III. Terhadap
Akalnya
A. Tsaqafah
Islamiyyah
1. Ilmu Tiga
Prinsip
Seorang muslimah
harus menguasai tiga prinsip dalam Islam yang dikenal dengan nama Al Ushul Ats
Tsalatsah; yaitu Allah, Rasul dan Dienul Islam.
Tiga prinsip (Al
Ushul Ats Tsalatsah) meliputi :
a. Allah
b. Rasul
c. Islam
2. Ilmu Al
Qur’an
Ilmu Al Qur’an
diantaranya :
a. Bahasa Arab
Seseorang yang
ingin mendalami Al Qur’an, tidak bisa tidak, harus mendalami pula Bahasa Arab
sebagai bahasa pengantar Al Qur’an.
Mempelajari
Bahasa Arab dibagi menjadi tiga bahasan besar, yaitu nahwu, sharaf dan
mubalaghah.
b. Asbabun Nuzul
Yang dimaksud
dengan asbabun nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang melatar-belakangi turunnya
ayat-ayat dalam Al Qur’an. Tidak semua ayat Al Qur’an ada asbabun nuzulnya; ada
juga ayat-ayat yang tidak ada asbabun nuzulnya.
Contoh asbabun
nuzul sebagai berikut :
Datanglah
sekelompok Yahudi menghadap Rasulullah saw . Diantara mereka terdapat Abdullah
Bin Salam, Tsa’labah, Ibnu yamin, Asad Bin ka’ab, Usaid Bin Ka’ab, Sa’id Bin
‘Amr dan Qais Bin Zaid. Mereka hendak menyatakan beriman tetapi dengan meminta
dua syarat. Mereka berkata :”Ya Muhammad, Taurat adalah kitab Allah, maka
biarkan kami mengamalkannya di malam hari. Hari Sabtu adalah hari yang kami
muliakan, maka biarkanlah kami tetap menghormatinya”.
Allah swt
menjawab permintaan mereka dengan menurunkan sebuah ayat :”Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata
bagimu” (Al-Baqarah : 208).
Kitab asbabun
nuzul yang terkenal adalah Lubabun Nuqul
fi Asbabin Nuzul karya Imam
Jalaluddin As Suyuthi. Kitab itu telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
oleh KHQ. Shaleh, HAA. Dahlan dan Prof.
Dr. HMD. Dahlan dengan judul Asbabun
Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an yang
diterbitkan oleh CV. Diponegoro Bandung.
b. Qira’ah
Yang dimaksud
qira’ah adalah cara membaca Al Qur’an dengan tartil (baik dan benar). Allah swt
berfirman :”… dan bacalah Al Qur’an dengan tartil” (Al-Muzzammil: 4).
Tartil dalam
membaca Al Qur’an berarti benar tajwid
dan makhrajnya. Tajwid adalah
qaidah-qaidah di dalam membaca Al Qur’an, seperti dengung-jelas (idgham) ,
panjang-pendek (mad), gharibil Qur’an (bacaan yang tidak lazim), tebal-tipis,
terus-berhenti (waqaf) dan lain-lain. Sedangkan makhraj adalah bunyi huruf yang
keluar dari mulut, seperti kha, cha, ha atau dha, dza dan lain-lain.
Metode membaca
Al Qur’an telah banyak bermunculan seperti Iqra’, Qira’ati dan lain-lain.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam metodenya. Jangan sampai
Kaum Muslimin bermusuhan hanya karena perbedaan metode membaca Al Qur’an.
Diantara
lahjah-lahjah Bahasa Arab yang masyhur adalah lahjah Quraisy, Hudzail, Tamim,
Asad, Rabi’ah Hawazin dan Sa’ad.
Diantara
qari’-qari’ yang masyhur, dikenal dengan nama Qira’at Saba’ah (bacaan yang tujuh), adalah :
* Abdullah Bin
Amr, meninggal di Syam tahun 118 H
* Abu Ma’bad
Abdullah Bin Katsir, meninggal di Makkah tahun 120 H.
* Abu Bakar
‘Ashim Bin Abi An Nujud, meninggal di Kufah tahun 127 H.
* Abu ‘Amr Bin
Al ‘Ala’,
meninggal di Bashrah tahun 154 H.
* Nafi’ Bin
Nu’aim, meninggal di Madinah tahun 109 H
* Abdul Hasan
Ali Bin Hamzah Al Kisai, meninggal di Bashrah tahun 189 H
* Abu ‘Imarah
Hamzah Bin Habib, meninggal tahun 216 H.
c. Tafsir
Menafsirkan Al
Qur’an adalah sebuah aktifitas untuk menggali dan mengungkap firman Allah swt
serta mempelajari himah yang terkandung di dalamnya, kemudian mengajarkan dan
menyebarkannya (Ibnu Katsir). Sumber tafsir Al Qur’an adalah :
* Ayat Al Qur’an
dengan ayat lainnya. Karena beberapa ayat dalam Al Qur’an telah diperinci oleh
ayat lainnya. Bila tafsir ayat dengan ayat tidak diketemukan, maka menafsirkan
ayat dengan hadits.
Misalnya, …
* Perkataan,
perbuatan, taqrir (sesuatu yang didiamkan) dan jawaban Rasulullah saw terhadap soal-soal yang disampaikan para
shahabat ketika mereka tidak memahami suatu ayat dalam Qur’an. Tafsir semacam
ini disebut dengan Tafsir Manqul.
Misalkan,
Rasulullah saw menjelaskan ayat :”Ash shalaatul wustha” (Al-Baqarah: 238)
berarti shalat Ashar. Contoh lain, Sayyidini Ali Bin Abi Thalib bertanya kepada
Rasulullah saw tentang Yaumul Hajjil
Akbar (At-Taubah: 3), maka Rasulullah saw menjawab:”Yaumun Nahr (Hari Raya
Qurban)”.
Kedudukan perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah saw dalam sebuah
tafsir bermacam-macam; ada yang shahih, hasan, dha’if, maudhu’ dan lain
sebagainya. Sehingga perlu diteliti apakah hadits tersebut dapat digunakan
untuk menafsirkan sebuah ayat atau tidak. Jika dalam ayat dan hadits tidak
diketemukan tafsiran sebuah ayat, maka penafsirannya oleh ijtihad para
shahabat.
* Ijtihad. Diantara shahabat dalam
menafsirkan Al Qur’an, selain memakai ayat dan hadits, mereka juga memakai
ijtihad. Hal ini disebabkan kapasitas ilmu, hafalan dan keshalihan mereka.
