Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    ideologi islam

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    ideologi islam Empty ideologi islam

    Post by ratri Wed May 26, 2010 3:56 pm

    What is islam


    Islam adalah agama yang bersumber dari
    Tuhan dan berorientasi kemanusiaan. Karenanya Islam harus menjadi solusi bagi
    problem kemanusiaan.
    Dr. Muhammad ‘Imarah


    Islam is a humanistic religion. Man is the
    centre of the Universe. Islam is a religion already modernized from
    theocentrism to anthropocentrism, from inauthentic to the authentic. The whole
    world is created for man.
    Dr. Hasan Hanafi


    Dalam sejarah, memahami Islam adalah upaya penafsiran
    dan penalaran yang tidak pernah terhenti. Pencarian makna Islam terus mengalir
    seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang begitu cepat. Belum lagi,
    keragaman cara pandang umat Islam setidaknya telah menjadikan Islam sebagai
    ajaran yang terbuka terhadap munculnya pelbagai penafsiran. Islam mempunyai
    banyak dimensi penafsiran (al-islam hammalat awjuh) .



    Hemat saya, salah satu keistimewaan Islam adalah
    tatkala Islam menjadi agama yang memungkinkan munculnya aneka ragam pemahaman.
    Islam adalah agama yang tidak membatasi ijtihad dan penafsiran. Sebaliknya,
    Islam adalah agama yang terbuka dan memberikan penghargaan yang
    setinggi-tingginya terhadap kebebasan berpikir. Bahkan Rasulullah saw dalam
    sebuah hadisnya telah menjamin dua pahala bagi seseorang yang ijtihadnya benar,
    dan satu pahala bagi seseorang yang ijtihadnya salah. Sikap Rasulullah yang
    seperti itu sebenarnya tidak menyoal: apakah ijtihad seseorang benar atau
    salah, atau apakah seseorang telah memenuhi syarat ijtihad, melainkan
    menunjukkan betapa agungnya ijtihad dalam Islam. Benar dan salah dalam ijtihad
    masing-masing mendapatkan pahala yang setimpal dengan jerih-payahnya. Bahkan
    Ibnu Hazm dalam mognum opus-nya, al-Muhalla menulis, “seorang
    yang mujtahid yang hasil ijtihadnya keliru lebih baik dari pada seorang peniru
    walaupun hasil tiruannya itu benar” (al-mujtahid al-mukhthi’ khayrun min
    al-muqallid al-mushib)
    . Ibnu Hazm memberikan penegasan dengan pandangan
    sebagai berikut:



    Landasan di atas sebenarnya bersandar pada hadis
    Rasulullah Saw, “Bila seseorang ahli hukum berijtihad, lalu salah, maka ia
    mendapatkan satu pahala”. Tuhan telah mengecam taklid secara mutlak. Seorang
    yang bertaklid, ia disebut bermaksiat, sedangkan yang berijtihad mendapatkan
    pahala.. 1)



    Pandangan Ibnu Hazm sebenarnya ingin menjelaskan
    pentingnya ijtihad sebagai sebuah ajaran yang inheren dalam Islam. Tanpa
    ijtihad sepertinya Islam tidak akan mengalami pertumbuhan seperti saat ini. Di
    sini sesungguhnya sikap membendung atau menyumbat sumbu ijtihad sama halnya
    dengan menyumbat kesempurnaan Islam itu sendiri. Karena kesempurnaan Islam
    tidak hanya terletak pada keistimewaan dan kelengkapan ajarannya, melainkan
    juga terletak sejauhmana Islam mampu mempunyai relevansi dengan kemodernan dan
    konteks yang plural. Di sini, ijtihad dapat menjadi jembatan antara konteks
    Islam di masa lalu dengan konteks Islam di masa kini. Ijtihad akan menjadikan
    Islam bukan sebagai “korpus tertutup”, akan tetapi sebagai “korpus terbuka”.
    Karena itu, ijtihad dalam Islam diharapkan dapat memasuki jantung ajaran Islam
    yang paling otentik dan substansif. Ijtihad sejatinya tidak hanya dilakukan
    pada masalah-masalah yang bersifat partikular, tetapi juga diharapkan menyentuh
    wilayah prinsip dan dasar penalaran Islam.



