TITIK
TEMU ISLAM DAN KRISTEN
Persepsi dan Salah Persepsi
oleh William
Montgomery Watt
Golongan Orentalis Eropa
Pada dekade-dekade terakhir sebagian umat Islam
menuduh kaum orientalis barat berkolusi dengan para kolonialis dalam mencoba
memperlemah atau menghancurkan Islam. Satu ekspresi ini dapat diperoleh pada
artikel yang ditulis oleh Abdallah Laroui [9]. Setelah mendefinisikan
"Orientalist" sebagai orang "asing" dari luar -- dalam
kasus ini adalah orang barat -- yang mengambil Islam sebagai subyek risetnya ,
dia meneruskan:
Pada karya-karya para Orientalis
kita dapatkan kritik ideologis (dalam artian yang sederhana) terhadap kultur
Islam. Hasil dari dorongan-dorongan intelektual yang besar adalah bagi sebagian
terbesar yang tak berharga dan tak bernilai ...
Cita-rasa para Orientalis merupakan bagian dari
birokrasi dan berdasarkan alasan ini, menderita karena batas-batas yang secara
buruk menghalangi kreasi bebas pendekatan-pendekatan baru atau bahkan penerapan
pendekatan-pendekatan yang telah ada.
Di samping mengkritik metode-metode kaum
Orientalis, dia juga mengajukan asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang statis.
Dia sendiri rupanya melihat reinterpretasi dan reformulasi terhadap keimanan
Islam dan artikelnya menyimpulkan:
Sangat mungkin bahwa reformulasi
kepercayaan adalah ketaajuban person yang gaib yang segera menunggu hadirnya
kemenangan. Satu saat lagi kita akan menjadi saksi verifikasi formal dalil,
"Islam berlaku bagi semua zaman ... secara tepat karena keimanan itu tidak
pernah Islam yang sama; kata yang secara sederhana benar-benar menunjukkan
realitas yang senantiasa diulang dan diperbaharui. [10]
Konsepsi tentang Islam ini sebagai dalam proses
pembaharuan yang konstan tentu saja disambut dengan hangat.
Orang-orang seperti saya sendiri yang masuk ke
golongan orientalis pada asalnya tidak dipandang sebagai bagian dari birokrasi,
namun nyatanya ada hubungan yang kompleks antara para orientalis dalam
pengertiannya yang luas (mereka yang tidak tertarik dengan Islam) dan mereka
adalah golongan kolonialis dan perwira-perwira asing dari luar. Selama abad
sembilan belas sebagian terbesar orientalis tertarik untuk mempelajari
bahasa-bahasa timur dan agama-agama besar periode klasik di timur. Sebagian
kecil yang mempunyai daya tarik bagi para kolonialis. Sebagaimana kaum
orientalis yang menghimpun informasi yang lebih banyak tentang kultur-kultur
yang mereka pelajari, para kolonialis bertujuan menyatakan bahwa sebagian
kajian ini berguna dalam membantu memahami bangsa dan rakyat yang mereka
kuasai. Secara perlahan menteri-menteri urusan luar negeri mulai mempekerjakan
ilmuwan- ilmuwan untuk meneliti topik-topik khusus yang menarik perhatian,
namun sampai Perang Dunia Dua sebagian besar kaum orientalis akademik masih
tetap jauh dari politik, sekalipun mereka mulai tertarik kepada Timur
kontemporer. Jadi pada tahun 1932 Sir Hamilton Gibb mengedit sebuah buku yang
berjudul Whither Islam? yang berkenaan dengan gerakan gerakan baru-baru ini di
Afrika Utara, Mesir, India dan Indonesia, dan pada tahun 1946 menyampaikan
ceramah-ceramah ilmiahnya di Chicago tentang Modern Trends in Islaml. [11]
Selama Perang Dunia II, negara-negara barat
menjadi sadar akan perlunya pengetahuan bahasa dan kultur Asia dan Afrika yang
dijadikan hal yang esensial. Maka setelah perang usai mereka berencana untuk
melakukan ekspansi besar-besaran bagi pengkajian-pengkajian budaya dan bahasa
tersebut. Pembebasan kolonialisme dalam skala besar juga berarti bahwa hanya
sebagian kecil administrator-administrator kolonial yang mempunyai ketrampilan linguistik.
Bidang-bidang yang dipelajari para orientalis lebih tua diperluas sampai ke
"area studi" untuk memperbandingkan ekonomi, politik kontemporer dan
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Dalam situasi akademik para
orientalis yang berubah ini tetap dipertahankan kemerdekaannya, kecuali ketika
terjadi perebutan untuk memperoleh dana, yang paling mungkin dijamin oleh
proyek-proyek yang bertepatan dengan interes pemerintahan ataupun interes
komersial. Posisi terakhir yang rupanya terjadi bahwa studi-studi ketimuran ini
secara umum tidak dapat dikesampingkan oleh negarawan yang menyusun kebijakan
luar negeri, agar pemerintah seharusnya dapat mempunyai ahli-ahli sendiri di
bidang masing-masing, namun masih ada saja beberapa orientalis akademik yang mengejar
garis-garis riset profesional yang hanya sedikit relevansinya dengan politik
kontemporer.
Perjuangan melawan para orientalis itu timbul
pada suatu perspektif baru oleh Edward Said dalam bukunya tentang Orientalism
[12]. Dia terutama tertarik kepada "orientalisme modern" yang mulai
ke arah akhir abad ke delapan belas. Apakah ada persoalan orientalisme lebih
tua yang dapat diperdebatkan, sejak Oxford English Dictionary menunjukkan bahwa
kata "orientalist" pertama digunakan bagi seorang mahasiswa Ketimuran
sekitar tahun 1780, walaupun "orientalism" tidak terjadi hingga tahun
1812; equivalen kata dalam bahasa Perancis telah sedikit diperlihatkan
terdahulu. Poin utama yang dibuat oleh Said adalah orientalisme modern telah
memainkan peranan utama dalam menciptakan stereotype "Oriental" yang
menjadi basis kebijakan kolonialis. Oriental adalah orang yang tidak mengetahui
apa yang paling baik bagi diri, yang tidak mampu menguasai diri, yang mudah
tertipu, tidak suka akurasi dan tidak jujur, tidak dapat berfikir secara lokal
atau memberikan fakta-fakta yang jelas, mudah tergelincir ke dalam intrik [13].
Hal ini barangkali dapat disimpulkan dalam kalimat: "Barat itu ... adalah
rasional, maju, manusiawi, unggul, sementara Timur ... adalah menyimpang, terbelakang,
rendah" [14].
Harus diakui bahwa stereotype
"Oriental" ini mempengaruhi aktifitas administrator kolonial; namun
yang memperluas kaum orientalis itu bertanggung jawab bagi persoalan yang lain.
Yang lebih memungkinkan bahwa persepsi "Oriental" ini merupakan
sesuatu yang membentuk dirinya secara pelan-pelan pada kontak langsung dengan
bangsa-bangsa di Asia, yakni, pertama dari para pelaut dan para pedagang, lalu
para kolonialis. Satu saat persepsi atau stereotype itu mendapat tempat secara
umum pada pikiran bangsa Eropa yang terdidik, mahasiswa-mahasiswa Timur tidak
dapat luput dari pengaruhnya, dan fakta-fakta baru apapun yang diketemukan akan
disesuaikan dan cenderung dikonfirmasikan dengannya. Memang Edward Said yang
bukan karena maksud yang pertama itu sadar akan sikap superioritas di antara
para kolonialis. Beberapa tahun terdahulu (saya pikir pertama pada tahun 1960)
Wilfred Cantwell Smith telah menulis:
Pengamatan saya pada studi
Ketimuran dan sedikit tentang Afrika lebih dari dua puluh tahun, bahwa kekurangan
dan cacat mendasar peradaban Barat dalam peranannya di dunia sejarah adalah
arogansi (kesombongan), dan sikap ini juga telah mempengaruhi sikap Gereja
Kristen [15].