Mereka menguasai secara mendalam ilmu Bahasa Arab, mengetahui sebab-sebab
sebuah ayat diturunkan, mengetahui adapt-istiadat Arab Jahiliyyah,
cerita-cerita Isra’iliyyat dan perangkat-perangkat lain untuk menafsirkan Al
Qur’an.
Salah seorang
shahabat yang piawai dalam menafsirkan Al Qur’an, Abdullah Bin Mas’ud berkata
:”Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, tiada satu ayat pun dalam Kitab Allah
melainkan aku telah mengetahui di mana turunnya atau kepada siapa diturunkan.
Oleh karena itu, jika aku mengetahui ada orang yang lebih alim (lebih
mengetahui) dari diriku tentang ayat Al Qur’an dan tempat orang itu dapat
dicapai dengan kendaraan; pasti aku akan datang belajar kepadanya”.
Seorang shahabat
lain yang ahli dalam menafsirkan Al Qur’an, Abdullah Bin Abbas, pernah
dido’akan Rasulullah saw:”Ya Allah, pandaikan dia dalam agama, dan ajarkan
kepadanya ilmu tafsir (ta’wil Al Qur’an)”.
Contoh tafsir
shahabat adalah, kata Ath Thuur
(Al-Baqarah: 63) ditafsirkan oleh Mujahid
dengan gunung, sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan dengan gunung Thuur.
* Cerita-cerita Isra’iliyyat, yaitu
berita-berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nashrani. Kaum Muslimin
banyak mengambil tafsir Al Qur’an dari cerita Isra’iliyyat karena Rasulullah
saw pernah bersabda:”Sampaikan dari ajaranku walau hanya satu ayat dan tidak
berdosa engkau ceritakan tentang Bani Isra’il. Barangsiapa yang dengan sengaja
berdusta atas namaku hendaklah menempatkan diri dalam neraka” (HR. Bukhari dari
Abdullah Bin Amr ra).
Ketika Perang
Yarmuk, Abdullah Bin Amr mendapat dua gerobak kitab-kitab Ahli Kitab; sehingga
dia sering membawakan cerita Ahli Kitab selama diijinkan Rasulullah saw. Cerita
Isra’iliyyat terbagi menjadi tiga :
* Yang sesuai
kebenarannya dengan nash Al Qur’an dan hadits, maka itu benar
* Yang jelas
dusta karena berseberangan dengan nash Al Qur’an dan hadits.
* Yang didiamkan
karena tidak ada keterangan dari nash Al Qur’an dan hadits yang membenarkan dan
tidak pula menyalahi nash.
Contoh, cerita
Isra’iliyyat menyebutkan nama dan jumlah para pemuda As-haabul Kahfi, sementara
Allah swt berfirman :”… Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang
yang mengetahui mereka kecuali sedikit …” (Al-Kahfi: 22).
* Pendapat ulama tabi’in tidak dapat
menjadi hujjah dalam masalah furu’, terlebih lagi dalam tafsir. Tetapi jika
mereka berbeda pendapat dan hujjahnya sama kuat; maka pendapat yang satu tidak
dapat membatalkan pendapat yang lainnya. Sedangkan menafsirkan ayat Al Qur’an
semata-mata dengan akalnya merupakan hal yang dilarang dalam agama. Rasulullah
saw bersabda :
“Barangsiapa
menafsirkan ayat Al Qur’an hanya dengan pendapatnya atau dengan dasar yang
tidak diketahuinya, maka hendaknya menempatkan diri dalam neraka” (HR. At
Tirmidzi, An Nasa’I dan Ibnu Jarir).
Kitab-kitab
tafsir yang perlu untuk diketahui adalah :
* Tafsir Al Kasysyaaf karya Az Zamakhsyari,
yang menafsirkan Al Qur’an dari sisi gaya dan keindahan bahasa.
* Tafsir Ma’anil Qur’an karya Az Zajjad, tafsir
Al Basiith karya Al Waahadi dan tafsir Al Bahrul Muhiith karya Abu Hayyan
Muhammad Bin Yusuf Al Andalusi; yang menekankan penafsiran Al Qur’an dari tata
bahasa Arab dan sya’ir-sya’ir Arab.
* Tafsir Jami’
Ahkamul Qur’an karya Al Qurthubi, tafsir Ahkaamul Qur’an karya Ibnul Arabi,
tafsir Ahkaamul Qur’an karya Al Jashshaash dan tafsir Nailul Maraam karya Hasan
Shiddiq Khan yang menekankan penafsiran Al Qur’an dari sisi hokum.
* Tafsir At
Tatsuri karya Abu Muhammad Sahl Bin Abdullah At Tatsuri yang menekankan
penafsiran Al Qur’an dari sisi ilmu suluk dan tasawuf.
* Tafsir Mu’jam
Ghariibil Qur’an karya Muhammad Fuad Abdul Baaqi, menekankan penafsiran dari
lafadz Qur’an yang gharib (lafadz yang jarang dipakai dalam perkataan
sehari-hari).
* Tafsir Fii
Dzilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, menekankan penafsiran dari sisi pergerakan.
3. Ilmu Hadits
Yang dimaksud
dengan hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah saw meliputi
perbuatan, ucapan, taqrir (sesuatu yang didiamkan) atau sifat-sifatnya yang ada
kaitannya dengan hukum (Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash Shiddieqi).
Contoh hadits
perkataan Rasulullah saw :”Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada
niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Contoh hadits
perbuatan Rasulullah saw adalah keterangan dari Abu Humaid tentang ruku’
Rasulullah saw :”Dan jika dia (Rasulullah saw) mengangkat kepalanya, maka dia
pun berdiri lurus hingga kembalilah setiap ruas punggung itu ke tempat semula”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Contoh hadits
taqrir Rasulullah saw :”Khalid Bin Walid makan dhab (sejenis biawak) yang
dihidangkan orang kepada Rasulullah saw, sedangkan Rasulullah saw sendiri
enggan memakannya. Sebagian shahabat bertanya:”Apakah kita diharamkan makan
dhab, ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab:”Tidak, hanya binatang ini tidak terdapat
di negeri saya, karena saya tidak suka memakannya. Makanlah, sesungguhnya dia
itu halal” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan yang
dimaksud dengan ilmu hadits adalah suatu ilmu yang menerangkan semua yang
dinukilkan atau yang disandarkan kepada Nabi, para shahabat atau tabi’in; baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat (Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqi).