    Atas dasar itu, perlu penalaran baru dalam memahami
    Islam, sehingga dapat membuka ruang bagi hadirnya makna Islam sebagai paradigma
    kemanusiaan. Artinya, ijtihad keagamaan harus mampu menghadirkan dimensi
    kemanusiaan yang belum diangkat ke permukaan secara mendasar. Sebagaimana
    dimensi ketuhanan dijelaskan secara jelas dalam Al-Quran, sebenarnya Tuhan juga
    menyoroti dimensi kemanusiaan secara panjang lebar. Ini tak lain, karena Islam
    hakikatnya adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan. Dalam Al-Quran,
    Tuhan berfirman: Kamu adalah umat yang terbaik diutus untuk manusia,
    menyerukan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah Sw
    t.
    (QS. Ali ‘Imran [3]:110)



    Menurut Al-Imam Muhammad al-Razi dalam Tafsir
    al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb
    , ayat tersebut setidaknya menjelaskan dua hal.
    Pertama, umat Islam telah tercatat di Singgasana Tuhan (lauh al-mahfudz) sebagai
    umat terbaik. Artinya, secara normatif, Tuhan telah memberikan rambu-rambu
    kepada setiap umat Islam agar melaksanakan perintah-Nya sebaik dan separipurna
    mungkin. Dan semestinya mereka tidak mengabaikan keistimewaan yang telah
    digariskan Tuhan tersebut.



    Kedua, umat Islam diharapkan dapat membumikan ajaran
    keislaman dalam konteks kemanusiaan. Islam bukanlah ajaran yang keistimewaannya
    karena berasal dari Singgasana Tuhan, melaikan karena Islam adalah ajaran yang
    mampu berinteraksi dengan konteks kemanusiaan (ukhrijat li al-nass) .2)
    Intinya, bahwa umat Islam dituntut agar mampu memahami ajaran keislaman sebaik
    mungkin untuk konteks kesejahteraan dan keadilan sosial.



    Di sini, sebenarnya Islam sudah berbicara untuk konteks
    kemanusiaan. Untuk tujuan kemanusiaan tersebut, ayat di atas lalu menguraikan
    secara eksplisit bahwa peran yang mesti dimainkan oleh seorang muslim adalah
    menebarkan kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) , mencegah kejahatan
    (al-nahy ‘an al-munkar)
    serta beriman kepada Tuhan (al-iman bi Allah) .



    Konsep umat terbaik, bila dipahami dari ayat tersebut,
    menurut saya sesungguhnya mempunyai arti yang sangat mendalam bagi konsep
    keberagamaan, yaitu beragama dari konteks dan realitas kemanusiaan. Beragama
    dimulai dari nilai-nilai kemanusiaan sebelum menuju keberimanan. Sedangkan iman
    sebagai pesan utama dalam agama justeru menjadi terminal terakhir. Untuk menuju
    iman diperlukan sebuah proses yang menjamin tersebarnya kebaikan, keadilan dan
    kesejahteraan sosial. Sebaliknya, kemungkaran, terutama kejahatan yang berasal
    dari ketidakadilan harus bisa diantisipasi dan dicegah sedini mungkin. Di sini
    sebenarnya tersimpan prioritas keberagamaan untuk tujuan kemanusiaan. Apabila
    hal tersebut sudah bisa dilakukan dengan sebaik mungkin, maka iman akan dengan
    mudah tertancap dalam diri setiap umat beragama.



    Konsep umat terbaik (khair ummah) , sebagaimana
    dijelaskan ayat tersebut sesungguhnya ingin menegaskan hakikat Islam sebagai
    agama yang memelihara keseimbangan antara kemanusiaan dan ketuhanan. Islam
    adalah agama sejak awal diturunkan untuk membawa misi perubahan bagi manusia.



    Hanya saja yang menjadi soal adalah tatkala konsep
    “umat terbaik” tersebut dijadikan klaim kebenaran yang mewujud dalam pandangan
    eksklusif. Artinya, muncul kesadaran bahwa “saya adalah umat terbaik”,
    sedangkan umat lain “bukan umat terbaik”. Pandangan seperti ini seringkali
    dijadikan “teologi klaim kebenaran” yang merenggagkan persaudaraan dengan umat
    lain. Di sini arti penting pemahaman yang bersifat progresif, bahwa konsep
    “umat terbaik” tersebut mesti diletakkan dalam konteks kemanusiaan, yaitu
    menebarkan kebaikan, keadilan, dan kedamaian; mencegah kejahatan dan konflik
    serta beriman kepada Tuhan, sehingga doktrin keagamaan dapat berfungsi sebagai
    doktrin pengukuhan atas keberislaman, tetapi juga mempunyai semangat pembebasan
    dan perubahan pada tataran empirik.



    Karena itu, dalam nalar keagamaan yang lebih luas,
    sejatinya perlu pemahaman dan penghayatan yang lebih mendalam dan mendasar
    terhadap Islam. Salah satu ayat seringkali dijadikan rujukan untuk memahami
    Islam adalah: Sesunnguhnya agama di sisi Tuhan adalah islam (QS Ali
    ‘Imran [3]:19).



    Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud islam dalam ayat
    tersebut? Apakah islam sebagai agama atau islam sebagai ajaran-ajaran
    universal yang bernuansa kemanusiaan?



