What is islam
Islam adalah agama yang bersumber dari
Tuhan dan berorientasi kemanusiaan. Karenanya Islam harus menjadi solusi bagi
problem kemanusiaan. Dr. Muhammad ‘Imarah
Islam is a humanistic religion. Man is the
centre of the Universe. Islam is a religion already modernized from
theocentrism to anthropocentrism, from inauthentic to the authentic. The whole
world is created for man. Dr. Hasan Hanafi
Dalam sejarah, memahami Islam adalah upaya penafsiran
dan penalaran yang tidak pernah terhenti. Pencarian makna Islam terus mengalir
seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang begitu cepat. Belum lagi,
keragaman cara pandang umat Islam setidaknya telah menjadikan Islam sebagai
ajaran yang terbuka terhadap munculnya pelbagai penafsiran. Islam mempunyai
banyak dimensi penafsiran (al-islam hammalat awjuh) .
Hemat saya, salah satu keistimewaan Islam adalah
tatkala Islam menjadi agama yang memungkinkan munculnya aneka ragam pemahaman.
Islam adalah agama yang tidak membatasi ijtihad dan penafsiran. Sebaliknya,
Islam adalah agama yang terbuka dan memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya terhadap kebebasan berpikir. Bahkan Rasulullah saw dalam
sebuah hadisnya telah menjamin dua pahala bagi seseorang yang ijtihadnya benar,
dan satu pahala bagi seseorang yang ijtihadnya salah. Sikap Rasulullah yang
seperti itu sebenarnya tidak menyoal: apakah ijtihad seseorang benar atau
salah, atau apakah seseorang telah memenuhi syarat ijtihad, melainkan
menunjukkan betapa agungnya ijtihad dalam Islam. Benar dan salah dalam ijtihad
masing-masing mendapatkan pahala yang setimpal dengan jerih-payahnya. Bahkan
Ibnu Hazm dalam mognum opus-nya, al-Muhalla menulis, “seorang
yang mujtahid yang hasil ijtihadnya keliru lebih baik dari pada seorang peniru
walaupun hasil tiruannya itu benar” (al-mujtahid al-mukhthi’ khayrun min
al-muqallid al-mushib) . Ibnu Hazm memberikan penegasan dengan pandangan
sebagai berikut:
Landasan di atas sebenarnya bersandar pada hadis
Rasulullah Saw, “Bila seseorang ahli hukum berijtihad, lalu salah, maka ia
mendapatkan satu pahala”. Tuhan telah mengecam taklid secara mutlak. Seorang
yang bertaklid, ia disebut bermaksiat, sedangkan yang berijtihad mendapatkan
pahala.. 1)
Pandangan Ibnu Hazm sebenarnya ingin menjelaskan
pentingnya ijtihad sebagai sebuah ajaran yang inheren dalam Islam. Tanpa
ijtihad sepertinya Islam tidak akan mengalami pertumbuhan seperti saat ini. Di
sini sesungguhnya sikap membendung atau menyumbat sumbu ijtihad sama halnya
dengan menyumbat kesempurnaan Islam itu sendiri. Karena kesempurnaan Islam
tidak hanya terletak pada keistimewaan dan kelengkapan ajarannya, melainkan
juga terletak sejauhmana Islam mampu mempunyai relevansi dengan kemodernan dan
konteks yang plural. Di sini, ijtihad dapat menjadi jembatan antara konteks
Islam di masa lalu dengan konteks Islam di masa kini. Ijtihad akan menjadikan
Islam bukan sebagai “korpus tertutup”, akan tetapi sebagai “korpus terbuka”.
Karena itu, ijtihad dalam Islam diharapkan dapat memasuki jantung ajaran Islam
yang paling otentik dan substansif. Ijtihad sejatinya tidak hanya dilakukan
pada masalah-masalah yang bersifat partikular, tetapi juga diharapkan menyentuh
wilayah prinsip dan dasar penalaran Islam.
Atas dasar itu, perlu penalaran baru dalam memahami
Islam, sehingga dapat membuka ruang bagi hadirnya makna Islam sebagai paradigma
kemanusiaan. Artinya, ijtihad keagamaan harus mampu menghadirkan dimensi
kemanusiaan yang belum diangkat ke permukaan secara mendasar. Sebagaimana
dimensi ketuhanan dijelaskan secara jelas dalam Al-Quran, sebenarnya Tuhan juga
menyoroti dimensi kemanusiaan secara panjang lebar. Ini tak lain, karena Islam
hakikatnya adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan. Dalam Al-Quran,
Tuhan berfirman: Kamu adalah umat yang terbaik diutus untuk manusia,
menyerukan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah Swt.
(QS. Ali ‘Imran [3]:110)
Menurut Al-Imam Muhammad al-Razi dalam Tafsir
al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, ayat tersebut setidaknya menjelaskan dua hal.
Pertama, umat Islam telah tercatat di Singgasana Tuhan (lauh al-mahfudz) sebagai
umat terbaik. Artinya, secara normatif, Tuhan telah memberikan rambu-rambu
kepada setiap umat Islam agar melaksanakan perintah-Nya sebaik dan separipurna
mungkin. Dan semestinya mereka tidak mengabaikan keistimewaan yang telah
digariskan Tuhan tersebut.