Ilmu yang tumbuh
dari ilmu hadits riwayah dan dirayah adalah :
a. Ilmu Rijalul
Hadits, yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari shahabat,
tabi’in maupun dari urutan-urutan sesudahnya.
b. Ilmu Jarh dan
Ta’dil, yaitu ilmu yang menjelaskan tentang jarh (catatan-catatan minus) para
perawi dan penta’dilannya (catatan-catatan keadilannya) serta martabatnya.
c. Ilmu Gharibil
Hadits, yaitu ilmu yang menerangkan makna kalimat dalam matan hadits yang sulit
diketahui maknanya dan tidak biasa dipakai oleh masyarakat umum.
d. Ilmu Nasikh
wal Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan hadits yang sudah dimasukh (dihapus)
dan yang menasikhkannya (yang mengganti).
e. Ilmu Asbabul
Wurud, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab terjadinya hadits dan masa
terjadinya.
f. Ilmu Talfiqil
Hadits, yaitu ilmu yang membahas cara memadukan hadits-hadits yang seolah-olah
berlawanan.
g. Ilmu
Musthalah Ahli Hadits, yaitu ilmu yang menerangkan istilah-istilah yang
digunakan oleh ahli hadits.
Kitab pokok
hadits dikenal dengan nama Kutubus Sittah,
yaitu enam kitab hadits :
a. Shahih
Bukhari
b. Shahih Muslim
c. Sunan Abu
Daud
d. Sunan An
Nasa’i
e. Sunan At
Tirmidzi
f. Sunan Ibnu
Majah
Beberapa
shahabat pencatat hadits :
a. Abu Hurairah
meriwayatkan 5.374 hadits.
b. Ibnu Umar
meriwayatkan 2.630 hadits.
c. Anas Bin
Malik meriwayatkan 2.286 hadits
d. Ummul
Mu’miniin ‘Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits
e. Ibnu Abbas
meriwayatkan 1.660 hadits
f. Jabir Bin
Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits
g. Abu Sa’id Al
Khudri meriwayatkan 1.170 hadits
h. Ibnu Mas’ud
meriwayatkan 748 hadits
i. Abdullah Bin
Amr Bin ‘Ash meriwayatkan 700 hadits
j. Umar Bin Khaththab
meriwayatkan 537 hadits.
4. Ilmu Ushul
Fiqh
Ushul Fiqh
adalah qaidah/dalil yang dipergunakan sebagai pedoman untuk mengeluarkan suatu
hukum. Misalkan hukum zina, Allah swt berfirman :”Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang
buruk” (Al-Isra’: 43).
Dalam Al Qur’an,
Allah swt tidak menyampaikan dengan jelas bahwa zina itu haram, tetapi melarang
perbuatan zina. Lalu bagaimana hukum zina ?
Qaidah fiqh
menyebutkan :”Hukum asal dari larangan adalah haram, kecuali ada
argumentasi/dalil lain yang berbeda dengannya”. Dalil Al Qur’an telah melarang
perbuatan zina :”Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk” (Al-Isra’: 43). Berarti
zina itu haram.
Adakah dalil
lain yang memperkuat? Ataukah justru ada dalil lain yang membolehkan ? Ternyata
dalil lain bukan membolehkan, tetapi justru semakin memperkuat haramnya zina.
Rasulullah saw bersabda :”Tiada dosa sesudah syirik yang lebih besar di hadapan
Allah dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang memasukkan air mani ke
dalam rahim yang tidak dihalalkan baginya” (HR. Ibnu Abid Dun-ya).
Sehingga hukum
zina jelas haram. Dan dalam qaidah fiqh, yang disebut haram adalah jika dikerjakan
akan mendapat dosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Maka barangsiapa
yang berbuat zina dia akan berdosa dan yang meninggalkan perbuatan zina akan
mendapat pahala.
Sedangkan ilmu
ushul fiqh meliputi :
a. Pembahasan
berbagai macam hukum meliputi wajib, haram, nadab (sunah), karahah (makruh)
atau ibahah (boleh).
b. Pembahasan
berbagai macam dalil dan yang berhubungan dengan dalil tersebut
c. Menjelaskan
cara/system mengeluarkan suatu hukum dari dalil
d. Menjelaskan
syarat mujtahid, sifat mujtahid, tingkatan mujtahid dan hukum ijtihad.
Orang yang
termasuk jajaran pemula dalam menyusun Ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Syafi’i
dengan karyanya Ar Risalah. Sedangkan kitab yang biasa dipakai di Indonesia,
antara lain Mabadi’ Awwaliyyah, As Sulam karya …
Salah satu
tujuan diciptakan ilmu ushul fiqh adalah supaya kaum Muslimin tidak terjebak
kepada ekstrimitas, memberat-beratkan dan berlebih-lebihan dalam beragama. Juga
supaya Kaum Muslimin tidak menjadi apologetic dan memudah-mudahkan dalam
beragama. Dengan ilmu ushul fiqh, harapannya Kaum Muslimin mampu menjaga sikap
pertengahan (wasath) dan proporsional dalam segala urusan. Allah swt
berfirman:”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam),
menjadi ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas (perbuatan) kamu …” (Al-Baqarah:
143).
5. Ilmu Aqidah
Yang dimaksud
aqidah adalah perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan
ketentraman jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan
keragu-raguan (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).
Aqidah disebut
juga iman, tauhid, ashuluddin, ilmu kalam atau fiqih akbar. Ruang lingkup
aqidah adalah arkanul iman (rukun
iman yang enam); yaitu iman kepada Allah, Malaikat (termasuk Jin dan Iblis),
kitab Allah, Nabi-Rasul, hari akhir dan taqdir.
Dalam
sistematika yang lain, Imam Asy Syahid Hasan Al Banna menyebutkan ruang lingkup
aqidah adalah :
a. Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Allah); seperti wujud Allah,
nama-nama dan sifat-Nya, af’al-Nya dan lain-lain
b. Nubuwwat,
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,
termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, karamah dan lain-lain.
c. Ruhaniyat, yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin,
Iblis, Syithan, roh dan lain sebagainya.
d. Sam’iyyat, yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang hanya dapat diketahui lewat sam’i (dalil Al Qur’an dan
Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, adzab kubur, tanda kiamat, surga, neraka
dan lain sebagainya.
