Sistem Ekonomi Islam;
Solusi Tunggal Problem Perekonomian
Dunia
Oleh:
Muhammad Shodiq*
Sekilas
‘Prestasi’ Ekonomi Kapitalis di Indonesia
Indikator kebangkrutan ekonomi di Indonesia akibat
penerapan sistem ekonomi kapitalis mulai nampak, mulai dari defisit Anggaran
Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp. 53,8 T pada tahun 2001 hingga utang
luar negeri yang mencapai angka 1700 Triliun rupiah pada awal tahun 2002. Lebih
jauh lagi kita akan dapat mengetahui dengan sangat jelas bahwa dengan permainan
menjungkalbalikkan harga saham yang dilakukan oleh bos kapitalis dunia, George
Soros pada awal 1997 yang lalu ternyata berimplikasi terhadap perekonomian
Indonesia. Indonesia yang menerapkan ekonomi kapitalis segera mendapat imbasnya
pada bulan Juli 1997 yang diawali dengan kekacauan sektor moneter kita (sektor
non riil). Terakhir, menjelang lengsernya Suharto rupiah akhirnya ‘mampu’
menembus angka Rp. 20.000,- per dollar AS.
Di Indonesia, 70%
uang konon beredar di Jakarta. Menurut Sri Bintang Pamungkas, 200
gelintir orang menguasai 80% PDB nasional. Kekayaan Om Liem hampir separoh
RAPBN Indonesia. Omset kelompok pengusaha Prasetia Mulia (Om Liem, dkk) sekitar
80% RAPBN Indonesia.
Dalam dunia perbankan, sistem ekonomi
juga terlihat boroknya dengan terjadinya
likuaidasi 16 bank oleh pemerintah dan 51 bank lainnya dibekukan pada 1
November 1997. Langkah ini menciutkan secara drastis jumlah bank dari 237 pada
akhir Juni 1997 menjadi 151 bank pada
akhir Desember 2000. (Kompas, 29 Juli 2001).
Demikian pula dalam pembayaran
obligasi. Pemerintah harus membayar kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada
tahun 2002 sekitar Rp.12,9 triliyun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap
tahunnya, mencapai Rp. 73,98 triliyun pada tahun 2007 dan Rp. 138 triliyun pada
2018. Jelas biaya ini akan dibebankan kepada APBN yang berarti rakyatlah yang
harus menanggung semua beban ini.
Apa yang dipaparkan diatas
hanyalah sekelumit dari ‘prestasi’ yang diukir oleh sistem ekonomi kapitalis di
Indonesia. Belum jerat utang dan imperialisme yang dilakukan oleh IMF, Lembaga
penghisap keuangan negara-negara penghutangnya ini terus melakukan hegemoninya
dengan dalih menyelamatkan perekonomian suatu negara. dan belum lagi adanya
program privatisasi yang dilakukan oleh BPPN. Masih banyak bidang yang lain yang
‘terpaksa’ harus hancur karena menerapkan sistem yang batil ini. Oleh sebab itu
satu-satunya solusi atas segala permasalahan dalam bidang ekonomi adalah dengan
menerapkan kembali sistem perekonomian Islam. Sebab pada faktanya tidaka ada
satupun sistem di dunia ini yang mampu untuk memecahkan segala problematika
manusia secara komprehensif, kecuali Islam.
Sistem Ekonomi Islam
Secara ringkas,
Dr. Samih Athif az-Zain dalam kitab Al
Islam Khuthutun ‘Aridhah: al-iqtishad, al-Hukm, al-Ijtima’, menjelaskan pandangan
filosofis Islam mengenai ekonomi. Ekonomi dalam Islam ditegakkan untuk
mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia dan sebagai
manusia yang hidup di dalam masyarakat, bukan manusia sebagai individu serta
bukan pula sebagai manusia yang terasing atau sebagai individu yang hidup dalam
masyarakat yang individu-individunya tidak terikat dengan norma apapun. Jadi,
ekonomi itu bagi manusia bukan bagi individu dan bagi masyarakat bukan bagi
kelompok yang terdiri dari sejumlah individu. Islam tidak memisahkan antara apa
yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan upaya manusia, tetapi
menjadikannya dua hal yang saling berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan
individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masyarakat, ia
memperhatikan kepentingan individu, diperhatikannya kepentingan masyarakat.
Demikian halnya, Islam menjadikan falsafah ekonomi
berhubungan dengan perintah dan larangan-larangan Allah SWT. Yakni dengan
menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan individu dan
masyarakat serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai hukum syara’.
Membatasi perbuatan ekonomi dengan hukum syara’ sebagai undang-undang yang
membolehkan apa yang dibolehkan Islam dan membatasi apa yang harus dibatasinya.
Inilah pengertian kegiatan ekonomi dalam Islam sebagai bagian dari ibadah
kepada Allah.
Untuk mewujudkan gagasan itu semua, menurut Imam Taqiyyudin an-Nabhani dalam Kitab Nidzam al-Iqtishady fi al-Islam, sistem
ekonomi dalam Islam dijalankan dengan tiga asas, yakni: pertama, Konsep Kepemilikan (al-milkiyah), kedua, Pemanfaatan
Kepemilikan (al-Tasharuf fi
al-milkiyah), dan ketiga, Distribusi
Kekayaan di antara manusia (tauziú
al-tsarwah bayna al-naas). Berikut dijelaskan masing-masing konsep
tersebut.
Konsep Kepemilikan
(al-Milkiyah)
Kepemilikan (al-Milkyah)
adalah tata cara yang digunakan oleh seseorang untuk memperoleh manfaat yang
dihasilkan oleh suatu benda. Sedangkan pengertian kepemilikan menurut hukum
syara’ adalah izin Pembuat syariat untuk memanfaatkan zat. Yang dimaksudkan
dengan izin adalah hukum syara’. Sedangkan Pembuat syariat adalah Allah
SWT. Adapun yang dimaksud zat adalah
benda yang dapat dimanfaatkan.
Islam memiliki pandangan yang khas tentang harta.
Bahwa harta pada hakekatnya adalah milik Allah SWT ( Lihat QS. 24: 33). Dan
harta yang dimiliki oleh manusia pada dasarnya merupakan pemberian dari Allah
yang dikuasakan kepadanya (Lihat QS. 57: 7). Kata rizki sendiri artinya adalah
pemberian (a’tho). Oleh karena itu,
harta mestinya hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah.
Pandangan ini berbeda dengan paham kapitalisme
yang menganggap harta adalah milik manusia, karena menusia yang mengusahakannya
dan oleh karenanya, manusia bebas mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya.
Dari pandangan inilah kemudian lahir falsafah hurriyatu al-tamaluk (kebebasan kepemilikan ), yang merupakan
bagian dari hak asasi manusia. Menurut paham ini, manusia bebas menentukan cara
mendapatkan dan memanfaatkan hartanya.
