Islam Dan Demokrasi, Suatu Kajian Normativitas Dan Historitas Islam
Pendahuluan
Semenjak dunia barat mulai merambah dan mendominasi kekuatan – kekuatan dunia islam, maka pada saat itu pula sinkritisme budaya dan pemikiran mulai berkembang dengan pesat antara dunia barat dengan dunia islam.
Sisa perang salib yang terjadi tiga periode (1045 M sampai 1291M) sungguh sangat menyita perhatian umat islam. Meskipun umat islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan tersebut terjadi di wilayahnya. Dan kerugian yang terbesar bagi dunia islam adalah kehebatan dunia barat dalam menyerap informasi pengetahuan dan pemikiran dunia islam karena dari situ kemudian menjadi cikal-bakal dunia barat untuk bangkit kembali serta mendominasi kekuatan timur dengan segala bentuk pemikirannya.
Negeri-negeri islam yang pertama kali jatuh ke tangan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Usmani, karena kerajaan ini meskipun terus mengalami kemunduran, ia masih disegani dan dipandang cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan militer Eropa waktu itu (Badri Yatim, 1997, hal 175). Dan dengan jatuhnya beberapa negeri Islam ke tangan Eropa, membuat dunia barat semakin mudah menancapkan cakar pemikiran-pemikirannya. Meskipun demikian tidak lantas kita langsung apriori dan menganggap negatif pada setiap pemikiran dan penemuan barat. Karena beberapa penguasa muslim pernah beradaptasi dengan pemikiran barat baik di bidang pemerintahan, militer maupun moneter.
Pemikiran-pemikiran dan teknik yang relatif baru itu baik bagi para pembaharu dan masyarakat, tetapi peran elit politik secara mendasar merupakan kelanjutan dari bentuk Islam adaptif. Tidak satupun pembaharu yang meninggalkan Islam, tetapi pembaharu yang mereka lakukan itu terutama sekali tidak berkaitan dengan isu-isu indoktrinasi dengan munculnya orientasi peran mereka secara keagamaan. Seperti khalifah yang awal dan Umayyah, merka menggunakn teknik-teknik dalam suatu cara pragmatik untuk memperkuat negara. Begitu pula, seperti Umayyah, mereka kadang-kadang dikritik oleh muslim konservatif dan fundamentalis karena sikap kompromisnya yang implisit dalam sikap adaptif mereka (John Ober + Vall, 1997, hal 125-126).
Demikian pula dengan konsep pemerintahan yang didasari azas demokrasi, banyak tokoh intelektual muslim memilih sikap kompromis terhadap pemikiran itu, dengan dikonfigurasi pada subtansi dari sistem pemerintahan Islam yang ternafasi oleh al-Qur’an dan al-Hadits.
Namun banyak juga yang menolak konsep demokrasi itu bahkan menganggapnya kufur bagi siapa saja yang memakai konsep tersebut. Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara obyektif tentang kelompok yang adaptif terhadap konsep demokrasi serta kelompok yang menolaknya dan akan dikaji dari sudut pandang normativitas dan historitas Islam terhadap konsep demokrasi tersebut.
Ciri-ciri Sistem Politik Islam
Memahami suatu permasalahan merupakan setengah jalan dari usaha pemecahannya. Dengan demikian apabila sudah ada pemahaman terhadap masalah kesimpang-siuran antara Islam dan demokrasi, maka hal itu sudah cukup untuk membuka jalan menuju pemecahannya (Fahmi Huwaydi, 1993, hal 160).
Oleh karena itu menjadikan Islam bertentangan dengan demokrasi atau sesuai dengan demokrasi adalah sesuatu yang terlalu berlebihan dan belum sampai pada pemahaman yang benar. Untuk itu supaya pemahaman itu bersifat shahih (benar), haruslah dikaji dan dipahami terlebih dahulu konsep politik Islam, mengenai ciri-cirinya, baru setelah itu dikaji juga tentang konsep demokrasi sebagai dasar sistem pemerintahan modern.
Adapun mengenai ciri-ciri negara (pemerintahan) menurut Islam dapat dibatasi sebagai berikut :
1. Kepemimpinan (Kedaulatan) Negara Dipegang Penuh Oleh Syariat (Al-qur’an, As-sunah, Ijma’ dan Qiyas)
Dalam Islam Allah-lah pemegang kedaulatan penuh dalam memimpin suatu negara dari sisi ketentuan hukum yang diberlakukan. Karena makna Daulat tersebut adalah yang memiliki kehendak dan wewenang, maka jika Allah (as-syari’) yang memiliki daulat, artinya segala ketentuan hukum yang diberlakukan dalam suatu negara harus tidak bertentangan dengan kedaulatan Syara’ (Al-qur’an dan Al-Hadits).
