Syariah Islam
Jalan Tunggal Menuju Kemerdekaan Hakiki
Oleh: Yusuf Wibisono
(Dosen Universitas Brawijaya Malang)
Jauh sebelum eksistensi
negara-bangsa (nation state) menjadi tren di atas permukaan bumi,
gagasan kemerdekaan negara-bangsa dimulai dari Eropa. Pada abad ke-17,
negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat belum ada. Setiap kota atau kerajaan berada di bawah perwalian
pangeran atau bangsawan. Para bangsawan dan
penguasa feodal ini pada gilirannya berada di bawah pengaruh pendeta setempat
dan Paus Suci Roma. Pembebasan negara-negara dari hegemoni gereja Katolik dan
Paus berarti pembebasan dirinya dari hegemoni inkuisisi yang menakutkan, dengan
pemikiran yang bebas dan ilmiah.
Renaisance Eropa inilah
yang memunculkan pemikir-pemikir seperti Machiaveli, Martin Luther, Calvin,
Rousseau, Voltaire, Montesquieu, Smith dan Ricardo. Renaisance ini pula yang
meretas jalan perubahan masyarakat Eropa menuju kebebasan dalam beragama,
berseni, berbudaya, hingga bersosial, berekonomi dan berpolitik. Revolusi
Prancis lewat Declaration des droits de l'homme et du citoyen dan
revolusi industri di Inggris menjadi rentetan dari perjalanan perjuangan
kebebasan ini.
Masa selanjutnya, tahun
1870, dapat dikatakan sebagai periode awal kelahiran imperialisme.
Istilah imperialisme dimaksudkan untuk menjelaskan penyebaran
Kapitalisme Inggris, yang kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya ke
seluruh dunia pada abad ke-19.
Kapitalisme Bertopeng
Kemerdekaan
Indonesia termasuk dalam wilayah
yang dikapling oleh kekuatan Kapitalisme internasional. Eksploitasi
imperialisme-kolonialisme menghancurleburkan bangsa terjajah karena semua
sumberdayanya telah dikeruk dan disedot keluar untuk menghidupi "Wealth
of Nations"-nya bangsa-bangsa penjajah. Hasilnya, pemberontakan
terhadap belenggu penjajahan ini muncul dalam diri bangsa terjajah, yang
mengganggu proses penghisapan oleh para negara imperialis. Karena itu, untuk
menekan tingginya ongkos sosial yang ditimbulkan oleh pemberontakan tersebut,
muncullah 'kebijakan' untuk 'memerdekakan' bangsa-bangsa terjajah.
Pada tahun 1939,
Inggris, Prancis dan Belanda bersepakat untuk secara perlahan-lahan membiarkan
negara-negara jajahan 'menentukan nasibnya sendiri'. John F Dulles, salah
seorang Menlu AS' menyatakan tentang taktik ini: "Kalau
negara Barat berusaha mempertahankan daerah jajahannya seperti cara yang sudah
ada, maka dapat dikatakan bakal terjadinya pemberontakan bersenjata, dan Barat
pasti kalah. Jadi, satu-satunya strategi yang mungkin berhasil adalah dengan
cara damai memberikan 'kemerdekaan yang terhormat' kepada 700 juta jiwa manusia
yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Barat."
Alhasil, kurun waktu
1921-1967 menandai lahirnya tren 'kemerdekaan' negara-negara bangsa di dunia,
termasuk di dalamnya Indonesia
pada tahun 1945. Proklamasi Kemerdekaan ini tampaknya telah benar-benar
menandai berakhirnya kolonialisme dan mengawali kebebasan yang dicita-citakan
bangsa Indonesia.
Namun, jika dipikir secara jernih, maka hal tersebut hanyalah sebuah kredo yang
maya, karena kondisi faktual justru membuktikan yang sebaliknya. Dekolonisasi
bukan akhir dari penjajahan yang sesungguhnya. Penjajahan hanya bersembunyi di
balik topeng kemerdekaan.