Namun sebaliknya, sosialisme sama sekali tidak
megakui adanya kepemilikan individu. Semua adalah milik negara. Kepada individu
diberikan sebatas yang diperlukan dan
dia bekerja sebatas yang dia bisa.
Sosialisme mematikan kreativitas manusia. Dimensi individual dan
motiv-motiv manusia dihilangkan. Akibatnya sangat fatal, yakni tidak adanya
gairah kerja, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan secara drastis
produktivitas masyarakat, karena masyarakat telah kehilangan hasrat untuk
memperoleh keuntungan (profit motives)—sebagai
sesuatu yang sangat manusiawi.
Islam, berbeda dengan Kapitalisme – yang tidak
mengatur jumlah dan cara perolehan harta serta pemanfaatannya—dan berbeda
dengan sosialisme – yang secara mutlak mengatur kuantitas dan kualitas harta.
Dalam Islam tidak ada kebebsan pemilikan, tapi tidak ada pula pembatasan yang
bersifat mutlak. Islam mengatur cara, bukan jumlah pemilikan serta cara
pemanfaatan pemilikan. Cara pemilikan yang sah adalah izin dari syara’ dalam
menguasai zat dan memanfaatkan suatu benda.
Dengan demikian berkaitan dengan kepemilikan,
menurut Imam Taqiyudin an-Nabhani dibedakan menjadi tiga yaitu kepemilikan
individu (milkiyah fardiyah),
kepemilikan umum (milkiyah amah), dan
kepemilikan negara (milkiyah daulah).
a. Kepemilikan
Individu
Kepemilikan individu adalah izin syara’ pada
individu untuk memanfaatkan sesuatu. Ada lima sebab kepemilikan individu, yaitu
bekerja (al-amal), warisan (al-irts), kebutuhan kepada harta untuk
mempertahankan hidup, pemberian negara (i’thau
al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian,
barang dan uang modal; harta yang diperoleh individu tanpa daya dan upaya.
Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta.
Walaupun demikian ia (Islam) memberikan batasan tertentu supaya kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan umum. Namun demikian, Islam membatasi kepemilikan
tersebut dengan cara perolehan yang halal. Karena Islam telah mengenggap bahwa
pemilikan dan penguasaan harta benda merupakan bagian dari naluri manusia.
Sementara itu hak individu dan kewajiban negara
terhadap kepemilikan individu dapat dijelaskan sebagai berikut: hak kepemilikan
individu adalah hak syari’ bagi individu. Seorang indviidu berhak memiliki
harta yang bergerak maupun tidak bergerak seperti mobil, tanah dan uang tunai.
Hak ini dijaga dan diatur oleh hukum syara’. Sedangkan pemeliharaan pemilikan
individu adalah kewajiban negara. Oleh karena itu hukum syara’ telah menetapkan
adanya sanksi-sanksi bagi tindakan preventif bagi siapa saja yang
menyalahgunakan hak tersebut.
Harta dapat diperoleh melalui bekerja, mencakup
upaya menghidupkan tanah mati, mencari bahan tambang, berburu, pialang, syarikah mudharabah, musyaqah, bekerja
sebagai pegawai. Sedangkan harta yang diperoleh tanpa adanya dan upaya bisa berupa
hibah, hadiah, wasiat, diyat, mahar, barang temuan.
Sementara itu, Islam melarang perolehan harta
melalui cara yang tidak diridhoi Allah seperti judi, riba, pelacuran dan
perbuatan maksiyat yang lain. Kegiatan ‘ekonomi’ itu pasti akan menggeret
kegiatan ekonomi lain yang sangat merusak. Juga dilarang mendapatkan harta
melalui korupsi, mencuri, menipu, karena pasti merugikan orang lain dan
menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.
Namun demikian, Islam juga telah menyiapkan konsep
untuk membatasi kepemilikan individu. Batasan-batasan ini nampak pada
sebab-sebab kepemilikan yang telah disyariatkan, dimana dengan sebab-sebab
tersebut, hak milik seseorang dapat diakui. Batasan kepemilikan tersebut juga
nampak pada kondisi-kondisi yang menyebabkan sanksi tertentu, termasuk kondisi
yang tidak membawa sanksi apa pun. Sehingga ketika Islam membatasi suatu
kepemilikan, Islam tidak membatasinya dengan cara pemberangusan (perampasan),
melainkan melalui mekanisme tertentu, antara lain:
1. Membatasi
kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak
milik, bukan dengan merampas kekayaan yang telah menjadi hak milik.
2. Dengan
cara menentukan mekanisme pengelolaannya.
3. Dengan
cara menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik negara bukan milik individu.
4. Dengan
cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam
kondisi-kondisi tertentu.
5. Dengan
cara men-supply orang yang memiliki keterbatasan faktor produksi, sehingga
dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan yang ada.
b. Kepemilikan Umum
Pemilikan umum adalah izin syara’ kepada
masyarakat secara bersama memanfaatkan sesuatu. Harta kepemilikan umum ini
terbagi menjadi tiga yaitu:
1.
Segala sesuatun yang
menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, yakni segala sesuatu yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat dan akan menyebabkan persengketaan taktala ia
lenyap. Seperti air, padang rumput (hasil hutan) dan api (listrik dan sumber
energi lainnya). Rasulullah SAW bersabda: “Kaum
muslimin berserikat dalam tiga hal yakni air, padang gembalaan dan api” (THR. Ahmad dan Abu Dawud). Dari Abu
Hurairah Rasulullah SAW, Nabi SAW bersabda “Tidak
akan pernah dilarang air, padang rumput dan api (untuk dimanfaatkan siapapun)” (THR. Ibnu
Majah).
2.
Segala sesuatu yang
secara alami tidak dapat dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan
seperti jalan, sungai, laut, danau, masjid, sekolah negeri dan lapangan umum.
3.
Barang tambang yang
depositnya tidak terbatas, yakni barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.
Barang tambang yang cadangannya sangat besar, seperti emas, perak, minyak,
nikel, fosfat, tembaga, dsb tidak boleh dimiliki oleh individu. Dasarnya adalah adanya riwayat dari
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abyadh bin Hamal al-Mazini , bahwa Abyadh
telah meminta kepada Rasul tambang garam.
Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang sahabat
berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah,
tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau
telah memberikan sesuatu yang bagaikan air yang mengalir” Rasul kemudian
berkata “Tariklah kembali tambang
tersebut darinya”. Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya garam adalah
barang tambang seperti air mengalir (yang tidak terbatas depositnya).