6. Ilmu Akhlaq
Yang dimaksud
akhlaq adalah ibarat yang terkumpul dan tertanam kuat dalam jiwa sehingga
melahirkan amal (aktifitas) secara reflek dan mudah tanpa memerlukan pemikiran
dan perenungan (Imam Ghazali). Jika seorang muslimah terjatuh dengan reflek dia
mengucapkan :”Innalillaah !” Berarti dia telah memiliki akhlaq dalam persoalan
tersebut. Tetapi bila seorang muslimah jatuh, kemudian masih berfikir sebaiknya
ngomong apa; berarti dia belum memiliki akhlaq dalam persoalan tersebut. Karena
akhlaq itu dilakukan secara reflek dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
perenungan.
Selain mengerti
bagaimana akhlaq yang baik dan berniat mengerjakannya; akhlaq memerlukan
pembiasaan dengan latihan-latihan. Jika
seseorang hanya mengerti dan berniat saja, tetapi belum terbiasa melakukan
akhlaq yang mulia; dia belum bisa disebut telah berakhlaq Islami.
Akhlaq ditujukan
kepada Allah, Rasulullah saw, diri sendiri, orang-tua, keluarga, sesama Muslim,
non Muslim dan alam semesta. Allah swt berfirman:”Dan tiadalah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al-Anbiyaa’: 107).
Menurut Abdullah
Ibnul Mubarak, akhlaq yang mulia (husnul khuluq) secara garis besar meliputi
tiga hal, yaitu :
a. Thalaqatul
waj-hi (berpenampilan menarik)
Penampilan
menarik meliputi penampilan wajah, dandanan serta tingkah-laku yang menarik.
Penampilan wajah disebut menarik jika berwajah ramah, tidak sombong dan dihiasi
dengan kata-kata yang lembut. Rasulullah saw bersabda :”Jangan meremehkan
sedikitpun perbuatan kebaikan, walau hanya sekedar menyambut teman dengan muka
yang manis” (HR. Muslim).
Rasulullah saw
bersabda :”Dan kata-kata yang baik itu shadaqah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penampilan
dandanan disebut menarik jika rapi dan bersih.
Penampilan
tingkah-laku disebut menarik jika senang menyapa, mudah menjabat tangan dan
menjaga ucapan.
b. Badz-lul
ma’ruf (berambisi terhadap kebaikan)
c. Kafful adza (menahan
diri dari gangguan dan celaan)
Tidak semua
celaan dan gangguan harus dibalas dengan hal yang serupa. Justru balasan yang
simpatik dan lembut akan menjadikan hati
seseorang menjadi tunduk. Allah swt berfirman:”
Rasulullah saw
bersabda:”Dan Allah membenci seseorang yang bermulut keji atau berkelakuan
keji” (HR. At Tirmidzi).
Sedangkan akhlaq
yang universal termaktub dalam adh
dharuriyatul khamsa, yaitu:
* Menjaga agama, yaitu meyakini agamanya sebagai sebuah kebenaran dan
menghormati kebebasan untuk menjalankan agama masing-masing
* Menjaga jiwa,
yaitu larangan untuk menumpahkan darah seseorang tanpa adanya alasan yang kuat.
* Menjaga
keturunan, yaitu larangan melakukan perbuatan yang membahayakan keturunan.
* Menjaga akal
* Menjaga harta
7. Ilmu Fiqh
8. Ilmu Tarikh
9. Ilmu Bahasa
Arab
B. Tsaqafah Umum
1.Perhatian
terhadap Peristiwa Kontemporer dan Analisa Berita
2. Memelihara
Potensi dan Mengembangkannya
Allah swt
menjadikan setiap bayi yang lahir dalam kondisi fithrah, yaitu dalam keadaan
Islam. Rasulullah saw bersabda:”Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah”
(HR. Muslim).
Selain itu
setiap bayi yang dilahirkan telah membawa bakat masing-masing. Rasulullah saw
bersabda:”Manusia itu seperti barang tambang, jika baik ketika dia jahiliyyah,
baik pula ketika dia Islam; dengan syarat berilmu (faqih)” (HR.
Seorang muslimah
pasti memiliki bakat dalam dirinya. Ada
yang memiliki bakat seni; seperti melukis, musik, drama, puisi dan lain-lain. Ada yang berbakat
menulis, orasi, diskusi, berhitung, dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah
dia sudah mengenali bakat yang tersimpan dalam dirinya, kemudian memelihara dan
mengembangkannya. Sudah semestinya bila seorang muslimah mulai mengenali diri
dan bakat yang tersimpan dalam dirinya. Dengan mengenali Allah swt; sifat,
perbuatan, juga ciptaan-Nya; maka seseorang akan mampu mengenali dirinya
sendiri. Sebaliknya, seseorang yang tidak mengenali Allah swt dengan baik, maka
dia juga tidak akan pernah dapat mengenali diri dan bakatnya.
“Dan janganlah
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka
lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq”
(Al-Hasyr: 19).
Contoh bakat
yang dimiliki seorang muslimah adalah Rufaidah. Pada perang Khandaq, Sa’ad
terluka dan kemudian ditempatkan oleh Rasulullah saw di tenda Rufaidah di
samping masjid beliau. Rufaidah adalah seorang wanita yang sudah biasa merawat
orang-orang yang terluka. Rasulullah saw bersabda:”Tempatkan Sa’ad di tenda
Rufaidah agar aku dekat menjenguknya” (Kebebasan Wanita, Abdul Halim Abu
Syuqqah).
Setelah
mengenali potensi dirinya, maka seorang muslimah harus mensyukuri potensi
dirinya dengan jalan memelihara dan mengembangkannya. Jalan untuk memelihara
dan mengembangkan potensi adalah:
a. Mempunyai
waktu khusus untuk berinteraksi dengan bakat, seperti membaca, mengumpulkan
makalah dan lain-lain yang berhubungan dengan bakat
b. Memiliki
komunitas sejenis
c. Mengasah
potensi dengan kursus, training dan lain-lain
d. Menjual
kepada public dengan bekerja, seminar, mengikuti lomba dan lain-lain
Sudah saatnya
bagi seorang muslimah untuk tampil di masyarakat dan berperan aktif
menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat. Maka dibutuhkan beragam potensi
untuk menghadapi tugas besar ini, sehingga pelihara dan kembangkan potensi diri
seorang muslimah. Insya Allah sangat bermanfaat untuk perbaikan masyarakat.