Imperialisme sebagai
metode standar dari Kapitalisme untuk melebarkan dan menancapkan cengkeramannya
terus menguasai negara-negara terjajah, termasuk bekas wilayah Khilafah
Ustmaniyah. Inggris, misalnya, terus berusaha mempertahankan imperiumnya yang
dikatakan bahwa 'matahari tidak pernah tenggelam di Britania Raya' mulai
dari Kanada, Australia, Selandia Baru hingga
Afrika Selatan. Namun, Inggris gagal 'mengendalikan' Amerika Utara. Amerika
Serikat lahir dari keseriusan para pemikir pendirinya yang memiliki kekuatan
ideologis untuk lepas dari kolonialisme Inggris. Hasilnya, lahirlah Declaration
of Independence, dan Amerika Serikat muncul sebagai kampiun Kapitalisme baru
yang bisa berjaya menggunakan invasi fisik dan non-fisik.
Saat ini invasi fisik
dalam kekuatan militer dikerahkan kembali di Afganistan dan Irak. Adapun invasi
non-fisik dalam tataran ideologi, budaya, ekonomi, pendidikan, sosial dan
politik dijalankan oleh agen-agen mereka dengan berlatar lembaga internasional
yaitu PBB, Bank Dunia, IMF dan WTO, serta korporat-korporat transnasional. Hal
ini sudah menjadi pemahaman para intelektual yang mau berpikir jernih, termasuk
para pemikir Barat. Joseph E Stiglitz, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, dalam Globalization
and Its Discontents (2002), menegaskan bahwa IMF meletakkan kepentingan
pemegang saham terbesar (Amerika Serikat) di atas kepentingan negara-negara
miskin yang justru seharusnya ia bantu. Sementara itu, John Perkins dalam Confessions
of an Economic Hit Man (2004) mendeskripsikan sebuah istilah baru, yakni korporatokrasi,
yang digambarkan sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh "perusahaan
besar, bank internasional dan pemerintah"; artinya pemerintahan tersebut
tunduk di bawah tekanan korporasi, atau bahkan berposisi sebagai pelaku
korporat yang mengeluarkan kebijakan dengan mengikuti kaidah ekonomi kapitalis
yang hanya menguntungkan korporasinya. Intinya masih sama, penjajahan oleh
Kapitalisme masih terus berlangsung di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Syariah Islam Mewujudkan
Cita-cita Kemerdekaan
Herman Finer, dalam Theory
and Practice of Modern Government, menamakan undang-undang dasar sebagai
'riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan'. Lalu bangsa Indonesia yang
telah lama menantikan datangnya kemerdekaan memulai undang-undang dasarnya pada
bagian preambule dengan paragraf, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan…"
Namun, walaupun UUD ini
dinisbatkan pada tahun 1945, sesungguhnya hingga kini Indonesia masih terjajah,
disintegrasi terus menggejala, kedaulatan diinjak-injak, dan adil makmur masih jauh
dari mata. Dengan kata lain, cita-cita kemerdekaan dengan ciri-ciri negara yang
bersatu, berdaulat, adil dan makmur masih sekadar konsepsi pada masa UUD 1945
dibuat. Karena itu, seperti dikatakan Miriam Budiardjo, perumusan konsepsi
tersebut tidak mengekang generasi-generasi baru untuk mengembangkannya sesuai
dengan tuntutan zaman. Kapitalisme yang mendominasi pencapaian cita-cita
kemerdekaan tersebut selama kurun waktu 61 tahun ini terbukti mandul dan gagal
mewujudkan kemerdekaan yang sesungguh-nya. Demikian pula dengan Sosialisme yang
sempat menyeruak pada masa tahun 1955-1965. Dengan demikian, tinggal syariah
Islam, yang kini telah menjadi aspirasi silent majority, diberikan
kesempatan untuk meretas jalan menuju cita-cita kemerdekaan tersebut.
Cita-cita 1: Bersatu.