Kedua, umat Islam diharapkan dapat membumikan ajaran
keislaman dalam konteks kemanusiaan. Islam bukanlah ajaran yang keistimewaannya
karena berasal dari Singgasana Tuhan, melaikan karena Islam adalah ajaran yang
mampu berinteraksi dengan konteks kemanusiaan (ukhrijat li al-nass) .2)
Intinya, bahwa umat Islam dituntut agar mampu memahami ajaran keislaman sebaik
mungkin untuk konteks kesejahteraan dan keadilan sosial.
Di sini, sebenarnya Islam sudah berbicara untuk konteks
kemanusiaan. Untuk tujuan kemanusiaan tersebut, ayat di atas lalu menguraikan
secara eksplisit bahwa peran yang mesti dimainkan oleh seorang muslim adalah
menebarkan kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) , mencegah kejahatan
(al-nahy ‘an al-munkar) serta beriman kepada Tuhan (al-iman bi Allah) .
Konsep umat terbaik, bila dipahami dari ayat tersebut,
menurut saya sesungguhnya mempunyai arti yang sangat mendalam bagi konsep
keberagamaan, yaitu beragama dari konteks dan realitas kemanusiaan. Beragama
dimulai dari nilai-nilai kemanusiaan sebelum menuju keberimanan. Sedangkan iman
sebagai pesan utama dalam agama justeru menjadi terminal terakhir. Untuk menuju
iman diperlukan sebuah proses yang menjamin tersebarnya kebaikan, keadilan dan
kesejahteraan sosial. Sebaliknya, kemungkaran, terutama kejahatan yang berasal
dari ketidakadilan harus bisa diantisipasi dan dicegah sedini mungkin. Di sini
sebenarnya tersimpan prioritas keberagamaan untuk tujuan kemanusiaan. Apabila
hal tersebut sudah bisa dilakukan dengan sebaik mungkin, maka iman akan dengan
mudah tertancap dalam diri setiap umat beragama.
Konsep umat terbaik (khair ummah) , sebagaimana
dijelaskan ayat tersebut sesungguhnya ingin menegaskan hakikat Islam sebagai
agama yang memelihara keseimbangan antara kemanusiaan dan ketuhanan. Islam
adalah agama sejak awal diturunkan untuk membawa misi perubahan bagi manusia.
Hanya saja yang menjadi soal adalah tatkala konsep
“umat terbaik” tersebut dijadikan klaim kebenaran yang mewujud dalam pandangan
eksklusif. Artinya, muncul kesadaran bahwa “saya adalah umat terbaik”,
sedangkan umat lain “bukan umat terbaik”. Pandangan seperti ini seringkali
dijadikan “teologi klaim kebenaran” yang merenggagkan persaudaraan dengan umat
lain. Di sini arti penting pemahaman yang bersifat progresif, bahwa konsep
“umat terbaik” tersebut mesti diletakkan dalam konteks kemanusiaan, yaitu
menebarkan kebaikan, keadilan, dan kedamaian; mencegah kejahatan dan konflik
serta beriman kepada Tuhan, sehingga doktrin keagamaan dapat berfungsi sebagai
doktrin pengukuhan atas keberislaman, tetapi juga mempunyai semangat pembebasan
dan perubahan pada tataran empirik.
Karena itu, dalam nalar keagamaan yang lebih luas,
sejatinya perlu pemahaman dan penghayatan yang lebih mendalam dan mendasar
terhadap Islam. Salah satu ayat seringkali dijadikan rujukan untuk memahami
Islam adalah: Sesunnguhnya agama di sisi Tuhan adalah islam (QS Ali
‘Imran [3]:19).
Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud islam dalam ayat
tersebut? Apakah islam sebagai agama atau islam sebagai ajaran-ajaran
universal yang bernuansa kemanusiaan?
Al-Imam al-Qurthuby dalam al-Jami’ li Ahkam Al-Quran
mengutarakan, bahwa yang dimaksud dengan islam adalah keimanan dan
ketaatan, sebagaimana dikatakan oleh Abu al-‘Aliyah dan sebagian besar ulama
kalam. Namun sebagian ulama ada yang membedakan antara islam dan iman
merujuk kepada Hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dalam hadis
tersebut dijelaskan: iman adalah percaya kepada Tuhan, Malaikat, para Nabi,
hari akhir, para Utusan Tuhan. Sedangkan islam adalah menyembah Tuhan,
tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan
Ramadhan dan menunaikan haji.
Kendatipun demikian, para ulama berpandangan bahwa
antara islam dan iman saling menyempurnakan (al-tadakhul) , karena makna
iman adalah penghayatan di hati, pengungkapan di lisan dan pelaksanaan dalam
tindakan. Iman adalah totalitas dalam keberagamaan, sedangkan islam adalah
bagian terpenting dalam keberimanan tersebut. Di sinilah sebenarnya letak
pertautan antara islam dan iman. Imam Muhammad al-Razi juga
memaknai islam sebagai iman. 3)
Al-Imam al-Thabary dalam Jami’ al-Bayan pun
menjelaskan hal yang serupa, bahwa islam adalah pembuktian bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan mengimani bahwa seluruh ajaran Rasulullah Saw. bersumber
dari Allah. Islam adalah keikhlasan kepada Tuhan dan peribadatan yang tidak
menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan seluruh kewajiban
lainnya.