    Al-Imam al-Qurthuby dalam al-Jami’ li Ahkam Al-Quran
    mengutarakan, bahwa yang dimaksud dengan islam adalah keimanan dan
    ketaatan, sebagaimana dikatakan oleh Abu al-‘Aliyah dan sebagian besar ulama
    kalam. Namun sebagian ulama ada yang membedakan antara islam dan iman
    merujuk kepada Hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dalam hadis
    tersebut dijelaskan: iman adalah percaya kepada Tuhan, Malaikat, para Nabi,
    hari akhir, para Utusan Tuhan. Sedangkan islam adalah menyembah Tuhan,
    tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan
    Ramadhan dan menunaikan haji.



    Kendatipun demikian, para ulama berpandangan bahwa
    antara islam dan iman saling menyempurnakan (al-tadakhul) , karena makna
    iman adalah penghayatan di hati, pengungkapan di lisan dan pelaksanaan dalam
    tindakan. Iman adalah totalitas dalam keberagamaan, sedangkan islam adalah
    bagian terpenting dalam keberimanan tersebut. Di sinilah sebenarnya letak
    pertautan antara islam dan iman. Imam Muhammad al-Razi juga
    memaknai islam sebagai iman. 3)



    Al-Imam al-Thabary dalam Jami’ al-Bayan pun
    menjelaskan hal yang serupa, bahwa islam adalah pembuktian bahwa tiada
    Tuhan selain Allah dan mengimani bahwa seluruh ajaran Rasulullah Saw. bersumber
    dari Allah. Islam adalah keikhlasan kepada Tuhan dan peribadatan yang tidak
    menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan seluruh kewajiban
    lainnya.



    Menurut saya, tafsir al-Imam al-Qurthuby dan al-Imam
    al-Thabary terhadap islam adalah Islam sebagai agama yang memuat
    ritualitas yang khusus untuk umat Islam. Artinya, Islam sebagai agama mempunyai
    ketentuan dan batasan tertentu yang berbeda dengan agama-agama lain. Dan setiap
    agama mesti menghargai perbedaan tersebut sebagai ekspresi dari kebebasan beragama.



    Tapi menurut saya, dalam pengertian islam
    sebagai iman terdapat sebuah makna yang sangat berharga bagi keberagamaan yang
    pluralis. Salah satu poin yang sangat progresif dalam konsep iman adalah
    percaya kepada para utusan Tuhan (al-iman bi al-rasul) dan kitab-kitab
    suci (al-iman bi al-kutub al-muqaddasah) . Pandangan ini mengandaikan
    sebuah pandangan dan sikap keberagamaan yang terbuka terhadap agama-agama dan
    para nabi-nya.



    Penggunaan kata “kutub” yang berarti kitab-kitab suci
    dan “rusul” yang berarti para utusan Tuhan menjelaskan bahwa hakikatnya
    Tuhan menurunkan sejumlah kitab dan sejumlah utusan untuk membawa misi
    kebenaran, kemanusiaan, keadilan dan kedamaian. Jadi, salah satu indikator
    keimanan adalah meyakini keberadaan kitab suci agama lain dan para nabi-nya.
    Dan sekali lagi, konsep iman sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis
    Nabi menunjukkan keterbukaan Islam terhadap agama-agama lain dengan pengakuan
    terhadap kitab-kitab suci dan para Nabinya. Dan ini juga menjelaskan, bahwa pandangan
    Islam sebagai agama yang diterima di sisi Tuhan, bukan berarti menutup diri
    terhadap keberadaan kitab suci agama lain, melainkan justru menebarkan sikap
    toleran dan inklusif sebagai ekspresi ketauhidan.



    Selain tafsir atas Islam sebagai agama, terdapat
    pandangan lain, yaitu islam sebagai ajaran yang bersifat universal. Imam
    al-Zamakhsyari memahami islam dalam ayat di atas sebagai keadilan dan
    ketauhidan. Tafsir islam sebagai keadilan merujuk pada ayat sebelumnya, qaiman
    bi al-qisthi
    yang berarti menegakkan keadilan. Menurut Ahmad Bahgat, bahwa
    makna keadilan adalah keadilan dalam ekonomi, keadilan dalam hukum. Keadilan
    juga bermakna keadilan di antara keragaman agama-agama, keadilan di antara
    individu dan sosial, keadilan antara langit dan bumi, keadilan antara yang
    miskin dan kaya, bahkan dengan keadilan langit dan bumi tercipta. Tuhan sendiri
    dalam asma’ al-husna menyebut diri-Nya dengan al-‘adl (Maha
    Adil).4)



    Sedangkan ketauhidan adalah inti dari agama di sisi
    Tuhan. Dan agama yang tidak mengajarkan ketauhidan sesungguh-Nya agama yang
    tidak mendapatkan tempat di sisi-Nya. Ini menunjukkan dimensi universalitas
    Islam sebagai ajaran yang berlaku universal bagi seluruh umat manusia di semua
    tempat dan waktu. Siapapun yang menegakkan ketauhidan dan keadilan, maka
    sesungguhnya ia disebut sebagai islam.