Edward Said berikhtiar menghubungkan stereotype
Timur abad sembilan belas dengan persepsi-persepsi sebelumnya tentang dunia
Islam. Ada beberapa perbedaan penting, namun masih ada satu persoalan sentral
yang diabaikan. Bagaimana persepsi bangsa Eropa terdahulu terhadap orang Islam
sebagai seorang pejuang yang menyebar luaskan keimanannya dengan kekerasan dan
pedang itu ditransformasikan ke dalam persepsi Ketimuran sebagai suatu perasaan
kecut hati, kelemahan dan pribadi yang tidak berguna. Akan benar-benar lebih
baik untuk memperhatikan persepsi Ketimuran abad sembilan belas sebagai sesuatu
yang baru yang memungkinkan setelah kekuatan-kekuatan bangsa Eropa berhenti
memandang Kerajaan Ottoman sebagai ancaman militer yang berbahaya.
Edward Said menyusun tesisnya secara rinci, namun
beberapa poin interpretasinya tentang motif orang-orang yang terlibat rupanya
diragukan. Satu poin yang dia diskusikan dengan Edward William Lane dalam
Manner and Customs of the Modern Egyptions, dimana Lane menjelaskan bagaimana
dia menolak untuk mengawini wanita Mesir yang dibahas dalam pernyataan marriage
de convenance [16] (Perkawinan yang tepat).
Secara bahasa dia menafikan dirinya sebagai orang
yang tidak mau kawin pada masyarakat manusia. Jadi dia menjaga identitas
otoritatif sebagai partisipan semu dan mendorong obyektifitas naratifnya. Bila
kami tahu bahwa Lane adalah seorang non-muslim, maka kami tahu juga bahwa
menurutnya untuk menjadi seorang Orientalis -- bukan seorang Oriental -- harus
mengabaikan kelezatan sensual kehidupan domestik dirinya sendiri ... Hanya pada
cara yang negatif saja dia dapat menyimpan otoritasnya sebagai pengamat dan
peneliti yang tak kenal lelah.
Alasan ini tentu tidak meyakinkan karena ada
alasan-alasan lain tidak mau mengawini wanita Mesir tersebut, namun yang lebih
beralasan adalah karena ia ingin mengejar karirnya. Lebih dari itu, pada
periode menetap ketiga di Mesir Lane benar-benar mengawini wanita Mesir,
walaupun seorang budak yang dibebaskan berasal-usul Yunani; sebagai orang
non-muslim dia tidak dapat mengawini wanita muslimah
Dua contoh askripsi motif-motif yang meragukan atau
salah terhadap para penulis ini lebih lanjut didapatkan pada pernyataan buku
Sir Hamilton Gibb yang berjudul Mohammedanism: An Historical Survey (1949).
Said menyebutkan "preferensi Gibb tentang kata Mohammedanism terhadap
Islam" dan "ilmu Islam yang paling penting adalah hukum Islam (fiqh),
yang menggantikan teologi" [18]. Dinyatakan bahwa Gibb lebih memilih kata
"Mohammedanisme" untuk "Islam" sama sekali tidak tepat.
Semua bukti menunjukkan bahwa judul tersebut terpaksa diberikan oleh para
penerbit, lantaran buku itu menggantikan buku terdahulu yang ditulis oleh D.S.
Margoliouth yang berjudul Mohammedanism (1911). Dalam beberapa halaman awalnya
Gibb banyak menjelaskan tentang Mohammedan dan Mohammedanisme yang paling
dipahami sebagai semacam apologi terhadap judul yang dibuatnya, sebab berbeda
dengan pernnyataan ini dia tidak pernah menggunakan istilah tersebut kecuali
buku itu seluruhnya hanya untuk Islam dan umat Islam semata. Lebih dari itu,
pada edisi berikutnya nama Mohammedan ini telah berubah menjadi Islam.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa Gibb telah salah
dalam menyebut bahwa ilmu Islam yang paling penting adalah hukum (fiqh) dan
bukannya teologi. Ini agaknya yang menunjukkan ketidaktahuan Said terhadap
Islam, karena dia adalah seorang yang berasal dari latar belakang Kristen.
Sebenamya Gibb mengoreksi ide mahasiswa-mahasiswa dari Eropa terdahulu yang
mempelajari Islam yang karena interes-interes agama telah memberikan tempat
sentral kepada teologi. Secara umum yang kini diakui oleh para ilmuwan barat
bahwa inti pendidikan Islam yang lebih tinggi adalah jurisprudensi (fiqh),
sebagaimana telah dijelaskan di sini, sebagai contoh, bahwa di
perguruan-perguruan atau madrasah abad pertengahan ada seorang profesor utama
dan tugas yang paling penting orang ini adalah mengajarkan jurisprudensi (fiqh)
Poin lebih penting makin dikembangkan oleh
halaman yang lain. Setelah menguraikan bahwa "sebagaimana buku ini mencoba
menunjukkan, Islam secara mendasar digambarkan secara salah di Barat", dia
melanjutkan penjelasannya [20]:
Isu yang sesungguhnya baik yang
dapat menjadi representasi yang benar terhadap sesuatu, sebagian maupun semua,
sebab semua itu adalah gambaran-gambaran, yang pertama melekat pada bahasa dan
kemudian melekat pada kebudayaan, pranata sosial dan ambiensi politik yang
mewakili.
Penjelasan di atas agaknya dimaksudkan bahwa para
orientalis telah salah memberi gambaran tentang Islam sebab
pemyataan-pernyataan para orientalis ini dilekatkan pada latar belakang
linguistik dan latar belakang kebudayaan mereka; dan ini jelas berlaku terhadap
pokok persoalan ini. Tetapi pertanyaan penting yang lebih meluas bagi
penggambaran yang salah ini, disebabkan oleh pendirian pengamat dari luar
Islam. Sebagian terbesar ilmuwan Barat tentang Islam di masa lampau secara pasti
telah gagal mengapresiasi nilai-nilai agama Islam yang positif, meskipun dalam
beberapa hal, yang mereka nyatakan itu benar. Pengamat suatu agama dari dalam
terpengaruh oleh faktor-faktor yang sama sebagai pengamat dari luar, sungguhpun
dalam bentuk yang berbeda. Pengamat dari dalam biasanya melekat pada satu
aliran agama khusus tertentu dan oleh karenanya sulit untuk memperoleh hasil
nilai imbang terhadap keseluruhan. Maka para penganut agama tertentu harus
belajar dari yang diinformasikan sedemikian baiknya oleh pengamat dari luar
yang harus mengatakan tentang suatu agama itu apa adanya. Sebagaimana penyair
Skotlandia, Robert Burns, menggubah sebuah syair:
Wahai gumpalan kekuasaan yang dikaruniakan kepada
kita
Untuk melihat diri kita sebagai yang sesungguhnya melihat kita.
Suatu saat penggambaran salah dari penyimpangan
image benar-benar dibakukan pada pandangan umum dari suatu keseluruhan
komunitas kultural, yang sulit sekali berubah. Generasi-generasi baru dari para
ilmuwan diajarkan oleh orang-orang yang menerima persepsi lama dan ketika
mereka sendiri mendapatkan fakta-fakta baru, masih tetap disesuaikan dengan
persepsi lama tersebut. Hanya ketika ketidaksesuaian itu menjadi serius, maka
para ilmuwan baru mulai memikirkan kembali kebenaran persepsi lama tersebut.