Akalnya
A. Tsaqafah
Islamiyyah
1. Ilmu Tiga
Prinsip
Seorang muslimah
harus menguasai tiga prinsip dalam Islam yang dikenal dengan nama Al Ushul Ats
Tsalatsah; yaitu Allah, Rasul dan Dienul Islam.
Tiga prinsip (Al
Ushul Ats Tsalatsah) meliputi :
a. Allah
b. Rasul
c. Islam
2. Ilmu Al
Qur’an
Ilmu Al Qur’an
diantaranya :
a. Bahasa Arab
Seseorang yang
ingin mendalami Al Qur’an, tidak bisa tidak, harus mendalami pula Bahasa Arab
sebagai bahasa pengantar Al Qur’an.
Mempelajari
Bahasa Arab dibagi menjadi tiga bahasan besar, yaitu nahwu, sharaf dan
mubalaghah.
b. Asbabun Nuzul
Yang dimaksud
dengan asbabun nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang melatar-belakangi turunnya
ayat-ayat dalam Al Qur’an. Tidak semua ayat Al Qur’an ada asbabun nuzulnya; ada
juga ayat-ayat yang tidak ada asbabun nuzulnya.
Contoh asbabun
nuzul sebagai berikut :
Datanglah
sekelompok Yahudi menghadap Rasulullah saw . Diantara mereka terdapat Abdullah
Bin Salam, Tsa’labah, Ibnu yamin, Asad Bin ka’ab, Usaid Bin Ka’ab, Sa’id Bin
‘Amr dan Qais Bin Zaid. Mereka hendak menyatakan beriman tetapi dengan meminta
dua syarat. Mereka berkata :”Ya Muhammad, Taurat adalah kitab Allah, maka
biarkan kami mengamalkannya di malam hari. Hari Sabtu adalah hari yang kami
muliakan, maka biarkanlah kami tetap menghormatinya”.
Allah swt
menjawab permintaan mereka dengan menurunkan sebuah ayat :”Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata
bagimu” (Al-Baqarah : 208).
Kitab asbabun
nuzul yang terkenal adalah Lubabun Nuqul
fi Asbabin Nuzul karya Imam
Jalaluddin As Suyuthi. Kitab itu telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
oleh KHQ. Shaleh, HAA. Dahlan dan Prof.
Dr. HMD. Dahlan dengan judul Asbabun
Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al Qur’an yang
diterbitkan oleh CV. Diponegoro Bandung.
b. Qira’ah
Yang dimaksud
qira’ah adalah cara membaca Al Qur’an dengan tartil (baik dan benar). Allah swt
berfirman :”… dan bacalah Al Qur’an dengan tartil” (Al-Muzzammil: 4).
Tartil dalam
membaca Al Qur’an berarti benar tajwid
dan makhrajnya. Tajwid adalah
qaidah-qaidah di dalam membaca Al Qur’an, seperti dengung-jelas (idgham) ,
panjang-pendek (mad), gharibil Qur’an (bacaan yang tidak lazim), tebal-tipis,
terus-berhenti (waqaf) dan lain-lain. Sedangkan makhraj adalah bunyi huruf yang
keluar dari mulut, seperti kha, cha, ha atau dha, dza dan lain-lain.
Metode membaca
Al Qur’an telah banyak bermunculan seperti Iqra’, Qira’ati dan lain-lain.
Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam metodenya. Jangan sampai
Kaum Muslimin bermusuhan hanya karena perbedaan metode membaca Al Qur’an.
Diantara
lahjah-lahjah Bahasa Arab yang masyhur adalah lahjah Quraisy, Hudzail, Tamim,
Asad, Rabi’ah Hawazin dan Sa’ad.
Diantara
qari’-qari’ yang masyhur, dikenal dengan nama Qira’at Saba’ah (bacaan yang tujuh), adalah :
* Abdullah Bin
Amr, meninggal di Syam tahun 118 H
* Abu Ma’bad
Abdullah Bin Katsir, meninggal di Makkah tahun 120 H.
* Abu Bakar
‘Ashim Bin Abi An Nujud, meninggal di Kufah tahun 127 H.
* Abu ‘Amr Bin
Al ‘Ala’,
meninggal di Bashrah tahun 154 H.
* Nafi’ Bin
Nu’aim, meninggal di Madinah tahun 109 H
* Abdul Hasan
Ali Bin Hamzah Al Kisai, meninggal di Bashrah tahun 189 H
* Abu ‘Imarah
Hamzah Bin Habib, meninggal tahun 216 H.
c. Tafsir
Menafsirkan Al
Qur’an adalah sebuah aktifitas untuk menggali dan mengungkap firman Allah swt
serta mempelajari himah yang terkandung di dalamnya, kemudian mengajarkan dan
menyebarkannya (Ibnu Katsir). Sumber tafsir Al Qur’an adalah :
* Ayat Al Qur’an
dengan ayat lainnya. Karena beberapa ayat dalam Al Qur’an telah diperinci oleh
ayat lainnya. Bila tafsir ayat dengan ayat tidak diketemukan, maka menafsirkan
ayat dengan hadits.
Misalnya, …
* Perkataan,
perbuatan, taqrir (sesuatu yang didiamkan) dan jawaban Rasulullah saw terhadap soal-soal yang disampaikan para
shahabat ketika mereka tidak memahami suatu ayat dalam Qur’an. Tafsir semacam
ini disebut dengan Tafsir Manqul.
Misalkan,
Rasulullah saw menjelaskan ayat :”Ash shalaatul wustha” (Al-Baqarah: 238)
berarti shalat Ashar. Contoh lain, Sayyidini Ali Bin Abi Thalib bertanya kepada
Rasulullah saw tentang Yaumul Hajjil
Akbar (At-Taubah: 3), maka Rasulullah saw menjawab:”Yaumun Nahr (Hari Raya
Qurban)”.
Kedudukan perkataan, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah saw dalam sebuah
tafsir bermacam-macam; ada yang shahih, hasan, dha’if, maudhu’ dan lain
sebagainya. Sehingga perlu diteliti apakah hadits tersebut dapat digunakan
untuk menafsirkan sebuah ayat atau tidak. Jika dalam ayat dan hadits tidak
diketemukan tafsiran sebuah ayat, maka penafsirannya oleh ijtihad para
shahabat.
* Ijtihad. Diantara shahabat dalam
menafsirkan Al Qur’an, selain memakai ayat dan hadits, mereka juga memakai
ijtihad. Hal ini disebabkan kapasitas ilmu, hafalan dan keshalihan mereka.