Kedaulatan syara’ tersebut nantinya dijalankan oleh penguasa yang telah dipilih oleh umat (rakyat) sehingga penguasa di sini merupakan konstitusi yang sangat tinggi untuk menjalankan kedaulatan syara’ yang diberikan padanya dalam bentuk undang-undang. Sehingga legalitas kekuasan di negara Islam tegak dan berlangsung dengan usaha mengimplementasikan sistem undang-undang Islam secara keseluruhan, tanpa membedakan antara hukum-hukum yang mengatur tingkah laku seorang muslim sebagai anak bangsa dan hakim, dengan nilai-nilai pokok dan tujuan-tujuannya yang mulia yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan alHadits nabi.
Dengan demikian kedaulatan syara’ tersebut tidak mungkin terlaksana jika pemimpin yang dipilih oleh rakyat tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya, atau rakyat yang memilihnya adalah bukan komunitas muslim yang tidak terikat dengan hukum syara’. Sehingga kedaulatan syara’ tersebut bisa berjalan dalam suatu negara Islam, jika didukung oleh komunitas muslim yang terikat dengan syara’ serta pemimpin yang adil, capable dan egaliter.
2. Kekuasaan Dipegang Penuh oleh Umat
Umat (rakyat) yang menentukan pilihan terhadap jalannya kekuasaan dan persetujuannya merupakan syarat bagi kelangsungan orang-orang yang menjadi pilihannya. Mayoritas Ahlussunnah, Mu’tazillah, Khawarij, dan Najariyah mengatakan “Sesungguhnya cara penetapan imamah atau kepemimpinan adalah melalui pemilihan dari umat “ (Al Baghdadi, hal 279).
Dengan demikian, umat merupakan pemilik kepemimpinan secara umum. Dia berhak memilih dan mencabut jabatan imam (pemimpin). Dengan kata lain, umat adalah pemilik utama kekuasaan tersebut (Dr. M. Dhiya’uddin, hal 217).
Dr. Usman Khalil, seorang dosen hukum tata negara, menyebutkan “Fiqih Islam tidak menganggap seorang wali sebagai pemegang hak otoritas, tetapi menganggap otoritas itu hak umat saja, yang dijalankan oleh seorang wali dalam kedudukannya sebagai karyawan atau wakil yang mewakilinya. Dengan demikian, umat berhak untuk mencabutnya apabila dia menemukan alasan yang jelas atas pencabutan tersebut”. (Fahmi Huwaydi, 1993, hal 162).
Oleh karena itu seseorang yang telah ditunjuk oleh rakyat untuk mengelola urusan pemerintahan berarti bahwa ia mendapat tugas-tugas administratif yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang terikat dengan syara’. Jadi ia bertanggung jawab pada Allah di satu pihak dan di lain pihak bertanggung jawab kepada rakyat pada umumnya. Dengan demikian seorang negarawan yang memposisikan dirinya sebagai penguasa absolut yang tidak mau bertanggung jawab kepada rakyatnya, ia bukan khalifah, tetapi seseorang pemerkosa hak-hak rakyat (usurper). (Abul A’la Al-Maududi, 1996, hal 34)
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa :
1. Pemilik otoritas kedaulatan adalah Allah yang nantinya dijalankan oleh seorang pemimpin. Dan yang memiliki otoritas kekuasaan untuk menentukan pemimpin tersebut adalah rakyat.
2. Karena kekuasaan berada di tangan rakyat, maka penentu pemimpin adalah rakyat melalui majelis perwakilan rakyat. Sekaligus majelis tersebut mampu memecat pemimpin itu jika dianggap ia telah melanggar ketentuan perundang-undangan syara’.
Dengan demikian tugas majelis perwakilan rakyat dalam Islam sebagai berikut :
a. Memilih dan mengangkat pemimpin negara.
b. Mencabut kekuasaan pemimpin negara jika terjadi pelanggaran undang-undang syara’.
c. Menetapkan undang-undang syara’ yang harus dijadikan pedoman negara untuk kemudian diserahkan pelaksanaannya pada pemimpin negara.