Kaum Muslim adalah umat
yang satu, yang berbeda dengan umat lainnya. Allah Swt. telah menyatukan kaum
Muslim dengan kesatuan akidah dan keimanan. Rasulullah saw. telah berhasil
meleburkan ikatan kesukuan dan sekat kebangsaan dalam ikatan keislaman, yang
menyatu dengan jiwa setiap Muslim sebagai sebuah ideologi. Rasul pun berhasil
menerapkan sistem dan hukum syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan mulai
dari berdirinya negara Madinah hingga berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin,
Khilafah Umayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Nusantara dengan Kesultanan Islam
Pasai, Demak, Malaka, Banten, Gowa, Ternate,
Tidore, Banjar dll memiliki hubungan yang erat dengan Khilafah Utsmaniyah.
Wilayah Indonesia
termasuk di dalamnya Aceh, Papua dan Maluku adalah negeri-negeri Islam yang
bergabung dengan kekuasaan Islam tanpa peperangan sehingga tanahnya termasuk
dalam tanah 'usriyah (ardlu al-usyriyah). Karena itu, lepasnya sebuah
wilayah Indonesia
adalah sebuah upaya separatisme (bughat) yang diharamkan. Rasulullah
saw. menegaskan:
Siapa saja yang datang
kepada kalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seseorang (Khalifah),
kemudian ia hendak memecah-belah kesatuan jamaah (Khilafah) kalian, maka
bunuhlah ia. (HR Muslim).
Jelas sudah bahwa
syariah Islam menjamin keutuhan dan kesatuan Indonesia, bahkan mempersatukan
negeri-negeri lainnya. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, seperti halnya
reunifikasi Jerman, unifikasi Eropa dan memudarnya sekat-sekat negara-bangsa
dalam globalisasi.
Cita-cita 2: Berdaulat.
Syariah Islam akan
menjadikan Indonesia
menjadi negara yang berdaulat dan berwibawa. Dalam persoalan kedaulatan
politik, syariah Islam memiliki konsep politik yang mendasari hubungan luar
negeri dengan negara, bangsa dan umat lainnya dengan upaya menyebarkan Islam
sebagai rahmat atas seluruh alam. Syariah Islam mewajibkan negara menjalankan
tugas-tugas politik, di antaranya berkaitan dengan pemberian informasi yang
jelas tentang Islam, menyebarkan pikiran-pikiran Islam, dan berupaya
menyampaikan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia sehingga mereka
memperoleh pemahaman yang di dalamnya ada jaminan hukum yang dapat
menyelamatkan mereka. Terhadap konspirasi negara atau bangsa yang menghalangi
disebarkannya syariah Allah maka Allah memerintahkan untuk memerangi mereka
(lihat: QS at-Taubah [9]: 29).
Dengan modal ketakwaan
kepada Allah inilah negara menjadi perkasa dan berani menghadapai intervensi
asing. Bahkan, justru para penjajahlah yang menjadi gentar sebagaimana
digambarkan Rasulullah saw. (yang artinya): Aku ditolong dengan rasa
ketakutan (yang bisa dirasakan musuh) dari jarak satu bulan perjalanan.
Cita-cita 3: Adil dan
Makmur.
Syariah Islam memandang
sama kedudukan warga negara. Islam telah menghapus pemikiran kuno yang menuntut
manusia berpihak pada kerabatnya sekalipun ia seorang penindas. Syariah Islam
memperlakukan warga negara yang terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim (ahlul
dzimmah) dengan hak dan kewajiban yang sama. Kaum dzimmah ini tidak
memerangi kaum Muslim dan tunduk atas hukum-hukum Islam (muamalah dan 'uqûbât)
yang diterapkan, kecuali dalam urusan akidah dan ibadah yang dibebaskan bagi
mereka. Hal ini seperti digambarkan Thomas of Marga's dalam Book of
Governors (1893) tentang keberadaan gereja dan sinagog dalam wilayah
pemerintahan Islam. Kaum dzimmah ini hanya diwajibkan membayar jizyah
yang besarannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pajak yang ditarik oleh
pemerintahan kapitalis dalam sistem sekular saat ini. Itupun jika mereka mampu
membayarnya. Jika tidak, negara justru akan memberikan santunan. Perlindungan
syariah Islam atas kaum dzimmah ini tampak pada sabda Rasul saw.:
Siapa saja yang membunuh
jiwa yang terikat dengan dzimmah Allah dan Rasul-Nya berarti ia telah
memutuskan dzimmah Allah sehingga ia tidak akan mencium baunya surga, padahal
bau surga itu sudah tercium pada jarak sejauh perjalanan tujuh puluh musim
gugur. (HR at-Tirmidzi).