    Pandangan islam dalam arti ajaran yang bersifat
    universal, biasa dianut oleh mereka yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
    Imam Muhammad al-Razi mendekati islam dengan perspektif kebahasaan.
    Menurut dia, setidaknya terdapat tiga makna tentang islam; Pertama,
    ketundukan dan keterkaitan (al-inqiyad wa al-mutaba’ah) . Kedua,
    kedamain dan keselamatan. Ketiga, totalitas dalam beribadah kepada Tuhan (ikhlash
    al-din wa al-aqidah li Allah).5)



    Pendekatan kebahasaan seperti di atas sebenarnya bisa
    menjadi salah satu cara untuk memahami islam. Dan pendekatan bahasa
    biasanya bisa menunjukkan kelenturan Islam sebagai ajaran yang universal. Islam
    tidak hanya sebatas ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., melainkan juga
    sebagai ajaran yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim, Nabi
    Ya’kub, Nabi Isma’il. Islam dalam arti penyerahan diri dan ketundukan kepada
    Tuhan, sebagaimana dijelaskan secara gamblang dalam Al-Quran sebagai berikut: Tatkala
    Tuhannya berkata berfirman kepadanya (Nabi Ibrahim as.), “berserah diri dan
    tunduklah!” (aslim). Ia menjawab, “saya telah berserah diri (aslamtu) kepada
    Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim a.s telah berwasiat kepada keturunan dan
    Ya’qub, “wahai anakku, sesungguhnya Allah telah memilih sebuah agama bagi
    kalian, kamu hendaklah kalian meninggal dunia dalam keadaan tunduk dan berserah
    diri kepada-Nya (muslimun). Atau kalian telah menjadi saksi tatkala Ya’qub akan
    meninggal dunia, beliau berkata kepada anak-anaknya, “apa yang kalian sembah
    setelah kematianku?” Lalu mereka menjawab, “kami akan menyembah Tuhan-mu dan
    Tuhan nenek moyangmu: Tuhannya Nabi Ibrahim, Nabi Isma’il dan Nabi Ishaq, yaitu
    Tuhan Yang Esa, dan kami telah berserah diri (muslimun) kepada-Nya.
    (QS
    al-Baqarah [2]:131-133). Barangsiapa yang berserah diri kepada Allah, maka
    sesungguhnya ia tidak akan takut dan sedih
    (QS Al-Baqarah [2]:112).



    Dengan demikian pendekatan kebahasaan dalam memahami islam
    sesungguhnya dapat mengantarkan pada makna kehanifan ajarannya yang diantara
    karakteristiknya yaitu dimensi kontinyuitas antara ajaran para nabi terdahulu
    dengan ajaran Nabi Muhammad saw. Pendekatan kebahasaan akan mampu menemukan
    makna yang beragam yang memungkinkan adanya dialog esoteris di antara
    agama-agama. Ajaran tentang keadilan, kemanusiaan, kedamaian dan kesetaraan
    adalah ajaran primordial Tuhan sejak awal penciptaan manusia di muka bumi, yang
    kemudian disempurnakan oleh Tuhan melalui para nabi dan utusan-Nya. Karena itu,
    memahami Islam sebagai paradigma kemanusiaan merupakan sebuah keniscayaan untuk
    menemukan makna yang lebih mencerminkan keragaman dan kelenturannya terhadap
    kemodernan.



    Melihat Islam sebagai paradigma kemanusiaan membutuhkan
    sebuah pendekatan yang bersifat distingtif. Artinya, bila selama ini Islam
    lebih sering dilihat dengan kacamata dogmatik dan doktrinal, maka sebaiknya
    Islam dilihat dengan kacamata kesejarahan. Pergulatan doktrin dengan sejarah
    menjadi titik tolak untuk menyingkap dimensi humanitas dalam Islam. Di sini,
    sebenarnya akan terkuak sebuah problem yang amat mendasar dalam studi Islam
    sedari dulu hingga sekarang, bahwa dalam masa yang cukup lama studi keislaman
    mengasumsikan kebenaran sebagai produk pemahaman terhadap teks. Seolah-olah
    disimpulkan: tidak ada kebenaran di luar teks. Teks menjadi embarkasi pemahaman
    keagamaan sekaligus terminal akhir sebuah kebenaran. Klaim kesempurnaan dan
    keparipurnaan Islam selalu merujuk kepada kesempurnaan tekstual.