Mereka menguasai secara mendalam ilmu Bahasa Arab, mengetahui sebab-sebab
sebuah ayat diturunkan, mengetahui adapt-istiadat Arab Jahiliyyah,
cerita-cerita Isra’iliyyat dan perangkat-perangkat lain untuk menafsirkan Al
Qur’an.
Salah seorang
shahabat yang piawai dalam menafsirkan Al Qur’an, Abdullah Bin Mas’ud berkata
:”Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, tiada satu ayat pun dalam Kitab Allah
melainkan aku telah mengetahui di mana turunnya atau kepada siapa diturunkan.
Oleh karena itu, jika aku mengetahui ada orang yang lebih alim (lebih
mengetahui) dari diriku tentang ayat Al Qur’an dan tempat orang itu dapat
dicapai dengan kendaraan; pasti aku akan datang belajar kepadanya”.
Seorang shahabat
lain yang ahli dalam menafsirkan Al Qur’an, Abdullah Bin Abbas, pernah
dido’akan Rasulullah saw:”Ya Allah, pandaikan dia dalam agama, dan ajarkan
kepadanya ilmu tafsir (ta’wil Al Qur’an)”.
Contoh tafsir
shahabat adalah, kata Ath Thuur
(Al-Baqarah: 63) ditafsirkan oleh Mujahid
dengan gunung, sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan dengan gunung Thuur.
* Cerita-cerita Isra’iliyyat, yaitu
berita-berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nashrani. Kaum Muslimin
banyak mengambil tafsir Al Qur’an dari cerita Isra’iliyyat karena Rasulullah
saw pernah bersabda:”Sampaikan dari ajaranku walau hanya satu ayat dan tidak
berdosa engkau ceritakan tentang Bani Isra’il. Barangsiapa yang dengan sengaja
berdusta atas namaku hendaklah menempatkan diri dalam neraka” (HR. Bukhari dari
Abdullah Bin Amr ra).
Ketika Perang
Yarmuk, Abdullah Bin Amr mendapat dua gerobak kitab-kitab Ahli Kitab; sehingga
dia sering membawakan cerita Ahli Kitab selama diijinkan Rasulullah saw. Cerita
Isra’iliyyat terbagi menjadi tiga :
* Yang sesuai
kebenarannya dengan nash Al Qur’an dan hadits, maka itu benar
* Yang jelas
dusta karena berseberangan dengan nash Al Qur’an dan hadits.
* Yang didiamkan
karena tidak ada keterangan dari nash Al Qur’an dan hadits yang membenarkan dan
tidak pula menyalahi nash.
Contoh, cerita
Isra’iliyyat menyebutkan nama dan jumlah para pemuda As-haabul Kahfi, sementara
Allah swt berfirman :”… Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang
yang mengetahui mereka kecuali sedikit …” (Al-Kahfi: 22).
* Pendapat ulama tabi’in tidak dapat
menjadi hujjah dalam masalah furu’, terlebih lagi dalam tafsir. Tetapi jika
mereka berbeda pendapat dan hujjahnya sama kuat; maka pendapat yang satu tidak
dapat membatalkan pendapat yang lainnya. Sedangkan menafsirkan ayat Al Qur’an
semata-mata dengan akalnya merupakan hal yang dilarang dalam agama. Rasulullah
saw bersabda :
“Barangsiapa
menafsirkan ayat Al Qur’an hanya dengan pendapatnya atau dengan dasar yang
tidak diketahuinya, maka hendaknya menempatkan diri dalam neraka” (HR. At
Tirmidzi, An Nasa’I dan Ibnu Jarir).
Kitab-kitab
tafsir yang perlu untuk diketahui adalah :
* Tafsir Al Kasysyaaf karya Az Zamakhsyari,
yang menafsirkan Al Qur’an dari sisi gaya dan keindahan bahasa.
* Tafsir Ma’anil Qur’an karya Az Zajjad, tafsir
Al Basiith karya Al Waahadi dan tafsir Al Bahrul Muhiith karya Abu Hayyan
Muhammad Bin Yusuf Al Andalusi; yang menekankan penafsiran Al Qur’an dari tata
bahasa Arab dan sya’ir-sya’ir Arab.
* Tafsir Jami’
Ahkamul Qur’an karya Al Qurthubi, tafsir Ahkaamul Qur’an karya Ibnul Arabi,
tafsir Ahkaamul Qur’an karya Al Jashshaash dan tafsir Nailul Maraam karya Hasan
Shiddiq Khan yang menekankan penafsiran Al Qur’an dari sisi hokum.
* Tafsir At
Tatsuri karya Abu Muhammad Sahl Bin Abdullah At Tatsuri yang menekankan
penafsiran Al Qur’an dari sisi ilmu suluk dan tasawuf.
* Tafsir Mu’jam
Ghariibil Qur’an karya Muhammad Fuad Abdul Baaqi, menekankan penafsiran dari
lafadz Qur’an yang gharib (lafadz yang jarang dipakai dalam perkataan
sehari-hari).
* Tafsir Fii
Dzilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, menekankan penafsiran dari sisi pergerakan.
3. Ilmu Hadits
Yang dimaksud
dengan hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah saw meliputi
perbuatan, ucapan, taqrir (sesuatu yang didiamkan) atau sifat-sifatnya yang ada
kaitannya dengan hukum (Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash Shiddieqi).
Contoh hadits
perkataan Rasulullah saw :”Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada
niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Contoh hadits
perbuatan Rasulullah saw adalah keterangan dari Abu Humaid tentang ruku’
Rasulullah saw :”Dan jika dia (Rasulullah saw) mengangkat kepalanya, maka dia
pun berdiri lurus hingga kembalilah setiap ruas punggung itu ke tempat semula”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Contoh hadits
taqrir Rasulullah saw :”Khalid Bin Walid makan dhab (sejenis biawak) yang
dihidangkan orang kepada Rasulullah saw, sedangkan Rasulullah saw sendiri
enggan memakannya. Sebagian shahabat bertanya:”Apakah kita diharamkan makan
dhab, ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab:”Tidak, hanya binatang ini tidak terdapat
di negeri saya, karena saya tidak suka memakannya. Makanlah, sesungguhnya dia
itu halal” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan yang
dimaksud dengan ilmu hadits adalah suatu ilmu yang menerangkan semua yang
dinukilkan atau yang disandarkan kepada Nabi, para shahabat atau tabi’in; baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat (Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqi).