Pengelolaan milik umum dilakukan hanya oleh negara
untuk seluruh rakyat. Sedangkan pemanfaatan dan pendistribusian pendapatan dari
harta kepemilikan umum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Dibelanjakan untuk
segala keperluan yang berkenaan dengan biaya operasional badan negara yang
ditunjuk mengelola harta kepemilikan umum tersebut, baik biaya administrasi
perencanaan eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran maupun
pendistribusiannya kepada masyarakat. Negara dapat menunjuk mitra swasta yang
profesional untuk melakukannya. Pihak swasta disini hanya sebagi pelaksana
saja, bukan memiliki sebagaimana dalam sistem kapitalisme yang menekankan
adanya privatisasi.
b.
Dibagikan kepada kaum
muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hali ni, khalifah boleh membagikan air
minum, listrik, gas, minyak tanah dan barang lainnya untuk keperluan rumah
tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya semurah-murahnya.
Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat, misalnya minyak
mentah, dijual kepemilikan umum luar negeri dan keuntungannya --termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagiikan
kepada seluruh rakyat dalam bentuk kebutuhan pokok, uang, barang kebutuhan
lainnya, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.
c. Kepemilikan Negara
Kepemilikan negara adalah izin syara’ atas setiap
harta yang hak pemanfaatannya berada ditangan khalifah sebagai kepala negara.
Misalnya ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz, ushr, harta
orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik
negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban
negara seperti menggaji pegawai, keperluan jihad, dsb.
Karena syara’ telah memberikan kepada Khalifah
kewenagan untuk mengatur urusan kaum muslimin , meraih kemaslahatan mereka,
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sesuai dengan ijtihadnya dalam meraih
kebaikan dan kemaslahatan, maka Khalifah harus mengelola harta milik negara
semksimal mungkin agar pendapatan baitul maal bertambah dan dapat dimanfaatkan
oleh kaum muslim, sehingga milik negara tidak menjadi sia-sia, hilang manfaatnya
dan pendapatannya terputus.
Dengan
demikian pengelolaan harta milik negara dapat dilakukan sebagai berikut:
a.
Penjualan atau
penyewaan.
b.
Pengelolaan tanah
ladang yang berpohon.
c.
Pengelolaan atas
tanah-tanah pertanian yang sangat luas, dengan menyewa para petani atai
pekerjauntuk mengelola tanah tersebut.
d.
Menghidupkan tanah
endapan sungai, rawa-rawa, hutan belukar, tambak, tanah yang menahan air, tanah
yang bergaram, dengan cara memperbaharui saluran airnya, mengairinya dengan air
separuhnya, mengeringkannya, hingga tanah tersebut layak untuk lahan pertanian
dan dapat ditanami pepohonan.
e.
Pembagian tanah.
Pemanfaatan
Kepemilikan
Kejelasan konsep kepemilikan sangat berpengaruh
terhadap konsep pemanfaatan harta milik (tasharruf
al-maal), yakni siapa sesungguhnya yang berhak untuk mengelola dan
memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan kepemilikan adalah cara, sesuai hukum
syara’ seorang muslim memberlakukan harta miliknya. Ada dua arah pemanfaatan
harta, yakni pengembangan harta (tanmiyatu
al-maal) dan penggunaan harta (infaqu
al-mal)
a. Pengembangan harta
(tanmiyatu al-mal)
Pengembangan harta berkait dengan cara dan sarana
yang menghasilkan pertambahan harta, yakni produksi pertanian, perdagangan,
industri, dan investasi uang pada sektor jasa. Hukum pengembangan harta disini
terikat dengan hukum masalah cara dan sarana yang menghasilakan harta tadi,
yakni hukum masalah pertanian (hukum masalah tanah misalnya, tidaka boleh
menelantarkan tanah lebih dari tiga tahun, bolehnya seseorang memiliki tanah
terlantar bila ia mengolahnya dan larangan meyewakan tanah dan seputar kegiatan
pertanian), perdagangan (hukum syirkah dan jual beli), industri (hukum produksi
barang dan manajemen) dan jasa (hukum perjanjian dan pengupahan).
Islam juga melarang beberapa hal
sebagai jalan pengembangan hartanya. Misalnya riba, menimbun, memonopoli,judi,
penipuan dalam jual beli, jual beli barang haram dsb.
b. Penggunaan harta
(infaqu al-mal)
Penggunaan harta adalah pemanfaatan harta dengan
atau tanpa manfaat material yang diperoleh. Berbeda dengan sistem kapitalisme,
Islam mendorong ummatnya untuk menggunakan hartanya bukan hanya sebatas
kepentingan pribadi dengan kemanfaatan yang nampak, akan tatapi juga untuk
kepentingan orang lain atau kepentingan ibadah. Misalnya zakat, nafkah, hibah,
sedekah dan infak untuk jihad fi sabilillah.
Islam mengharamkan penggunaan harta yang dilarang
syara’ seperti risywah (suap), israf, tabdzir, dan taraf
(membeli barang atau jasa haram), serta mencela dengan keras sikap bakhil.
Pelarangan pemanfaatan harta pada jalan-jalan tersebut akan menutup pintu bagi
dibukanya kegiatan-kegiatan itu. Individu dan masyarakat akan terselamatkan
dari kerusakan.
Konsep Distribusi
Kekayaan (tauziú al-tsarwah)
Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan
di antara manusia agar tercipta keadilan dan kesejahteraan bersama, yakni:
1. Wajibnya
muzaki membayar zakat yang diberikan kepada mustahik, khususnya kalangan fakir
dan miskin.
2. Hak
setiap warga negara untuk memanfaatkan pemilikan umum. Negara berhak mengolah
dan mendistribusikan kepada rakyat secara cuma-cuma atau dengan harga murah.
3. Pembagian
harta negara seperti tanah, barang, dan uang sebagi modal kepada yang
memerlukan.
4. Pemberian
harta waris kepada ahli waris.
5. Larangan
menimbun emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.
Bagaimana Pelaksanaannya?
Islam mendorong setiap manusia untuk bekerja dan
meraih kemajuan material. Islam membolehkan tiap manusia mengusahakan harta
sebanyak yang ia mampu, mengembangkan dan memanfaatkan sepenjang tidak
melanggar ketentuan agama. Di sinilah kemudian sektor swasta didorong untuk
berkembang. Untuk itu pemgembangan Sumber Daya Insani yang beriman, berpengetahuan, berketrampilan
tinggi dengan kepribadian yang khas, mutlak diperlukan. Islam sangat menghargai
orang yang bekerja keras dan mendapatkan nafkah. Islam tidak melarang ummatnya
menjadi kaya bahkan konglomerat. Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin
Auf adalah beberapa diantara konglomerat di zaman Rasulullah. Bahkan
Abdurrahman bin Auf, sebelum wafatnya menghibahkan 50.000 dinar (212,5 Kg) atau
sekitar 15,9 Miliyar (1 gram Rp. 75
ribu) untuk umat. Dari sinilah produktivitas individu yang berujung pada
produktivitas masyarakat dapat diharapkan, sehingga kegiatan ekonomi akan
berkembang.
