MELIHAT DAN MERASAKAN LANGSUNG SISTEM DEMOKRASI BARAT DAN MEMBANDINGKAN
DENGAN SISTEM MUSYAWARAH KHILAFAH ISLAM.
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.
Stockholm, 22 Nopember 1998
Assalamu'alaikum wr wbr
Jawaban untuk Saudara Ahmad AS (Jepang).
Dimana Saudara Ahmad AS mengatakan bahwa:
"saya punya pemikiran, alangkah baiknya jika bapak-bapak Ahmad Sudirman maupun Bapak Ahmad Utomo yang memang tinggal didaerah yang tidak memakai sistem islam dapat menceritakan perbedaan sistem islam dengan system demokrasi di Eropa dan Amerika sehingga menjadi jelas bagi umat islam di tanah air, bahwa ternyata HANYA ISLAM satu-satunya solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan permasalahan umat manusia. Sebagaimana kita ketahui bahwa SEBAGIAN BESAR bangsa Indonesia masih mengira bahwa sistem demokrasi barat (Amerika, Eropa) adalah sistem yang ideal yang mampu menghantarkan masyarakatnya menuju kehidupan yang dicita-citakan. Padahal sistem tsb pada kenyataannya tentunya tidak seideal yang dikampanyekan oleh Amerika maupun PBB. Dan tentunya bagi bapak-bapak yang tinggal di daerah tsb dapat melihat langsung ketidakadilan sistem tsb didalam praktek sehari-harinya.
Sebagian besar bangsa Indonesia selama ini hanya melihat system demokrasi barat hanyalah dari luarnya saja (maaf istilah tsb meminjam istilah P.Ahmad Sudirman dalam postingnya yang lalu) sehingga mengira
sistem demokrasi barat adalah contoh ideal bagi bangsa Indonesia".
Baiklah Saudara Ahmad AS. Memang saya sudah hampir dua puluh tahun tinggal di negara yang menurut bangsanya menjunjung sistem demokrasi yang tinggi diantara bangsa-bangsa yang tinggal dan hidup di negara-negara barat lainnya.
Dimana hampir dua puluh tahun atau hampir setengah umur saya hidup dan tinggal di negara yang menganut sistem demokrasi ini dan telah banyak mempengaruhi jalan pikiran dan cara berpikir saya dalam melihat kehidupan bernegara, tetapi tidak mampu merubah akidah dan keyakinan serta kepercayaan saya kepada Islam, bahkan makin lama saya tinggal di negara yang menganut sistem demokrasi ini, maka justru makin dalam saya menggali Islam, sehingga akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa system demokrasi yang dianut oleh sebagian besar negara-negara yang ada di dunia ini adalah justru tidak menyalurkan aspirasi seluruh bangsa atau rakyat dari negara tersebut. Bahkan justru menampilkan siapa yang kuat itulah yang akan berhasil. Siapa yang mayoritas itulah yang akan mengendalikan negara. Siapa yang lemah merekalah yang akan tetap berada dalam lapisan paling bawah. Siapa yang lemah mereka akan mengikuti keputusan dari mereka yang kuat. Inilah kesimpulan saya yang telah melihat dan merasakan langsung didalam negara yang menjunjung dan melaksanakan sistem demokrasi yg sampai sekarang terus diperjuangkan oleh sebagian ummat manusia diseluruh dunia termasuk Indonesia.
Sebagai seorang yang sudah dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat di negara yang sekarang saya tingal, maka saya dapat memberikan suatu gambaran yang jelas dan cukup objektif dengan tidak didasari oleh perasaan subjektifitas yang dikarenakan misalnya kalau saya tidak dianggap sebagai warga yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat setempat.
Dengan berpijak ditempat yang sama dengan rakyat dari negara saya sekarang ini, maka dengan mudah saya bisa meneropong kedalam dan merasakan langsung dari pengaruh sistem demokrasi yang dianut oleh negara ini.
Dimana saya melihat adanya lima syarat utama untuk sistem demokrasi yg menurut sejarah demokrasi barat, ceritanya dimulai dari zaman Yunani, dari philosofnya yg terkenal Socrates dalam suatu Negara yaitu:
1. Perwakilan. Sebagaimana yang terjadi di negara saya sekarang ini, untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk di perwakilan pusat, daerah dan wilayah dilakukan pemilihan umum dimana rakyat dapat memilih partai yang telah mencatumkan daftar nama-nama yang akan dipilih untuk duduk di pusat, daerah dan wilayah. Berapa banyak calon anggota yang akan terpilih masuk kedalam perwakilan pusat, daerah dan wilayah adalah tergantung dari berapa banyak suara yang diperoleh oleh setiap partai.
2. Permusyawaratan. Setelah terpilih angota-anggota perwakilan, maka mereka berkumpul untuk membicarakan setiap persoalan yang telah dijadikan program oleh masing-masing partainya, baik dalam bentuk kelompok kecil atau komisi atau fraksi.
3. Suara terbanyak. Untuk mengambil keputusan dari setiap persoalan atau peraturan atau undang-undang, maka dilakukan penmungutan suara, dimana suara yang terbanyak itulah yang menentukan.
4. Pertanggungan jawab. Karena wakil-wakil rakyat yang duduk di perwakilan tersebut adalah dipilih oleh rakyat melalui partai, maka setiap rakyat harus memberikan pertanggungan jawab yang sepenuh-penuhnya terhadap tiap-tiap putusan yang telah diambil oleh perwakilan rakyat tersebut. Karena keputusan tersebut adalah merupakan keputusan hati nurani rakyat sendiri juga.