Keadilan bukan sekadar
lip service dalam syariah Islam, karena Allah telah memerintahkan manusia,
khususnya penguasa, untuk berbuat adil (lihat: QS an-Nisa' [4]: 58; al-Maidah
[5]: .
Dalam hal kemakmuran,
kedaulatan ekonomi akan didapati di Indonesia. Negara mengatur muamalah dan
memelihara seluruh urusan masyarakat sesuai dengan hukum Islam. Kepemilikan
individu dijamin perolehan dan keamanannya oleh negara. Kepemilikan umum atas
sumberdaya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Segala bentuk privatisasi, swastanisasi dan
penjualan aset-aset negara kepada asing tidak akan pernah dilakukan oleh
negara, karena kemakmuran rakyat dan kebahagiaan masyarakat (bonum publicum)
menjadi tujuan negara. Negara sangat menyayangi rakyatnya sehingga distribusi
kekayaan akan menjadi perhatian utama. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok
menyangkut pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan akan diseriusi oleh
negara. Hal ini terjadi karena pemimpin negara sadar dan paham akan hadis Nabi
saw:
Pemimpin manusia adalah
pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang
diurusnya. (HR Muslim).
Dengan melihat kemampuan
syariah Islam dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia tersebut, tentu naif jika
masih ada keengganan untuk menerapkannya. Uji petik terhadap keberhasilan
syariah Islam membawa umat menuju cita-cita kemerdekaan ini dapat dilihat dalam
sistem Khilafah yang telah memerdekaan manusia selama lebih dari 13 abad.
Gustav E. Von Grunebaum (1962) dalam Medieval Islam (Islam di Abad
Pertengahan) menyatakan:
Islam adalah masyarakat
dengan keyakinan kepada Allah yang hidup dalam kehidupan. Islam adalah pusat
dan tujuan dari praktik spiritualnya. Namun, bukan hanya itu, Islam adalah
pemimpin dunia dengan aturan dan pemerintahannya. Islam adalah alasan bagi
eksistensi negara; dia adalah prinsip dari kesatuan (staatsgedanke), dengan
menjun-jung tinggi keberlanjutan kesejahteraan yang berkeadilan.
Walhasil, syariah
Islamlah jalan tunggal untuk merengkuh cita-cita kemerdekaan Indonesia itu. Wallâh
a'lam bi ash-shawâb.
Daftar
Bacaan
1.
Ahmed, S. dan A. Karim. 1997. The Roots of Nationalism in the
Muslim World (terj.). Penerbit Al Izzah. Bangil.
2.
Al-Maliki, A. 2001. As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla
(terj.). Penerbit Al Izzah. Bangil.
3.
An-Nabhani, T. 2002. Ad-Daulah Al-Islamiyah 6th-edition
(Mu'tamadah). Penerbit Darul Ummah. Beirut.
Libanon.
4.
An-Nadwi, Abu Hasan Ali. 1987. Islam and The World (terj.).
Penerbit Angkasa. Bandung.
5.
Bamualim, C.S. et al. (ed.). 2003. Islam and the West, Dialogue
of Civilizations in Search of a Peaceful Global Order. Pusat Bahasa dan
Budaya UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
6.
Budiardjo, M. Prof. 1999. Dasar-dasar Ilmu Politik.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
7.
Fredericks, S. 2004. Political
and Cultural Invasion (terj.). Penerbit Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.
8.
Grunebaum, G.E. 1962. Medieval Islam, A Study in Cultural
Orientation. Phoenix
Books. The University
of Chicago Press. Chicago, Illinois,
USA.
9.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani, Menyingkap
Kejahatan Industri Pangan. Penerbit Resist Book. Yogyakarta.
10.
Kurzman, C. (ed.). 2001. Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Isu-isu Global. Penerbit Paramadina. Jakarta.
11.