Dalam kasus Islam, yang pertama kali dicatat oleh
para ilmuwan adalah ketidaksesuaian antara Islam sebagai yang mereka pahami
dari tulisan-tulisan orang Islam yang sempat mereka baca dan konsep populer
Islam, secara luas didasarkan pada ide-ide ganjil dan khayali. Pada abad tujuh
belas, sejalan dengan gerakan-gerakan intelektual baru di Eropa, kecenderungan
bangkit kembali ke buku-buku Arab. Satu produk yang penting dari kebangkitan
kembali ini adalah sebuah buku yang berjudul De religõone Mohammedica hasil
pemikiran Hadrian Reland of Utrecht, yang terbit pada tahun 1705. Dalam buku
ini dia memberi pertimbangan yang didasarkan atas sumber-sumber umat Islam, dan
mengecam dongeng- dongeng dan legenda-legenda yang belakangan muncul di Eropa.
Dia tidak mengecam titik-titik persepsi menyimpang abad pertengahan seperti
dijelaskan terdahulu, malah walaupun buku itu ditempatkan pada Indeks Romawi
sebab rupanya terlalu menguntungkan untuk Islam. Selain buku ini diterjemahkan
ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol, juga
berpengaruh baik bagi pemikiran bangsa Eropa [21].
Keinginan untuk mendapatkan informasi tentang
Islam yang lebih akurat nampak pula pada penerjemahan Al-Qur'an dalam bahasa
Latin oleh Ludovico Marracci, terbit di Padua tahun 1698. Terjemahan ini lebih
akurat daripada terjemahan Robert Ketton, akan tetapi diikuti oleh penolakan
beberapa hal secara rinci tentang ajarannya yang berbeda dengan keimanan
Kristen. Kontribusi penting lainnya terhadap pengetahuan Islam yang akurat
adalah terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris oleh George Sale, terbit
pada tahun 1734 disertai dengan wacana Kata Pengantar [22]. Terjemahan Sale ini
dengan lantang diserang oleh umat Islam di tahun-tahun belakangan ini, namun
secara menyeluruh tanpa dasar pembenaran. Sale memiliki petunjuk bahasa Arab
yang bagus dan sudah menyelidiki komentar-komentar penting orang Islam,
terutama komentar al-Baidawi. Penerjemahannya terhadap Al-Qur'an ini bertujuan
untuk mengikuti komentar-komentar tersebut. Para pembaca muslim modern
barangkali ditolak oleh fakta bahwa dalam Kata Pengantar dan Pendahuluannya,
Sale harus memperkenalkan penjelasan-penjelasan yang hampir kritis sebagai
kesimpulan untuk membela diri dari reaksi-reaksi musuh. Maka pada tahun 1734 Kerajaan
Ottoman masih menjadi obyek dari rasa takut. Abad ke sembilan belas nampak
makin meningkatnya volume kegiatan keilmuan. Yang paling nampak adalah yang
ditujukan bagi makin meningkatnya kuantitas informasi akurat tentang Islam yang
tersedia di Eropa, dan berdasarkan atas prinsip yang kembali ke sumber-sumber
Islam. Ada naskah tentang karya-karya fundamental yang diedit oleh orang Eropa
secara cermat seperti Sira buah pena Ibn Hisyam dan banyak lagi karya-karya
ilmiah tentang kehidupan pribadi Muhammad SAW sendiri. Salah satunya adalah
yang ditulis oleh Sir William Muir (1819-1905), pertama diterbitkan dalam empat
jilid antara tahun 1858 dan 1861. Maksud saya yang belakangan ini adalah saya
menggunakan edisi ke tiga, yang aslinya merupakan ringkasan satu jilid dengan
beberapa perubahan yang didorong oleh refleksi lebih lanjut [23]. Sir William
adalah administrator kolonialis di India yang menduduki peringkat atas, namun
pada saat yang sama Sir William adalah seorang anggota gereja yang setia dan
pendukung misi Kristen yang giat. Dia juga sebagai ilmuwan yang menambahkan
perbedaan yang tegas lewat kehidupan Muhammad SAW dan sejarah Kekhalifahan
awal, dan dia adalah seorang Wakil Rektor dan Penanggung jawab Universitas
Eidenburgh sejak tahun 1885 sampai tahun 1903. Pengaktualannya terhadap
gambaran Islam lama yang disimpangkan (sebagaimana dijelaskan terdahulu)
berkaitan dengan kepercayaan bahwa karakter Muhammad SAW benar-benar buruk
setelah beliau memperoleh kekuasaan politik di Madinah; karena ini sangat boleh
jadi telah memperkenankan asas orang-orang yang menang untuk melakukan segala
kekuasaan korup dan tentu saja kekuasaan korup secara mutlak. Sungguhpun
demikian, setelah refleksi matang dalam sumber-sumber material kehidupan awal
Muhammad, dia menerima ketulusan hati dan kejujuran Muhammad serta mempunyai
kekaguman tertentu terhadap Nabi SAW di Mekah itu. Ada kutipan yang baik dalam
kesimpulan di bawah ini:
Pertumbuhan dalam pemikiran
Muhammad tentang keyakinan itu bahwa beliau ditetapkan menjadi Nabi dan
Pembaharu yang dengan akrab dikaitkan dengan kepercayaan beliau kepada Taqdir
khusus yang mencakup kehidupan ruhani sama halnya dunia material; dan diluar
keyakinan itu makin meningkatkan percaya diri bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan
memberkati misinya dengan sukses. Sekalipun masih berada di Mekah, tidak ada
alasan untuk ragu bahwa permasalahan-permasalahan dan aspirasi-aspirasi ruhnya
yang mendalam dipandang olehnya sebagai petunjuk langsung dari Allah. Cahaya
yang secara perlahan tapi pasti menerangi pikiran ilmu kesatuan ilahi dan
kesempurnaan-kesempurnaan, serta tugas-tugas dan ketentuan nasib manusia, --
cahaya di tengah kegelapan yang mencekam, -- mesti keluar dari sumber yang
sama; dan Dialah yang dalam kenikmatan-Nya telah mengawali kerja yang benar-
benar akan membawanya sampai ke suatu akhir yang sukses. Apakah itu Muhammad
sendiri kecuali instrumen di tangan Pekerja Yang Maha Besar? Dengan demikian,
tak pelak lagi, pikiran-pikirannya itulah yang menguatkan dirinya sendiri dan
tidak ada yang mendukung, selama bertahun-tahun memberanikan diri menghadapi
cemoohan-cemoohan dan penganiayaan-penganiayaan seluruh bangsa manusia. [24]
Sementara itu Muir di sini tetap berpegang teguh
pada pendirian bahwa selama periode Mekah Muhammad, sungguh diyakini bahwa
pesan-pesan risalah yang beliau terima itu berasal dari Allah dan bukan berasal
dari pemikirannya sendiri beliau yang kebanyakan dinyatakan di dalam Al- Qur'an
sebagai susunan Muhammad sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh semua sarjana
Eropa tentang Islam pada periode ini. Inilah yang menyakitkan umat Islam sebab
mereka mengambil Islam yang menyiratkan bahwa Al-Qur'an itu bukan dari Allah
melainkan dari Muhammad. Kenyataan itulah yang dipikirkan oleh sebagian
terbesar bangsa Eropa, sekalipun kutipan terdahulu itu memperlihatkan bahwa
mereka itu mulai memperkenankan bahwa Muhammad mempunyai pengalaman pengalaman
keagamaan yang murni. Umat Islam juga mengacu kepada hasrat sarjana-sarjana
Eropa untuk memeroleh sumber-sumber yang tepat akan bentuk kisah-kisah