    Pada aras ini, tentu saja penalaran tekstual menjadi
    “tekstualisme” dan “sikap tekstualis”. Di sini, kita harus mengambil langkah
    yang adil dan bijaksana, bahwa sebagai sebuah pendekatan, pemahaman tekstual
    harus mendapatkan porsi yang semestinya, tidak lebih dan tidak pula kurang.
    Pemahaman tekstual hanya bisa menjelaskan “ruang teks”. Artinya, setiap teks
    mempunyai makna literal yang perlu diungkap untuk menyingkap makna awal yang
    mewujud di dalamnya. Sebagai sebuah makna, tentu saja harus diapresiasi.



    Namun hal lain yang lebih penting dan mesti disadari
    juga, bahwa makna tidak hanya merujuk kepada teks, tetapi juga merujuk kepada
    konteks. Tatkala Al-Quran sebagai teks, maka mau tidak mau, Al-Quran menjadi
    sebuah ujaran yang terikat dengan konteks tertentu. Ayat-ayat yang mengisahkan
    tentang Abu Lahab, menstruasi, haji, perbudakan, hubungan antar agama dan
    lain-lain, merupakan sebuah bukti yang nyata bahwa Al-Quran telah menjadi “teks
    yang menyejarah”. Secara eksplisit, Al-Quran telah menjadi “teks langit”
    sekaligus “teks bumi”. Di sinilah pendekatan kesejarahan menjadi penting untuk
    menghadirkan makna baru di dalam Al-Quran. Jikalau Al-Quran berbicara untuk
    konteks kesejarahan pada zamannya, maka sudah semestinya bila Al-Quran juga
    berbicara untuk konteks kesejarahan pada zaman ini.



    Dalam kaitan, Al-Quran sebagai teks yang berakulturasi dengan
    sejarah dan konteks zamanya, sebenarnya dijelaskan secara detail oleh konsep asbab
    al-nuzul
    , yaitu sebab-sebab turunnya ayat. Al-Quran diturunkan secara
    berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, yang memungkinkan adanya
    dialektika dan dialog antara teks dengan konteks. Para ulama terdahulu pun
    menyerukan pentingnya pemaknaan terhadap teks melalui penelusuran terhadap
    sebab-sebab turunnya ayat, sehingga semangat kesejarahan tidak hilang dalam
    teks.



    Pentingya melihat sebab-sebab turunnya Al-Quran,
    sesungguhnya hendak meneguhkan karakter humanitas teks, bahwa Al-Quran pada
    dasarnya merupakan hasil pergulatan antara sakralitas dengan historisitas.
    Artinya, klaim sakralitas terhadap teks tidak serta merta menutupi dimensi
    historisitas yang tersimpan dalam teks. Benar, Al-Quran bersumber dari Tuhan,
    tetapi orientasi kemanusiaan yang mewujud dalam teks Al-Quran juga tidak bisa
    dikesampingkan begitu saja. Intinya, menerima sakralitas teks berarti menerima
    historisitas teks. Karena sakralitas teks tidak hanya terletak pada teks itu
    sendiri melainkan juga terletak pada dialektika historis yang terdapat dalam
    teks. Adanya konsep asbab al-nuzul dalam ilmu-ilmu Al-Quran membuktikan,
    bahwa Al-Quran adalah teks yang secara intens terkait dan terikat dengan ruang
    dan waktu.



    Karena itu, pemahaman yang tidak menggunakan
    ukuran-ukuran kesejarahan amat memungkinkan pemahaman yang ekstrem, komunal dan
    eksklusif. Alih-alih Al-Quran sebagai petunjuk (hudan) , pembeda (furqan)
    dan penjelas (tibyan) , justru sebaliknya Al-Quran menjadi pesan
    keagamaan yang berwatak provokatif dan menciptakan ketegangan yang bersifat
    permanen. Misalnya, dalam hal hubungan antar agama, seringkali muncul sikap
    anti-toleran dan konfrontatif dengan agama non-Islam karena didasari sebuah
    ayat: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela membiarkanmu, sehingga
    kamu mengikuti ajaran mereka
    (QS Al-Baqarah [2]:120)



    Bagi mereka yang berpandangan tekstual akan memahami
    ayat di atas sesuai dengan bunyi teksnya, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selamanya
    akan memusuhi orang-orang muslim
    . Perbedaan agama menjadi salah satu sumber
    adanya ketegangan yang bersifat laten dan manifes antara muslim dan non-muslim.
    Ayat tersebut seringkali digunakan sebagai ideologi dan teologi bagi hubungan
    yang bersifat konfrontatif dengan agama lain.



    Tentu saja, pemahaman tekstual di atas menyimpan
    problematika serius, karena akan menuai dampak yang amat buruk bagi masa depan
    kemanusiaan, terutama dalam kaitannya dengan hubungan antar agama. Keragaman
    agama yang merupakan sebuah keniscayaan dan bahkan sunnatullah harus
    berada dalam bayang-bayang konflik yang tidak berkesudahan.