5. Daerah autonomi. Setiap daerah diberikan kebebasan untuk menentukan peraturan-peraturannya sendiri yang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan pusat. Mereka menentukan anggaran biayanya sendiri.
Dari point-point tersebut diatas, maka point 3 yg menurut saya sesuatu yang menjadikan sistem demokrasi barat tidak menyalurkan aspirasi seluruh rakyat. Mengapa?. Karena apabila 100 orang setuju, 6 orang absen dan 95 orang tidak setuju, kemudian keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak yaitu keputusan yang telah disetujui oleh yang 100 orang. Lalu bagaimana dengan yang 95 orang tadi?. Jelas mereka kecewa, tapi mereka harus patuh & menerima keputusan yg telah disetujui oleh yg 100 orang tersbt. Dan yang paling sengsara adalah seluruh rakyat harus menerima dan melaksanakan keputusan tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil secara beginilah yg berlaku di negara saya sekarang ini.
Keputusan inilah yang justru menimbulkan ketidak adilan dan tidak memenuhi keinginan dan aspirasi seluruh rakyat. Jadi sebenarnya bukan rakyat keseluruhan yang mempunyai kekuasaan, melainkan sebagian rakyat yang menang dan kuat itulah yang menentukan dan memutuskan. Inilah yang disebut dgn sistem demokrasi barat yang sedang & masih diperjuangkan diseluruh dunia termasuk di Indonesia.
Nah, sekarang Islam menawarkan jalan lain yang membawa kepada tersalurnya semua aspirasi rakyat. Sebagaimana yang telah saya tulis dalam sistem khilafah di dalam Khilafah Islam, dimana Tuhan telah memfirmankan "Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Qur'an) dan Rasul (sunnah Nabi), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya" (An Nisaa, 59). "...Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka..."(Asy-Syuura, 38). "....Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..."(Ali 'Imran, 159).
Ulil Amri adalah wakil-wakil yang dipilih oleh seluruh rakyat dan membicarakan persoalan-persoalan yang akan menjadi suatu keputusan dengan melalui cara musyawarah. Apabila ada pertentangan atau perbedaan pendapat tentang sesuatu, maka harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Jadi disini Islam tidak mengorbankan golongan kecil yang lemah kepada golongan yang besar dan kuat dalam mengambil keputusan. Melainkan disuruh untuk membandingkan dan mengembalikan kepada Allah dan Rasul. Dimana caranya apakah melalui jalan pendirian badan pemikir atau badan pertimbangan atau pemisah yang lebih mengetahui Hukum Allah dan Rasul semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan Khilafah Islam.
Jadi dalam sistem musyawarah Khilafah Islam ini yang terakhir menentukan adalah Allah dan Rasul. Artinya keputusan-keputusan itu diputuskan setelah dibandingkan dengan sumber hukum abadi yaitu Al Qur'an dan
dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah yaitu Sunnah-nya.
untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita
memohon petunjuk, amin *.* Wassalam. Ahmad Sudirman
DEMOKRASI: MELAHIRKAN KONFLIK, MENGABAIKAN PUBLIK
Ibarat opera sabun, perseteruan Gus Dur-DPR sedang menuju klimaksnya. Gus Dur, seperti komentar Nurcholis Madjid, tengah panik. Menghadapi kemungkinan Sidang Istimewa yang dikhawatirkannya akan menjurus pada impeachment (yang pada saat tulisan ini dibuat belum akan digelar), presiden RI IV ini mengumbar sejumlah pernyataan bernada ancaman. Mulai dari isu separatisme, pemberlakukan darurat sipil, hingga pembubaran DPR. Menurut presiden, massa pendukungnya di Jawa Timur siap memerdekakan Jawa Timur dan mengangkatnya menjadi presiden. Masih menurut pengakuan Gus Dur, sejumlah tengku berpengaruh di Aceh dan sejumlah tokoh Papua, juga siap memerdekakan daerah mereka, jika dirinya diturunkan. Total, ada enam propinsi -menurutnya- yang siap memerdekakan diri.
Di sebagian daerah Jawa Timur maupun Jawa Tengah keadaan sudah bergolak. Di Tegal, massa pendukung Gus Dur yang marah melampiaskan emosinya secara brutal dengan memukuli wartawan. Sementara itu di Nguling, Pasuruan, massa berencana menebangi pohon (lagi) dan menutup jalan Malang-Pasuruan dan Surabaya-Pasuruan. ”Selain itu, 17 rumah anggota Muhammadiyah di Muncar, Banyuwangi, diteror, diberi tanda silang merah, ” Asintel Kodam V/Brawijaya Kol. CZI Lilik Koeshadijanto memberi keterangan (Koran Tempo, 28/05/2001).
Sementara itu sejumlah kalangan kontra-Gus Dur menuduh Presiden telah berencana membubarkan parlemen dengan mengeluarkan dekrit. Meski Marzuki Darusman membantah rumor tersebut, dan menyebutnya sebatas wacana, tapi banyak orang kepalang percaya Gus Dur “tega” melakukan hal itu. Terakhir, pada tanggal 28 Mei lalu Presiden Wahid mengeluarkan ”Maklumat” kepada Menkopolsoskam Bambang Yudhoyono untuk mengambil langkah yang dianggap perlu demi menjaga ketertiban dan keamanan negara. Sebuah langkah yang dikomentari Editorial Media Indonesia, sebagai akal-akalan Gus Dur belaka. Kalau isinya biasa-biasa saja, mengapa memakai istilah “maklumat”? (Media Indonesia, 29/05/2001)
Ironinya, di tengah gemuruh pertikaian lembaga perwakilan rakyat melawan presiden, masyarakat umum semakin tidak peduli dengan keadaan tersebut. “Biar saja mereka bunuh-bunuhan di sana,” komentar sinis seorang penonton Republik Dagelan yang hadir di studio RCTI, Senin malam (28/05/2001). Mayoritas rakyat, justru lebih dipusingkan dengan kenaikkan sejumlah kebutuhan pokok menyusul rencana pemerintah menaikkan BBM, Tarif Dasar Listrik, tarif telepon dan PPn. Bagi mereka, memikirkan konflik elit politik hanya menambah sakit kepala. Jadi, elit politik sibuk memainkan demokrasi, sementara rakyat juga sibuk sendiri, bertahan hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu, apa sebabnya muncul perseteruan & konflik berkepanjangan antara eksekutif & legislatif, yg berimbas kpd konflik horisontal di tengah2 masyarakat. Dan bagaimana kita menghilangkan konflik tersebut ?