Ilmu yang tumbuh
dari ilmu hadits riwayah dan dirayah adalah :
a. Ilmu Rijalul
Hadits, yaitu ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari shahabat,
tabi’in maupun dari urutan-urutan sesudahnya.
b. Ilmu Jarh dan
Ta’dil, yaitu ilmu yang menjelaskan tentang jarh (catatan-catatan minus) para
perawi dan penta’dilannya (catatan-catatan keadilannya) serta martabatnya.
c. Ilmu Gharibil
Hadits, yaitu ilmu yang menerangkan makna kalimat dalam matan hadits yang sulit
diketahui maknanya dan tidak biasa dipakai oleh masyarakat umum.
d. Ilmu Nasikh
wal Mansukh, yaitu ilmu yang menerangkan hadits yang sudah dimasukh (dihapus)
dan yang menasikhkannya (yang mengganti).
e. Ilmu Asbabul
Wurud, yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab terjadinya hadits dan masa
terjadinya.
f. Ilmu Talfiqil
Hadits, yaitu ilmu yang membahas cara memadukan hadits-hadits yang seolah-olah
berlawanan.
g. Ilmu
Musthalah Ahli Hadits, yaitu ilmu yang menerangkan istilah-istilah yang
digunakan oleh ahli hadits.
Kitab pokok
hadits dikenal dengan nama Kutubus Sittah,
yaitu enam kitab hadits :
a. Shahih
Bukhari
b. Shahih Muslim
c. Sunan Abu
Daud
d. Sunan An
Nasa’i
e. Sunan At
Tirmidzi
f. Sunan Ibnu
Majah
Beberapa
shahabat pencatat hadits :
a. Abu Hurairah
meriwayatkan 5.374 hadits.
b. Ibnu Umar
meriwayatkan 2.630 hadits.
c. Anas Bin
Malik meriwayatkan 2.286 hadits
d. Ummul
Mu’miniin ‘Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits
e. Ibnu Abbas
meriwayatkan 1.660 hadits
f. Jabir Bin
Abdullah meriwayatkan 1.540 hadits
g. Abu Sa’id Al
Khudri meriwayatkan 1.170 hadits
h. Ibnu Mas’ud
meriwayatkan 748 hadits
i. Abdullah Bin
Amr Bin ‘Ash meriwayatkan 700 hadits
j. Umar Bin Khaththab
meriwayatkan 537 hadits.
4. Ilmu Ushul
Fiqh
Ushul Fiqh
adalah qaidah/dalil yang dipergunakan sebagai pedoman untuk mengeluarkan suatu
hukum. Misalkan hukum zina, Allah swt berfirman :”Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang
buruk” (Al-Isra’: 43).
Dalam Al Qur’an,
Allah swt tidak menyampaikan dengan jelas bahwa zina itu haram, tetapi melarang
perbuatan zina. Lalu bagaimana hukum zina ?
Qaidah fiqh
menyebutkan :”Hukum asal dari larangan adalah haram, kecuali ada
argumentasi/dalil lain yang berbeda dengannya”. Dalil Al Qur’an telah melarang
perbuatan zina :”Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk” (Al-Isra’: 43). Berarti
zina itu haram.
Adakah dalil
lain yang memperkuat? Ataukah justru ada dalil lain yang membolehkan ? Ternyata
dalil lain bukan membolehkan, tetapi justru semakin memperkuat haramnya zina.
Rasulullah saw bersabda :”Tiada dosa sesudah syirik yang lebih besar di hadapan
Allah dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang memasukkan air mani ke
dalam rahim yang tidak dihalalkan baginya” (HR. Ibnu Abid Dun-ya).
Sehingga hukum
zina jelas haram. Dan dalam qaidah fiqh, yang disebut haram adalah jika dikerjakan
akan mendapat dosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Maka barangsiapa
yang berbuat zina dia akan berdosa dan yang meninggalkan perbuatan zina akan
mendapat pahala.
Sedangkan ilmu
ushul fiqh meliputi :
a. Pembahasan
berbagai macam hukum meliputi wajib, haram, nadab (sunah), karahah (makruh)
atau ibahah (boleh).
b. Pembahasan
berbagai macam dalil dan yang berhubungan dengan dalil tersebut
c. Menjelaskan
cara/system mengeluarkan suatu hukum dari dalil
d. Menjelaskan
syarat mujtahid, sifat mujtahid, tingkatan mujtahid dan hukum ijtihad.
Orang yang
termasuk jajaran pemula dalam menyusun Ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Syafi’i
dengan karyanya Ar Risalah. Sedangkan kitab yang biasa dipakai di Indonesia,
antara lain Mabadi’ Awwaliyyah, As Sulam karya …
Salah satu
tujuan diciptakan ilmu ushul fiqh adalah supaya kaum Muslimin tidak terjebak
kepada ekstrimitas, memberat-beratkan dan berlebih-lebihan dalam beragama. Juga
supaya Kaum Muslimin tidak menjadi apologetic dan memudah-mudahkan dalam
beragama. Dengan ilmu ushul fiqh, harapannya Kaum Muslimin mampu menjaga sikap
pertengahan (wasath) dan proporsional dalam segala urusan. Allah swt
berfirman:”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam),
menjadi ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas (perbuatan) kamu …” (Al-Baqarah:
143).
5. Ilmu Aqidah
Yang dimaksud
aqidah adalah perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan
ketentraman jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan
keragu-raguan (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).
Aqidah disebut
juga iman, tauhid, ashuluddin, ilmu kalam atau fiqih akbar. Ruang lingkup
aqidah adalah arkanul iman (rukun
iman yang enam); yaitu iman kepada Allah, Malaikat (termasuk Jin dan Iblis),
kitab Allah, Nabi-Rasul, hari akhir dan taqdir.
Dalam
sistematika yang lain, Imam Asy Syahid Hasan Al Banna menyebutkan ruang lingkup
aqidah adalah :
a. Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Allah); seperti wujud Allah,
nama-nama dan sifat-Nya, af’al-Nya dan lain-lain
b. Nubuwwat,
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,
termasuk pembahasan tentang kitab-kitab Allah, mu’jizat, karamah dan lain-lain.
c. Ruhaniyat, yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin,
Iblis, Syithan, roh dan lain sebagainya.
d. Sam’iyyat, yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang hanya dapat diketahui lewat sam’i (dalil Al Qur’an dan
Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, adzab kubur, tanda kiamat, surga, neraka
dan lain sebagainya.