Al-Qur'an tentang nabi- nabi terdahulu. Bagi orang tradisionalis muslim adalah
menggelikan untuk menyatakan bahwa Allah sebagai pencipta (pengarang) Al-Qur'an
yang menghajatkan banyak sumber, atau dapat menjadi subyek pengaruh-pengaruh
dari luar. Sasaran lebih serius untuk meneliti pengaruh-pengaruh yang
mengalihkan perhatian dari dinamika khusus Al-Qur'an yang unik, merupakan
sesuatu yang penting. [25]
Penerapan bahan-bahan Islam
dalam kritik historis modern membawa para ilmuwan Eropa memegangi pendapat
bahwa banyak pokok kepercayaan orang Islam itu tidak berdasarkan sejarah; namun
secara umum memperhatikan bahan-bahan sekunder atau bahan-bahan yang tidak
berkenaan dengan pokok persoalannya, tidak sentral terhadap agama. Satu contoh
adalah argumetasi bahwa asal-usul keilahiahan Al-Qur'an itu dibuktikan oleh
fakta bahwa Muhammad SAW itu betul-betul buta huruf, tidak dapat membaca maupun
menulis. Gambaran Muhammad SAW itu didasarkan atas ayat Al-Qur'an yang
menyatakan orang ini sebagai nabi yang ummi dan tafsir ummi memberi makna
kepada "buta huruf." Para ilmuwan Eropa telah menolak penafsiran ummi
ini, dan telah memperlihatkan secara meyakinkan bahwa dalam Al-Qur'an kata ummi
dan jama'nya ummiyun berarti "non Yahudi" atau "orang
kafir." [26] Secara aktual, kebutahurufan Muhammad SAW itu bukanlah
argumen apologis yang baik, karena hal ini menyingkirkan kemungkinan kalau
Muhammad itu dapat pula memiliki kitab Suci Yahudi dan kitab Kristen yang
dibacakan kepadanya, bilamana diperlukan dalam terjemahan. Jadi titik masalah
tentang kata ummi tidak melemahkan dasar-dasar orang lslam untuk beriman kepada
keaslian Al-Qur'an yang bersifat ilahiah. Lebih dari itu, tidak ada ilmuwan
Eropa dewasa ini yang suatu saat hendak memberi kesan bahwa Muhammad SAW
membaca Bibel atau memiliki Bibel untuk dibacakan kepada beliau, karena
ketidaktahuannya kepada Bibel itu benar- benar nyata. Tentu saja, problem
kontemporer lebih lanjut adalah menyatakan kekurangan-kekurangan terhadap
persepsi-persepsi Al-Qur'an tentang Yahudi dan Kristiani.
Hal lain dalam kaitannya dengan perbedaan ini
adalah kisah tentang "ayat-ayat setan" atau, dengan menengok ke
belakang kita dapat menyebutnya sebagai "gangguan-gangguan setan."
Pernyataan itu menjadi menonjol sebab Salman Rushdie memilih ayat-ayat setan
ini sebagai judul bukunya yang terkenal berani menghujat Islam itu. Sebagian
kecil orang yang membaca tentang masalah Rushdie atau bahkan orang-orang yang
mengadukan buku itu kemungkinan mengetahui cerita yang asli. Hal itu menjadi
berpengaruh karena di satu kesempatan, seperti Muhammad SAW sedang duduk
bersama dengan para saudagar pelbegu dan mengharapkan beliau dapat menurunkan
ayat (wahyu) yang memenangkan mereka, beliau mulai menerima sebuah ayat yang
menyebutkan:
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang
musyrik) menganggap al-Latta, Uzza, dan Manah yang ketiga (sebagai anak
perempuan Allah). (53: 19-20)
Selanjutnya ada dua (atau dalam beberapa versi
ada tiga) ayat yang memberikan persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa pagan
tersebut untuk menjadi perantara atas nama Allah, Tuhan Yang Tinggi itu. Atas
pendengaran ini para saudagar sangat gembira dan mengikuti Muhammad dalam
ibadah. Namun begitu, kemudian beliau menyatakan bahwa kelompok ayat-ayat yang
kedua telah dipaksakan oleh Setan dan tidak asli lagi.
Sekalipun kisah ini berasal dari sumber muslim
yang sahih, namun kaum muslimin dari periode awal sudah tidak menyukainya dan
cenderung menganggap kisah ini tidak pernah terjadi. Mereka memberi sasaran
kepada implikasi bahwa seorang nabi seperti Muhammad SAW dapat diperdaya oleh
Setan. Sementara Al-Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa sesuatu yang terjadi
itu dan kisah yang diceritakan tentang ayat-ayat Setan di atas diberitahukan
oleh Al-Tabari dalam komentarnya tentang 22: 52, yang menyebutkan di bawah ini:
Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu seorang Rasulpun dan tidak pula seorang nabi, melainkan apabila ia
mempunyai suatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan
itu. Maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu.
Ada arti-arti lain yang memungkinkan terhadap
"menginginkan" dan "hasrat" misalnya
"menceritakan" dan "cerita", namun arti-arti itu tidak
memengaruhi titik persoalan yang utama. Tidak masuk akal kalau orang muslim membuat-buat
ceritera atau kisah tersebut, atau bahwa Al-Tabari sebagai seorang ilmuwan yang
amat cermat, telah menerima kisah tersebut dari sumber yang meragukan.
Hal yang lebih serius lagi adalah kritik orang
Eropa terhadap kumpulan Hadith. Hadith-hadith itu terdiri dari beribu-ribu
anekdot tentang yang dikatakan atau diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW dan
terutama sekali dipakai sebagai landasan hukum (Shari'ah). Enam kitab kumpulan
Hadith mempunyai semacam status dan dipercayai hanya berisi "matan"
Hadith. (Dalam karya karya Hadith yang lebih tua disebut dalam bahasa Inggris
sebagai Tradition, namun istilah ini sekarang secara luas sudah usang sebab
mengandung makna ganda). Karya-karya para tokoh Eropa terkemuka di bidang ini
adalah volume 2 dari Ignaz Goldziher dalam Mohammadanische Studien [27] dan
Joseph Schacht dalam The Origin of Muhammadan Jurisprudence [28]. Dua buah
karya tersebut dan masih banyak lagi karya para ilmuwan Eropa lain cenderung
berpandangan bahwa sangat sedikit Hadith yang mempunyai sejarah yang sahih dan
asli. Secara alamiah kaum muslimin melihat hal ini sebagai serangan terhadap
keseluruhan sistem hukum Islam. Pandangan ilmuwan Eropa itu telah dikritik
sendiri oleh Fuat Sezgin, yang menggunakan bahan terdahulu yang tidak dipakai
oleh Goldziher dan Schacht [29]. Keseluruhan persoalan ini sedemikian
kompleknya utuk didiskusikan di sini, kecuali satu poin yang cukup berguna,
yakni, bahwa para ilmuwan Eropa itu tidak memberi perhatian sempurna terhadap
fungsi Hadith dalam memberikan landasan yang tetap tak berubah terhadap sebagian
terbesar rincian-rincian hukum Islam. Hal inilah yang agaknya menjadi salah
satu wilayah dimana obyektifitas historis menjadi bahan yang sekunder.
Pertimbangan di atas mengacu kepada pernyataan
final tentang kaum orientalis. Sungguhpun kebanyakan yang mereka katakan itu
benar, namun mereka gagal menyeimbangkan kritik-kritiknya terhadap Islam dengan
apresiasi yang positif bagi nilai-nilai dan prestasi-prestasi Islam sebagai
agama. Jadi sama-sama tidak mengherankan kalau kaum muslimin senantiasa menjadi
musuh terhadap orang-orang orientalis.