Pangkal Konflik; Demokrasi!
Sebagaimana diketahui, cita-cita luhur demokrasi adalah mendobrak kekuasaan absolut para raja. Bila sebelumnya para raja menjadi satu-satunya pemegang kedaulatan, maka demokrasi mengalihkannya ke tangan rakyat. Jargon vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) adalah harga mutlak menggantikan slogan l'etat c'est moi (saya adalah negara). Maka keberadaan pemerintah adalah implementasi dari kedaulatan rakyat, sebagai institusi resmi yang akan melaksanakan volontè gènèrale, keinginan rakyat. Pemerintah (dalam hal ini institusi Presiden) diangkat dengan kontrak sosial oleh rakyat (parlemen), sehingga apabila eksekutif tidak disukai atau sudah 'diluar jalur', mereka berhak memberhentikan eksekutif kapan saja. Itu adalah pencerminan bahwa rakyat di atas segalanya, dan rakyat adalah pihak yang memiliki kedaulatan tertinggi.
Kekuasaan, dalam sistem demokrasi dibagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebagai cara untuk menjamin tidak terulangnya praktek otoriter seperti pada masa raja-raja Eropa dahulu. Legislatif berkuasa untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, dan yudikatif berkuasa untuk mengadili pelanggaran atas undang-undang. Selain berkuasa membuat undang-undang, legislatif – yang diwujudkan dalam wadah parlemen– juga berfungsi untuk mengontrol jalannya pemerintahan (eksekutif). Fungsi kontrol itu meliputi hak bertanya, interpelasi, hak angket, dsb.
Itu teorinya. Pada prakteknya, alih-alih mencegah terjadinya absolutisme, fungsi kontrol ini seringkali melahirkan perseteruan antara legislatif dengan eksekutif, antara DPR dengan Presiden. Hal ini wajar terjadi karena “isi” parlemen pun adalah orang-orang yang berasal dari berbagai partai, dengan berbagai kepentingan. Lagipula parlemen yang digambarkan sebagai cerminan aspirasi dan kehendak rakyat hanyalah angan-angan belaka. Di dalam negara Barat yang paling demokratis pun, parlemen diisi oleh anggota-anggota yang membawa keinginan dan aspirasi para kapitalis (pemilik modal/industri dsb). Berbagai kepentingan tersebut pada akhirnya bertarung memperebutkan kekuasaan untuk melicinkan keinginan individu, partai atau kelompoknya masing-masing. Inilah pangkal munculnya konflik yang kini membelit Presiden Wahid dengan DPR.
Lebih mendasar lagi, sebenarnya sumber konflik itu dapat dilihat dari doktrin kedaulatan di tangan rakyat. Dengan doktrin tersebut, masyarakat merasa memiliki wewenang untuk membuat aturan, dan menentukan hitam-putihnya hukum. Penafsiran benar-salah dan baik-buruk akhirnya ada pada hawa nafsu manusia. Padahal persepsi manusia kenyataannya berbeda-beda, tergantung kepentingannya masing-masing. Manusia tidak bisa menentukan benar dan salah, baik dan buruk secara mutlak. Firman Allah Swt:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,” (TQS. al-Baqarah [2]: 216)
Jadi, meskipun sama-sama merujuk pada konstitusi (UUD), presiden dengan DPR tetap saja melontarkan berbagai persepsi yang berbeda. Walhasil, sistem demokrasi telah menciptakan situasi rawan konflik sebagai akibat ketiadaan standar kebenaran yang dijadikan rujukan bersama, termasuk ketika muncul persepsi yang berbeda.
Tengok saja konflik antara Presiden Wahid dengan DPR, pemicunya adalah skandal Bruneigate dan Buloggate. Baik Gus Dur maupun DPR punya penafsiran tersendiri tentang hal tersebut. Bagi Gus Dur, pemberian sultan Brunei adalah pemberian pribadi yang sah dipergunakan sesuai kepentingannya, termasuk dibagikan kepada Haji Masnuh, koleganya di Aceh. Sebaliknya, DPR menganggap sumbangan itu seharusnya masuk ke dalam anggaran negara. Demikian pula pada kasus Buloggate dan Aryantigate, baik presiden maupun DPR lagi-lagi memiliki penafsiran sendiri-sendiri. Bahkan, presiden balik mempermasalahkan keabsahan pansus Buloggate dan Bruneigate. Menurutnya keberadaan pansus sudah berada di luar wewenang legislatif, yakni mengambil peran yudikatif. Gus Dur juga melabeli memorandum I, II bahkan Sidang Istimewa (jika jadi digelar) sebagai hal yang inkonstitusional.
Konflik semacam itu tidak hanya terjadi di tanah air, Kongres AS pernah berseteru dengan Presiden Clinton di antaranya dalam skandal seks Monica Lewinsky. Tragisnya, meski Clinton terbukti melakukan perzinahan dengan staf magang di Gedung Putih itu, ia lolos dari berbagai sanksi, termasuk impeachment.