Menurut saya, tafsir al-Imam al-Qurthuby dan al-Imam
al-Thabary terhadap islam adalah Islam sebagai agama yang memuat
ritualitas yang khusus untuk umat Islam. Artinya, Islam sebagai agama mempunyai
ketentuan dan batasan tertentu yang berbeda dengan agama-agama lain. Dan setiap
agama mesti menghargai perbedaan tersebut sebagai ekspresi dari kebebasan beragama.
Tapi menurut saya, dalam pengertian islam
sebagai iman terdapat sebuah makna yang sangat berharga bagi keberagamaan yang
pluralis. Salah satu poin yang sangat progresif dalam konsep iman adalah
percaya kepada para utusan Tuhan (al-iman bi al-rasul) dan kitab-kitab
suci (al-iman bi al-kutub al-muqaddasah) . Pandangan ini mengandaikan
sebuah pandangan dan sikap keberagamaan yang terbuka terhadap agama-agama dan
para nabi-nya.
Penggunaan kata “kutub” yang berarti kitab-kitab suci
dan “rusul” yang berarti para utusan Tuhan menjelaskan bahwa hakikatnya
Tuhan menurunkan sejumlah kitab dan sejumlah utusan untuk membawa misi
kebenaran, kemanusiaan, keadilan dan kedamaian. Jadi, salah satu indikator
keimanan adalah meyakini keberadaan kitab suci agama lain dan para nabi-nya.
Dan sekali lagi, konsep iman sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis
Nabi menunjukkan keterbukaan Islam terhadap agama-agama lain dengan pengakuan
terhadap kitab-kitab suci dan para Nabinya. Dan ini juga menjelaskan, bahwa pandangan
Islam sebagai agama yang diterima di sisi Tuhan, bukan berarti menutup diri
terhadap keberadaan kitab suci agama lain, melainkan justru menebarkan sikap
toleran dan inklusif sebagai ekspresi ketauhidan.
Selain tafsir atas Islam sebagai agama, terdapat
pandangan lain, yaitu islam sebagai ajaran yang bersifat universal. Imam
al-Zamakhsyari memahami islam dalam ayat di atas sebagai keadilan dan
ketauhidan. Tafsir islam sebagai keadilan merujuk pada ayat sebelumnya, qaiman
bi al-qisthi yang berarti menegakkan keadilan. Menurut Ahmad Bahgat, bahwa
makna keadilan adalah keadilan dalam ekonomi, keadilan dalam hukum. Keadilan
juga bermakna keadilan di antara keragaman agama-agama, keadilan di antara
individu dan sosial, keadilan antara langit dan bumi, keadilan antara yang
miskin dan kaya, bahkan dengan keadilan langit dan bumi tercipta. Tuhan sendiri
dalam asma’ al-husna menyebut diri-Nya dengan al-‘adl (Maha
Adil).4)
Sedangkan ketauhidan adalah inti dari agama di sisi
Tuhan. Dan agama yang tidak mengajarkan ketauhidan sesungguh-Nya agama yang
tidak mendapatkan tempat di sisi-Nya. Ini menunjukkan dimensi universalitas
Islam sebagai ajaran yang berlaku universal bagi seluruh umat manusia di semua
tempat dan waktu. Siapapun yang menegakkan ketauhidan dan keadilan, maka
sesungguhnya ia disebut sebagai islam.
Pandangan islam dalam arti ajaran yang bersifat
universal, biasa dianut oleh mereka yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
Imam Muhammad al-Razi mendekati islam dengan perspektif kebahasaan.
Menurut dia, setidaknya terdapat tiga makna tentang islam; Pertama,
ketundukan dan keterkaitan (al-inqiyad wa al-mutaba’ah) . Kedua,
kedamain dan keselamatan. Ketiga, totalitas dalam beribadah kepada Tuhan (ikhlash
al-din wa al-aqidah li Allah).5)
Pendekatan kebahasaan seperti di atas sebenarnya bisa
menjadi salah satu cara untuk memahami islam. Dan pendekatan bahasa
biasanya bisa menunjukkan kelenturan Islam sebagai ajaran yang universal. Islam
tidak hanya sebatas ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., melainkan juga
sebagai ajaran yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim, Nabi
Ya’kub, Nabi Isma’il. Islam dalam arti penyerahan diri dan ketundukan kepada
Tuhan, sebagaimana dijelaskan secara gamblang dalam Al-Quran sebagai berikut: Tatkala
Tuhannya berkata berfirman kepadanya (Nabi Ibrahim as.), “berserah diri dan
tunduklah!” (aslim). Ia menjawab, “saya telah berserah diri (aslamtu) kepada
Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim a.s telah berwasiat kepada keturunan dan
Ya’qub, “wahai anakku, sesungguhnya Allah telah memilih sebuah agama bagi
kalian, kamu hendaklah kalian meninggal dunia dalam keadaan tunduk dan berserah
diri kepada-Nya (muslimun). Atau kalian telah menjadi saksi tatkala Ya’qub akan
meninggal dunia, beliau berkata kepada anak-anaknya, “apa yang kalian sembah
setelah kematianku?” Lalu mereka menjawab, “kami akan menyembah Tuhan-mu dan
Tuhan nenek moyangmu: Tuhannya Nabi Ibrahim, Nabi Isma’il dan Nabi Ishaq, yaitu
Tuhan Yang Esa, dan kami telah berserah diri (muslimun) kepada-Nya. (QS
al-Baqarah [2]:131-133). Barangsiapa yang berserah diri kepada Allah, maka
sesungguhnya ia tidak akan takut dan sedih (QS Al-Baqarah [2]:112).
