Oriental" ini mempengaruhi aktifitas administrator kolonial; namun
    yang memperluas kaum orientalis itu bertanggung jawab bagi persoalan yang lain.
    Yang lebih memungkinkan bahwa persepsi "Oriental" ini merupakan
    sesuatu yang membentuk dirinya secara pelan-pelan pada kontak langsung dengan
    bangsa-bangsa di Asia, yakni, pertama dari para pelaut dan para pedagang, lalu
    para kolonialis. Satu saat persepsi atau stereotype itu mendapat tempat secara
    umum pada pikiran bangsa Eropa yang terdidik, mahasiswa-mahasiswa Timur tidak
    dapat luput dari pengaruhnya, dan fakta-fakta baru apapun yang diketemukan akan
    disesuaikan dan cenderung dikonfirmasikan dengannya. Memang Edward Said yang
    bukan karena maksud yang pertama itu sadar akan sikap superioritas di antara
    para kolonialis. Beberapa tahun terdahulu (saya pikir pertama pada tahun 1960)
    Wilfred Cantwell Smith telah menulis:


    Pengamatan saya pada studi
    Ketimuran dan sedikit tentang Afrika lebih dari dua puluh tahun, bahwa kekurangan
    dan cacat mendasar peradaban Barat dalam peranannya di dunia sejarah adalah
    arogansi (kesombongan), dan sikap ini juga telah mempengaruhi sikap Gereja
    Kristen [15].


    Edward Said berikhtiar menghubungkan stereotype
    Timur abad sembilan belas dengan persepsi-persepsi sebelumnya tentang dunia
    Islam. Ada beberapa perbedaan penting, namun masih ada satu persoalan sentral
    yang diabaikan. Bagaimana persepsi bangsa Eropa terdahulu terhadap orang Islam
    sebagai seorang pejuang yang menyebar luaskan keimanannya dengan kekerasan dan
    pedang itu ditransformasikan ke dalam persepsi Ketimuran sebagai suatu perasaan
    kecut hati, kelemahan dan pribadi yang tidak berguna. Akan benar-benar lebih
    baik untuk memperhatikan persepsi Ketimuran abad sembilan belas sebagai sesuatu
    yang baru yang memungkinkan setelah kekuatan-kekuatan bangsa Eropa berhenti
    memandang Kerajaan Ottoman sebagai ancaman militer yang berbahaya.


    Edward Said menyusun tesisnya secara rinci, namun
    beberapa poin interpretasinya tentang motif orang-orang yang terlibat rupanya
    diragukan. Satu poin yang dia diskusikan dengan Edward William Lane dalam
    Manner and Customs of the Modern Egyptions, dimana Lane menjelaskan bagaimana
    dia menolak untuk mengawini wanita Mesir yang dibahas dalam pernyataan marriage
    de convenance [16] (Perkawinan yang tepat).


    Secara bahasa dia menafikan dirinya sebagai orang
    yang tidak mau kawin pada masyarakat manusia. Jadi dia menjaga identitas
    otoritatif sebagai partisipan semu dan mendorong obyektifitas naratifnya. Bila
    kami tahu bahwa Lane adalah seorang non-muslim, maka kami tahu juga bahwa
    menurutnya untuk menjadi seorang Orientalis -- bukan seorang Oriental -- harus
    mengabaikan kelezatan sensual kehidupan domestik dirinya sendiri ... Hanya pada
    cara yang negatif saja dia dapat menyimpan otoritasnya sebagai pengamat dan
    peneliti yang tak kenal lelah.


    Alasan ini tentu tidak meyakinkan karena ada
    alasan-alasan lain tidak mau mengawini wanita Mesir tersebut, namun yang lebih
    beralasan adalah karena ia ingin mengejar karirnya. Lebih dari itu, pada
    periode menetap ketiga di Mesir Lane benar-benar mengawini wanita Mesir,
    walaupun seorang budak yang dibebaskan berasal-usul Yunani; sebagai orang
    non-muslim dia tidak dapat mengawini wanita muslimah