Perkins, J. 2004. Confessions of an Economic Hit Man. Plume. USA.
telah dibaca 150
Jalan Tunggal Menuju Kemerdekaan Hakiki
Oleh: Yusuf Wibisono
(Dosen Universitas Brawijaya Malang)
Jauh sebelum eksistensi
negara-bangsa (nation state) menjadi tren di atas permukaan bumi,
gagasan kemerdekaan negara-bangsa dimulai dari Eropa. Pada abad ke-17,
negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat belum ada. Setiap kota atau kerajaan berada di bawah perwalian
pangeran atau bangsawan. Para bangsawan dan
penguasa feodal ini pada gilirannya berada di bawah pengaruh pendeta setempat
dan Paus Suci Roma. Pembebasan negara-negara dari hegemoni gereja Katolik dan
Paus berarti pembebasan dirinya dari hegemoni inkuisisi yang menakutkan, dengan
pemikiran yang bebas dan ilmiah.
Renaisance Eropa inilah
yang memunculkan pemikir-pemikir seperti Machiaveli, Martin Luther, Calvin,
Rousseau, Voltaire, Montesquieu, Smith dan Ricardo. Renaisance ini pula yang
meretas jalan perubahan masyarakat Eropa menuju kebebasan dalam beragama,
berseni, berbudaya, hingga bersosial, berekonomi dan berpolitik. Revolusi
Prancis lewat Declaration des droits de l'homme et du citoyen dan
revolusi industri di Inggris menjadi rentetan dari perjalanan perjuangan
kebebasan ini.
Masa selanjutnya, tahun
1870, dapat dikatakan sebagai periode awal kelahiran imperialisme.
Istilah imperialisme dimaksudkan untuk menjelaskan penyebaran
Kapitalisme Inggris, yang kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa lainnya ke
seluruh dunia pada abad ke-19.
Kapitalisme Bertopeng
Kemerdekaan
Indonesia termasuk dalam wilayah
yang dikapling oleh kekuatan Kapitalisme internasional. Eksploitasi
imperialisme-kolonialisme menghancurleburkan bangsa terjajah karena semua
sumberdayanya telah dikeruk dan disedot keluar untuk menghidupi "Wealth
of Nations"-nya bangsa-bangsa penjajah. Hasilnya, pemberontakan
terhadap belenggu penjajahan ini muncul dalam diri bangsa terjajah, yang
mengganggu proses penghisapan oleh para negara imperialis. Karena itu, untuk
menekan tingginya ongkos sosial yang ditimbulkan oleh pemberontakan tersebut,
muncullah 'kebijakan' untuk 'memerdekakan' bangsa-bangsa terjajah.
Pada tahun 1939,
Inggris, Prancis dan Belanda bersepakat untuk secara perlahan-lahan membiarkan
negara-negara jajahan 'menentukan nasibnya sendiri'. John F Dulles, salah
seorang Menlu AS' menyatakan tentang taktik ini: "Kalau
negara Barat berusaha mempertahankan daerah jajahannya seperti cara yang sudah
ada, maka dapat dikatakan bakal terjadinya pemberontakan bersenjata, dan Barat
pasti kalah. Jadi, satu-satunya strategi yang mungkin berhasil adalah dengan
cara damai memberikan 'kemerdekaan yang terhormat' kepada 700 juta jiwa manusia
yang berada di bawah kekuasaan penjajahan Barat."
Alhasil, kurun waktu
1921-1967 menandai lahirnya tren 'kemerdekaan' negara-negara bangsa di dunia,
termasuk di dalamnya Indonesia
pada tahun 1945. Proklamasi Kemerdekaan ini tampaknya telah benar-benar
menandai berakhirnya kolonialisme dan mengawali kebebasan yang dicita-citakan
bangsa Indonesia.
Namun, jika dipikir secara jernih, maka hal tersebut hanyalah sebuah kredo yang
maya, karena kondisi faktual justru membuktikan yang sebaliknya. Dekolonisasi
bukan akhir dari penjajahan yang sesungguhnya. Penjajahan hanya bersembunyi di
balik topeng kemerdekaan.