Dengan demikian pendekatan kebahasaan dalam memahami islam
sesungguhnya dapat mengantarkan pada makna kehanifan ajarannya yang diantara
karakteristiknya yaitu dimensi kontinyuitas antara ajaran para nabi terdahulu
dengan ajaran Nabi Muhammad saw. Pendekatan kebahasaan akan mampu menemukan
makna yang beragam yang memungkinkan adanya dialog esoteris di antara
agama-agama. Ajaran tentang keadilan, kemanusiaan, kedamaian dan kesetaraan
adalah ajaran primordial Tuhan sejak awal penciptaan manusia di muka bumi, yang
kemudian disempurnakan oleh Tuhan melalui para nabi dan utusan-Nya. Karena itu,
memahami Islam sebagai paradigma kemanusiaan merupakan sebuah keniscayaan untuk
menemukan makna yang lebih mencerminkan keragaman dan kelenturannya terhadap
kemodernan.
Melihat Islam sebagai paradigma kemanusiaan membutuhkan
sebuah pendekatan yang bersifat distingtif. Artinya, bila selama ini Islam
lebih sering dilihat dengan kacamata dogmatik dan doktrinal, maka sebaiknya
Islam dilihat dengan kacamata kesejarahan. Pergulatan doktrin dengan sejarah
menjadi titik tolak untuk menyingkap dimensi humanitas dalam Islam. Di sini,
sebenarnya akan terkuak sebuah problem yang amat mendasar dalam studi Islam
sedari dulu hingga sekarang, bahwa dalam masa yang cukup lama studi keislaman
mengasumsikan kebenaran sebagai produk pemahaman terhadap teks. Seolah-olah
disimpulkan: tidak ada kebenaran di luar teks. Teks menjadi embarkasi pemahaman
keagamaan sekaligus terminal akhir sebuah kebenaran. Klaim kesempurnaan dan
keparipurnaan Islam selalu merujuk kepada kesempurnaan tekstual.
Pada aras ini, tentu saja penalaran tekstual menjadi
“tekstualisme” dan “sikap tekstualis”. Di sini, kita harus mengambil langkah
yang adil dan bijaksana, bahwa sebagai sebuah pendekatan, pemahaman tekstual
harus mendapatkan porsi yang semestinya, tidak lebih dan tidak pula kurang.
Pemahaman tekstual hanya bisa menjelaskan “ruang teks”. Artinya, setiap teks
mempunyai makna literal yang perlu diungkap untuk menyingkap makna awal yang
mewujud di dalamnya. Sebagai sebuah makna, tentu saja harus diapresiasi.
Namun hal lain yang lebih penting dan mesti disadari
juga, bahwa makna tidak hanya merujuk kepada teks, tetapi juga merujuk kepada
konteks. Tatkala Al-Quran sebagai teks, maka mau tidak mau, Al-Quran menjadi
sebuah ujaran yang terikat dengan konteks tertentu. Ayat-ayat yang mengisahkan
tentang Abu Lahab, menstruasi, haji, perbudakan, hubungan antar agama dan
lain-lain, merupakan sebuah bukti yang nyata bahwa Al-Quran telah menjadi “teks
yang menyejarah”. Secara eksplisit, Al-Quran telah menjadi “teks langit”
sekaligus “teks bumi”. Di sinilah pendekatan kesejarahan menjadi penting untuk
menghadirkan makna baru di dalam Al-Quran. Jikalau Al-Quran berbicara untuk
konteks kesejarahan pada zamannya, maka sudah semestinya bila Al-Quran juga
berbicara untuk konteks kesejarahan pada zaman ini.
Dalam kaitan, Al-Quran sebagai teks yang berakulturasi dengan
sejarah dan konteks zamanya, sebenarnya dijelaskan secara detail oleh konsep asbab
al-nuzul, yaitu sebab-sebab turunnya ayat. Al-Quran diturunkan secara
berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, yang memungkinkan adanya
dialektika dan dialog antara teks dengan konteks. Para ulama terdahulu pun
menyerukan pentingnya pemaknaan terhadap teks melalui penelusuran terhadap
sebab-sebab turunnya ayat, sehingga semangat kesejarahan tidak hilang dalam
teks.
Pentingya melihat sebab-sebab turunnya Al-Quran,
sesungguhnya hendak meneguhkan karakter humanitas teks, bahwa Al-Quran pada
dasarnya merupakan hasil pergulatan antara sakralitas dengan historisitas.
Artinya, klaim sakralitas terhadap teks tidak serta merta menutupi dimensi
historisitas yang tersimpan dalam teks. Benar, Al-Quran bersumber dari Tuhan,
tetapi orientasi kemanusiaan yang mewujud dalam teks Al-Quran juga tidak bisa
dikesampingkan begitu saja. Intinya, menerima sakralitas teks berarti menerima
historisitas teks. Karena sakralitas teks tidak hanya terletak pada teks itu
sendiri melainkan juga terletak pada dialektika historis yang terdapat dalam
teks. Adanya konsep asbab al-nuzul dalam ilmu-ilmu Al-Quran membuktikan,
bahwa Al-Quran adalah teks yang secara intens terkait dan terikat dengan ruang
dan waktu.