TEMU ISLAM DAN KRISTEN
Persepsi dan Salah Persepsi
oleh William
Montgomery Watt
Golongan Orentalis Eropa
Pada dekade-dekade terakhir sebagian umat Islam
menuduh kaum orientalis barat berkolusi dengan para kolonialis dalam mencoba
memperlemah atau menghancurkan Islam. Satu ekspresi ini dapat diperoleh pada
artikel yang ditulis oleh Abdallah Laroui [9]. Setelah mendefinisikan
"Orientalist" sebagai orang "asing" dari luar -- dalam
kasus ini adalah orang barat -- yang mengambil Islam sebagai subyek risetnya ,
dia meneruskan:
Pada karya-karya para Orientalis
kita dapatkan kritik ideologis (dalam artian yang sederhana) terhadap kultur
Islam. Hasil dari dorongan-dorongan intelektual yang besar adalah bagi sebagian
terbesar yang tak berharga dan tak bernilai ...
Cita-rasa para Orientalis merupakan bagian dari
birokrasi dan berdasarkan alasan ini, menderita karena batas-batas yang secara
buruk menghalangi kreasi bebas pendekatan-pendekatan baru atau bahkan penerapan
pendekatan-pendekatan yang telah ada.
Di samping mengkritik metode-metode kaum
Orientalis, dia juga mengajukan asumsi bahwa Islam adalah sesuatu yang statis.
Dia sendiri rupanya melihat reinterpretasi dan reformulasi terhadap keimanan
Islam dan artikelnya menyimpulkan:
Sangat mungkin bahwa reformulasi
kepercayaan adalah ketaajuban person yang gaib yang segera menunggu hadirnya
kemenangan. Satu saat lagi kita akan menjadi saksi verifikasi formal dalil,
"Islam berlaku bagi semua zaman ... secara tepat karena keimanan itu tidak
pernah Islam yang sama; kata yang secara sederhana benar-benar menunjukkan
realitas yang senantiasa diulang dan diperbaharui. [10]
Konsepsi tentang Islam ini sebagai dalam proses
pembaharuan yang konstan tentu saja disambut dengan hangat.
Orang-orang seperti saya sendiri yang masuk ke
golongan orientalis pada asalnya tidak dipandang sebagai bagian dari birokrasi,
namun nyatanya ada hubungan yang kompleks antara para orientalis dalam
pengertiannya yang luas (mereka yang tidak tertarik dengan Islam) dan mereka
adalah golongan kolonialis dan perwira-perwira asing dari luar. Selama abad
sembilan belas sebagian terbesar orientalis tertarik untuk mempelajari
bahasa-bahasa timur dan agama-agama besar periode klasik di timur. Sebagian
kecil yang mempunyai daya tarik bagi para kolonialis. Sebagaimana kaum
orientalis yang menghimpun informasi yang lebih banyak tentang kultur-kultur
yang mereka pelajari, para kolonialis bertujuan menyatakan bahwa sebagian
kajian ini berguna dalam membantu memahami bangsa dan rakyat yang mereka
kuasai. Secara perlahan menteri-menteri urusan luar negeri mulai mempekerjakan
ilmuwan- ilmuwan untuk meneliti topik-topik khusus yang menarik perhatian,
namun sampai Perang Dunia Dua sebagian besar kaum orientalis akademik masih
tetap jauh dari politik, sekalipun mereka mulai tertarik kepada Timur
kontemporer. Jadi pada tahun 1932 Sir Hamilton Gibb mengedit sebuah buku yang
berjudul Whither Islam? yang berkenaan dengan gerakan gerakan baru-baru ini di
Afrika Utara, Mesir, India dan Indonesia, dan pada tahun 1946 menyampaikan
ceramah-ceramah ilmiahnya di Chicago tentang Modern Trends in Islaml. [11]
Selama Perang Dunia II, negara-negara barat
menjadi sadar akan perlunya pengetahuan bahasa dan kultur Asia dan Afrika yang
dijadikan hal yang esensial. Maka setelah perang usai mereka berencana untuk
melakukan ekspansi besar-besaran bagi pengkajian-pengkajian budaya dan bahasa
tersebut. Pembebasan kolonialisme dalam skala besar juga berarti bahwa hanya
sebagian kecil administrator-administrator kolonial yang mempunyai ketrampilan linguistik.
Bidang-bidang yang dipelajari para orientalis lebih tua diperluas sampai ke
"area studi" untuk memperbandingkan ekonomi, politik kontemporer dan
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Dalam situasi akademik para
orientalis yang berubah ini tetap dipertahankan kemerdekaannya, kecuali ketika
terjadi perebutan untuk memperoleh dana, yang paling mungkin dijamin oleh
proyek-proyek yang bertepatan dengan interes pemerintahan ataupun interes
komersial. Posisi terakhir yang rupanya terjadi bahwa studi-studi ketimuran ini
secara umum tidak dapat dikesampingkan oleh negarawan yang menyusun kebijakan
luar negeri, agar pemerintah seharusnya dapat mempunyai ahli-ahli sendiri di
bidang masing-masing, namun masih ada saja beberapa orientalis akademik yang mengejar
garis-garis riset profesional yang hanya sedikit relevansinya dengan politik
kontemporer.
Perjuangan melawan para orientalis itu timbul
pada suatu perspektif baru oleh Edward Said dalam bukunya tentang Orientalism
[12]. Dia terutama tertarik kepada "orientalisme modern" yang mulai
ke arah akhir abad ke delapan belas. Apakah ada persoalan orientalisme lebih
tua yang dapat diperdebatkan, sejak Oxford English Dictionary menunjukkan bahwa
kata "orientalist" pertama digunakan bagi seorang mahasiswa Ketimuran
sekitar tahun 1780, walaupun "orientalism" tidak terjadi hingga tahun
1812; equivalen kata dalam bahasa Perancis telah sedikit diperlihatkan
terdahulu. Poin utama yang dibuat oleh Said adalah orientalisme modern telah
memainkan peranan utama dalam menciptakan stereotype "Oriental" yang
menjadi basis kebijakan kolonialis. Oriental adalah orang yang tidak mengetahui
apa yang paling baik bagi diri, yang tidak mampu menguasai diri, yang mudah
tertipu, tidak suka akurasi dan tidak jujur, tidak dapat berfikir secara lokal
atau memberikan fakta-fakta yang jelas, mudah tergelincir ke dalam intrik [13].
Hal ini barangkali dapat disimpulkan dalam kalimat: "Barat itu ... adalah
rasional, maju, manusiawi, unggul, sementara Timur ... adalah menyimpang, terbelakang,
rendah" [14].
Harus diakui bahwa stereotype
"Oriental" ini mempengaruhi aktifitas administrator kolonial; namun
yang memperluas kaum orientalis itu bertanggung jawab bagi persoalan yang lain.
Yang lebih memungkinkan bahwa persepsi "Oriental" ini merupakan
sesuatu yang membentuk dirinya secara pelan-pelan pada kontak langsung dengan
bangsa-bangsa di Asia, yakni, pertama dari para pelaut dan para pedagang, lalu
para kolonialis. Satu saat persepsi atau stereotype itu mendapat tempat secara
umum pada pikiran bangsa Eropa yang terdidik, mahasiswa-mahasiswa Timur tidak
dapat luput dari pengaruhnya, dan fakta-fakta baru apapun yang diketemukan akan
disesuaikan dan cenderung dikonfirmasikan dengannya. Memang Edward Said yang
bukan karena maksud yang pertama itu sadar akan sikap superioritas di antara
para kolonialis. Beberapa tahun terdahulu (saya pikir pertama pada tahun 1960)
Wilfred Cantwell Smith telah menulis:
Pengamatan saya pada studi
Ketimuran dan sedikit tentang Afrika lebih dari dua puluh tahun, bahwa kekurangan
dan cacat mendasar peradaban Barat dalam peranannya di dunia sejarah adalah
arogansi (kesombongan), dan sikap ini juga telah mempengaruhi sikap Gereja
Kristen [15].