    Dua contoh askripsi motif-motif yang meragukan atau
    salah terhadap para penulis ini lebih lanjut didapatkan pada pernyataan buku
    Sir Hamilton Gibb yang berjudul Mohammedanism: An Historical Survey (1949).
    Said menyebutkan "preferensi Gibb tentang kata Mohammedanism terhadap
    Islam" dan "ilmu Islam yang paling penting adalah hukum Islam (fiqh),
    yang menggantikan teologi" [18]. Dinyatakan bahwa Gibb lebih memilih kata
    "Mohammedanisme" untuk "Islam" sama sekali tidak tepat.
    Semua bukti menunjukkan bahwa judul tersebut terpaksa diberikan oleh para
    penerbit, lantaran buku itu menggantikan buku terdahulu yang ditulis oleh D.S.
    Margoliouth yang berjudul Mohammedanism (1911). Dalam beberapa halaman awalnya
    Gibb banyak menjelaskan tentang Mohammedan dan Mohammedanisme yang paling
    dipahami sebagai semacam apologi terhadap judul yang dibuatnya, sebab berbeda
    dengan pernnyataan ini dia tidak pernah menggunakan istilah tersebut kecuali
    buku itu seluruhnya hanya untuk Islam dan umat Islam semata. Lebih dari itu,
    pada edisi berikutnya nama Mohammedan ini telah berubah menjadi Islam.


    Lebih lanjut ditegaskan bahwa Gibb telah salah
    dalam menyebut bahwa ilmu Islam yang paling penting adalah hukum (fiqh) dan
    bukannya teologi. Ini agaknya yang menunjukkan ketidaktahuan Said terhadap
    Islam, karena dia adalah seorang yang berasal dari latar belakang Kristen.
    Sebenamya Gibb mengoreksi ide mahasiswa-mahasiswa dari Eropa terdahulu yang
    mempelajari Islam yang karena interes-interes agama telah memberikan tempat
    sentral kepada teologi. Secara umum yang kini diakui oleh para ilmuwan barat
    bahwa inti pendidikan Islam yang lebih tinggi adalah jurisprudensi (fiqh),
    sebagaimana telah dijelaskan di sini, sebagai contoh, bahwa di
    perguruan-perguruan atau madrasah abad pertengahan ada seorang profesor utama
    dan tugas yang paling penting orang ini adalah mengajarkan jurisprudensi (fiqh)


    Poin lebih penting makin dikembangkan oleh
    halaman yang lain. Setelah menguraikan bahwa "sebagaimana buku ini mencoba
    menunjukkan, Islam secara mendasar digambarkan secara salah di Barat", dia
    melanjutkan penjelasannya [20]:


    Isu yang sesungguhnya baik yang
    dapat menjadi representasi yang benar terhadap sesuatu, sebagian maupun semua,
    sebab semua itu adalah gambaran-gambaran, yang pertama melekat pada bahasa dan
    kemudian melekat pada kebudayaan, pranata sosial dan ambiensi politik yang
    mewakili.


    Penjelasan di atas agaknya dimaksudkan bahwa para
    orientalis telah salah memberi gambaran tentang Islam sebab
    pemyataan-pernyataan para orientalis ini dilekatkan pada latar belakang
    linguistik dan latar belakang kebudayaan mereka; dan ini jelas berlaku terhadap
    pokok persoalan ini. Tetapi pertanyaan penting yang lebih meluas bagi
    penggambaran yang salah ini, disebabkan oleh pendirian pengamat dari luar
    Islam. Sebagian terbesar ilmuwan Barat tentang Islam di masa lampau secara pasti
    telah gagal mengapresiasi nilai-nilai agama Islam yang positif, meskipun dalam
    beberapa hal, yang mereka nyatakan itu benar. Pengamat suatu agama dari dalam
    terpengaruh oleh faktor-faktor yang sama sebagai pengamat dari luar, sungguhpun
    dalam bentuk yang berbeda. Pengamat dari dalam biasanya melekat pada satu
    aliran agama khusus tertentu dan oleh karenanya sulit untuk memperoleh hasil
    nilai imbang terhadap keseluruhan. Maka para penganut agama tertentu harus
    belajar dari yang diinformasikan sedemikian baiknya oleh pengamat dari luar
    yang harus mengatakan tentang suatu agama itu apa adanya. Sebagaimana penyair
    Skotlandia, Robert Burns, menggubah sebuah syair:


    Wahai gumpalan kekuasaan yang dikaruniakan kepada
    kita
    Untuk melihat diri kita sebagai yang sesungguhnya melihat kita.