Karena itu, pemahaman yang tidak menggunakan
ukuran-ukuran kesejarahan amat memungkinkan pemahaman yang ekstrem, komunal dan
eksklusif. Alih-alih Al-Quran sebagai petunjuk (hudan) , pembeda (furqan)
dan penjelas (tibyan) , justru sebaliknya Al-Quran menjadi pesan
keagamaan yang berwatak provokatif dan menciptakan ketegangan yang bersifat
permanen. Misalnya, dalam hal hubungan antar agama, seringkali muncul sikap
anti-toleran dan konfrontatif dengan agama non-Islam karena didasari sebuah
ayat: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela membiarkanmu, sehingga
kamu mengikuti ajaran mereka (QS Al-Baqarah [2]:120)
Bagi mereka yang berpandangan tekstual akan memahami
ayat di atas sesuai dengan bunyi teksnya, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selamanya
akan memusuhi orang-orang muslim. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber
adanya ketegangan yang bersifat laten dan manifes antara muslim dan non-muslim.
Ayat tersebut seringkali digunakan sebagai ideologi dan teologi bagi hubungan
yang bersifat konfrontatif dengan agama lain.
Tentu saja, pemahaman tekstual di atas menyimpan
problematika serius, karena akan menuai dampak yang amat buruk bagi masa depan
kemanusiaan, terutama dalam kaitannya dengan hubungan antar agama. Keragaman
agama yang merupakan sebuah keniscayaan dan bahkan sunnatullah harus
berada dalam bayang-bayang konflik yang tidak berkesudahan.
Karena itu, dalam rangka menyingkap makna yang lebih
kontekstual dan mampu menyelami substansi yang menjadi intensitas teks,
diperlukan pembacaan yang serius terhadap sabab al-nuzul. Abu al-Hasan ‘Ali Ibn
Ahmad al-Wahidy al-Naysabury dalam Asbab al-Nuzul menyebutkan dua sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Pertama, tentang genjatan senjata (al-hudnah)
. Kedua, Ibnu ‘Abbas menyebut perbedaan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha di
Jerussalem ke Masjid al-Haram di Mekkah. Umat Yahudi di Madinah dan Nasrani
Bani Najran berharap kepada Rasulullah Saw untuk berkiblat ke arah kiblat
mereka. Setelah turunnya perintah perbindahan arah kiblat tersebut, Rasulullah
amat sulit memenuhi permintaan mereka.6)
Di sinilah sebenarnya lokus perbedaan yang ingin
dijelaskan oleh ayat tersebut. Jadi, pertama-tama memang mesti diakui bahwa
terdapat perbedaan beberapa hal yang mungkin bersifat abadi, yaitu mengenai
arah kiblat dan situasi tertentu seperti peperangan, tetapi tidak menutup
kemungkinan mencapai kerja sama dan persamaan dalam beberapa hal yang berkaitan
dengan isu-isu kemanusiaan, seperti membela kelompok-kelompok tertindas. Dalam
memberantas korupsi, misalnya, setiap agama harus menyatukan langkah guna
membendung penyakit sosial dan penyakit politik yang sudah lama menjangkiti
bangsa ini. Setiap agama dituntut untuk membangun konsep keadilan sosial yang
merujuk kepada etika yang tersedia dalam kitab suci masing-masing.
Dalam kaitannya dengan arah kiblat, sebenarnya Al-Quran
telah memberikan pandangan yang cukup mendasar untuk keluar dari perbedaan arah
kiblat, sebagaimana disampaikan dalam ayat yang berbunyi: Dan kekuasaan
Tuhan terbentang di barat dan timur. Dimanapun Anda menghadap (berkiblat),
makan kekuasaan Tuhan akan terlihat (QS Al-Baqarah [2]:115)
Ayat ini sebenarnya bisa disebut “ayat netralisir” dari
ayat sebelumnya. Artinya, ketidakrelaan yang bersifat abadi bagi penganut agama
Yahudi dan Nasrani dalam hal arah kiblat, sesungguhnya telah dinetralisasi oleh
ayat ini, sehingga dengan demikian segala bentuk ketidakharmonisan antara
agama-agama samawi bisa merujuk kepada ayat yang mendamaikan antara barat dan
timur, serta ayat yang menghargai keragaman agama dan kesalehan setiap
penganutnya.
Di sinilah letak perlunya membaca teks suci dengan
menggunakan pendekatan aksiomatik, yaitu menyelami sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya teks tersebut, yang dikenal dalam ilmu al-Quran
dengan asbab al-nuzul atausabab al-tanzil.
Hanya saja, yang menjadi persoalan bahwa tidak semua
ayat di dalam al-Quran mempunyai sabab al-nuzul, sehingga tidak
memungkinkan semua ayat dipahami dengan menggunakan sabab al-nuzul. Di
pihak lain, problem kemanusiaan semakin pesat bersamaan dengan perkembangan
zaman yang semakin dahsyat. Lalu, pertanyannya bagaimana metodologi pemahaman
keagamaan dapat menjembantani kerumitan dalam menangkap makna yang tersimpat
dalam teks suci? Apa saja parameter keabsahan dalam membaca teks agar mempunyai
relevansi dengan konteks, sehingga melahirkan pemahaman keagamaan yang moderat?