Imperialisme sebagai
metode standar dari Kapitalisme untuk melebarkan dan menancapkan cengkeramannya
terus menguasai negara-negara terjajah, termasuk bekas wilayah Khilafah
Ustmaniyah. Inggris, misalnya, terus berusaha mempertahankan imperiumnya yang
dikatakan bahwa 'matahari tidak pernah tenggelam di Britania Raya' mulai
dari Kanada, Australia, Selandia Baru hingga
Afrika Selatan. Namun, Inggris gagal 'mengendalikan' Amerika Utara. Amerika
Serikat lahir dari keseriusan para pemikir pendirinya yang memiliki kekuatan
ideologis untuk lepas dari kolonialisme Inggris. Hasilnya, lahirlah Declaration
of Independence, dan Amerika Serikat muncul sebagai kampiun Kapitalisme baru
yang bisa berjaya menggunakan invasi fisik dan non-fisik.
Saat ini invasi fisik
dalam kekuatan militer dikerahkan kembali di Afganistan dan Irak. Adapun invasi
non-fisik dalam tataran ideologi, budaya, ekonomi, pendidikan, sosial dan
politik dijalankan oleh agen-agen mereka dengan berlatar lembaga internasional
yaitu PBB, Bank Dunia, IMF dan WTO, serta korporat-korporat transnasional. Hal
ini sudah menjadi pemahaman para intelektual yang mau berpikir jernih, termasuk
para pemikir Barat. Joseph E Stiglitz, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, dalam Globalization
and Its Discontents (2002), menegaskan bahwa IMF meletakkan kepentingan
pemegang saham terbesar (Amerika Serikat) di atas kepentingan negara-negara
miskin yang justru seharusnya ia bantu. Sementara itu, John Perkins dalam Confessions
of an Economic Hit Man (2004) mendeskripsikan sebuah istilah baru, yakni korporatokrasi,
yang digambarkan sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh "perusahaan
besar, bank internasional dan pemerintah"; artinya pemerintahan tersebut
tunduk di bawah tekanan korporasi, atau bahkan berposisi sebagai pelaku
korporat yang mengeluarkan kebijakan dengan mengikuti kaidah ekonomi kapitalis
yang hanya menguntungkan korporasinya. Intinya masih sama, penjajahan oleh
Kapitalisme masih terus berlangsung di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Syariah Islam Mewujudkan
Cita-cita Kemerdekaan
Herman Finer, dalam Theory
and Practice of Modern Government, menamakan undang-undang dasar sebagai
'riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan'. Lalu bangsa Indonesia yang
telah lama menantikan datangnya kemerdekaan memulai undang-undang dasarnya pada
bagian preambule dengan paragraf, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan…"
Namun, walaupun UUD ini
dinisbatkan pada tahun 1945, sesungguhnya hingga kini Indonesia masih terjajah,
disintegrasi terus menggejala, kedaulatan diinjak-injak, dan adil makmur masih jauh
dari mata. Dengan kata lain, cita-cita kemerdekaan dengan ciri-ciri negara yang
bersatu, berdaulat, adil dan makmur masih sekadar konsepsi pada masa UUD 1945
dibuat. Karena itu, seperti dikatakan Miriam Budiardjo, perumusan konsepsi
tersebut tidak mengekang generasi-generasi baru untuk mengembangkannya sesuai
dengan tuntutan zaman. Kapitalisme yang mendominasi pencapaian cita-cita
kemerdekaan tersebut selama kurun waktu 61 tahun ini terbukti mandul dan gagal
mewujudkan kemerdekaan yang sesungguh-nya. Demikian pula dengan Sosialisme yang
sempat menyeruak pada masa tahun 1955-1965. Dengan demikian, tinggal syariah
Islam, yang kini telah menjadi aspirasi silent majority, diberikan
kesempatan untuk meretas jalan menuju cita-cita kemerdekaan tersebut.
Cita-cita 1: Bersatu.