Dari sini bisa dikaji bahwa pemisahan kekuasaan itu memang perlu supaya tidak terjadi kediktatoran sebagaimana pada masa-masa kekhilafahan Islam (Umawiyyah sampai Abbasiyyah). Namun pemisahan kekuasaan tersebut hanya pada dua lembaga negara di atas, bukan tiga seperti yang diungkapkan oleh dunia modern (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif). Adapun yang dimaksud dengan dua lembaga tersebut adalah lembaga kekhilafahan (lembaga kekuasaan negara yang meliputi bidang eksekutif dan yudikatif); pada lembaga ini bisa dipegang satu orang yaitu pemimpin negara. Namun untuk memudahkan pekerjaan pemimpin negara tersebut maka boleh didelegasikan kewenangan yudikatif pada orang lain yang ditunjuk (Qodil Qudlot). Sedangkan kekuasaan legislatif berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat dengan sumber pokok undang-undangnya pada syara’.
3. Keadilan Antar Manusia
Dasar ketiga yang merupakan tumpuan bangunan negara ialah bahwa semua rakyatnya mempunyai persamaan hak dihadapan undang-undang Allah yang harus dilaksanakan atas mereka semua, dengan prinsip keadilan tanpa membedakan posisi mereka dalam negara, sebagaimana telah dinyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa Allah memerintahkan agar Rasulullah SAW mengumandangkan :
“… dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kalian” (Q.S 42 :15)
Kita semua tahu, bahwa nenek moyang kita adalah satu. Kesemuanya diciptakan min nafsin waahidah (dari diri yang satu) (QS An-Nisa’ [4]:1). Semuanya mendapatkan perlindungan dan penghormatan yang telah ditetapkan di dalam Al–Qur’an tanpa melihat kepada agama dan RAS. Rasulullah SAW sendiri pada khutbah wada’ telah mengisyaratkan kepada makna kesatuan asal manusia. Beliau bersabda “Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan ketahuilah bahwa bapak kalian juga satu.”
Dari situ, sebuah negara akan mengalami kehancuran jika tidak menerapkan prinsip keadilan.. Karena dinasti Muawiyyah mengalami kehancuran ketika penguasanya tidak bersikap adil, yaitu menjadikan orang-orang non Arab (Mawaali) sebagai masyarakat nomer dua, masyarakat yang termarginalkan dalam struktur pemerintahan maupun hukum. Semua itu bersumber pada fanatisme Arabic semata. (DR. M. Sayid Al-Wakil, 1998, hal 64 - 70).
4. Kebebasan Adalah Hak Bagi Semua Orang
Pengekspresian manusia akan kebebasan dirinya merupakan wajah lain dari aqidah Tauhid. Pengucapan dua kalimat syahadat merupakan ikrar pengabdian dirinya hanya untuk Allah SWT semata, dan juga kebebasan dirinya dari segala macam kekuasaan manusia. Allah SWT telah membuka jalan kepada kita menuju kehendak-Nya saja, tetapi Dia tidak memaksa kita untuk menuju kepada kehendak-Nya tersebut. Dia memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih. Dengan demikian, jika menghendaki, kita dapat memilih jalan sesuai dengan syari’at, sebagaimana kita juga dapat menempuh jalan bertentangan dengan perintah-Nya serta mengabaikan syari’at.
Namun demikian, karena penguasa harus menjalankan undang-undang syara’ yang diajukan oleh MPR, maka setiap pelanggaran syara’ tersebut akan mendapatkan sangsi dari negara. Sehingga kebebasan tersebut di atas tetap harus terkait dengan kemaslahatan syara’ secara umum serta tidak melanggar kebebasan orang lain. Dan negara memang tidak akan memaksakan peraturan negara Islam pada yang non-muslim, karena perundang-undangan mereka telah ditentukan secara khusus dan siapapun yang memasuki koridor hukum, maka kebebasan dia terbatasi oleh hukum, bukan oleh tirani penguasa. Jadi jangan ditafsiri keliru, bahwa kebebasan individu dalam negara Islam terbatasi. Karena tidak ada satupun negara yang -- meski negara sekuler sekalipun -- memberi kebebasan mutlak. Sebab kebebasan mutlak itu akan justru menghancurkan sebuah negara. Oleh karena itulah, kebebasan itu terkoridori oleh hukum yang berlaku di negara tersebut. Dan kalau pemerintahan itu berdasarkan Islam maka koridor yang membatasinya adalah hukum Islam positif.
5. Permusyawaratan
Ciri yang kelima dari negara Islam adalah keharusan bagi para pemimpin negara dan pejabatnya untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin (melalui MPR).
Adapun yang dimaksud dengan musyawarah menurut Kaum Salaf adalah musyawarah sebagai tukar pikiran antara para ahli dalam suatu permasalahan kemudian hasil dari musyawarah tersebut dijadikan ketetapan. Sedangkan menurut definisi modern, musyawarah adalah pengambilan keputusan melalui berbagai macam pendapat para ahli pada hal-hal yang berkaitan dengan keputusan-keputusan tersebut pada setiap kondisi global.