Edward Said berikhtiar menghubungkan stereotype
Timur abad sembilan belas dengan persepsi-persepsi sebelumnya tentang dunia
Islam. Ada beberapa perbedaan penting, namun masih ada satu persoalan sentral
yang diabaikan. Bagaimana persepsi bangsa Eropa terdahulu terhadap orang Islam
sebagai seorang pejuang yang menyebar luaskan keimanannya dengan kekerasan dan
pedang itu ditransformasikan ke dalam persepsi Ketimuran sebagai suatu perasaan
kecut hati, kelemahan dan pribadi yang tidak berguna. Akan benar-benar lebih
baik untuk memperhatikan persepsi Ketimuran abad sembilan belas sebagai sesuatu
yang baru yang memungkinkan setelah kekuatan-kekuatan bangsa Eropa berhenti
memandang Kerajaan Ottoman sebagai ancaman militer yang berbahaya.
Edward Said menyusun tesisnya secara rinci, namun
beberapa poin interpretasinya tentang motif orang-orang yang terlibat rupanya
diragukan. Satu poin yang dia diskusikan dengan Edward William Lane dalam
Manner and Customs of the Modern Egyptions, dimana Lane menjelaskan bagaimana
dia menolak untuk mengawini wanita Mesir yang dibahas dalam pernyataan marriage
de convenance [16] (Perkawinan yang tepat).
Secara bahasa dia menafikan dirinya sebagai orang
yang tidak mau kawin pada masyarakat manusia. Jadi dia menjaga identitas
otoritatif sebagai partisipan semu dan mendorong obyektifitas naratifnya. Bila
kami tahu bahwa Lane adalah seorang non-muslim, maka kami tahu juga bahwa
menurutnya untuk menjadi seorang Orientalis -- bukan seorang Oriental -- harus
mengabaikan kelezatan sensual kehidupan domestik dirinya sendiri ... Hanya pada
cara yang negatif saja dia dapat menyimpan otoritasnya sebagai pengamat dan
peneliti yang tak kenal lelah.
Alasan ini tentu tidak meyakinkan karena ada
alasan-alasan lain tidak mau mengawini wanita Mesir tersebut, namun yang lebih
beralasan adalah karena ia ingin mengejar karirnya. Lebih dari itu, pada
periode menetap ketiga di Mesir Lane benar-benar mengawini wanita Mesir,
walaupun seorang budak yang dibebaskan berasal-usul Yunani; sebagai orang
non-muslim dia tidak dapat mengawini wanita muslimah
Dua contoh askripsi motif-motif yang meragukan atau
salah terhadap para penulis ini lebih lanjut didapatkan pada pernyataan buku
Sir Hamilton Gibb yang berjudul Mohammedanism: An Historical Survey (1949).
Said menyebutkan "preferensi Gibb tentang kata Mohammedanism terhadap
Islam" dan "ilmu Islam yang paling penting adalah hukum Islam (fiqh),
yang menggantikan teologi" [18]. Dinyatakan bahwa Gibb lebih memilih kata
"Mohammedanisme" untuk "Islam" sama sekali tidak tepat.
Semua bukti menunjukkan bahwa judul tersebut terpaksa diberikan oleh para
penerbit, lantaran buku itu menggantikan buku terdahulu yang ditulis oleh D.S.
Margoliouth yang berjudul Mohammedanism (1911). Dalam beberapa halaman awalnya
Gibb banyak menjelaskan tentang Mohammedan dan Mohammedanisme yang paling
dipahami sebagai semacam apologi terhadap judul yang dibuatnya, sebab berbeda
dengan pernnyataan ini dia tidak pernah menggunakan istilah tersebut kecuali
buku itu seluruhnya hanya untuk Islam dan umat Islam semata. Lebih dari itu,
pada edisi berikutnya nama Mohammedan ini telah berubah menjadi Islam.
Lebih lanjut ditegaskan bahwa Gibb telah salah
dalam menyebut bahwa ilmu Islam yang paling penting adalah hukum (fiqh) dan
bukannya teologi. Ini agaknya yang menunjukkan ketidaktahuan Said terhadap
Islam, karena dia adalah seorang yang berasal dari latar belakang Kristen.
Sebenamya Gibb mengoreksi ide mahasiswa-mahasiswa dari Eropa terdahulu yang
mempelajari Islam yang karena interes-interes agama telah memberikan tempat
sentral kepada teologi. Secara umum yang kini diakui oleh para ilmuwan barat
bahwa inti pendidikan Islam yang lebih tinggi adalah jurisprudensi (fiqh),
sebagaimana telah dijelaskan di sini, sebagai contoh, bahwa di
perguruan-perguruan atau madrasah abad pertengahan ada seorang profesor utama
dan tugas yang paling penting orang ini adalah mengajarkan jurisprudensi (fiqh)
Poin lebih penting makin dikembangkan oleh
halaman yang lain. Setelah menguraikan bahwa "sebagaimana buku ini mencoba
menunjukkan, Islam secara mendasar digambarkan secara salah di Barat", dia
melanjutkan penjelasannya [20]:
Isu yang sesungguhnya baik yang
dapat menjadi representasi yang benar terhadap sesuatu, sebagian maupun semua,
sebab semua itu adalah gambaran-gambaran, yang pertama melekat pada bahasa dan
kemudian melekat pada kebudayaan, pranata sosial dan ambiensi politik yang
mewakili.
Penjelasan di atas agaknya dimaksudkan bahwa para
orientalis telah salah memberi gambaran tentang Islam sebab
pemyataan-pernyataan para orientalis ini dilekatkan pada latar belakang
linguistik dan latar belakang kebudayaan mereka; dan ini jelas berlaku terhadap
pokok persoalan ini. Tetapi pertanyaan penting yang lebih meluas bagi
penggambaran yang salah ini, disebabkan oleh pendirian pengamat dari luar
Islam. Sebagian terbesar ilmuwan Barat tentang Islam di masa lampau secara pasti
telah gagal mengapresiasi nilai-nilai agama Islam yang positif, meskipun dalam
beberapa hal, yang mereka nyatakan itu benar. Pengamat suatu agama dari dalam
terpengaruh oleh faktor-faktor yang sama sebagai pengamat dari luar, sungguhpun
dalam bentuk yang berbeda. Pengamat dari dalam biasanya melekat pada satu
aliran agama khusus tertentu dan oleh karenanya sulit untuk memperoleh hasil
nilai imbang terhadap keseluruhan. Maka para penganut agama tertentu harus
belajar dari yang diinformasikan sedemikian baiknya oleh pengamat dari luar
yang harus mengatakan tentang suatu agama itu apa adanya. Sebagaimana penyair
Skotlandia, Robert Burns, menggubah sebuah syair:
Wahai gumpalan kekuasaan yang dikaruniakan kepada
kita
Untuk melihat diri kita sebagai yang sesungguhnya melihat kita.
Suatu saat penggambaran salah dari penyimpangan
image benar-benar dibakukan pada pandangan umum dari suatu keseluruhan
komunitas kultural, yang sulit sekali berubah. Generasi-generasi baru dari para
ilmuwan diajarkan oleh orang-orang yang menerima persepsi lama dan ketika
mereka sendiri mendapatkan fakta-fakta baru, masih tetap disesuaikan dengan
persepsi lama tersebut. Hanya ketika ketidaksesuaian itu menjadi serius, maka
para ilmuwan baru mulai memikirkan kembali kebenaran persepsi lama tersebut.