Harta, khususnya bila itu milik orang Islam, hanya
boleh dikembangkan dan digunakan di jalan yang diridhai Islam. Cara
pengembangan harta melalui judi, riba, penipuan serta investasi di sektor
barang dan jasa maksiyat, diharamkan secara mutlak. Pembelanjaan harta di jalan
yang diharamkan oleh syara’ juga diharamkan. Hal ini juga akan menyeret kepada
kegiatan ekonomi haram yang lainnya yang poada akhirmya pasti akan merusak
manusia itu sendiri. Demikian halnya dengan praktik-praktik keji demi
keuntungan pribadi seperti penimbunan, penurunan harga secara drastis dilarang
secara keras. Sebab hal ini akan dapat menggoncangkan perekonomian secara
makro. Negara akan mengambil tindakan hukum kepada pihak yang melakukan ini
semua.
Tanah sebagai salah satu komponen ekonomi harus
difungikan secara maksimal. Bila selama tiga tahun tanah tersebut
diterlantarkan, maka akan diambil alih oleh negara dan akan diberikan kepada
yang membutuhkan. Spekulan tanah tidaka akan mendapatkan tempat. Dengan
demikian produktifitas individu dari pengoptimalisasian lahan pertanian ini
secara cepat akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan akan tercapai.
Orang tidak diperbolehkan untuk merebut tanah orang lain, kecuali atas kerelaan
pemiliknya.
Kepada individu yang berhasil mendapatkan
kekayaan, Islam mengajarkan agar mengingat orang lain. Kepada yang telah
berkecukupan –setelah terpenuhi kebutuhan diri dan keluarga - didorong untuk
memenuhi hak jamaah seperti pemberuian berupa hadiah, sedekah, infaq, wakaf
karena pada harta yang kita miliki sesungguhnya terdapat hak bagi orang lain.
Bagi yang mampu, zakat wajib dibayarkan kepada mustahik. Dan harta waris
diberikan kepada ahli warisnya. Dari sini secara alami, harta akan beredar
secara merata tersebar bukan hanya dikalangan orang kaya saja, tetapi juga
diantara orang-orang miskin dan orang yang membutuhkan. Islam juga mengingatkan
orang yang bercukupan untuk tidak membelanjakan hartanya secara israf,
tabdzir dan taraf. Islam mengutuk berbangga-bangga dengan banyaknya harta,
sikap angkuh dan sombong.
Pemerintah dalam Islam bertugas mengatur kehidupan
seluruh masyarakat dengan cara Islam. Dalam masalah usaha, pemerintah mendorong
berkembangnya sektor riil. Pemerintah harus bertindak adil. Pemerintah tidak
boleh memberikan hak istimewa dalam bentuk apapun kepada pihak tertentu yamg kebetulan
dekat dengan penguasa.
Pada sisi yang lain, negara tidak akan mentolelir
sedikitpun praktek perdagangan sektor non riil (perdagangan uang, perbankan
dengan riba, pasar modal,dsb). Sebaliknya, izin yang diberikan oleh negara
untuk perdagangan sektor riil akan berefek pada terbukanya lapangan pekerjaan
di masyarakat, yang ini secara otomatisakan menghasilkan poertumbuhan sekaligus
pemerataan ekonomi. Efek menetes ke bawah (tricle down effect) bukan ke
atas, benar-benar akan terjadi, bukan sekedar teori khayalan.
Negara akan mendoromg munculnya pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi di berbagi wilayah agar tidak terjadi kesenjangan antar
kawasan. Negara juga akan mendorong usaha kecil dan menengah dan memberikan
kesempatan yang sama dengan usaha besar baik dalam aspek pendanaan, pasar,
ketrampilan dan teknologi serta dalamhal regulasi.
Peningkatan kesejahteraan juga dicapai dengan cara
memberikan kepada individu untuk memanfaatkan pemilikan umum secara cuma-cuma
maupun murah. Harta kepemilikan umum ini dikelola hanya oleh negara secara
efisien. Tidak akan pernah terjadi program privatisasi. Sebab
kepemilikan umum selamnya sifatnya tetap menjadi milik umum, tidak dapat
dipindah tangankan kepada individu.
Secara teoritis kegiatan ekonomi yang sehat akan
mendistribusikan harta secara normal, akan tetapi dalam berbagai hal misalnya
karena masalah musibah bencana, kekurangan SDA maka dalam hal ini negara
berkewajiban untuk mengentaskan masalah ini dengan cara memberikan hak
pemilikannya kepada individu di dalam masyarakat, selain dibebankan kepada kaum
kerabatnya.
Hal yang sangat perlu diperhatikan adalah bahwa
dalam hal ini negara harus menggunakan
standar mata uang emas dan perak. Sebab mata uang antara nilai intrinsik dan
nilai nominalnya sama, sehingga tidak menjadikan mata uang ini bergantung
kepada mata uang manapun.
Oleh sebab itu, perekonomian di dalam Islam akan
berjalan dengan stabil karena ditopang oleh peran negara. Negara dalam
pandangan Islam tidak sekedar sebagai penjaga kebebasan individu sebagaimana dalam
sistem kapitalis-liberalis, akan tetapi negara berfungsi sebagai pemelihara
urusan-urusan umat. Fungsi memelihara urusan umat ini akan berjalan dengan baik
apabila ditopang oleh kinerja dan sifat penyelenggara (birokrat) yang tangguh,
yang memiliki syakhsiyah Islamiyah, bersih, yang bekerja semata untuk mengurusi
urusan umat. Untuk mewujudkan suatu bentuk Clean Governmant sekaligus Good
Governance, Islam memiliki seperangkat aturan tentang masalah korupsi,
suap, kolusi, dsb. Dan fungsi ini akan berjalan secara ideal apabila masyarakat
secara aktif turut serta di dalam melakukan koreksi terhadap penguasa. Sehingga
secara sempurna sistem ekonomi Islam akan secara sempurna dapat diaplikasikan,
yakni dengan cara terbentuknya ketaqwaan individu, adanya kontrol dari
masyarakat dan penerapan secara nyata oleh sebuah Daulah.
Wallahu ‘Alam Bi Shawab [ms02]
*Muhammad Shodiq, penulis adalah pengurus
BEM FE UIIS Malang, Koordinator FoSSEI Jatim Sub Region Selatan.