    Karena itu, dalam rangka menyingkap makna yang lebih
    kontekstual dan mampu menyelami substansi yang menjadi intensitas teks,
    diperlukan pembacaan yang serius terhadap sabab al-nuzul. Abu al-Hasan ‘Ali Ibn
    Ahmad al-Wahidy al-Naysabury dalam Asbab al-Nuzul menyebutkan dua sebab yang
    melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Pertama, tentang genjatan senjata (al-hudnah)
    . Kedua, Ibnu ‘Abbas menyebut perbedaan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha di
    Jerussalem ke Masjid al-Haram di Mekkah. Umat Yahudi di Madinah dan Nasrani
    Bani Najran berharap kepada Rasulullah Saw untuk berkiblat ke arah kiblat
    mereka. Setelah turunnya perintah perbindahan arah kiblat tersebut, Rasulullah
    amat sulit memenuhi permintaan mereka.6)



    Di sinilah sebenarnya lokus perbedaan yang ingin
    dijelaskan oleh ayat tersebut. Jadi, pertama-tama memang mesti diakui bahwa
    terdapat perbedaan beberapa hal yang mungkin bersifat abadi, yaitu mengenai
    arah kiblat dan situasi tertentu seperti peperangan, tetapi tidak menutup
    kemungkinan mencapai kerja sama dan persamaan dalam beberapa hal yang berkaitan
    dengan isu-isu kemanusiaan, seperti membela kelompok-kelompok tertindas. Dalam
    memberantas korupsi, misalnya, setiap agama harus menyatukan langkah guna
    membendung penyakit sosial dan penyakit politik yang sudah lama menjangkiti
    bangsa ini. Setiap agama dituntut untuk membangun konsep keadilan sosial yang
    merujuk kepada etika yang tersedia dalam kitab suci masing-masing.



    Dalam kaitannya dengan arah kiblat, sebenarnya Al-Quran
    telah memberikan pandangan yang cukup mendasar untuk keluar dari perbedaan arah
    kiblat, sebagaimana disampaikan dalam ayat yang berbunyi: Dan kekuasaan
    Tuhan terbentang di barat dan timur. Dimanapun Anda menghadap (berkiblat),
    makan kekuasaan Tuhan akan terlihat
    (QS Al-Baqarah [2]:115)



    Ayat ini sebenarnya bisa disebut “ayat netralisir” dari
    ayat sebelumnya. Artinya, ketidakrelaan yang bersifat abadi bagi penganut agama
    Yahudi dan Nasrani dalam hal arah kiblat, sesungguhnya telah dinetralisasi oleh
    ayat ini, sehingga dengan demikian segala bentuk ketidakharmonisan antara
    agama-agama samawi bisa merujuk kepada ayat yang mendamaikan antara barat dan
    timur, serta ayat yang menghargai keragaman agama dan kesalehan setiap
    penganutnya.



    Di sinilah letak perlunya membaca teks suci dengan
    menggunakan pendekatan aksiomatik, yaitu menyelami sebab-sebab yang
    melatarbelakangi turunnya teks tersebut, yang dikenal dalam ilmu al-Quran
    dengan asbab al-nuzul atausabab al-tanzil.



    Hanya saja, yang menjadi persoalan bahwa tidak semua
    ayat di dalam al-Quran mempunyai sabab al-nuzul, sehingga tidak
    memungkinkan semua ayat dipahami dengan menggunakan sabab al-nuzul. Di
    pihak lain, problem kemanusiaan semakin pesat bersamaan dengan perkembangan
    zaman yang semakin dahsyat. Lalu, pertanyannya bagaimana metodologi pemahaman
    keagamaan dapat menjembantani kerumitan dalam menangkap makna yang tersimpat
    dalam teks suci? Apa saja parameter keabsahan dalam membaca teks agar mempunyai
    relevansi dengan konteks, sehingga melahirkan pemahaman keagamaan yang moderat?



    Dalam hal ini, kita perlu mempunyai kesadaran baru,
    bahwa konsep sabab al-nuzul bukanlah konsep yang statis. Artinya, upaya
    merujuk terhadap sebab-sebab turunnya teks tidak hanya bersandar pada sabab
    al-nuzul
    yang sudah dikodifikasi ulama terdahulu, melainkan mendasari pada
    realitas kekinian, sehingga dengan demikian terjadi rekontekstualisasi. Ketika
    al-Quran diturunkan, al-Quran berhadapan dengan kondisi sosio-historis
    tertentu, maka tak terelakkan saat ini Al-Quran pun berhadapan dengan problem
    kemanusiaan yang jauh lebih rumit. Karena itu, pembacaan terhadap sabab
    al-nuzul
    tidak hanya berdasarkan konsep lama yang telah tersedia, melainkan
    bisa membaca problem kekinian secara saksama, sehingga mampu menguraikan makna
    yang tersedia dalam teks secara jelas. Pada dasarnya, teks itu diam, otonom dan
    tidak berbunyi, akan tetapi yang membuat teks tersebut berbunyi adalah manusia
    sebagai penafsir terhadap teks. Di sinilah arti penting subyektivitas penafsir
    dalam mencari makna yang tersimpan dalam teks.