Gus Dur sendiri tidak lepas dari terpaan isu skandal seks. Aryantigate. Hanya saja meski mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, dan perzinahan adalah suatu dosa besar, publik, para politisi bahkan pihak kepolisian cenderung menganggap kecil masalah tersebut. Beberapa pengamat politik bahkan menyebutnya sebagai “masalah pribadi” Gus Dur, tidak terkait dengan jabatan kepresidenan. Jangankan diseret ke pengadilan, proses penyelidikannya pun dihentikan. Gus Dur pun melenggang dengan aman.
Maka, selain meniadakan standar kebenaran yang disepakati bersama, harus diakui bahwa demokrasi juga melahirkan hukum-hukum yang berupa “pasal karet”. Dapat ditarik-ulur sesuai kepentingan individu, partai, masyarakat maupun pemerintah. Dengan kata lain, demokrasi selalu melahirkan konflik, & mengabaikan publik.
Menghapus konflik
Itulah realita demokrasi, yang melahirkan polemik dan konflik. Lebih mendasar lagi, demokrasi sesungguhnya sistem yang steril dari nilai-nilai agama karena lahir dari sekulerisme.
Sistem ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Dalam Islam tidak pada tempatnya manusia coba-coba mengambil alih peran Tuhan sebagai Pembuat aturan yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Meskipun mereka melakukannya atas nama suara mayoritas. Maka idiom vox populi vox dei, adalah jargon yang absurd, bahkan cenderung syrik. Karena menyetarakan posisi manusia dengan Tuhan. Bagi umat muslim, hanya Allah yang memiliki otoritas membuat aturan. Islam telah mengikat setiap Muslim, untuk tunduk dengan ketentuan Allah Swt dan Rasul-Nya. Firman Allah Swt:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan (hukum), akan ada bagi mereka pilihan (hukum yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (TQS. al-Ahzab [33]: 36)
Dengan demikian, kemungkinan terjadinya perbedaan pandangan tentang hukum telah dikikis habis sejak dini. Semua orang merujuk kepada nash Al-Quran maupun As-Sunnah. Apalagi perkara-perkara yang menyangkut pemeliharaan eksistensi nyawa, kehormatan, harta benda, keturunan, agama, akal manusia, ketaatan terhadap khalifah, diatur di dalam hukum hudud (yang jenis dan bentuk sanksinya ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya). Tidak ada ijtihad dalam hukum hudud. Sehingga tidak memungkinkan munculnya perdebatan pada perkara-perkara yang paling mendasar. Sebab Allah Swt telah memberikan bentuk dan jenis hukum atas perkara-perkara tersebut.
Adapun terjadinya perbedaan yang bersifat ikhtilafiyyah – menyangkut masalah cabang – maka umat harus tunduk kepada pendapat yang paling rajih (kuat). Disinilah 'kehebatan' argumentasi kaum Muslim diuji berdasarkan pemahamannya terhadap sumber hukum, yaitu nash al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam sejarah Islam, terdapat kisah yang amat populer yang membuktikan penguasa pun tunduk pada hukum syara'. Yakni saat terjadi khalifah Ali bin Abi Thalib ra, mendakwa seorang yahudi telah mencuri baju zirahnya. Tetapi, karena beliau tidak bisa menghadirkan saksi yang cukup, dakwaannya ditolak oleh qadli/hakim Syuraih. Jadi, siapapun harus tunduk –termasuk khalifah Ali bin Abi Thalib ra- kepada keputusan syar'iy, yang merujuk kepada wahyu berupa al-Quran dan as-Sunnah.
Namun demikian, mungkin saja di dalam Daulah Islamiyah terjadi perselisihan antara khalifah dengan majlis al-ummah. Jika terjadi perselisihan antara kepala negara (khalifah) dengan majlis al-ummah, maka ada mekanisme hukum yang wajib ditaati bersama. Ada keadaan atau perkara-perkara, dimana khalifah harus mengikuti pendapat majlis al-ummah, dan menanggalkan pendapatnya sendiri. Ada pula keadaan atau perkara-perkara tertentu, dimana perselisihan tersebut diserahkan kepada mekanisme peradilan khusus yang disebut Mahkamah Madzalim, yang akan memutuskan masalah (lagi-lagi) hanya dengan hukum syara'. Keputusan Mahkamah Madzalim ini bersifat final dan harus ditaati oleh semua pihak yang berselisih.
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS. an-Nisâ' [4]:59).
Khatimah
Walhasil, berharap dapat tidur nyenyak dengan mempercayai sistem demokrasi, sama saja dengan menegakkan benang basah. Bangunan demokrasi itu sendiri telah sarat dengan muatan konflik dan beragam vested interest antar kelompok, maupun individu. Publik akan selalu khawatir, jangan-jangan setelah Gus Dur digusur, Mega -- jika jadi dinaikkan – bernasib sama.
Lagipula disadari atau tidak, konflik yang kini melanda tanah air sebenarnya tidak lebih dari konflik antar institusi pemerintah, tanpa melibatkan publik. Secara umum masyarakat telah kelelahan mengikuti konflik yang telah berlarut-larut. Bahkan konflik tersebut berdampak besar terhadap kian sulitnya pemenuhan hajat hidup masyarakat. Seperti kata pepatah; gajah sama berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah.
Jadi, satu-satunya jalan untuk menghilangkan konflik politik maupun sosial yang berkepanjangan harus dilakukan dengan mencampakkan demokrasi. Menggantinya dengan sistem yang telah jelas kebenarannya: Islam.