6. Ilmu Akhlaq
Yang dimaksud
akhlaq adalah ibarat yang terkumpul dan tertanam kuat dalam jiwa sehingga
melahirkan amal (aktifitas) secara reflek dan mudah tanpa memerlukan pemikiran
dan perenungan (Imam Ghazali). Jika seorang muslimah terjatuh dengan reflek dia
mengucapkan :”Innalillaah !” Berarti dia telah memiliki akhlaq dalam persoalan
tersebut. Tetapi bila seorang muslimah jatuh, kemudian masih berfikir sebaiknya
ngomong apa; berarti dia belum memiliki akhlaq dalam persoalan tersebut. Karena
akhlaq itu dilakukan secara reflek dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
perenungan.
Selain mengerti
bagaimana akhlaq yang baik dan berniat mengerjakannya; akhlaq memerlukan
pembiasaan dengan latihan-latihan. Jika
seseorang hanya mengerti dan berniat saja, tetapi belum terbiasa melakukan
akhlaq yang mulia; dia belum bisa disebut telah berakhlaq Islami.
Akhlaq ditujukan
kepada Allah, Rasulullah saw, diri sendiri, orang-tua, keluarga, sesama Muslim,
non Muslim dan alam semesta. Allah swt berfirman:”Dan tiadalah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al-Anbiyaa’: 107).
Menurut Abdullah
Ibnul Mubarak, akhlaq yang mulia (husnul khuluq) secara garis besar meliputi
tiga hal, yaitu :
a. Thalaqatul
waj-hi (berpenampilan menarik)
Penampilan
menarik meliputi penampilan wajah, dandanan serta tingkah-laku yang menarik.
Penampilan wajah disebut menarik jika berwajah ramah, tidak sombong dan dihiasi
dengan kata-kata yang lembut. Rasulullah saw bersabda :”Jangan meremehkan
sedikitpun perbuatan kebaikan, walau hanya sekedar menyambut teman dengan muka
yang manis” (HR. Muslim).
Rasulullah saw
bersabda :”Dan kata-kata yang baik itu shadaqah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penampilan
dandanan disebut menarik jika rapi dan bersih.
Penampilan
tingkah-laku disebut menarik jika senang menyapa, mudah menjabat tangan dan
menjaga ucapan.
b. Badz-lul
ma’ruf (berambisi terhadap kebaikan)
c. Kafful adza (menahan
diri dari gangguan dan celaan)
Tidak semua
celaan dan gangguan harus dibalas dengan hal yang serupa. Justru balasan yang
simpatik dan lembut akan menjadikan hati
seseorang menjadi tunduk. Allah swt berfirman:”
Rasulullah saw
bersabda:”Dan Allah membenci seseorang yang bermulut keji atau berkelakuan
keji” (HR. At Tirmidzi).
Sedangkan akhlaq
yang universal termaktub dalam adh
dharuriyatul khamsa, yaitu:
* Menjaga agama, yaitu meyakini agamanya sebagai sebuah kebenaran dan
menghormati kebebasan untuk menjalankan agama masing-masing
* Menjaga jiwa,
yaitu larangan untuk menumpahkan darah seseorang tanpa adanya alasan yang kuat.
* Menjaga
keturunan, yaitu larangan melakukan perbuatan yang membahayakan keturunan.
* Menjaga akal
* Menjaga harta
7. Ilmu Fiqh
8. Ilmu Tarikh
9. Ilmu Bahasa
Arab
B. Tsaqafah Umum
1.Perhatian
terhadap Peristiwa Kontemporer dan Analisa Berita
2. Memelihara
Potensi dan Mengembangkannya
Allah swt
menjadikan setiap bayi yang lahir dalam kondisi fithrah, yaitu dalam keadaan
Islam. Rasulullah saw bersabda:”Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah”
(HR. Muslim).
Selain itu
setiap bayi yang dilahirkan telah membawa bakat masing-masing. Rasulullah saw
bersabda:”Manusia itu seperti barang tambang, jika baik ketika dia jahiliyyah,
baik pula ketika dia Islam; dengan syarat berilmu (faqih)” (HR.
Seorang muslimah
pasti memiliki bakat dalam dirinya. Ada
yang memiliki bakat seni; seperti melukis, musik, drama, puisi dan lain-lain. Ada yang berbakat
menulis, orasi, diskusi, berhitung, dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah
dia sudah mengenali bakat yang tersimpan dalam dirinya, kemudian memelihara dan
mengembangkannya. Sudah semestinya bila seorang muslimah mulai mengenali diri
dan bakat yang tersimpan dalam dirinya. Dengan mengenali Allah swt; sifat,
perbuatan, juga ciptaan-Nya; maka seseorang akan mampu mengenali dirinya
sendiri. Sebaliknya, seseorang yang tidak mengenali Allah swt dengan baik, maka
dia juga tidak akan pernah dapat mengenali diri dan bakatnya.
“Dan janganlah
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka
lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq”
(Al-Hasyr: 19).
Contoh bakat
yang dimiliki seorang muslimah adalah Rufaidah. Pada perang Khandaq, Sa’ad
terluka dan kemudian ditempatkan oleh Rasulullah saw di tenda Rufaidah di
samping masjid beliau. Rufaidah adalah seorang wanita yang sudah biasa merawat
orang-orang yang terluka. Rasulullah saw bersabda:”Tempatkan Sa’ad di tenda
Rufaidah agar aku dekat menjenguknya” (Kebebasan Wanita, Abdul Halim Abu
Syuqqah).
Setelah
mengenali potensi dirinya, maka seorang muslimah harus mensyukuri potensi
dirinya dengan jalan memelihara dan mengembangkannya. Jalan untuk memelihara
dan mengembangkan potensi adalah:
a. Mempunyai
waktu khusus untuk berinteraksi dengan bakat, seperti membaca, mengumpulkan
makalah dan lain-lain yang berhubungan dengan bakat
b. Memiliki
komunitas sejenis
c. Mengasah
potensi dengan kursus, training dan lain-lain
d. Menjual
kepada public dengan bekerja, seminar, mengikuti lomba dan lain-lain
Sudah saatnya
bagi seorang muslimah untuk tampil di masyarakat dan berperan aktif
menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat. Maka dibutuhkan beragam potensi
untuk menghadapi tugas besar ini, sehingga pelihara dan kembangkan potensi diri
seorang muslimah. Insya Allah sangat bermanfaat untuk perbaikan masyarakat.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as