Dalam kasus Islam, yang pertama kali dicatat oleh
para ilmuwan adalah ketidaksesuaian antara Islam sebagai yang mereka pahami
dari tulisan-tulisan orang Islam yang sempat mereka baca dan konsep populer
Islam, secara luas didasarkan pada ide-ide ganjil dan khayali. Pada abad tujuh
belas, sejalan dengan gerakan-gerakan intelektual baru di Eropa, kecenderungan
bangkit kembali ke buku-buku Arab. Satu produk yang penting dari kebangkitan
kembali ini adalah sebuah buku yang berjudul De religõone Mohammedica hasil
pemikiran Hadrian Reland of Utrecht, yang terbit pada tahun 1705. Dalam buku
ini dia memberi pertimbangan yang didasarkan atas sumber-sumber umat Islam, dan
mengecam dongeng- dongeng dan legenda-legenda yang belakangan muncul di Eropa.
Dia tidak mengecam titik-titik persepsi menyimpang abad pertengahan seperti
dijelaskan terdahulu, malah walaupun buku itu ditempatkan pada Indeks Romawi
sebab rupanya terlalu menguntungkan untuk Islam. Selain buku ini diterjemahkan
ke dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Spanyol, juga
berpengaruh baik bagi pemikiran bangsa Eropa [21].
Keinginan untuk mendapatkan informasi tentang
Islam yang lebih akurat nampak pula pada penerjemahan Al-Qur'an dalam bahasa
Latin oleh Ludovico Marracci, terbit di Padua tahun 1698. Terjemahan ini lebih
akurat daripada terjemahan Robert Ketton, akan tetapi diikuti oleh penolakan
beberapa hal secara rinci tentang ajarannya yang berbeda dengan keimanan
Kristen. Kontribusi penting lainnya terhadap pengetahuan Islam yang akurat
adalah terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris oleh George Sale, terbit
pada tahun 1734 disertai dengan wacana Kata Pengantar [22]. Terjemahan Sale ini
dengan lantang diserang oleh umat Islam di tahun-tahun belakangan ini, namun
secara menyeluruh tanpa dasar pembenaran. Sale memiliki petunjuk bahasa Arab
yang bagus dan sudah menyelidiki komentar-komentar penting orang Islam,
terutama komentar al-Baidawi. Penerjemahannya terhadap Al-Qur'an ini bertujuan
untuk mengikuti komentar-komentar tersebut. Para pembaca muslim modern
barangkali ditolak oleh fakta bahwa dalam Kata Pengantar dan Pendahuluannya,
Sale harus memperkenalkan penjelasan-penjelasan yang hampir kritis sebagai
kesimpulan untuk membela diri dari reaksi-reaksi musuh. Maka pada tahun 1734 Kerajaan
Ottoman masih menjadi obyek dari rasa takut. Abad ke sembilan belas nampak
makin meningkatnya volume kegiatan keilmuan. Yang paling nampak adalah yang
ditujukan bagi makin meningkatnya kuantitas informasi akurat tentang Islam yang
tersedia di Eropa, dan berdasarkan atas prinsip yang kembali ke sumber-sumber
Islam. Ada naskah tentang karya-karya fundamental yang diedit oleh orang Eropa
secara cermat seperti Sira buah pena Ibn Hisyam dan banyak lagi karya-karya
ilmiah tentang kehidupan pribadi Muhammad SAW sendiri. Salah satunya adalah
yang ditulis oleh Sir William Muir (1819-1905), pertama diterbitkan dalam empat
jilid antara tahun 1858 dan 1861. Maksud saya yang belakangan ini adalah saya
menggunakan edisi ke tiga, yang aslinya merupakan ringkasan satu jilid dengan
beberapa perubahan yang didorong oleh refleksi lebih lanjut [23]. Sir William
adalah administrator kolonialis di India yang menduduki peringkat atas, namun
pada saat yang sama Sir William adalah seorang anggota gereja yang setia dan
pendukung misi Kristen yang giat. Dia juga sebagai ilmuwan yang menambahkan
perbedaan yang tegas lewat kehidupan Muhammad SAW dan sejarah Kekhalifahan
awal, dan dia adalah seorang Wakil Rektor dan Penanggung jawab Universitas
Eidenburgh sejak tahun 1885 sampai tahun 1903. Pengaktualannya terhadap
gambaran Islam lama yang disimpangkan (sebagaimana dijelaskan terdahulu)
berkaitan dengan kepercayaan bahwa karakter Muhammad SAW benar-benar buruk
setelah beliau memperoleh kekuasaan politik di Madinah; karena ini sangat boleh
jadi telah memperkenankan asas orang-orang yang menang untuk melakukan segala
kekuasaan korup dan tentu saja kekuasaan korup secara mutlak. Sungguhpun
demikian, setelah refleksi matang dalam sumber-sumber material kehidupan awal
Muhammad, dia menerima ketulusan hati dan kejujuran Muhammad serta mempunyai
kekaguman tertentu terhadap Nabi SAW di Mekah itu. Ada kutipan yang baik dalam
kesimpulan di bawah ini:
Pertumbuhan dalam pemikiran
Muhammad tentang keyakinan itu bahwa beliau ditetapkan menjadi Nabi dan
Pembaharu yang dengan akrab dikaitkan dengan kepercayaan beliau kepada Taqdir
khusus yang mencakup kehidupan ruhani sama halnya dunia material; dan diluar
keyakinan itu makin meningkatkan percaya diri bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa akan
memberkati misinya dengan sukses. Sekalipun masih berada di Mekah, tidak ada
alasan untuk ragu bahwa permasalahan-permasalahan dan aspirasi-aspirasi ruhnya
yang mendalam dipandang olehnya sebagai petunjuk langsung dari Allah. Cahaya
yang secara perlahan tapi pasti menerangi pikiran ilmu kesatuan ilahi dan
kesempurnaan-kesempurnaan, serta tugas-tugas dan ketentuan nasib manusia, --
cahaya di tengah kegelapan yang mencekam, -- mesti keluar dari sumber yang
sama; dan Dialah yang dalam kenikmatan-Nya telah mengawali kerja yang benar-
benar akan membawanya sampai ke suatu akhir yang sukses. Apakah itu Muhammad
sendiri kecuali instrumen di tangan Pekerja Yang Maha Besar? Dengan demikian,
tak pelak lagi, pikiran-pikirannya itulah yang menguatkan dirinya sendiri dan
tidak ada yang mendukung, selama bertahun-tahun memberanikan diri menghadapi
cemoohan-cemoohan dan penganiayaan-penganiayaan seluruh bangsa manusia. [24]
Sementara itu Muir di sini tetap berpegang teguh
pada pendirian bahwa selama periode Mekah Muhammad, sungguh diyakini bahwa
pesan-pesan risalah yang beliau terima itu berasal dari Allah dan bukan berasal
dari pemikirannya sendiri beliau yang kebanyakan dinyatakan di dalam Al- Qur'an
sebagai susunan Muhammad sendiri, sebagaimana dinyatakan oleh semua sarjana
Eropa tentang Islam pada periode ini. Inilah yang menyakitkan umat Islam sebab
mereka mengambil Islam yang menyiratkan bahwa Al-Qur'an itu bukan dari Allah
melainkan dari Muhammad. Kenyataan itulah yang dipikirkan oleh sebagian
terbesar bangsa Eropa, sekalipun kutipan terdahulu itu memperlihatkan bahwa
mereka itu mulai memperkenankan bahwa Muhammad mempunyai pengalaman pengalaman
keagamaan yang murni. Umat Islam juga mengacu kepada hasrat sarjana-sarjana
Eropa untuk memeroleh sumber-sumber yang tepat akan bentuk kisah-kisah
Al-Qur'an tentang nabi- nabi terdahulu. Bagi orang tradisionalis muslim adalah