    Suatu saat penggambaran salah dari penyimpangan
    image benar-benar dibakukan pada pandangan umum dari suatu keseluruhan
    komunitas kultural, yang sulit sekali berubah. Generasi-generasi baru dari para
    ilmuwan diajarkan oleh orang-orang yang menerima persepsi lama dan ketika
    mereka sendiri mendapatkan fakta-fakta baru, masih tetap disesuaikan dengan
    persepsi lama tersebut. Hanya ketika ketidaksesuaian itu menjadi serius, maka
    para ilmuwan baru mulai memikirkan kembali kebenaran persepsi lama tersebut.


    Dalam kasus Islam, yang pertama kali dicatat oleh
    para ilmuwan adalah ketidaksesuaian antara Islam sebagai yang mereka pahami
    dari tulisan-tulisan orang Islam yang sempat mereka baca dan konsep populer
    Islam, secara luas didasarkan pada ide-ide ganjil dan khayali. Pada abad tujuh
    belas, sejalan dengan gerakan-gerakan intelektual baru di Eropa, kecenderungan
    bangkit kembali ke buku-buku Arab. Satu produk yang penting dari kebangkitan
    kembali ini adalah sebuah buku yang berjudul De religõone Mohammedica hasil
    pemikiran Hadrian Reland of Utrecht, yang terbit pada tahun 1705. Dalam buku
    ini dia memberi pertimbangan yang didasarkan atas sumber-sumber umat Islam, dan
    mengecam dongeng- dongeng dan legenda-legenda yang belakangan muncul di Eropa.
    Dia tidak mengecam titik-titik persepsi menyimpang abad pertengahan seperti
    dijelaskan terdahulu, malah walaupun buku itu ditempatkan pada Indeks Romawi
    sebab rupanya terlalu menguntungkan untuk Islam. Selain buku ini diterjemahkan
    ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol, juga
    berpengaruh baik bagi pemikiran bangsa Eropa [21].


    Keinginan untuk mendapatkan informasi tentang
    Islam yang lebih akurat nampak pula pada penerjemahan Al-Qur'an dalam bahasa
    Latin oleh Ludovico Marracci, terbit di Padua tahun 1698. Terjemahan ini lebih
    akurat daripada terjemahan Robert Ketton, akan tetapi diikuti oleh penolakan
    beberapa hal secara rinci tentang ajarannya yang berbeda dengan keimanan
    Kristen. Kontribusi penting lainnya terhadap pengetahuan Islam yang akurat
    adalah terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris oleh George Sale, terbit
    pada tahun 1734 disertai dengan wacana Kata Pengantar [22]. Terjemahan Sale ini
    dengan lantang diserang oleh umat Islam di tahun-tahun belakangan ini, namun
    secara menyeluruh tanpa dasar pembenaran. Sale memiliki petunjuk bahasa Arab
    yang bagus dan sudah menyelidiki komentar-komentar penting orang Islam,
    terutama komentar al-Baidawi. Penerjemahannya terhadap Al-Qur'an ini bertujuan
    untuk mengikuti komentar-komentar tersebut. Para pembaca muslim modern
    barangkali ditolak oleh fakta bahwa dalam Kata Pengantar dan Pendahuluannya,
    Sale harus memperkenalkan penjelasan-penjelasan yang hampir kritis sebagai
    kesimpulan untuk membela diri dari reaksi-reaksi musuh. Maka pada tahun 1734 Kerajaan
    Ottoman masih menjadi obyek dari rasa takut. Abad ke sembilan belas nampak
    makin meningkatnya volume kegiatan keilmuan. Yang paling nampak adalah yang
    ditujukan bagi makin meningkatnya kuantitas informasi akurat tentang Islam yang
    tersedia di Eropa, dan berdasarkan atas prinsip yang kembali ke sumber-sumber
    Islam. Ada naskah tentang karya-karya fundamental yang diedit oleh orang Eropa
    secara cermat seperti Sira buah pena Ibn Hisyam dan banyak lagi karya-karya
    ilmiah tentang kehidupan pribadi Muhammad SAW sendiri. Salah satunya adalah
    yang ditulis oleh Sir William Muir (1819-1905), pertama diterbitkan dalam empat
    jilid antara tahun 1858 dan 1861. Maksud saya yang belakangan ini adalah saya
    menggunakan edisi ke tiga, yang aslinya merupakan ringkasan satu jilid dengan
    beberapa perubahan yang didorong oleh refleksi lebih lanjut [23]. Sir William
    adalah administrator kolonialis di India yang menduduki peringkat atas, namun
    pada saat yang sama Sir William adalah seorang anggota gereja yang setia dan
    pendukung misi Kristen yang giat. Dia juga sebagai ilmuwan yang menambahkan
    perbedaan yang tegas lewat kehidupan Muhammad SAW dan sejarah Kekhalifahan
    awal, dan dia adalah seorang Wakil Rektor dan Penanggung jawab Universitas
    Eidenburgh sejak tahun 1885 sampai tahun 1903. Pengaktualannya terhadap
    gambaran Islam lama yang disimpangkan (sebagaimana dijelaskan terdahulu)
    berkaitan dengan kepercayaan bahwa karakter Muhammad SAW benar-benar buruk
    setelah beliau memperoleh kekuasaan politik di Madinah; karena ini sangat boleh
    jadi telah memperkenankan asas orang-orang yang menang untuk melakukan segala
    kekuasaan korup dan tentu saja kekuasaan korup secara mutlak. Sungguhpun
    demikian, setelah refleksi matang dalam sumber-sumber material kehidupan awal
    Muhammad, dia menerima ketulusan hati dan kejujuran Muhammad serta mempunyai
    kekaguman tertentu terhadap Nabi SAW di Mekah itu. Ada kutipan yang baik dalam
    kesimpulan di bawah ini:


    Pertumbuhan dalam pemikiran
    Muhammad tentang keyakinan itu bahwa beliau ditetapkan menjadi Nabi dan
    Pembaharu yang dengan akrab dikaitkan dengan kepercayaan beliau kepada Taqdir
    khusus yang mencakup kehidupan ruhani sama halnya dunia material; dan diluar
    keyakinan itu makin meningkatkan percaya diri bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan
    memberkati misinya dengan sukses. Sekalipun masih berada di Mekah, tidak ada
    alasan untuk ragu bahwa permasalahan-permasalahan dan aspirasi-aspirasi ruhnya
    yang mendalam dipandang olehnya sebagai petunjuk langsung dari Allah. Cahaya
    yang secara perlahan tapi pasti menerangi pikiran ilmu kesatuan ilahi dan
    kesempurnaan-kesempurnaan, serta tugas-tugas dan ketentuan nasib manusia, --
    cahaya di tengah kegelapan yang mencekam, -- mesti keluar dari sumber yang
    sama; dan Dialah yang dalam kenikmatan-Nya telah mengawali kerja yang benar-
    benar akan membawanya sampai ke suatu akhir yang sukses. Apakah itu Muhammad
    sendiri kecuali instrumen di tangan Pekerja Yang Maha Besar? Dengan demikian,
    tak pelak lagi, pikiran-pikirannya itulah yang menguatkan dirinya sendiri dan
    tidak ada yang mendukung, selama bertahun-tahun memberanikan diri menghadapi
    cemoohan-cemoohan dan penganiayaan-penganiayaan seluruh bangsa manusia. [24]