Kemudian bagaimana jika terjadi kebuntuan pada musyawarah, apakah diperkenankan mengambil keputusan melalui voting (suara terbanyak) ?
Dalam kaitan di atas DR Yusuf Qordhowi berkata dalam kitabnya Fatawa Mu’aashirah, Juz II hal 636 sebagai berikut :
“Kemudian di sana terdapat urusan-urusan yang tidak masuk ke dalam arena pemungutan suara dan tidak ada kaitannya dengan pemungutan suara, karena urusan-urusan tersebut merupakan ketetapan yang tidak dapat diubah, kecuali jika masyarakat itu sendiri yang berubah menjadi tidak muslim.
Tidak ada istilah pemungutan suara dalam syari’at-syari’at yang sudah pasti prinsip-prinsip agamanya, dan hal-hal yang sudah diketahui secara pasti dalam agama. Tetapi pemungutan suara hanya ada dalam masalah-masalah ijtihadiyyah yang mencakup banyak pendapat, di mana orang-orang di dalamnya saling berbeda pendapat; misalnya dalam pemilihan salah satu kandidat yang akan menduduki suatu jabatan. Contoh yang lain, pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas, atau untuk mengatur pembangunan sarana-sarana perdagangan, industri, rumah sakit dan lain-lain yang termasuk apa yang disebut para Fuqoha sebagai Mashalihul Mursalah (Kepentingan Umum). Seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau menghentikannya, mewajibkan pembayaran pajak atau meniadakannya dan lain sebagainya.
Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ini, apakah harus ditinggalkan begitu saja atau sebaliknya harus dipecahkan ? Apakah tarjih (penguatan suatu pendapat atas pendapat lain) harus dilakukan tanpa menunjukkan pendapat mana yang lebih kuat? Ataukah harus menujukkan pendapat mana yang lebih kuat ?
Akal, hukum dan realitas akan mengharuskan dijelaskannya pendapat mana yang lebih kuat. Dan pendapat mana yang lebih kuat dalam suatu perbedaan pendapat adalah – menurut Yusuf Qordhowi -- yang mendapatkan suara mayoritas.”
Pendapat beliau harus diberi catatan khusus, yaitu jika yang bermusyawarah tersebut adalah sama- sama ahlinya, maka pendapat mayoritas bisa dijadikan ketetapan. Namun jika yang bermusyawarah tersebut adalah orang yang bukan ahlinya dan yang ahli adalah satu orang saja maka pendapat mayoritas di sini tidak berlaku, namun kembali pada pendapat seorang ahli tersebut.
Sebagaimana telah kita lihat bahwa Rasulullah SAW ikut bergabung dengan pendapat mayoritas pada saat terjadi perang Uhud dan keluar untuk berhadapan dengan orang-orang musyrik yang berada di luar Madinah, padahal pada saat itu Rasulullah SAW dan para pembesar sahabat berpendapat untuk menetap dan mengadakan peperangan di dalam Madinah. Hal itu terjadi karena kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan berada di luar Madinah dan kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan harus ada di dalam Madinah adalah sama-sama ahlinya di bidang peperangan.
Sedangkan pada kasus peperangan Badar, di mana pasukan Rasulullah setuju berada di dekat sumur, Al-Hubab bin Al-Mundzir berpendapat lain. Pendapat Al-Hubab ternyata disetujui oleh Rasulullah dan beliau mengikuti pendapat tersebut. Dalam kasus ini ada beberepa tafsiran sebagai berikut:
a. Mendengar penjelasan Al-Mundzir tentang taktik perang, para sahabat yang lain setuju dengan pendapatnya sehingga Rasulullah mengambil pendapat mayoritas sahabat yang sepakat dengan pendapat Al-Mundzir.
b. Atau, Al-Hubab bin Al-Mundzir adalah satu-satunya orang yang ahli perang. Hal ini dapat dilihat dari diamnya para sahabat (tidak membantah pendapatnya) sehingga berdasarkan kenyataan itu Rasulullah memilih pendapat Al-Mundzir karena keahliannya, meskipun ia sendirian.
Demikianlah ciri – ciri dari negara Islam. Dan tegaknya negara tersebut harus berdasar pada ciri-ciri di atas.
Wallaahu a’lamu bish showaab
* Kumpulan nasyroh dakwah dan makalah karya Ustadz Drs. Junaidi Sahal (Materi Halaqah Sughra UAKI Unibraw)
Pendahuluan
Semenjak dunia barat mulai merambah dan mendominasi kekuatan – kekuatan dunia islam, maka pada saat itu pula sinkritisme budaya dan pemikiran mulai berkembang dengan pesat antara dunia barat dengan dunia islam.