Kaum Muslim adalah umat
yang satu, yang berbeda dengan umat lainnya. Allah Swt. telah menyatukan kaum
Muslim dengan kesatuan akidah dan keimanan. Rasulullah saw. telah berhasil
meleburkan ikatan kesukuan dan sekat kebangsaan dalam ikatan keislaman, yang
menyatu dengan jiwa setiap Muslim sebagai sebuah ideologi. Rasul pun berhasil
menerapkan sistem dan hukum syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan mulai
dari berdirinya negara Madinah hingga berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin,
Khilafah Umayah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Nusantara dengan Kesultanan Islam
Pasai, Demak, Malaka, Banten, Gowa, Ternate,
Tidore, Banjar dll memiliki hubungan yang erat dengan Khilafah Utsmaniyah.
Wilayah Indonesia
termasuk di dalamnya Aceh, Papua dan Maluku adalah negeri-negeri Islam yang
bergabung dengan kekuasaan Islam tanpa peperangan sehingga tanahnya termasuk
dalam tanah 'usriyah (ardlu al-usyriyah). Karena itu, lepasnya sebuah
wilayah Indonesia
adalah sebuah upaya separatisme (bughat) yang diharamkan. Rasulullah
saw. menegaskan:
Siapa saja yang datang
kepada kalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seseorang (Khalifah),
kemudian ia hendak memecah-belah kesatuan jamaah (Khilafah) kalian, maka
bunuhlah ia. (HR Muslim).
Jelas sudah bahwa
syariah Islam menjamin keutuhan dan kesatuan Indonesia, bahkan mempersatukan
negeri-negeri lainnya. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, seperti halnya
reunifikasi Jerman, unifikasi Eropa dan memudarnya sekat-sekat negara-bangsa
dalam globalisasi.
Cita-cita 2: Berdaulat.
Syariah Islam akan
menjadikan Indonesia
menjadi negara yang berdaulat dan berwibawa. Dalam persoalan kedaulatan
politik, syariah Islam memiliki konsep politik yang mendasari hubungan luar
negeri dengan negara, bangsa dan umat lainnya dengan upaya menyebarkan Islam
sebagai rahmat atas seluruh alam. Syariah Islam mewajibkan negara menjalankan
tugas-tugas politik, di antaranya berkaitan dengan pemberian informasi yang
jelas tentang Islam, menyebarkan pikiran-pikiran Islam, dan berupaya
menyampaikan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia sehingga mereka
memperoleh pemahaman yang di dalamnya ada jaminan hukum yang dapat
menyelamatkan mereka. Terhadap konspirasi negara atau bangsa yang menghalangi
disebarkannya syariah Allah maka Allah memerintahkan untuk memerangi mereka
(lihat: QS at-Taubah [9]: 29).
Dengan modal ketakwaan
kepada Allah inilah negara menjadi perkasa dan berani menghadapai intervensi
asing. Bahkan, justru para penjajahlah yang menjadi gentar sebagaimana
digambarkan Rasulullah saw. (yang artinya): Aku ditolong dengan rasa
ketakutan (yang bisa dirasakan musuh) dari jarak satu bulan perjalanan.
Cita-cita 3: Adil dan
Makmur.
Syariah Islam memandang
sama kedudukan warga negara. Islam telah menghapus pemikiran kuno yang menuntut
manusia berpihak pada kerabatnya sekalipun ia seorang penindas. Syariah Islam
memperlakukan warga negara yang terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim (ahlul
dzimmah) dengan hak dan kewajiban yang sama. Kaum dzimmah ini tidak
memerangi kaum Muslim dan tunduk atas hukum-hukum Islam (muamalah dan 'uqûbât)
yang diterapkan, kecuali dalam urusan akidah dan ibadah yang dibebaskan bagi
mereka. Hal ini seperti digambarkan Thomas of Marga's dalam Book of
Governors (1893) tentang keberadaan gereja dan sinagog dalam wilayah
pemerintahan Islam. Kaum dzimmah ini hanya diwajibkan membayar jizyah
yang besarannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pajak yang ditarik oleh
pemerintahan kapitalis dalam sistem sekular saat ini. Itupun jika mereka mampu
membayarnya. Jika tidak, negara justru akan memberikan santunan. Perlindungan
syariah Islam atas kaum dzimmah ini tampak pada sabda Rasul saw.:
Siapa saja yang membunuh
jiwa yang terikat dengan dzimmah Allah dan Rasul-Nya berarti ia telah
memutuskan dzimmah Allah sehingga ia tidak akan mencium baunya surga, padahal
bau surga itu sudah tercium pada jarak sejauh perjalanan tujuh puluh musim
gugur. (HR at-Tirmidzi).