Solusi Tunggal Problem Perekonomian
Dunia
Oleh:
Muhammad Shodiq*
Sekilas
‘Prestasi’ Ekonomi Kapitalis di Indonesia
Indikator kebangkrutan ekonomi di Indonesia akibat
penerapan sistem ekonomi kapitalis mulai nampak, mulai dari defisit Anggaran
Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp. 53,8 T pada tahun 2001 hingga utang
luar negeri yang mencapai angka 1700 Triliun rupiah pada awal tahun 2002. Lebih
jauh lagi kita akan dapat mengetahui dengan sangat jelas bahwa dengan permainan
menjungkalbalikkan harga saham yang dilakukan oleh bos kapitalis dunia, George
Soros pada awal 1997 yang lalu ternyata berimplikasi terhadap perekonomian
Indonesia. Indonesia yang menerapkan ekonomi kapitalis segera mendapat imbasnya
pada bulan Juli 1997 yang diawali dengan kekacauan sektor moneter kita (sektor
non riil). Terakhir, menjelang lengsernya Suharto rupiah akhirnya ‘mampu’
menembus angka Rp. 20.000,- per dollar AS.
Di Indonesia, 70%
uang konon beredar di Jakarta. Menurut Sri Bintang Pamungkas, 200
gelintir orang menguasai 80% PDB nasional. Kekayaan Om Liem hampir separoh
RAPBN Indonesia. Omset kelompok pengusaha Prasetia Mulia (Om Liem, dkk) sekitar
80% RAPBN Indonesia.
Dalam dunia perbankan, sistem ekonomi
juga terlihat boroknya dengan terjadinya
likuaidasi 16 bank oleh pemerintah dan 51 bank lainnya dibekukan pada 1
November 1997. Langkah ini menciutkan secara drastis jumlah bank dari 237 pada
akhir Juni 1997 menjadi 151 bank pada
akhir Desember 2000. (Kompas, 29 Juli 2001).
Demikian pula dalam pembayaran
obligasi. Pemerintah harus membayar kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada
tahun 2002 sekitar Rp.12,9 triliyun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap
tahunnya, mencapai Rp. 73,98 triliyun pada tahun 2007 dan Rp. 138 triliyun pada
2018. Jelas biaya ini akan dibebankan kepada APBN yang berarti rakyatlah yang
harus menanggung semua beban ini.
Apa yang dipaparkan diatas
hanyalah sekelumit dari ‘prestasi’ yang diukir oleh sistem ekonomi kapitalis di
Indonesia. Belum jerat utang dan imperialisme yang dilakukan oleh IMF, Lembaga
penghisap keuangan negara-negara penghutangnya ini terus melakukan hegemoninya
dengan dalih menyelamatkan perekonomian suatu negara. dan belum lagi adanya
program privatisasi yang dilakukan oleh BPPN. Masih banyak bidang yang lain yang
‘terpaksa’ harus hancur karena menerapkan sistem yang batil ini. Oleh sebab itu
satu-satunya solusi atas segala permasalahan dalam bidang ekonomi adalah dengan
menerapkan kembali sistem perekonomian Islam. Sebab pada faktanya tidaka ada
satupun sistem di dunia ini yang mampu untuk memecahkan segala problematika
manusia secara komprehensif, kecuali Islam.
Sistem Ekonomi Islam
Secara ringkas,
Dr. Samih Athif az-Zain dalam kitab Al
Islam Khuthutun ‘Aridhah: al-iqtishad, al-Hukm, al-Ijtima’, menjelaskan pandangan
filosofis Islam mengenai ekonomi. Ekonomi dalam Islam ditegakkan untuk
mewujudkan sebesar-besar kesejahteraan manusia sebagai manusia dan sebagai
manusia yang hidup di dalam masyarakat, bukan manusia sebagai individu serta
bukan pula sebagai manusia yang terasing atau sebagai individu yang hidup dalam
masyarakat yang individu-individunya tidak terikat dengan norma apapun. Jadi,
ekonomi itu bagi manusia bukan bagi individu dan bagi masyarakat bukan bagi
kelompok yang terdiri dari sejumlah individu. Islam tidak memisahkan antara apa
yang wajib bagi masyarakat dengan upaya mewujudkan upaya manusia, tetapi
menjadikannya dua hal yang saling berhubungan. Islam memperhatikan kepentingan
individu dan masyarakat secara bersamaan. Ketika Islam mengatur masyarakat, ia
memperhatikan kepentingan individu, diperhatikannya kepentingan masyarakat.
Demikian halnya, Islam menjadikan falsafah ekonomi
berhubungan dengan perintah dan larangan-larangan Allah SWT. Yakni dengan
menghubungkan gagasan-gagasan yang menjadi dasar kepengurusan individu dan
masyarakat serta menjadikan langkah-langkah ekonomi sesuai hukum syara’.
Membatasi perbuatan ekonomi dengan hukum syara’ sebagai undang-undang yang
membolehkan apa yang dibolehkan Islam dan membatasi apa yang harus dibatasinya.
Inilah pengertian kegiatan ekonomi dalam Islam sebagai bagian dari ibadah
kepada Allah.
Untuk mewujudkan gagasan itu semua, menurut Imam Taqiyyudin an-Nabhani dalam Kitab Nidzam al-Iqtishady fi al-Islam, sistem
ekonomi dalam Islam dijalankan dengan tiga asas, yakni: pertama, Konsep Kepemilikan (al-milkiyah), kedua, Pemanfaatan
Kepemilikan (al-Tasharuf fi
al-milkiyah), dan ketiga, Distribusi
Kekayaan di antara manusia (tauziú
al-tsarwah bayna al-naas). Berikut dijelaskan masing-masing konsep
tersebut.
Konsep Kepemilikan
(al-Milkiyah)
Kepemilikan (al-Milkyah)
adalah tata cara yang digunakan oleh seseorang untuk memperoleh manfaat yang
dihasilkan oleh suatu benda. Sedangkan pengertian kepemilikan menurut hukum
syara’ adalah izin Pembuat syariat untuk memanfaatkan zat. Yang dimaksudkan
dengan izin adalah hukum syara’. Sedangkan Pembuat syariat adalah Allah
SWT. Adapun yang dimaksud zat adalah
benda yang dapat dimanfaatkan.
Islam memiliki pandangan yang khas tentang harta.
Bahwa harta pada hakekatnya adalah milik Allah SWT ( Lihat QS. 24: 33). Dan
harta yang dimiliki oleh manusia pada dasarnya merupakan pemberian dari Allah
yang dikuasakan kepadanya (Lihat QS. 57: 7). Kata rizki sendiri artinya adalah
pemberian (a’tho). Oleh karena itu,
harta mestinya hanya boleh dimanfaatkan sesuai dengan kehendak Allah.
Pandangan ini berbeda dengan paham kapitalisme
yang menganggap harta adalah milik manusia, karena menusia yang mengusahakannya
dan oleh karenanya, manusia bebas mendapatkan dan bebas pula memanfaatkannya.
Dari pandangan inilah kemudian lahir falsafah hurriyatu al-tamaluk (kebebasan kepemilikan ), yang merupakan
bagian dari hak asasi manusia. Menurut paham ini, manusia bebas menentukan cara
mendapatkan dan memanfaatkan hartanya.