Sisa perang salib yang terjadi tiga periode (1045 M sampai 1291M) sungguh sangat menyita perhatian umat islam. Meskipun umat islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan tersebut terjadi di wilayahnya. Dan kerugian yang terbesar bagi dunia islam adalah kehebatan dunia barat dalam menyerap informasi pengetahuan dan pemikiran dunia islam karena dari situ kemudian menjadi cikal-bakal dunia barat untuk bangkit kembali serta mendominasi kekuatan timur dengan segala bentuk pemikirannya.
Negeri-negeri islam yang pertama kali jatuh ke tangan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari pusat kekuasaan kerajaan Usmani, karena kerajaan ini meskipun terus mengalami kemunduran, ia masih disegani dan dipandang cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan militer Eropa waktu itu (Badri Yatim, 1997, hal 175). Dan dengan jatuhnya beberapa negeri Islam ke tangan Eropa, membuat dunia barat semakin mudah menancapkan cakar pemikiran-pemikirannya. Meskipun demikian tidak lantas kita langsung apriori dan menganggap negatif pada setiap pemikiran dan penemuan barat. Karena beberapa penguasa muslim pernah beradaptasi dengan pemikiran barat baik di bidang pemerintahan, militer maupun moneter.
Pemikiran-pemikiran dan teknik yang relatif baru itu baik bagi para pembaharu dan masyarakat, tetapi peran elit politik secara mendasar merupakan kelanjutan dari bentuk Islam adaptif. Tidak satupun pembaharu yang meninggalkan Islam, tetapi pembaharu yang mereka lakukan itu terutama sekali tidak berkaitan dengan isu-isu indoktrinasi dengan munculnya orientasi peran mereka secara keagamaan. Seperti khalifah yang awal dan Umayyah, merka menggunakn teknik-teknik dalam suatu cara pragmatik untuk memperkuat negara. Begitu pula, seperti Umayyah, mereka kadang-kadang dikritik oleh muslim konservatif dan fundamentalis karena sikap kompromisnya yang implisit dalam sikap adaptif mereka (John Ober + Vall, 1997, hal 125-126).
Demikian pula dengan konsep pemerintahan yang didasari azas demokrasi, banyak tokoh intelektual muslim memilih sikap kompromis terhadap pemikiran itu, dengan dikonfigurasi pada subtansi dari sistem pemerintahan Islam yang ternafasi oleh al-Qur’an dan al-Hadits.
Namun banyak juga yang menolak konsep demokrasi itu bahkan menganggapnya kufur bagi siapa saja yang memakai konsep tersebut. Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara obyektif tentang kelompok yang adaptif terhadap konsep demokrasi serta kelompok yang menolaknya dan akan dikaji dari sudut pandang normativitas dan historitas Islam terhadap konsep demokrasi tersebut.
Ciri-ciri Sistem Politik Islam
Memahami suatu permasalahan merupakan setengah jalan dari usaha pemecahannya. Dengan demikian apabila sudah ada pemahaman terhadap masalah kesimpang-siuran antara Islam dan demokrasi, maka hal itu sudah cukup untuk membuka jalan menuju pemecahannya (Fahmi Huwaydi, 1993, hal 160).
Oleh karena itu menjadikan Islam bertentangan dengan demokrasi atau sesuai dengan demokrasi adalah sesuatu yang terlalu berlebihan dan belum sampai pada pemahaman yang benar. Untuk itu supaya pemahaman itu bersifat shahih (benar), haruslah dikaji dan dipahami terlebih dahulu konsep politik Islam, mengenai ciri-cirinya, baru setelah itu dikaji juga tentang konsep demokrasi sebagai dasar sistem pemerintahan modern.
Adapun mengenai ciri-ciri negara (pemerintahan) menurut Islam dapat dibatasi sebagai berikut :
1. Kepemimpinan (Kedaulatan) Negara Dipegang Penuh Oleh Syariat (Al-qur’an, As-sunah, Ijma’ dan Qiyas)
Dalam Islam Allah-lah pemegang kedaulatan penuh dalam memimpin suatu negara dari sisi ketentuan hukum yang diberlakukan. Karena makna Daulat tersebut adalah yang memiliki kehendak dan wewenang, maka jika Allah (as-syari’) yang memiliki daulat, artinya segala ketentuan hukum yang diberlakukan dalam suatu negara harus tidak bertentangan dengan kedaulatan Syara’ (Al-qur’an dan Al-Hadits).