Keadilan bukan sekadar
lip service dalam syariah Islam, karena Allah telah memerintahkan manusia,
khususnya penguasa, untuk berbuat adil (lihat: QS an-Nisa' [4]: 58; al-Maidah
[5]: .
Dalam hal kemakmuran,
kedaulatan ekonomi akan didapati di Indonesia. Negara mengatur muamalah dan
memelihara seluruh urusan masyarakat sesuai dengan hukum Islam. Kepemilikan
individu dijamin perolehan dan keamanannya oleh negara. Kepemilikan umum atas
sumberdaya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Segala bentuk privatisasi, swastanisasi dan
penjualan aset-aset negara kepada asing tidak akan pernah dilakukan oleh
negara, karena kemakmuran rakyat dan kebahagiaan masyarakat (bonum publicum)
menjadi tujuan negara. Negara sangat menyayangi rakyatnya sehingga distribusi
kekayaan akan menjadi perhatian utama. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok
menyangkut pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan akan diseriusi oleh
negara. Hal ini terjadi karena pemimpin negara sadar dan paham akan hadis Nabi
saw:
Pemimpin manusia adalah
pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang
diurusnya. (HR Muslim).
Dengan melihat kemampuan
syariah Islam dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia tersebut, tentu naif jika
masih ada keengganan untuk menerapkannya. Uji petik terhadap keberhasilan
syariah Islam membawa umat menuju cita-cita kemerdekaan ini dapat dilihat dalam
sistem Khilafah yang telah memerdekaan manusia selama lebih dari 13 abad.
Gustav E. Von Grunebaum (1962) dalam Medieval Islam (Islam di Abad
Pertengahan) menyatakan:
Islam adalah masyarakat
dengan keyakinan kepada Allah yang hidup dalam kehidupan. Islam adalah pusat
dan tujuan dari praktik spiritualnya. Namun, bukan hanya itu, Islam adalah
pemimpin dunia dengan aturan dan pemerintahannya. Islam adalah alasan bagi
eksistensi negara; dia adalah prinsip dari kesatuan (staatsgedanke), dengan
menjun-jung tinggi keberlanjutan kesejahteraan yang berkeadilan.
Walhasil, syariah
Islamlah jalan tunggal untuk merengkuh cita-cita kemerdekaan Indonesia itu. Wallâh
a'lam bi ash-shawâb.
Daftar
Bacaan
1.
Ahmed, S. dan A. Karim. 1997. The Roots of Nationalism in the
Muslim World (terj.). Penerbit Al Izzah. Bangil.
2.
Al-Maliki, A. 2001. As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla
(terj.). Penerbit Al Izzah. Bangil.
3.
An-Nabhani, T. 2002. Ad-Daulah Al-Islamiyah 6th-edition
(Mu'tamadah). Penerbit Darul Ummah. Beirut.
Libanon.
4.
An-Nadwi, Abu Hasan Ali. 1987. Islam and The World (terj.).
Penerbit Angkasa. Bandung.
5.
Bamualim, C.S. et al. (ed.). 2003. Islam and the West, Dialogue
of Civilizations in Search of a Peaceful Global Order. Pusat Bahasa dan
Budaya UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
6.
Budiardjo, M. Prof. 1999. Dasar-dasar Ilmu Politik.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
7.
Fredericks, S. 2004. Political
and Cultural Invasion (terj.). Penerbit Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.
8.
Grunebaum, G.E. 1962. Medieval Islam, A Study in Cultural
Orientation. Phoenix
Books. The University
of Chicago Press. Chicago, Illinois,
USA.
9.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani, Menyingkap
Kejahatan Industri Pangan. Penerbit Resist Book. Yogyakarta.
10.
Kurzman, C. (ed.). 2001. Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam
Kontemporer tentang Isu-isu Global. Penerbit Paramadina. Jakarta.
11.
Perkins, J. 2004. Confessions of an Economic Hit Man. Plume. USA.
telah dibaca 150
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as