Namun sebaliknya, sosialisme sama sekali tidak
megakui adanya kepemilikan individu. Semua adalah milik negara. Kepada individu
diberikan sebatas yang diperlukan dan
dia bekerja sebatas yang dia bisa.
Sosialisme mematikan kreativitas manusia. Dimensi individual dan
motiv-motiv manusia dihilangkan. Akibatnya sangat fatal, yakni tidak adanya
gairah kerja, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan secara drastis
produktivitas masyarakat, karena masyarakat telah kehilangan hasrat untuk
memperoleh keuntungan (profit motives)—sebagai
sesuatu yang sangat manusiawi.
Islam, berbeda dengan Kapitalisme – yang tidak
mengatur jumlah dan cara perolehan harta serta pemanfaatannya—dan berbeda
dengan sosialisme – yang secara mutlak mengatur kuantitas dan kualitas harta.
Dalam Islam tidak ada kebebsan pemilikan, tapi tidak ada pula pembatasan yang
bersifat mutlak. Islam mengatur cara, bukan jumlah pemilikan serta cara
pemanfaatan pemilikan. Cara pemilikan yang sah adalah izin dari syara’ dalam
menguasai zat dan memanfaatkan suatu benda.
Dengan demikian berkaitan dengan kepemilikan,
menurut Imam Taqiyudin an-Nabhani dibedakan menjadi tiga yaitu kepemilikan
individu (milkiyah fardiyah),
kepemilikan umum (milkiyah amah), dan
kepemilikan negara (milkiyah daulah).
a. Kepemilikan
Individu
Kepemilikan individu adalah izin syara’ pada
individu untuk memanfaatkan sesuatu. Ada lima sebab kepemilikan individu, yaitu
bekerja (al-amal), warisan (al-irts), kebutuhan kepada harta untuk
mempertahankan hidup, pemberian negara (i’thau
al-daulah) dari hartanya untuk kesejahteraan rakyat berupa tanah pertanian,
barang dan uang modal; harta yang diperoleh individu tanpa daya dan upaya.
Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta.
Walaupun demikian ia (Islam) memberikan batasan tertentu supaya kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan umum. Namun demikian, Islam membatasi kepemilikan
tersebut dengan cara perolehan yang halal. Karena Islam telah mengenggap bahwa
pemilikan dan penguasaan harta benda merupakan bagian dari naluri manusia.
Sementara itu hak individu dan kewajiban negara
terhadap kepemilikan individu dapat dijelaskan sebagai berikut: hak kepemilikan
individu adalah hak syari’ bagi individu. Seorang indviidu berhak memiliki
harta yang bergerak maupun tidak bergerak seperti mobil, tanah dan uang tunai.
Hak ini dijaga dan diatur oleh hukum syara’. Sedangkan pemeliharaan pemilikan
individu adalah kewajiban negara. Oleh karena itu hukum syara’ telah menetapkan
adanya sanksi-sanksi bagi tindakan preventif bagi siapa saja yang
menyalahgunakan hak tersebut.
Harta dapat diperoleh melalui bekerja, mencakup
upaya menghidupkan tanah mati, mencari bahan tambang, berburu, pialang, syarikah mudharabah, musyaqah, bekerja
sebagai pegawai. Sedangkan harta yang diperoleh tanpa adanya dan upaya bisa berupa
hibah, hadiah, wasiat, diyat, mahar, barang temuan.
Sementara itu, Islam melarang perolehan harta
melalui cara yang tidak diridhoi Allah seperti judi, riba, pelacuran dan
perbuatan maksiyat yang lain. Kegiatan ‘ekonomi’ itu pasti akan menggeret
kegiatan ekonomi lain yang sangat merusak. Juga dilarang mendapatkan harta
melalui korupsi, mencuri, menipu, karena pasti merugikan orang lain dan
menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.
Namun demikian, Islam juga telah menyiapkan konsep
untuk membatasi kepemilikan individu. Batasan-batasan ini nampak pada
sebab-sebab kepemilikan yang telah disyariatkan, dimana dengan sebab-sebab
tersebut, hak milik seseorang dapat diakui. Batasan kepemilikan tersebut juga
nampak pada kondisi-kondisi yang menyebabkan sanksi tertentu, termasuk kondisi
yang tidak membawa sanksi apa pun. Sehingga ketika Islam membatasi suatu
kepemilikan, Islam tidak membatasinya dengan cara pemberangusan (perampasan),
melainkan melalui mekanisme tertentu, antara lain:
1. Membatasi
kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan pengembangan hak
milik, bukan dengan merampas kekayaan yang telah menjadi hak milik.
2. Dengan
cara menentukan mekanisme pengelolaannya.
3. Dengan
cara menyerahkan tanah kharajiyah sebagai milik negara bukan milik individu.
4. Dengan
cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam
kondisi-kondisi tertentu.
5. Dengan
cara men-supply orang yang memiliki keterbatasan faktor produksi, sehingga
dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ketentuan yang ada.
b. Kepemilikan Umum
Pemilikan umum adalah izin syara’ kepada
masyarakat secara bersama memanfaatkan sesuatu. Harta kepemilikan umum ini
terbagi menjadi tiga yaitu:
1.
Segala sesuatun yang
menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, yakni segala sesuatu yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat dan akan menyebabkan persengketaan taktala ia
lenyap. Seperti air, padang rumput (hasil hutan) dan api (listrik dan sumber
energi lainnya). Rasulullah SAW bersabda: “Kaum
muslimin berserikat dalam tiga hal yakni air, padang gembalaan dan api” (THR. Ahmad dan Abu Dawud). Dari Abu
Hurairah Rasulullah SAW, Nabi SAW bersabda “Tidak
akan pernah dilarang air, padang rumput dan api (untuk dimanfaatkan siapapun)” (THR. Ibnu
Majah).
2.
Segala sesuatu yang
secara alami tidak dapat dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan
seperti jalan, sungai, laut, danau, masjid, sekolah negeri dan lapangan umum.
3.
Barang tambang yang
depositnya tidak terbatas, yakni barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.
Barang tambang yang cadangannya sangat besar, seperti emas, perak, minyak,
nikel, fosfat, tembaga, dsb tidak boleh dimiliki oleh individu. Dasarnya adalah adanya riwayat dari
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abyadh bin Hamal al-Mazini , bahwa Abyadh
telah meminta kepada Rasul tambang garam.
Lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang sahabat
berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah,
tahukah engkau apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau
telah memberikan sesuatu yang bagaikan air yang mengalir” Rasul kemudian
berkata “Tariklah kembali tambang
tersebut darinya”. Rasul bersikap demikian karena sesungguhnya garam adalah
barang tambang seperti air mengalir (yang tidak terbatas depositnya).