Kedaulatan syara’ tersebut nantinya dijalankan oleh penguasa yang telah dipilih oleh umat (rakyat) sehingga penguasa di sini merupakan konstitusi yang sangat tinggi untuk menjalankan kedaulatan syara’ yang diberikan padanya dalam bentuk undang-undang. Sehingga legalitas kekuasan di negara Islam tegak dan berlangsung dengan usaha mengimplementasikan sistem undang-undang Islam secara keseluruhan, tanpa membedakan antara hukum-hukum yang mengatur tingkah laku seorang muslim sebagai anak bangsa dan hakim, dengan nilai-nilai pokok dan tujuan-tujuannya yang mulia yang telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan alHadits nabi.
Dengan demikian kedaulatan syara’ tersebut tidak mungkin terlaksana jika pemimpin yang dipilih oleh rakyat tidak memiliki kemampuan untuk menjalankannya, atau rakyat yang memilihnya adalah bukan komunitas muslim yang tidak terikat dengan hukum syara’. Sehingga kedaulatan syara’ tersebut bisa berjalan dalam suatu negara Islam, jika didukung oleh komunitas muslim yang terikat dengan syara’ serta pemimpin yang adil, capable dan egaliter.
2. Kekuasaan Dipegang Penuh oleh Umat
Umat (rakyat) yang menentukan pilihan terhadap jalannya kekuasaan dan persetujuannya merupakan syarat bagi kelangsungan orang-orang yang menjadi pilihannya. Mayoritas Ahlussunnah, Mu’tazillah, Khawarij, dan Najariyah mengatakan “Sesungguhnya cara penetapan imamah atau kepemimpinan adalah melalui pemilihan dari umat “ (Al Baghdadi, hal 279).
Dengan demikian, umat merupakan pemilik kepemimpinan secara umum. Dia berhak memilih dan mencabut jabatan imam (pemimpin). Dengan kata lain, umat adalah pemilik utama kekuasaan tersebut (Dr. M. Dhiya’uddin, hal 217).
Dr. Usman Khalil, seorang dosen hukum tata negara, menyebutkan “Fiqih Islam tidak menganggap seorang wali sebagai pemegang hak otoritas, tetapi menganggap otoritas itu hak umat saja, yang dijalankan oleh seorang wali dalam kedudukannya sebagai karyawan atau wakil yang mewakilinya. Dengan demikian, umat berhak untuk mencabutnya apabila dia menemukan alasan yang jelas atas pencabutan tersebut”. (Fahmi Huwaydi, 1993, hal 162).
Oleh karena itu seseorang yang telah ditunjuk oleh rakyat untuk mengelola urusan pemerintahan berarti bahwa ia mendapat tugas-tugas administratif yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang terikat dengan syara’. Jadi ia bertanggung jawab pada Allah di satu pihak dan di lain pihak bertanggung jawab kepada rakyat pada umumnya. Dengan demikian seorang negarawan yang memposisikan dirinya sebagai penguasa absolut yang tidak mau bertanggung jawab kepada rakyatnya, ia bukan khalifah, tetapi seseorang pemerkosa hak-hak rakyat (usurper). (Abul A’la Al-Maududi, 1996, hal 34)
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa :
1. Pemilik otoritas kedaulatan adalah Allah yang nantinya dijalankan oleh seorang pemimpin. Dan yang memiliki otoritas kekuasaan untuk menentukan pemimpin tersebut adalah rakyat.
2. Karena kekuasaan berada di tangan rakyat, maka penentu pemimpin adalah rakyat melalui majelis perwakilan rakyat. Sekaligus majelis tersebut mampu memecat pemimpin itu jika dianggap ia telah melanggar ketentuan perundang-undangan syara’.
Dengan demikian tugas majelis perwakilan rakyat dalam Islam sebagai berikut :
a. Memilih dan mengangkat pemimpin negara.
b. Mencabut kekuasaan pemimpin negara jika terjadi pelanggaran undang-undang syara’.
c. Menetapkan undang-undang syara’ yang harus dijadikan pedoman negara untuk kemudian diserahkan pelaksanaannya pada pemimpin negara.