Dalam hal ini, kita perlu mempunyai kesadaran baru,
bahwa konsep sabab al-nuzul bukanlah konsep yang statis. Artinya, upaya
merujuk terhadap sebab-sebab turunnya teks tidak hanya bersandar pada sabab
al-nuzul yang sudah dikodifikasi ulama terdahulu, melainkan mendasari pada
realitas kekinian, sehingga dengan demikian terjadi rekontekstualisasi. Ketika
al-Quran diturunkan, al-Quran berhadapan dengan kondisi sosio-historis
tertentu, maka tak terelakkan saat ini Al-Quran pun berhadapan dengan problem
kemanusiaan yang jauh lebih rumit. Karena itu, pembacaan terhadap sabab
al-nuzul tidak hanya berdasarkan konsep lama yang telah tersedia, melainkan
bisa membaca problem kekinian secara saksama, sehingga mampu menguraikan makna
yang tersedia dalam teks secara jelas. Pada dasarnya, teks itu diam, otonom dan
tidak berbunyi, akan tetapi yang membuat teks tersebut berbunyi adalah manusia
sebagai penafsir terhadap teks. Di sinilah arti penting subyektivitas penafsir
dalam mencari makna yang tersimpan dalam teks.
Hemat saya, problem kemanusian, seperti ketidakadilan,
kekerasan, kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan bisa menjadi sabab
al-nuzul yang live di tengah-tengah masyarakat. Apabila Islam
dipahami sebagai agama keadilan, kedamaian, kemajuan dan kebebasan berpikir,
maka seluruh pemahaman terhadap doktrin keislaman sejatinya dapat membongkar
mitos-mitos pemahaman yang selama ini menghambat bagi lahirnya nuansa kemanusiaan
dalam Islam.
Salah satu hambatan yang muncul dalam pemahaman
keagamaan adalah unggulnya “nalar lafadz”. Artinya, bahwa yang dimaksud
kebenaran dalam teks adalah lafadz, bukan dialektika antara lafadz dengan
konteks. Salah satu kaidah yang digunakan secara fasih, bahwa sebuah hukum
harus merujuk kepada keumuman lafadz, bukan pada kekhususan sebab-musababnya (al-‘ibrah
bi ‘umum al-lafdz la bi khushus al-sabab) . Lafadz merupakan paramater
kebenaran, sehingga sebelum melakukan penalaran apapun harus melewati lafadz.
Lafadz dianggap mempunyai sakralitas tersendiri, bahkan diasumsikan dapat
menyelesaikan problem kemanusiaan di setiap ruang dan waktu. Dari cara pandang
inilah, lalu lahir makhluk yang bernama “pemahaman tekstual”.
Karena itu, pemahaman tekstual adalah produk dari
penalaran di atas yang berkembang cukup lama dalam tradisi Islam. Biasanya
pemahaman tekstual dikontradiksikan dengan pemahaman rasional. Salah satu
ungkapan yang masyhur: barangsiapa memahami al-Quran dengan rasio, maka ia
akan masuk neraka. Artinya, pemahaman yang benar dan bisa direkomendasikan
ke surga adalah pemahaman tekstual. Pemahaman tekstual mengandaikan bahwa
kebenaran yang mendapatkan legalitas dari Tuhan adalah kebenaran tekstual yang
tidak terjamah oleh manusia. Kebenaran tersebut disebut kebenaran absolut.
Sedangkan kebenaran kontekstual yang merupakan olah pikir, refleksi dan
teoritisasi dari manusia dianggap sebagai kebenaran yang bersifat nisbi,
relatif. Pemahaman tekstual dianggap menggunakan penalaran Tuhan, sedangkan
pemahaman kontekstual dianggap menggunakan penalaran manusia. Atas dasar itu,
dipahami secara turun-temurun, bahwa yang nisbi harus mengikuti yang absolut.
Manusia harus mengikuti Tuhan.
Pemahaman yang didasari pada sabab al-nuzul
mempunyai kebuntuan dan tidak diapresiasi secara saksama. Di sisi lain, yang
dipahami dengan sabab al-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi
turunnya ayat pada waktu itu, bukan sebab-sebab yang lahir setelah Al-Quran
dibukukan hingga zaman ini.
Karena itu, kaidah pemahaman di atas semestinya harus
dikembangkan menjadi kaidah yang lebih memberikan perhatian yang lebih besar
terhadap konteks atau sebab-sebab yang bersifat sosial dan manusiawi. Kaidah
alternatif yang diharapkan dapat menjembatani ketegangan antara teks dan
konteks adalah sebuah hukum didasari pada sebab-sebab yang bersifat khusus,
bukan didasari oleh lafadz yang bersifat umum (al-‘ibrah bi khushus al-sabab
la bi ‘umum al-lafdz) . Artinya, pencarian terhadap kebenaran teks tidak
hanya menggunakan pembedahan terhadap struktur teks, melainkan juga dapat
menggunakan pembacaan terhadap konteks sosial.7)
Penalaran semacam ini sebenarnya bukanlah barang
langka, bahkan dalam tradisi Islam sendiri. Umar bin Khattab menjadi salah satu
sahabat yang memberikan keteladanan dalam pemahaman yang lahir dari konteks
sosial-masyarakat. Misalnya dalam hal hukum tangan bagi pencuri. Al-Quran
secara eksplisit menjelaskan bahwa seseorang yang mencuri, baik laki-laki
maupun perempuan harus dipotong tangannya. Akan Umar bin Khattab mempunyai cara
pandang yang lain dalam memahami ayat tersebut. Tatkala ia menemukan dua orang
hamba sahaya yang mencuri harta majikannya, ia berijtihad bahwa kedua pencuri
tersebut tidak dipotong tangannya. Kedua hamba tersebut tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan hukuman potong tangan, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran,
karena majikan telah menelantarkan kedua hamba sahaya tersebut dalam kelaparan.