    Hemat saya, problem kemanusian, seperti ketidakadilan,
    kekerasan, kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan bisa menjadi sabab
    al-nuzul
    yang live di tengah-tengah masyarakat. Apabila Islam
    dipahami sebagai agama keadilan, kedamaian, kemajuan dan kebebasan berpikir,
    maka seluruh pemahaman terhadap doktrin keislaman sejatinya dapat membongkar
    mitos-mitos pemahaman yang selama ini menghambat bagi lahirnya nuansa kemanusiaan
    dalam Islam.



    Salah satu hambatan yang muncul dalam pemahaman
    keagamaan adalah unggulnya “nalar lafadz”. Artinya, bahwa yang dimaksud
    kebenaran dalam teks adalah lafadz, bukan dialektika antara lafadz dengan
    konteks. Salah satu kaidah yang digunakan secara fasih, bahwa sebuah hukum
    harus merujuk kepada keumuman lafadz, bukan pada kekhususan sebab-musababnya (al-‘ibrah
    bi ‘umum al-lafdz la bi khushus al-sabab)
    . Lafadz merupakan paramater
    kebenaran, sehingga sebelum melakukan penalaran apapun harus melewati lafadz.
    Lafadz dianggap mempunyai sakralitas tersendiri, bahkan diasumsikan dapat
    menyelesaikan problem kemanusiaan di setiap ruang dan waktu. Dari cara pandang
    inilah, lalu lahir makhluk yang bernama “pemahaman tekstual”.



    Karena itu, pemahaman tekstual adalah produk dari
    penalaran di atas yang berkembang cukup lama dalam tradisi Islam. Biasanya
    pemahaman tekstual dikontradiksikan dengan pemahaman rasional. Salah satu
    ungkapan yang masyhur: barangsiapa memahami al-Quran dengan rasio, maka ia
    akan masuk neraka
    . Artinya, pemahaman yang benar dan bisa direkomendasikan
    ke surga adalah pemahaman tekstual. Pemahaman tekstual mengandaikan bahwa
    kebenaran yang mendapatkan legalitas dari Tuhan adalah kebenaran tekstual yang
    tidak terjamah oleh manusia. Kebenaran tersebut disebut kebenaran absolut.
    Sedangkan kebenaran kontekstual yang merupakan olah pikir, refleksi dan
    teoritisasi dari manusia dianggap sebagai kebenaran yang bersifat nisbi,
    relatif. Pemahaman tekstual dianggap menggunakan penalaran Tuhan, sedangkan
    pemahaman kontekstual dianggap menggunakan penalaran manusia. Atas dasar itu,
    dipahami secara turun-temurun, bahwa yang nisbi harus mengikuti yang absolut.
    Manusia harus mengikuti Tuhan.



    Pemahaman yang didasari pada sabab al-nuzul
    mempunyai kebuntuan dan tidak diapresiasi secara saksama. Di sisi lain, yang
    dipahami dengan sabab al-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi
    turunnya ayat pada waktu itu, bukan sebab-sebab yang lahir setelah Al-Quran
    dibukukan hingga zaman ini.



    Karena itu, kaidah pemahaman di atas semestinya harus
    dikembangkan menjadi kaidah yang lebih memberikan perhatian yang lebih besar
    terhadap konteks atau sebab-sebab yang bersifat sosial dan manusiawi. Kaidah
    alternatif yang diharapkan dapat menjembatani ketegangan antara teks dan
    konteks adalah sebuah hukum didasari pada sebab-sebab yang bersifat khusus,
    bukan didasari oleh lafadz yang bersifat umum (al-‘ibrah bi khushus al-sabab
    la bi ‘umum al-lafdz)
    . Artinya, pencarian terhadap kebenaran teks tidak
    hanya menggunakan pembedahan terhadap struktur teks, melainkan juga dapat
    menggunakan pembacaan terhadap konteks sosial.7)



    Penalaran semacam ini sebenarnya bukanlah barang
    langka, bahkan dalam tradisi Islam sendiri. Umar bin Khattab menjadi salah satu
    sahabat yang memberikan keteladanan dalam pemahaman yang lahir dari konteks
    sosial-masyarakat. Misalnya dalam hal hukum tangan bagi pencuri. Al-Quran
    secara eksplisit menjelaskan bahwa seseorang yang mencuri, baik laki-laki
    maupun perempuan harus dipotong tangannya. Akan Umar bin Khattab mempunyai cara
    pandang yang lain dalam memahami ayat tersebut. Tatkala ia menemukan dua orang
    hamba sahaya yang mencuri harta majikannya, ia berijtihad bahwa kedua pencuri
    tersebut tidak dipotong tangannya. Kedua hamba tersebut tidak memenuhi syarat untuk
    mendapatkan hukuman potong tangan, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran,
    karena majikan telah menelantarkan kedua hamba sahaya tersebut dalam kelaparan.
    Bahkan, Umar bin Khattab mengancam, bila kedua hamba tersebut mencuri lagi
    harta majikannya, maka sang majikanlah yang akan dipotong tangannya!Cool