Dari sini bisa dikaji bahwa pemisahan kekuasaan itu memang perlu supaya tidak terjadi kediktatoran sebagaimana pada masa-masa kekhilafahan Islam (Umawiyyah sampai Abbasiyyah). Namun pemisahan kekuasaan tersebut hanya pada dua lembaga negara di atas, bukan tiga seperti yang diungkapkan oleh dunia modern (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif). Adapun yang dimaksud dengan dua lembaga tersebut adalah lembaga kekhilafahan (lembaga kekuasaan negara yang meliputi bidang eksekutif dan yudikatif); pada lembaga ini bisa dipegang satu orang yaitu pemimpin negara. Namun untuk memudahkan pekerjaan pemimpin negara tersebut maka boleh didelegasikan kewenangan yudikatif pada orang lain yang ditunjuk (Qodil Qudlot). Sedangkan kekuasaan legislatif berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat dengan sumber pokok undang-undangnya pada syara’.
3. Keadilan Antar Manusia
Dasar ketiga yang merupakan tumpuan bangunan negara ialah bahwa semua rakyatnya mempunyai persamaan hak dihadapan undang-undang Allah yang harus dilaksanakan atas mereka semua, dengan prinsip keadilan tanpa membedakan posisi mereka dalam negara, sebagaimana telah dinyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa Allah memerintahkan agar Rasulullah SAW mengumandangkan :
“… dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kalian” (Q.S 42 :15)
Kita semua tahu, bahwa nenek moyang kita adalah satu. Kesemuanya diciptakan min nafsin waahidah (dari diri yang satu) (QS An-Nisa’ [4]:1). Semuanya mendapatkan perlindungan dan penghormatan yang telah ditetapkan di dalam Al–Qur’an tanpa melihat kepada agama dan RAS. Rasulullah SAW sendiri pada khutbah wada’ telah mengisyaratkan kepada makna kesatuan asal manusia. Beliau bersabda “Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan ketahuilah bahwa bapak kalian juga satu.”
Dari situ, sebuah negara akan mengalami kehancuran jika tidak menerapkan prinsip keadilan.. Karena dinasti Muawiyyah mengalami kehancuran ketika penguasanya tidak bersikap adil, yaitu menjadikan orang-orang non Arab (Mawaali) sebagai masyarakat nomer dua, masyarakat yang termarginalkan dalam struktur pemerintahan maupun hukum. Semua itu bersumber pada fanatisme Arabic semata. (DR. M. Sayid Al-Wakil, 1998, hal 64 - 70).
4. Kebebasan Adalah Hak Bagi Semua Orang
Pengekspresian manusia akan kebebasan dirinya merupakan wajah lain dari aqidah Tauhid. Pengucapan dua kalimat syahadat merupakan ikrar pengabdian dirinya hanya untuk Allah SWT semata, dan juga kebebasan dirinya dari segala macam kekuasaan manusia. Allah SWT telah membuka jalan kepada kita menuju kehendak-Nya saja, tetapi Dia tidak memaksa kita untuk menuju kepada kehendak-Nya tersebut. Dia memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih. Dengan demikian, jika menghendaki, kita dapat memilih jalan sesuai dengan syari’at, sebagaimana kita juga dapat menempuh jalan bertentangan dengan perintah-Nya serta mengabaikan syari’at.
Namun demikian, karena penguasa harus menjalankan undang-undang syara’ yang diajukan oleh MPR, maka setiap pelanggaran syara’ tersebut akan mendapatkan sangsi dari negara. Sehingga kebebasan tersebut di atas tetap harus terkait dengan kemaslahatan syara’ secara umum serta tidak melanggar kebebasan orang lain. Dan negara memang tidak akan memaksakan peraturan negara Islam pada yang non-muslim, karena perundang-undangan mereka telah ditentukan secara khusus dan siapapun yang memasuki koridor hukum, maka kebebasan dia terbatasi oleh hukum, bukan oleh tirani penguasa. Jadi jangan ditafsiri keliru, bahwa kebebasan individu dalam negara Islam terbatasi. Karena tidak ada satupun negara yang -- meski negara sekuler sekalipun -- memberi kebebasan mutlak. Sebab kebebasan mutlak itu akan justru menghancurkan sebuah negara. Oleh karena itulah, kebebasan itu terkoridori oleh hukum yang berlaku di negara tersebut. Dan kalau pemerintahan itu berdasarkan Islam maka koridor yang membatasinya adalah hukum Islam positif.
5. Permusyawaratan
Ciri yang kelima dari negara Islam adalah keharusan bagi para pemimpin negara dan pejabatnya untuk bermusyawarah dengan kaum muslimin (melalui MPR).
Adapun yang dimaksud dengan musyawarah menurut Kaum Salaf adalah musyawarah sebagai tukar pikiran antara para ahli dalam suatu permasalahan kemudian hasil dari musyawarah tersebut dijadikan ketetapan. Sedangkan menurut definisi modern, musyawarah adalah pengambilan keputusan melalui berbagai macam pendapat para ahli pada hal-hal yang berkaitan dengan keputusan-keputusan tersebut pada setiap kondisi global.