Bahkan, Umar bin Khattab mengancam, bila kedua hamba tersebut mencuri lagi
harta majikannya, maka sang majikanlah yang akan dipotong tangannya!
Pandangan Umar yang amat progresif ini ingin
menunjukkan sebuah cara pandang baru, bahwa keadilan sosial dan kesejahteraan
merupakan titik tolak sekaligus maksud utama dari teks suci. Hukuman potong
tangan yang dijelaskan dalam al-Quran tidak secara serta-merta dan tidak pula
secara harfiah bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat, tetapi mempunyai
syarat-syarat tertentu yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan. Dengan
demikian, kaidah pemahaman yang sebenarnya, “apabila keadilan ditegakkan dan
kesejahteraan telah merata di tengah-tengah masyarakat, maka hukum Tuhan baru
bisa ditegakkan. Sebaliknya, bila keadilan sosial dan kesejahteraan belum
terwujud, maka hukum Tuhan sejatinya harus mendahulukan kemaslahatan umum.”
Pandangan Umar bin Khattab di atas sebenarnya juga
ingin menjelaskan bahwa selain ada sabab al-nuzul yang bersifat
partikular dalam bentuk kasus-kasus dan peristiwa, sebenarnya terdapat sabab
al-nuzul yang bersifat universal, yang dikenal dengan hikmat al-tasyri’
dan maqashid al-syari’ah. Bahkan di balik firman Tuhan dan sabda Nabi
terhadap hikmah dan tujuan-tujuan utama yang hampir disepakati oleh akal budi
dan norma keagamaan sekalipun, yaitu keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan
kesetaraan. Bila teks suci secara harfiah merupakan sebuah kebenaran, maka
nilai-nilai tersebut merupakan kebenaran, yang tingkat keabsahannya di atas
keharfiahan teks suci. Karena hakikatnya, nilai-nilai tersebut merupakan titik
tolak sekaligus tujuan dari firman Tuhan dan sabda Nabi.
Karena itu, selain pendekatan—yang selama ini maklum
dan masyhur di sebagian besar komunitas muslim—yang mengandaikan pemahaman
bersumber dari dari teks langsung sebagai salah satu alternatif dalam memahami
Islam, maka sesungguhnya terdapat pendekatan mengandaikan perlunya melihat
Islam sebagai sumber etik, sekaligus sebagai alternatif baru. Di balik teks
terdapat moralitas dan etika sosial yang mendasari kelahiran teks, bahkan
moralitas dan etika sosial tersebut berlaku dalam semua agama samawi.
Dalam khazanah Islam, pandangan tersebut sebenarnya
sudah dijelaskan oleh oleh kosenp al-kulliyat al-khamsah, atau lima
prinsip yang mendasari keseluruhan hukum dan ketentuan-ketentuan dalam Islam.
Imam al-Syathiby menyebut sebagai al-dharuriyyat yaitu sejumlah nilai
yang menjadi sebuah keharusan untuk tegaknya kemaslahatan agama dan dunia. Bila
nilai-nilai tersebut hilang, maka dunia akan rapuh pula, sehingga mengakibatkan
kerugian yang besar bagi manusia.9) Karenanya, nilai-nilai tersebut disebut
sebagai nilai-nilai yang menjadi keharusan (al-dharuriyyat) , bahkan
untuk semua agama dan aliran kepercayaan.10)
Tapi konsep tersebut seringkali digunakan untuk
masalah-masalah ritual-peribadatan. Karenanya, perlu menghadirkan makna baru
terhadap konsep al-kulliyat al-khamsah. Ibarat air yang berada di dalam
gelas, konsep al-kulliyat al-khomsah adalah gelasnya, sedangkan fikih
adalah air yang berada di dalam gelas tersebut. Maka sebaiknya dilakukan
pembaruan terhadap isi yang berada di dalam gelas tersebut. Pemaknaan terhadap
konsep al-kulliyat al-khamsah menjadi penting untuk menghadirkan
makna-makna baru dalam agama. Muhammad al-Jabiry menjadi salah seorang pemikir
muslim yang berada di barisan ini yang mengandaikan perlunya pengayaan makna
terhadap al-kulliyat al-khamsah untuk mendorong lahirnya karakter progresif
Islam sebagai pembawa panji kemaslahatan. Dengan demikian, konsep al-kulliyat
al-khamsah bisa dijelaskan dengan pandangan berikut:
Islam adalah agama yang bersumber dari
Tuhan dan berorientasi kemanusiaan. Karenanya Islam harus menjadi solusi bagi
problem kemanusiaan. Dr. Muhammad ‘Imarah
Islam is a humanistic religion. Man is the
centre of the Universe. Islam is a religion already modernized from
theocentrism to anthropocentrism, from inauthentic to the authentic. The whole
world is created for man. Dr. Hasan Hanafi
Dalam sejarah, memahami Islam adalah upaya penafsiran
dan penalaran yang tidak pernah terhenti. Pencarian makna Islam terus mengalir
seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang begitu cepat. Belum lagi,
keragaman cara pandang umat Islam setidaknya telah menjadikan Islam sebagai
ajaran yang terbuka terhadap munculnya pelbagai penafsiran. Islam mempunyai
banyak dimensi penafsiran (al-islam hammalat awjuh) .