Stockholm, 14 Nopember 1999
DENGAN SISTEM MUSYAWARAH KHILAFAH ISLAM.
Modular Ink Technology Stockholm - SWEDIA.
Stockholm, 22 Nopember 1998
Assalamu'alaikum wr wbr
Jawaban untuk Saudara Ahmad AS (Jepang).
Dimana Saudara Ahmad AS mengatakan bahwa:
"saya punya pemikiran, alangkah baiknya jika bapak-bapak Ahmad Sudirman maupun Bapak Ahmad Utomo yang memang tinggal didaerah yang tidak memakai sistem islam dapat menceritakan perbedaan sistem islam dengan system demokrasi di Eropa dan Amerika sehingga menjadi jelas bagi umat islam di tanah air, bahwa ternyata HANYA ISLAM satu-satunya solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan permasalahan umat manusia. Sebagaimana kita ketahui bahwa SEBAGIAN BESAR bangsa Indonesia masih mengira bahwa sistem demokrasi barat (Amerika, Eropa) adalah sistem yang ideal yang mampu menghantarkan masyarakatnya menuju kehidupan yang dicita-citakan. Padahal sistem tsb pada kenyataannya tentunya tidak seideal yang dikampanyekan oleh Amerika maupun PBB. Dan tentunya bagi bapak-bapak yang tinggal di daerah tsb dapat melihat langsung ketidakadilan sistem tsb didalam praktek sehari-harinya.
Sebagian besar bangsa Indonesia selama ini hanya melihat system demokrasi barat hanyalah dari luarnya saja (maaf istilah tsb meminjam istilah P.Ahmad Sudirman dalam postingnya yang lalu) sehingga mengira
sistem demokrasi barat adalah contoh ideal bagi bangsa Indonesia".
Baiklah Saudara Ahmad AS. Memang saya sudah hampir dua puluh tahun tinggal di negara yang menurut bangsanya menjunjung sistem demokrasi yang tinggi diantara bangsa-bangsa yang tinggal dan hidup di negara-negara barat lainnya.
Dimana hampir dua puluh tahun atau hampir setengah umur saya hidup dan tinggal di negara yang menganut sistem demokrasi ini dan telah banyak mempengaruhi jalan pikiran dan cara berpikir saya dalam melihat kehidupan bernegara, tetapi tidak mampu merubah akidah dan keyakinan serta kepercayaan saya kepada Islam, bahkan makin lama saya tinggal di negara yang menganut sistem demokrasi ini, maka justru makin dalam saya menggali Islam, sehingga akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa system demokrasi yang dianut oleh sebagian besar negara-negara yang ada di dunia ini adalah justru tidak menyalurkan aspirasi seluruh bangsa atau rakyat dari negara tersebut. Bahkan justru menampilkan siapa yang kuat itulah yang akan berhasil. Siapa yang mayoritas itulah yang akan mengendalikan negara. Siapa yang lemah merekalah yang akan tetap berada dalam lapisan paling bawah. Siapa yang lemah mereka akan mengikuti keputusan dari mereka yang kuat. Inilah kesimpulan saya yang telah melihat dan merasakan langsung didalam negara yang menjunjung dan melaksanakan sistem demokrasi yg sampai sekarang terus diperjuangkan oleh sebagian ummat manusia diseluruh dunia termasuk Indonesia.
Sebagai seorang yang sudah dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat di negara yang sekarang saya tingal, maka saya dapat memberikan suatu gambaran yang jelas dan cukup objektif dengan tidak didasari oleh perasaan subjektifitas yang dikarenakan misalnya kalau saya tidak dianggap sebagai warga yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat setempat.
Dengan berpijak ditempat yang sama dengan rakyat dari negara saya sekarang ini, maka dengan mudah saya bisa meneropong kedalam dan merasakan langsung dari pengaruh sistem demokrasi yang dianut oleh negara ini.
Dimana saya melihat adanya lima syarat utama untuk sistem demokrasi yg menurut sejarah demokrasi barat, ceritanya dimulai dari zaman Yunani, dari philosofnya yg terkenal Socrates dalam suatu Negara yaitu:
1. Perwakilan. Sebagaimana yang terjadi di negara saya sekarang ini, untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk di perwakilan pusat, daerah dan wilayah dilakukan pemilihan umum dimana rakyat dapat memilih partai yang telah mencatumkan daftar nama-nama yang akan dipilih untuk duduk di pusat, daerah dan wilayah. Berapa banyak calon anggota yang akan terpilih masuk kedalam perwakilan pusat, daerah dan wilayah adalah tergantung dari berapa banyak suara yang diperoleh oleh setiap partai.
2. Permusyawaratan. Setelah terpilih angota-anggota perwakilan, maka mereka berkumpul untuk membicarakan setiap persoalan yang telah dijadikan program oleh masing-masing partainya, baik dalam bentuk kelompok kecil atau komisi atau fraksi.
3. Suara terbanyak. Untuk mengambil keputusan dari setiap persoalan atau peraturan atau undang-undang, maka dilakukan penmungutan suara, dimana suara yang terbanyak itulah yang menentukan.
4. Pertanggungan jawab. Karena wakil-wakil rakyat yang duduk di perwakilan tersebut adalah dipilih oleh rakyat melalui partai, maka setiap rakyat harus memberikan pertanggungan jawab yang sepenuh-penuhnya terhadap tiap-tiap putusan yang telah diambil oleh perwakilan rakyat tersebut. Karena keputusan tersebut adalah merupakan keputusan hati nurani rakyat sendiri juga.
5. Daerah autonomi. Setiap daerah diberikan kebebasan untuk menentukan peraturan-peraturannya sendiri yang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan pusat. Mereka menentukan anggaran biayanya sendiri.