Pengelolaan milik umum dilakukan hanya oleh negara
untuk seluruh rakyat. Sedangkan pemanfaatan dan pendistribusian pendapatan dari
harta kepemilikan umum tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Dibelanjakan untuk
segala keperluan yang berkenaan dengan biaya operasional badan negara yang
ditunjuk mengelola harta kepemilikan umum tersebut, baik biaya administrasi
perencanaan eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran maupun
pendistribusiannya kepada masyarakat. Negara dapat menunjuk mitra swasta yang
profesional untuk melakukannya. Pihak swasta disini hanya sebagi pelaksana
saja, bukan memiliki sebagaimana dalam sistem kapitalisme yang menekankan
adanya privatisasi.
b.
Dibagikan kepada kaum
muslimin atau seluruh rakyat. Dalam hali ni, khalifah boleh membagikan air
minum, listrik, gas, minyak tanah dan barang lainnya untuk keperluan rumah
tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya semurah-murahnya.
Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat, misalnya minyak
mentah, dijual kepemilikan umum luar negeri dan keuntungannya --termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri—dibagiikan
kepada seluruh rakyat dalam bentuk kebutuhan pokok, uang, barang kebutuhan
lainnya, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya.
c. Kepemilikan Negara
Kepemilikan negara adalah izin syara’ atas setiap
harta yang hak pemanfaatannya berada ditangan khalifah sebagai kepala negara.
Misalnya ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz, ushr, harta
orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik
negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban
negara seperti menggaji pegawai, keperluan jihad, dsb.
Karena syara’ telah memberikan kepada Khalifah
kewenagan untuk mengatur urusan kaum muslimin , meraih kemaslahatan mereka,
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sesuai dengan ijtihadnya dalam meraih
kebaikan dan kemaslahatan, maka Khalifah harus mengelola harta milik negara
semksimal mungkin agar pendapatan baitul maal bertambah dan dapat dimanfaatkan
oleh kaum muslim, sehingga milik negara tidak menjadi sia-sia, hilang manfaatnya
dan pendapatannya terputus.
Dengan
demikian pengelolaan harta milik negara dapat dilakukan sebagai berikut:
a.
Penjualan atau
penyewaan.
b.
Pengelolaan tanah
ladang yang berpohon.
c.
Pengelolaan atas
tanah-tanah pertanian yang sangat luas, dengan menyewa para petani atai
pekerjauntuk mengelola tanah tersebut.
d.
Menghidupkan tanah
endapan sungai, rawa-rawa, hutan belukar, tambak, tanah yang menahan air, tanah
yang bergaram, dengan cara memperbaharui saluran airnya, mengairinya dengan air
separuhnya, mengeringkannya, hingga tanah tersebut layak untuk lahan pertanian
dan dapat ditanami pepohonan.
e.
Pembagian tanah.
Pemanfaatan
Kepemilikan
Kejelasan konsep kepemilikan sangat berpengaruh
terhadap konsep pemanfaatan harta milik (tasharruf
al-maal), yakni siapa sesungguhnya yang berhak untuk mengelola dan
memanfaatkan harta tersebut. Pemanfaatan kepemilikan adalah cara, sesuai hukum
syara’ seorang muslim memberlakukan harta miliknya. Ada dua arah pemanfaatan
harta, yakni pengembangan harta (tanmiyatu
al-maal) dan penggunaan harta (infaqu
al-mal)
a. Pengembangan harta
(tanmiyatu al-mal)
Pengembangan harta berkait dengan cara dan sarana
yang menghasilkan pertambahan harta, yakni produksi pertanian, perdagangan,
industri, dan investasi uang pada sektor jasa. Hukum pengembangan harta disini
terikat dengan hukum masalah cara dan sarana yang menghasilakan harta tadi,
yakni hukum masalah pertanian (hukum masalah tanah misalnya, tidaka boleh
menelantarkan tanah lebih dari tiga tahun, bolehnya seseorang memiliki tanah
terlantar bila ia mengolahnya dan larangan meyewakan tanah dan seputar kegiatan
pertanian), perdagangan (hukum syirkah dan jual beli), industri (hukum produksi
barang dan manajemen) dan jasa (hukum perjanjian dan pengupahan).
Islam juga melarang beberapa hal
sebagai jalan pengembangan hartanya. Misalnya riba, menimbun, memonopoli,judi,
penipuan dalam jual beli, jual beli barang haram dsb.
b. Penggunaan harta
(infaqu al-mal)
Penggunaan harta adalah pemanfaatan harta dengan
atau tanpa manfaat material yang diperoleh. Berbeda dengan sistem kapitalisme,
Islam mendorong ummatnya untuk menggunakan hartanya bukan hanya sebatas
kepentingan pribadi dengan kemanfaatan yang nampak, akan tatapi juga untuk
kepentingan orang lain atau kepentingan ibadah. Misalnya zakat, nafkah, hibah,
sedekah dan infak untuk jihad fi sabilillah.
Islam mengharamkan penggunaan harta yang dilarang
syara’ seperti risywah (suap), israf, tabdzir, dan taraf
(membeli barang atau jasa haram), serta mencela dengan keras sikap bakhil.
Pelarangan pemanfaatan harta pada jalan-jalan tersebut akan menutup pintu bagi
dibukanya kegiatan-kegiatan itu. Individu dan masyarakat akan terselamatkan
dari kerusakan.
Konsep Distribusi
Kekayaan (tauziú al-tsarwah)
Islam telah menetapkan sistem distribusi kekayaan
di antara manusia agar tercipta keadilan dan kesejahteraan bersama, yakni:
1. Wajibnya
muzaki membayar zakat yang diberikan kepada mustahik, khususnya kalangan fakir
dan miskin.
2. Hak
setiap warga negara untuk memanfaatkan pemilikan umum. Negara berhak mengolah
dan mendistribusikan kepada rakyat secara cuma-cuma atau dengan harga murah.
3. Pembagian
harta negara seperti tanah, barang, dan uang sebagi modal kepada yang
memerlukan.
4. Pemberian
harta waris kepada ahli waris.
5. Larangan
menimbun emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.
Bagaimana Pelaksanaannya?
Islam mendorong setiap manusia untuk bekerja dan
meraih kemajuan material. Islam membolehkan tiap manusia mengusahakan harta
sebanyak yang ia mampu, mengembangkan dan memanfaatkan sepenjang tidak
melanggar ketentuan agama. Di sinilah kemudian sektor swasta didorong untuk
berkembang. Untuk itu pemgembangan Sumber Daya Insani yang beriman, berpengetahuan, berketrampilan
tinggi dengan kepribadian yang khas, mutlak diperlukan. Islam sangat menghargai
orang yang bekerja keras dan mendapatkan nafkah. Islam tidak melarang ummatnya
menjadi kaya bahkan konglomerat. Abu Bakar, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin
Auf adalah beberapa diantara konglomerat di zaman Rasulullah. Bahkan
Abdurrahman bin Auf, sebelum wafatnya menghibahkan 50.000 dinar (212,5 Kg) atau
sekitar 15,9 Miliyar (1 gram Rp. 75
ribu) untuk umat. Dari sinilah produktivitas individu yang berujung pada
produktivitas masyarakat dapat diharapkan, sehingga kegiatan ekonomi akan
berkembang.