    Pandangan Umar yang amat progresif ini ingin
    menunjukkan sebuah cara pandang baru, bahwa keadilan sosial dan kesejahteraan
    merupakan titik tolak sekaligus maksud utama dari teks suci. Hukuman potong
    tangan yang dijelaskan dalam al-Quran tidak secara serta-merta dan tidak pula
    secara harfiah bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat, tetapi mempunyai
    syarat-syarat tertentu yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan. Dengan
    demikian, kaidah pemahaman yang sebenarnya, “apabila keadilan ditegakkan dan
    kesejahteraan telah merata di tengah-tengah masyarakat, maka hukum Tuhan baru
    bisa ditegakkan. Sebaliknya, bila keadilan sosial dan kesejahteraan belum
    terwujud, maka hukum Tuhan sejatinya harus mendahulukan kemaslahatan umum.”



    Pandangan Umar bin Khattab di atas sebenarnya juga
    ingin menjelaskan bahwa selain ada sabab al-nuzul yang bersifat
    partikular dalam bentuk kasus-kasus dan peristiwa, sebenarnya terdapat sabab
    al-nuzul
    yang bersifat universal, yang dikenal dengan hikmat al-tasyri’
    dan maqashid al-syari’ah. Bahkan di balik firman Tuhan dan sabda Nabi
    terhadap hikmah dan tujuan-tujuan utama yang hampir disepakati oleh akal budi
    dan norma keagamaan sekalipun, yaitu keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan
    kesetaraan. Bila teks suci secara harfiah merupakan sebuah kebenaran, maka
    nilai-nilai tersebut merupakan kebenaran, yang tingkat keabsahannya di atas
    keharfiahan teks suci. Karena hakikatnya, nilai-nilai tersebut merupakan titik
    tolak sekaligus tujuan dari firman Tuhan dan sabda Nabi.



    Karena itu, selain pendekatan—yang selama ini maklum
    dan masyhur di sebagian besar komunitas muslim—yang mengandaikan pemahaman
    bersumber dari dari teks langsung sebagai salah satu alternatif dalam memahami
    Islam, maka sesungguhnya terdapat pendekatan mengandaikan perlunya melihat
    Islam sebagai sumber etik, sekaligus sebagai alternatif baru. Di balik teks
    terdapat moralitas dan etika sosial yang mendasari kelahiran teks, bahkan
    moralitas dan etika sosial tersebut berlaku dalam semua agama samawi.



    Dalam khazanah Islam, pandangan tersebut sebenarnya
    sudah dijelaskan oleh oleh kosenp al-kulliyat al-khamsah, atau lima
    prinsip yang mendasari keseluruhan hukum dan ketentuan-ketentuan dalam Islam.
    Imam al-Syathiby menyebut sebagai al-dharuriyyat yaitu sejumlah nilai
    yang menjadi sebuah keharusan untuk tegaknya kemaslahatan agama dan dunia. Bila
    nilai-nilai tersebut hilang, maka dunia akan rapuh pula, sehingga mengakibatkan
    kerugian yang besar bagi manusia.9) Karenanya, nilai-nilai tersebut disebut
    sebagai nilai-nilai yang menjadi keharusan (al-dharuriyyat) , bahkan
    untuk semua agama dan aliran kepercayaan.10)



    Tapi konsep tersebut seringkali digunakan untuk
    masalah-masalah ritual-peribadatan. Karenanya, perlu menghadirkan makna baru
    terhadap konsep al-kulliyat al-khamsah. Ibarat air yang berada di dalam
    gelas, konsep al-kulliyat al-khomsah adalah gelasnya, sedangkan fikih
    adalah air yang berada di dalam gelas tersebut. Maka sebaiknya dilakukan
    pembaruan terhadap isi yang berada di dalam gelas tersebut. Pemaknaan terhadap
    konsep al-kulliyat al-khamsah menjadi penting untuk menghadirkan
    makna-makna baru dalam agama. Muhammad al-Jabiry menjadi salah seorang pemikir
    muslim yang berada di barisan ini yang mengandaikan perlunya pengayaan makna
    terhadap al-kulliyat al-khamsah untuk mendorong lahirnya karakter progresif
    Islam sebagai pembawa panji kemaslahatan. Dengan demikian, konsep al-kulliyat
    al-khamsah
    bisa dijelaskan dengan pandangan berikut:

      Waktu sekarang Thu Nov 21, 2024 10:10 pm