Dari point-point tersebut diatas, maka point 3 yg menurut saya sesuatu yang menjadikan sistem demokrasi barat tidak menyalurkan aspirasi seluruh rakyat. Mengapa?. Karena apabila 100 orang setuju, 6 orang absen dan 95 orang tidak setuju, kemudian keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak yaitu keputusan yang telah disetujui oleh yang 100 orang. Lalu bagaimana dengan yang 95 orang tadi?. Jelas mereka kecewa, tapi mereka harus patuh & menerima keputusan yg telah disetujui oleh yg 100 orang tersbt. Dan yang paling sengsara adalah seluruh rakyat harus menerima dan melaksanakan keputusan tersebut. Keputusan-keputusan yang diambil secara beginilah yg berlaku di negara saya sekarang ini.
Keputusan inilah yang justru menimbulkan ketidak adilan dan tidak memenuhi keinginan dan aspirasi seluruh rakyat. Jadi sebenarnya bukan rakyat keseluruhan yang mempunyai kekuasaan, melainkan sebagian rakyat yang menang dan kuat itulah yang menentukan dan memutuskan. Inilah yang disebut dgn sistem demokrasi barat yang sedang & masih diperjuangkan diseluruh dunia termasuk di Indonesia.
Nah, sekarang Islam menawarkan jalan lain yang membawa kepada tersalurnya semua aspirasi rakyat. Sebagaimana yang telah saya tulis dalam sistem khilafah di dalam Khilafah Islam, dimana Tuhan telah memfirmankan "Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Qur'an) dan Rasul (sunnah Nabi), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya" (An Nisaa, 59). "...Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka..."(Asy-Syuura, 38). "....Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..."(Ali 'Imran, 159).
Ulil Amri adalah wakil-wakil yang dipilih oleh seluruh rakyat dan membicarakan persoalan-persoalan yang akan menjadi suatu keputusan dengan melalui cara musyawarah. Apabila ada pertentangan atau perbedaan pendapat tentang sesuatu, maka harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Jadi disini Islam tidak mengorbankan golongan kecil yang lemah kepada golongan yang besar dan kuat dalam mengambil keputusan. Melainkan disuruh untuk membandingkan dan mengembalikan kepada Allah dan Rasul. Dimana caranya apakah melalui jalan pendirian badan pemikir atau badan pertimbangan atau pemisah yang lebih mengetahui Hukum Allah dan Rasul semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan Khilafah Islam.
Jadi dalam sistem musyawarah Khilafah Islam ini yang terakhir menentukan adalah Allah dan Rasul. Artinya keputusan-keputusan itu diputuskan setelah dibandingkan dengan sumber hukum abadi yaitu Al Qur'an dan
dengan apa yang telah dicontohkan Rasulullah yaitu Sunnah-nya.
untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita
memohon petunjuk, amin *.* Wassalam. Ahmad Sudirman
DEMOKRASI: MELAHIRKAN KONFLIK, MENGABAIKAN PUBLIK
Ibarat opera sabun, perseteruan Gus Dur-DPR sedang menuju klimaksnya. Gus Dur, seperti komentar Nurcholis Madjid, tengah panik. Menghadapi kemungkinan Sidang Istimewa yang dikhawatirkannya akan menjurus pada impeachment (yang pada saat tulisan ini dibuat belum akan digelar), presiden RI IV ini mengumbar sejumlah pernyataan bernada ancaman. Mulai dari isu separatisme, pemberlakukan darurat sipil, hingga pembubaran DPR. Menurut presiden, massa pendukungnya di Jawa Timur siap memerdekakan Jawa Timur dan mengangkatnya menjadi presiden. Masih menurut pengakuan Gus Dur, sejumlah tengku berpengaruh di Aceh dan sejumlah tokoh Papua, juga siap memerdekakan daerah mereka, jika dirinya diturunkan. Total, ada enam propinsi -menurutnya- yang siap memerdekakan diri.
Di sebagian daerah Jawa Timur maupun Jawa Tengah keadaan sudah bergolak. Di Tegal, massa pendukung Gus Dur yang marah melampiaskan emosinya secara brutal dengan memukuli wartawan. Sementara itu di Nguling, Pasuruan, massa berencana menebangi pohon (lagi) dan menutup jalan Malang-Pasuruan dan Surabaya-Pasuruan. ”Selain itu, 17 rumah anggota Muhammadiyah di Muncar, Banyuwangi, diteror, diberi tanda silang merah, ” Asintel Kodam V/Brawijaya Kol. CZI Lilik Koeshadijanto memberi keterangan (Koran Tempo, 28/05/2001).
Sementara itu sejumlah kalangan kontra-Gus Dur menuduh Presiden telah berencana membubarkan parlemen dengan mengeluarkan dekrit. Meski Marzuki Darusman membantah rumor tersebut, dan menyebutnya sebatas wacana, tapi banyak orang kepalang percaya Gus Dur “tega” melakukan hal itu. Terakhir, pada tanggal 28 Mei lalu Presiden Wahid mengeluarkan ”Maklumat” kepada Menkopolsoskam Bambang Yudhoyono untuk mengambil langkah yang dianggap perlu demi menjaga ketertiban dan keamanan negara. Sebuah langkah yang dikomentari Editorial Media Indonesia, sebagai akal-akalan Gus Dur belaka. Kalau isinya biasa-biasa saja, mengapa memakai istilah “maklumat”? (Media Indonesia, 29/05/2001)
Ironinya, di tengah gemuruh pertikaian lembaga perwakilan rakyat melawan presiden, masyarakat umum semakin tidak peduli dengan keadaan tersebut. “Biar saja mereka bunuh-bunuhan di sana,” komentar sinis seorang penonton Republik Dagelan yang hadir di studio RCTI, Senin malam (28/05/2001). Mayoritas rakyat, justru lebih dipusingkan dengan kenaikkan sejumlah kebutuhan pokok menyusul rencana pemerintah menaikkan BBM, Tarif Dasar Listrik, tarif telepon dan PPn. Bagi mereka, memikirkan konflik elit politik hanya menambah sakit kepala. Jadi, elit politik sibuk memainkan demokrasi, sementara rakyat juga sibuk sendiri, bertahan hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu, apa sebabnya muncul perseteruan & konflik berkepanjangan antara eksekutif & legislatif, yg berimbas kpd konflik horisontal di tengah2 masyarakat. Dan bagaimana kita menghilangkan konflik tersebut ?