    Sementara itu Muir di sini tetap berpegang teguh
    pada pendirian bahwa selama periode Mekah Muhammad, sungguh diyakini bahwa
    pesan-pesan risalah yang beliau terima itu berasal dari Allah dan bukan berasal
    dari pemikirannya sendiri beliau yang kebanyakan dinyatakan di dalam Al- Qur'an
    sebagai susunan Muhammad sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh semua sarjana
    Eropa tentang Islam pada periode ini. Inilah yang menyakitkan umat Islam sebab
    mereka mengambil Islam yang menyiratkan bahwa Al-Qur'an itu bukan dari Allah
    melainkan dari Muhammad. Kenyataan itulah yang dipikirkan oleh sebagian
    terbesar bangsa Eropa, sekalipun kutipan terdahulu itu memperlihatkan bahwa
    mereka itu mulai memperkenankan bahwa Muhammad mempunyai pengalaman pengalaman
    keagamaan yang murni. Umat Islam juga mengacu kepada hasrat sarjana-sarjana
    Eropa untuk memeroleh sumber-sumber yang tepat akan bentuk kisah-kisah
    Al-Qur'an tentang nabi- nabi terdahulu. Bagi orang tradisionalis muslim adalah
    menggelikan untuk menyatakan bahwa Allah sebagai pencipta (pengarang) Al-Qur'an
    yang menghajatkan banyak sumber, atau dapat menjadi subyek pengaruh-pengaruh
    dari luar. Sasaran lebih serius untuk meneliti pengaruh-pengaruh yang
    mengalihkan perhatian dari dinamika khusus Al-Qur'an yang unik, merupakan
    sesuatu yang penting. [25]


    Penerapan bahan-bahan Islam
    dalam kritik historis modern membawa para ilmuwan Eropa memegangi pendapat
    bahwa banyak pokok kepercayaan orang Islam itu tidak berdasarkan sejarah; namun
    secara umum memperhatikan bahan-bahan sekunder atau bahan-bahan yang tidak
    berkenaan dengan pokok persoalannya, tidak sentral terhadap agama. Satu contoh
    adalah argumetasi bahwa asal-usul keilahiahan Al-Qur'an itu dibuktikan oleh
    fakta bahwa Muhammad SAW itu betul-betul buta huruf, tidak dapat membaca maupun
    menulis. Gambaran Muhammad SAW itu didasarkan atas ayat Al-Qur'an yang
    menyatakan orang ini sebagai nabi yang ummi dan tafsir ummi memberi makna
    kepada "buta huruf." Para ilmuwan Eropa telah menolak penafsiran ummi
    ini, dan telah memperlihatkan secara meyakinkan bahwa dalam Al-Qur'an kata ummi
    dan jama'nya ummiyun berarti "non Yahudi" atau "orang
    kafir." [26] Secara aktual, kebutahurufan Muhammad SAW itu bukanlah
    argumen apologis yang baik, karena hal ini menyingkirkan kemungkinan kalau
    Muhammad itu dapat pula memiliki kitab Suci Yahudi dan kitab Kristen yang
    dibacakan kepadanya, bilamana diperlukan dalam terjemahan. Jadi titik masalah
    tentang kata ummi tidak melemahkan dasar-dasar orang lslam untuk beriman kepada
    keaslian Al-Qur'an yang bersifat ilahiah. Lebih dari itu, tidak ada ilmuwan
    Eropa dewasa ini yang suatu saat hendak memberi kesan bahwa Muhammad SAW
    membaca Bibel atau memiliki Bibel untuk dibacakan kepada beliau, karena
    ketidaktahuannya kepada Bibel itu benar- benar nyata. Tentu saja, problem
    kontemporer lebih lanjut adalah menyatakan kekurangan-kekurangan terhadap
    persepsi-persepsi Al-Qur'an tentang Yahudi dan Kristiani.


    Hal lain dalam kaitannya dengan perbedaan ini
    adalah kisah tentang "ayat-ayat setan" atau, dengan menengok ke
    belakang kita dapat menyebutnya sebagai "gangguan-gangguan setan."
    Pernyataan itu menjadi menonjol sebab Salman Rushdie memilih ayat-ayat setan
    ini sebagai judul bukunya yang terkenal berani menghujat Islam itu. Sebagian
    kecil orang yang membaca tentang masalah Rushdie atau bahkan orang-orang yang
    mengadukan buku itu kemungkinan mengetahui cerita yang asli. Hal itu menjadi
    berpengaruh karena di satu kesempatan, seperti Muhammad SAW sedang duduk
    bersama dengan para saudagar pelbegu dan mengharapkan beliau dapat menurunkan
    ayat (wahyu) yang memenangkan mereka, beliau mulai menerima sebuah ayat yang
    menyebutkan:


    Maka apakah patut kamu (hai orang-orang
    musyrik) menganggap al-Latta, Uzza, dan Manah yang ketiga (sebagai anak
    perempuan Allah). (53: 19-20)


    Selanjutnya ada dua (atau dalam beberapa versi
    ada tiga) ayat yang memberikan persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa pagan
    tersebut untuk menjadi perantara atas nama Allah, Tuhan Yang Tinggi itu. Atas
    pendengaran ini para saudagar sangat gembira dan mengikuti Muhammad dalam
    ibadah. Namun begitu, kemudian beliau menyatakan bahwa kelompok ayat-ayat yang
    kedua telah dipaksakan oleh Setan dan tidak asli lagi.