menggelikan untuk menyatakan bahwa Allah sebagai pencipta (pengarang) Al-Qur'an
yang menghajatkan banyak sumber, atau dapat menjadi subyek pengaruh-pengaruh
dari luar. Sasaran lebih serius untuk meneliti pengaruh-pengaruh yang
mengalihkan perhatian dari dinamika khusus Al-Qur'an yang unik, merupakan
sesuatu yang penting. [25]
Penerapan bahan-bahan Islam
dalam kritik historis modern membawa para ilmuwan Eropa memegangi pendapat
bahwa banyak pokok kepercayaan orang Islam itu tidak berdasarkan sejarah; namun
secara umum memperhatikan bahan-bahan sekunder atau bahan-bahan yang tidak
berkenaan dengan pokok persoalannya, tidak sentral terhadap agama. Satu contoh
adalah argumetasi bahwa asal-usul keilahiahan Al-Qur'an itu dibuktikan oleh
fakta bahwa Muhammad SAW itu betul-betul buta huruf, tidak dapat membaca maupun
menulis. Gambaran Muhammad SAW itu didasarkan atas ayat Al-Qur'an yang
menyatakan orang ini sebagai nabi yang ummi dan tafsir ummi memberi makna
kepada "buta huruf." Para ilmuwan Eropa telah menolak penafsiran ummi
ini, dan telah memperlihatkan secara meyakinkan bahwa dalam Al-Qur'an kata ummi
dan jama'nya ummiyun berarti "non Yahudi" atau "orang
kafir." [26] Secara aktual, kebutahurufan Muhammad SAW itu bukanlah
argumen apologis yang baik, karena hal ini menyingkirkan kemungkinan kalau
Muhammad itu dapat pula memiliki kitab Suci Yahudi dan kitab Kristen yang
dibacakan kepadanya, bilamana diperlukan dalam terjemahan. Jadi titik masalah
tentang kata ummi tidak melemahkan dasar-dasar orang lslam untuk beriman kepada
keaslian Al-Qur'an yang bersifat ilahiah. Lebih dari itu, tidak ada ilmuwan
Eropa dewasa ini yang suatu saat hendak memberi kesan bahwa Muhammad SAW
membaca Bibel atau memiliki Bibel untuk dibacakan kepada beliau, karena
ketidaktahuannya kepada Bibel itu benar- benar nyata. Tentu saja, problem
kontemporer lebih lanjut adalah menyatakan kekurangan-kekurangan terhadap
persepsi-persepsi Al-Qur'an tentang Yahudi dan Kristiani.
Hal lain dalam kaitannya dengan perbedaan ini
adalah kisah tentang "ayat-ayat setan" atau, dengan menengok ke
belakang kita dapat menyebutnya sebagai "gangguan-gangguan setan."
Pernyataan itu menjadi menonjol sebab Salman Rushdie memilih ayat-ayat setan
ini sebagai judul bukunya yang terkenal berani menghujat Islam itu. Sebagian
kecil orang yang membaca tentang masalah Rushdie atau bahkan orang-orang yang
mengadukan buku itu kemungkinan mengetahui cerita yang asli. Hal itu menjadi
berpengaruh karena di satu kesempatan, seperti Muhammad SAW sedang duduk
bersama dengan para saudagar pelbegu dan mengharapkan beliau dapat menurunkan
ayat (wahyu) yang memenangkan mereka, beliau mulai menerima sebuah ayat yang
menyebutkan:
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang
musyrik) menganggap al-Latta, Uzza, dan Manah yang ketiga (sebagai anak
perempuan Allah). (53: 19-20)
Selanjutnya ada dua (atau dalam beberapa versi
ada tiga) ayat yang memberikan persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa pagan
tersebut untuk menjadi perantara atas nama Allah, Tuhan Yang Tinggi itu. Atas
pendengaran ini para saudagar sangat gembira dan mengikuti Muhammad dalam
ibadah. Namun begitu, kemudian beliau menyatakan bahwa kelompok ayat-ayat yang
kedua telah dipaksakan oleh Setan dan tidak asli lagi.
Sekalipun kisah ini berasal dari sumber muslim
yang sahih, namun kaum muslimin dari periode awal sudah tidak menyukainya dan
cenderung menganggap kisah ini tidak pernah terjadi. Mereka memberi sasaran
kepada implikasi bahwa seorang nabi seperti Muhammad SAW dapat diperdaya oleh
Setan. Sementara Al-Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa sesuatu yang terjadi
itu dan kisah yang diceritakan tentang ayat-ayat Setan di atas diberitahukan
oleh Al-Tabari dalam komentarnya tentang 22: 52, yang menyebutkan di bawah ini:
Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu seorang Rasulpun dan tidak pula seorang nabi, melainkan apabila ia
mempunyai suatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan
itu. Maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu.
Ada arti-arti lain yang memungkinkan terhadap
"menginginkan" dan "hasrat" misalnya
"menceritakan" dan "cerita", namun arti-arti itu tidak
memengaruhi titik persoalan yang utama. Tidak masuk akal kalau orang muslim membuat-buat
ceritera atau kisah tersebut, atau bahwa Al-Tabari sebagai seorang ilmuwan yang
amat cermat, telah menerima kisah tersebut dari sumber yang meragukan.
Hal yang lebih serius lagi adalah kritik orang
Eropa terhadap kumpulan Hadith. Hadith-hadith itu terdiri dari beribu-ribu
anekdot tentang yang dikatakan atau diperbuat oleh Nabi Muhammad SAW dan
terutama sekali dipakai sebagai landasan hukum (Shari'ah). Enam kitab kumpulan
Hadith mempunyai semacam status dan dipercayai hanya berisi "matan"
Hadith. (Dalam karya karya Hadith yang lebih tua disebut dalam bahasa Inggris
sebagai Tradition, namun istilah ini sekarang secara luas sudah usang sebab
mengandung makna ganda). Karya-karya para tokoh Eropa terkemuka di bidang ini
adalah volume 2 dari Ignaz Goldziher dalam Mohammadanische Studien [27] dan
Joseph Schacht dalam The Origin of Muhammadan Jurisprudence [28]. Dua buah
karya tersebut dan masih banyak lagi karya para ilmuwan Eropa lain cenderung
berpandangan bahwa sangat sedikit Hadith yang mempunyai sejarah yang sahih dan
asli. Secara alamiah kaum muslimin melihat hal ini sebagai serangan terhadap
keseluruhan sistem hukum Islam. Pandangan ilmuwan Eropa itu telah dikritik
sendiri oleh Fuat Sezgin, yang menggunakan bahan terdahulu yang tidak dipakai
oleh Goldziher dan Schacht [29]. Keseluruhan persoalan ini sedemikian
kompleknya utuk didiskusikan di sini, kecuali satu poin yang cukup berguna,
yakni, bahwa para ilmuwan Eropa itu tidak memberi perhatian sempurna terhadap
fungsi Hadith dalam memberikan landasan yang tetap tak berubah terhadap sebagian
terbesar rincian-rincian hukum Islam. Hal inilah yang agaknya menjadi salah
satu wilayah dimana obyektifitas historis menjadi bahan yang sekunder.
Pertimbangan di atas mengacu kepada pernyataan
final tentang kaum orientalis. Sungguhpun kebanyakan yang mereka katakan itu
benar, namun mereka gagal menyeimbangkan kritik-kritiknya terhadap Islam dengan
apresiasi yang positif bagi nilai-nilai dan prestasi-prestasi Islam sebagai
agama. Jadi sama-sama tidak mengherankan kalau kaum muslimin senantiasa menjadi
musuh terhadap orang-orang orientalis.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as