Pangkal Konflik; Demokrasi!
Sebagaimana diketahui, cita-cita luhur demokrasi adalah mendobrak kekuasaan absolut para raja. Bila sebelumnya para raja menjadi satu-satunya pemegang kedaulatan, maka demokrasi mengalihkannya ke tangan rakyat. Jargon vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) adalah harga mutlak menggantikan slogan l'etat c'est moi (saya adalah negara). Maka keberadaan pemerintah adalah implementasi dari kedaulatan rakyat, sebagai institusi resmi yang akan melaksanakan volontè gènèrale, keinginan rakyat. Pemerintah (dalam hal ini institusi Presiden) diangkat dengan kontrak sosial oleh rakyat (parlemen), sehingga apabila eksekutif tidak disukai atau sudah 'diluar jalur', mereka berhak memberhentikan eksekutif kapan saja. Itu adalah pencerminan bahwa rakyat di atas segalanya, dan rakyat adalah pihak yang memiliki kedaulatan tertinggi.
Kekuasaan, dalam sistem demokrasi dibagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebagai cara untuk menjamin tidak terulangnya praktek otoriter seperti pada masa raja-raja Eropa dahulu. Legislatif berkuasa untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, dan yudikatif berkuasa untuk mengadili pelanggaran atas undang-undang. Selain berkuasa membuat undang-undang, legislatif – yang diwujudkan dalam wadah parlemen– juga berfungsi untuk mengontrol jalannya pemerintahan (eksekutif). Fungsi kontrol itu meliputi hak bertanya, interpelasi, hak angket, dsb.
Itu teorinya. Pada prakteknya, alih-alih mencegah terjadinya absolutisme, fungsi kontrol ini seringkali melahirkan perseteruan antara legislatif dengan eksekutif, antara DPR dengan Presiden. Hal ini wajar terjadi karena “isi” parlemen pun adalah orang-orang yang berasal dari berbagai partai, dengan berbagai kepentingan. Lagipula parlemen yang digambarkan sebagai cerminan aspirasi dan kehendak rakyat hanyalah angan-angan belaka. Di dalam negara Barat yang paling demokratis pun, parlemen diisi oleh anggota-anggota yang membawa keinginan dan aspirasi para kapitalis (pemilik modal/industri dsb). Berbagai kepentingan tersebut pada akhirnya bertarung memperebutkan kekuasaan untuk melicinkan keinginan individu, partai atau kelompoknya masing-masing. Inilah pangkal munculnya konflik yang kini membelit Presiden Wahid dengan DPR.
Lebih mendasar lagi, sebenarnya sumber konflik itu dapat dilihat dari doktrin kedaulatan di tangan rakyat. Dengan doktrin tersebut, masyarakat merasa memiliki wewenang untuk membuat aturan, dan menentukan hitam-putihnya hukum. Penafsiran benar-salah dan baik-buruk akhirnya ada pada hawa nafsu manusia. Padahal persepsi manusia kenyataannya berbeda-beda, tergantung kepentingannya masing-masing. Manusia tidak bisa menentukan benar dan salah, baik dan buruk secara mutlak. Firman Allah Swt:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,” (TQS. al-Baqarah [2]: 216)
Jadi, meskipun sama-sama merujuk pada konstitusi (UUD), presiden dengan DPR tetap saja melontarkan berbagai persepsi yang berbeda. Walhasil, sistem demokrasi telah menciptakan situasi rawan konflik sebagai akibat ketiadaan standar kebenaran yang dijadikan rujukan bersama, termasuk ketika muncul persepsi yang berbeda.
Tengok saja konflik antara Presiden Wahid dengan DPR, pemicunya adalah skandal Bruneigate dan Buloggate. Baik Gus Dur maupun DPR punya penafsiran tersendiri tentang hal tersebut. Bagi Gus Dur, pemberian sultan Brunei adalah pemberian pribadi yang sah dipergunakan sesuai kepentingannya, termasuk dibagikan kepada Haji Masnuh, koleganya di Aceh. Sebaliknya, DPR menganggap sumbangan itu seharusnya masuk ke dalam anggaran negara. Demikian pula pada kasus Buloggate dan Aryantigate, baik presiden maupun DPR lagi-lagi memiliki penafsiran sendiri-sendiri. Bahkan, presiden balik mempermasalahkan keabsahan pansus Buloggate dan Bruneigate. Menurutnya keberadaan pansus sudah berada di luar wewenang legislatif, yakni mengambil peran yudikatif. Gus Dur juga melabeli memorandum I, II bahkan Sidang Istimewa (jika jadi digelar) sebagai hal yang inkonstitusional.
Konflik semacam itu tidak hanya terjadi di tanah air, Kongres AS pernah berseteru dengan Presiden Clinton di antaranya dalam skandal seks Monica Lewinsky. Tragisnya, meski Clinton terbukti melakukan perzinahan dengan staf magang di Gedung Putih itu, ia lolos dari berbagai sanksi, termasuk impeachment.