    Sekalipun kisah ini berasal dari sumber muslim
    yang sahih, namun kaum muslimin dari periode awal sudah tidak menyukainya dan
    cenderung menganggap kisah ini tidak pernah terjadi. Mereka memberi sasaran
    kepada implikasi bahwa seorang nabi seperti Muhammad SAW dapat diperdaya oleh
    Setan. Sementara Al-Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa sesuatu yang terjadi
    itu dan kisah yang diceritakan tentang ayat-ayat Setan di atas diberitahukan
    oleh Al-Tabari dalam komentarnya tentang 22: 52, yang menyebutkan di bawah ini:


    Dan Kami tidak mengutus sebelum
    kamu seorang Rasulpun dan tidak pula seorang nabi, melainkan apabila ia
    mempunyai suatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan
    itu. Maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu.


    Ada arti-arti lain yang memungkinkan terhadap
    "menginginkan" dan "hasrat" misalnya
    "menceritakan" dan "cerita", namun arti-arti itu tidak
    memengaruhi titik persoalan yang utama. Tidak masuk akal kalau orang muslim membuat-buat
    ceritera atau kisah tersebut, atau bahwa Al-Tabari sebagai seorang ilmuwan yang
    amat cermat, telah menerima kisah tersebut dari sumber yang meragukan.


    Hal yang lebih serius lagi adalah kritik orang
    Eropa terhadap kumpulan Hadith. Hadith-hadith itu terdiri dari beribu-ribu
    anekdot tentang yang dikatakan atau diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW dan
    terutama sekali dipakai sebagai landasan hukum (Shari'ah). Enam kitab kumpulan
    Hadith mempunyai semacam status dan dipercayai hanya berisi "matan"
    Hadith. (Dalam karya karya Hadith yang lebih tua disebut dalam bahasa Inggris
    sebagai Tradition, namun istilah ini sekarang secara luas sudah usang sebab
    mengandung makna ganda). Karya-karya para tokoh Eropa terkemuka di bidang ini
    adalah volume 2 dari Ignaz Goldziher dalam Mohammadanische Studien [27] dan
    Joseph Schacht dalam The Origin of Muhammadan Jurisprudence [28]. Dua buah
    karya tersebut dan masih banyak lagi karya para ilmuwan Eropa lain cenderung
    berpandangan bahwa sangat sedikit Hadith yang mempunyai sejarah yang sahih dan
    asli. Secara alamiah kaum muslimin melihat hal ini sebagai serangan terhadap
    keseluruhan sistem hukum Islam. Pandangan ilmuwan Eropa itu telah dikritik
    sendiri oleh Fuat Sezgin, yang menggunakan bahan terdahulu yang tidak dipakai
    oleh Goldziher dan Schacht [29]. Keseluruhan persoalan ini sedemikian
    kompleknya utuk didiskusikan di sini, kecuali satu poin yang cukup berguna,
    yakni, bahwa para ilmuwan Eropa itu tidak memberi perhatian sempurna terhadap
    fungsi Hadith dalam memberikan landasan yang tetap tak berubah terhadap sebagian
    terbesar rincian-rincian hukum Islam. Hal inilah yang agaknya menjadi salah
    satu wilayah dimana obyektifitas historis menjadi bahan yang sekunder.


    Pertimbangan di atas mengacu kepada pernyataan
    final tentang kaum orientalis. Sungguhpun kebanyakan yang mereka katakan itu
    benar, namun mereka gagal menyeimbangkan kritik-kritiknya terhadap Islam dengan
    apresiasi yang positif bagi nilai-nilai dan prestasi-prestasi Islam sebagai
    agama. Jadi sama-sama tidak mengherankan kalau kaum muslimin senantiasa menjadi
    musuh terhadap orang-orang orientalis.

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 8:03 pm