Harta, khususnya bila itu milik orang Islam, hanya
boleh dikembangkan dan digunakan di jalan yang diridhai Islam. Cara
pengembangan harta melalui judi, riba, penipuan serta investasi di sektor
barang dan jasa maksiyat, diharamkan secara mutlak. Pembelanjaan harta di jalan
yang diharamkan oleh syara’ juga diharamkan. Hal ini juga akan menyeret kepada
kegiatan ekonomi haram yang lainnya yang poada akhirmya pasti akan merusak
manusia itu sendiri. Demikian halnya dengan praktik-praktik keji demi
keuntungan pribadi seperti penimbunan, penurunan harga secara drastis dilarang
secara keras. Sebab hal ini akan dapat menggoncangkan perekonomian secara
makro. Negara akan mengambil tindakan hukum kepada pihak yang melakukan ini
semua.
Tanah sebagai salah satu komponen ekonomi harus
difungikan secara maksimal. Bila selama tiga tahun tanah tersebut
diterlantarkan, maka akan diambil alih oleh negara dan akan diberikan kepada
yang membutuhkan. Spekulan tanah tidaka akan mendapatkan tempat. Dengan
demikian produktifitas individu dari pengoptimalisasian lahan pertanian ini
secara cepat akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan akan tercapai.
Orang tidak diperbolehkan untuk merebut tanah orang lain, kecuali atas kerelaan
pemiliknya.
Kepada individu yang berhasil mendapatkan
kekayaan, Islam mengajarkan agar mengingat orang lain. Kepada yang telah
berkecukupan –setelah terpenuhi kebutuhan diri dan keluarga - didorong untuk
memenuhi hak jamaah seperti pemberuian berupa hadiah, sedekah, infaq, wakaf
karena pada harta yang kita miliki sesungguhnya terdapat hak bagi orang lain.
Bagi yang mampu, zakat wajib dibayarkan kepada mustahik. Dan harta waris
diberikan kepada ahli warisnya. Dari sini secara alami, harta akan beredar
secara merata tersebar bukan hanya dikalangan orang kaya saja, tetapi juga
diantara orang-orang miskin dan orang yang membutuhkan. Islam juga mengingatkan
orang yang bercukupan untuk tidak membelanjakan hartanya secara israf,
tabdzir dan taraf. Islam mengutuk berbangga-bangga dengan banyaknya harta,
sikap angkuh dan sombong.
Pemerintah dalam Islam bertugas mengatur kehidupan
seluruh masyarakat dengan cara Islam. Dalam masalah usaha, pemerintah mendorong
berkembangnya sektor riil. Pemerintah harus bertindak adil. Pemerintah tidak
boleh memberikan hak istimewa dalam bentuk apapun kepada pihak tertentu yamg kebetulan
dekat dengan penguasa.
Pada sisi yang lain, negara tidak akan mentolelir
sedikitpun praktek perdagangan sektor non riil (perdagangan uang, perbankan
dengan riba, pasar modal,dsb). Sebaliknya, izin yang diberikan oleh negara
untuk perdagangan sektor riil akan berefek pada terbukanya lapangan pekerjaan
di masyarakat, yang ini secara otomatisakan menghasilkan poertumbuhan sekaligus
pemerataan ekonomi. Efek menetes ke bawah (tricle down effect) bukan ke
atas, benar-benar akan terjadi, bukan sekedar teori khayalan.
Negara akan mendoromg munculnya pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi di berbagi wilayah agar tidak terjadi kesenjangan antar
kawasan. Negara juga akan mendorong usaha kecil dan menengah dan memberikan
kesempatan yang sama dengan usaha besar baik dalam aspek pendanaan, pasar,
ketrampilan dan teknologi serta dalamhal regulasi.
Peningkatan kesejahteraan juga dicapai dengan cara
memberikan kepada individu untuk memanfaatkan pemilikan umum secara cuma-cuma
maupun murah. Harta kepemilikan umum ini dikelola hanya oleh negara secara
efisien. Tidak akan pernah terjadi program privatisasi. Sebab
kepemilikan umum selamnya sifatnya tetap menjadi milik umum, tidak dapat
dipindah tangankan kepada individu.
Secara teoritis kegiatan ekonomi yang sehat akan
mendistribusikan harta secara normal, akan tetapi dalam berbagai hal misalnya
karena masalah musibah bencana, kekurangan SDA maka dalam hal ini negara
berkewajiban untuk mengentaskan masalah ini dengan cara memberikan hak
pemilikannya kepada individu di dalam masyarakat, selain dibebankan kepada kaum
kerabatnya.
Hal yang sangat perlu diperhatikan adalah bahwa
dalam hal ini negara harus menggunakan
standar mata uang emas dan perak. Sebab mata uang antara nilai intrinsik dan
nilai nominalnya sama, sehingga tidak menjadikan mata uang ini bergantung
kepada mata uang manapun.
Oleh sebab itu, perekonomian di dalam Islam akan
berjalan dengan stabil karena ditopang oleh peran negara. Negara dalam
pandangan Islam tidak sekedar sebagai penjaga kebebasan individu sebagaimana dalam
sistem kapitalis-liberalis, akan tetapi negara berfungsi sebagai pemelihara
urusan-urusan umat. Fungsi memelihara urusan umat ini akan berjalan dengan baik
apabila ditopang oleh kinerja dan sifat penyelenggara (birokrat) yang tangguh,
yang memiliki syakhsiyah Islamiyah, bersih, yang bekerja semata untuk mengurusi
urusan umat. Untuk mewujudkan suatu bentuk Clean Governmant sekaligus Good
Governance, Islam memiliki seperangkat aturan tentang masalah korupsi,
suap, kolusi, dsb. Dan fungsi ini akan berjalan secara ideal apabila masyarakat
secara aktif turut serta di dalam melakukan koreksi terhadap penguasa. Sehingga
secara sempurna sistem ekonomi Islam akan secara sempurna dapat diaplikasikan,
yakni dengan cara terbentuknya ketaqwaan individu, adanya kontrol dari
masyarakat dan penerapan secara nyata oleh sebuah Daulah.
Wallahu ‘Alam Bi Shawab [ms02]
*Muhammad Shodiq, penulis adalah pengurus
BEM FE UIIS Malang, Koordinator FoSSEI Jatim Sub Region Selatan.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as