Gus Dur sendiri tidak lepas dari terpaan isu skandal seks. Aryantigate. Hanya saja meski mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, dan perzinahan adalah suatu dosa besar, publik, para politisi bahkan pihak kepolisian cenderung menganggap kecil masalah tersebut. Beberapa pengamat politik bahkan menyebutnya sebagai “masalah pribadi” Gus Dur, tidak terkait dengan jabatan kepresidenan. Jangankan diseret ke pengadilan, proses penyelidikannya pun dihentikan. Gus Dur pun melenggang dengan aman.
Maka, selain meniadakan standar kebenaran yang disepakati bersama, harus diakui bahwa demokrasi juga melahirkan hukum-hukum yang berupa “pasal karet”. Dapat ditarik-ulur sesuai kepentingan individu, partai, masyarakat maupun pemerintah. Dengan kata lain, demokrasi selalu melahirkan konflik, & mengabaikan publik.
Menghapus konflik
Itulah realita demokrasi, yang melahirkan polemik dan konflik. Lebih mendasar lagi, demokrasi sesungguhnya sistem yang steril dari nilai-nilai agama karena lahir dari sekulerisme.
Sistem ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Dalam Islam tidak pada tempatnya manusia coba-coba mengambil alih peran Tuhan sebagai Pembuat aturan yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Meskipun mereka melakukannya atas nama suara mayoritas. Maka idiom vox populi vox dei, adalah jargon yang absurd, bahkan cenderung syrik. Karena menyetarakan posisi manusia dengan Tuhan. Bagi umat muslim, hanya Allah yang memiliki otoritas membuat aturan. Islam telah mengikat setiap Muslim, untuk tunduk dengan ketentuan Allah Swt dan Rasul-Nya. Firman Allah Swt:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan (hukum), akan ada bagi mereka pilihan (hukum yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (TQS. al-Ahzab [33]: 36)
Dengan demikian, kemungkinan terjadinya perbedaan pandangan tentang hukum telah dikikis habis sejak dini. Semua orang merujuk kepada nash Al-Quran maupun As-Sunnah. Apalagi perkara-perkara yang menyangkut pemeliharaan eksistensi nyawa, kehormatan, harta benda, keturunan, agama, akal manusia, ketaatan terhadap khalifah, diatur di dalam hukum hudud (yang jenis dan bentuk sanksinya ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya). Tidak ada ijtihad dalam hukum hudud. Sehingga tidak memungkinkan munculnya perdebatan pada perkara-perkara yang paling mendasar. Sebab Allah Swt telah memberikan bentuk dan jenis hukum atas perkara-perkara tersebut.
Adapun terjadinya perbedaan yang bersifat ikhtilafiyyah – menyangkut masalah cabang – maka umat harus tunduk kepada pendapat yang paling rajih (kuat). Disinilah 'kehebatan' argumentasi kaum Muslim diuji berdasarkan pemahamannya terhadap sumber hukum, yaitu nash al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam sejarah Islam, terdapat kisah yang amat populer yang membuktikan penguasa pun tunduk pada hukum syara'. Yakni saat terjadi khalifah Ali bin Abi Thalib ra, mendakwa seorang yahudi telah mencuri baju zirahnya. Tetapi, karena beliau tidak bisa menghadirkan saksi yang cukup, dakwaannya ditolak oleh qadli/hakim Syuraih. Jadi, siapapun harus tunduk –termasuk khalifah Ali bin Abi Thalib ra- kepada keputusan syar'iy, yang merujuk kepada wahyu berupa al-Quran dan as-Sunnah.
Namun demikian, mungkin saja di dalam Daulah Islamiyah terjadi perselisihan antara khalifah dengan majlis al-ummah. Jika terjadi perselisihan antara kepala negara (khalifah) dengan majlis al-ummah, maka ada mekanisme hukum yang wajib ditaati bersama. Ada keadaan atau perkara-perkara, dimana khalifah harus mengikuti pendapat majlis al-ummah, dan menanggalkan pendapatnya sendiri. Ada pula keadaan atau perkara-perkara tertentu, dimana perselisihan tersebut diserahkan kepada mekanisme peradilan khusus yang disebut Mahkamah Madzalim, yang akan memutuskan masalah (lagi-lagi) hanya dengan hukum syara'. Keputusan Mahkamah Madzalim ini bersifat final dan harus ditaati oleh semua pihak yang berselisih.
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS. an-Nisâ' [4]:59).
Khatimah
Walhasil, berharap dapat tidur nyenyak dengan mempercayai sistem demokrasi, sama saja dengan menegakkan benang basah. Bangunan demokrasi itu sendiri telah sarat dengan muatan konflik dan beragam vested interest antar kelompok, maupun individu. Publik akan selalu khawatir, jangan-jangan setelah Gus Dur digusur, Mega -- jika jadi dinaikkan – bernasib sama.
Lagipula disadari atau tidak, konflik yang kini melanda tanah air sebenarnya tidak lebih dari konflik antar institusi pemerintah, tanpa melibatkan publik. Secara umum masyarakat telah kelelahan mengikuti konflik yang telah berlarut-larut. Bahkan konflik tersebut berdampak besar terhadap kian sulitnya pemenuhan hajat hidup masyarakat. Seperti kata pepatah; gajah sama berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah.
Jadi, satu-satunya jalan untuk menghilangkan konflik politik maupun sosial yang berkepanjangan harus dilakukan dengan mencampakkan demokrasi. Menggantinya dengan sistem yang telah jelas kebenarannya: Islam.
Stockholm, 14 Nopember 1999
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as