Kemudian bagaimana jika terjadi kebuntuan pada musyawarah, apakah diperkenankan mengambil keputusan melalui voting (suara terbanyak) ?
Dalam kaitan di atas DR Yusuf Qordhowi berkata dalam kitabnya Fatawa Mu’aashirah, Juz II hal 636 sebagai berikut :
“Kemudian di sana terdapat urusan-urusan yang tidak masuk ke dalam arena pemungutan suara dan tidak ada kaitannya dengan pemungutan suara, karena urusan-urusan tersebut merupakan ketetapan yang tidak dapat diubah, kecuali jika masyarakat itu sendiri yang berubah menjadi tidak muslim.
Tidak ada istilah pemungutan suara dalam syari’at-syari’at yang sudah pasti prinsip-prinsip agamanya, dan hal-hal yang sudah diketahui secara pasti dalam agama. Tetapi pemungutan suara hanya ada dalam masalah-masalah ijtihadiyyah yang mencakup banyak pendapat, di mana orang-orang di dalamnya saling berbeda pendapat; misalnya dalam pemilihan salah satu kandidat yang akan menduduki suatu jabatan. Contoh yang lain, pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas, atau untuk mengatur pembangunan sarana-sarana perdagangan, industri, rumah sakit dan lain-lain yang termasuk apa yang disebut para Fuqoha sebagai Mashalihul Mursalah (Kepentingan Umum). Seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau menghentikannya, mewajibkan pembayaran pajak atau meniadakannya dan lain sebagainya.
Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ini, apakah harus ditinggalkan begitu saja atau sebaliknya harus dipecahkan ? Apakah tarjih (penguatan suatu pendapat atas pendapat lain) harus dilakukan tanpa menunjukkan pendapat mana yang lebih kuat? Ataukah harus menujukkan pendapat mana yang lebih kuat ?
Akal, hukum dan realitas akan mengharuskan dijelaskannya pendapat mana yang lebih kuat. Dan pendapat mana yang lebih kuat dalam suatu perbedaan pendapat adalah – menurut Yusuf Qordhowi -- yang mendapatkan suara mayoritas.”
Pendapat beliau harus diberi catatan khusus, yaitu jika yang bermusyawarah tersebut adalah sama- sama ahlinya, maka pendapat mayoritas bisa dijadikan ketetapan. Namun jika yang bermusyawarah tersebut adalah orang yang bukan ahlinya dan yang ahli adalah satu orang saja maka pendapat mayoritas di sini tidak berlaku, namun kembali pada pendapat seorang ahli tersebut.
Sebagaimana telah kita lihat bahwa Rasulullah SAW ikut bergabung dengan pendapat mayoritas pada saat terjadi perang Uhud dan keluar untuk berhadapan dengan orang-orang musyrik yang berada di luar Madinah, padahal pada saat itu Rasulullah SAW dan para pembesar sahabat berpendapat untuk menetap dan mengadakan peperangan di dalam Madinah. Hal itu terjadi karena kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan berada di luar Madinah dan kelompok sahabat yang berpendapat posisi pasukan harus ada di dalam Madinah adalah sama-sama ahlinya di bidang peperangan.
Sedangkan pada kasus peperangan Badar, di mana pasukan Rasulullah setuju berada di dekat sumur, Al-Hubab bin Al-Mundzir berpendapat lain. Pendapat Al-Hubab ternyata disetujui oleh Rasulullah dan beliau mengikuti pendapat tersebut. Dalam kasus ini ada beberepa tafsiran sebagai berikut:
a. Mendengar penjelasan Al-Mundzir tentang taktik perang, para sahabat yang lain setuju dengan pendapatnya sehingga Rasulullah mengambil pendapat mayoritas sahabat yang sepakat dengan pendapat Al-Mundzir.
b. Atau, Al-Hubab bin Al-Mundzir adalah satu-satunya orang yang ahli perang. Hal ini dapat dilihat dari diamnya para sahabat (tidak membantah pendapatnya) sehingga berdasarkan kenyataan itu Rasulullah memilih pendapat Al-Mundzir karena keahliannya, meskipun ia sendirian.
Demikianlah ciri – ciri dari negara Islam. Dan tegaknya negara tersebut harus berdasar pada ciri-ciri di atas.
Wallaahu a’lamu bish showaab
* Kumpulan nasyroh dakwah dan makalah karya Ustadz Drs. Junaidi Sahal (Materi Halaqah Sughra UAKI Unibraw)
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as