Hemat saya, salah satu keistimewaan Islam adalah
tatkala Islam menjadi agama yang memungkinkan munculnya aneka ragam pemahaman.
Islam adalah agama yang tidak membatasi ijtihad dan penafsiran. Sebaliknya,
Islam adalah agama yang terbuka dan memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya terhadap kebebasan berpikir. Bahkan Rasulullah saw dalam
sebuah hadisnya telah menjamin dua pahala bagi seseorang yang ijtihadnya benar,
dan satu pahala bagi seseorang yang ijtihadnya salah. Sikap Rasulullah yang
seperti itu sebenarnya tidak menyoal: apakah ijtihad seseorang benar atau
salah, atau apakah seseorang telah memenuhi syarat ijtihad, melainkan
menunjukkan betapa agungnya ijtihad dalam Islam. Benar dan salah dalam ijtihad
masing-masing mendapatkan pahala yang setimpal dengan jerih-payahnya. Bahkan
Ibnu Hazm dalam mognum opus-nya, al-Muhalla menulis, “seorang
yang mujtahid yang hasil ijtihadnya keliru lebih baik dari pada seorang peniru
walaupun hasil tiruannya itu benar” (al-mujtahid al-mukhthi’ khayrun min
al-muqallid al-mushib) . Ibnu Hazm memberikan penegasan dengan pandangan
sebagai berikut:
Landasan di atas sebenarnya bersandar pada hadis
Rasulullah Saw, “Bila seseorang ahli hukum berijtihad, lalu salah, maka ia
mendapatkan satu pahala”. Tuhan telah mengecam taklid secara mutlak. Seorang
yang bertaklid, ia disebut bermaksiat, sedangkan yang berijtihad mendapatkan
pahala.. 1)
Pandangan Ibnu Hazm sebenarnya ingin menjelaskan
pentingnya ijtihad sebagai sebuah ajaran yang inheren dalam Islam. Tanpa
ijtihad sepertinya Islam tidak akan mengalami pertumbuhan seperti saat ini. Di
sini sesungguhnya sikap membendung atau menyumbat sumbu ijtihad sama halnya
dengan menyumbat kesempurnaan Islam itu sendiri. Karena kesempurnaan Islam
tidak hanya terletak pada keistimewaan dan kelengkapan ajarannya, melainkan
juga terletak sejauhmana Islam mampu mempunyai relevansi dengan kemodernan dan
konteks yang plural. Di sini, ijtihad dapat menjadi jembatan antara konteks
Islam di masa lalu dengan konteks Islam di masa kini. Ijtihad akan menjadikan
Islam bukan sebagai “korpus tertutup”, akan tetapi sebagai “korpus terbuka”.
Karena itu, ijtihad dalam Islam diharapkan dapat memasuki jantung ajaran Islam
yang paling otentik dan substansif. Ijtihad sejatinya tidak hanya dilakukan
pada masalah-masalah yang bersifat partikular, tetapi juga diharapkan menyentuh
wilayah prinsip dan dasar penalaran Islam.
Atas dasar itu, perlu penalaran baru dalam memahami
Islam, sehingga dapat membuka ruang bagi hadirnya makna Islam sebagai paradigma
kemanusiaan. Artinya, ijtihad keagamaan harus mampu menghadirkan dimensi
kemanusiaan yang belum diangkat ke permukaan secara mendasar. Sebagaimana
dimensi ketuhanan dijelaskan secara jelas dalam Al-Quran, sebenarnya Tuhan juga
menyoroti dimensi kemanusiaan secara panjang lebar. Ini tak lain, karena Islam
hakikatnya adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan. Dalam Al-Quran,
Tuhan berfirman: Kamu adalah umat yang terbaik diutus untuk manusia,
menyerukan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah Swt.
(QS. Ali ‘Imran [3]:110)
Menurut Al-Imam Muhammad al-Razi dalam Tafsir
al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, ayat tersebut setidaknya menjelaskan dua hal.
Pertama, umat Islam telah tercatat di Singgasana Tuhan (lauh al-mahfudz) sebagai
umat terbaik. Artinya, secara normatif, Tuhan telah memberikan rambu-rambu
kepada setiap umat Islam agar melaksanakan perintah-Nya sebaik dan separipurna
mungkin. Dan semestinya mereka tidak mengabaikan keistimewaan yang telah
digariskan Tuhan tersebut.
Kedua, umat Islam diharapkan dapat membumikan ajaran
keislaman dalam konteks kemanusiaan. Islam bukanlah ajaran yang keistimewaannya
karena berasal dari Singgasana Tuhan, melaikan karena Islam adalah ajaran yang
mampu berinteraksi dengan konteks kemanusiaan (ukhrijat li al-nass) .2)
Intinya, bahwa umat Islam dituntut agar mampu memahami ajaran keislaman sebaik
mungkin untuk konteks kesejahteraan dan keadilan sosial.
Di sini, sebenarnya Islam sudah berbicara untuk konteks
kemanusiaan. Untuk tujuan kemanusiaan tersebut, ayat di atas lalu menguraikan
secara eksplisit bahwa peran yang mesti dimainkan oleh seorang muslim adalah
menebarkan kebaikan (al-amr bi al-ma’ruf) , mencegah kejahatan
(al-nahy ‘an al-munkar) serta beriman kepada Tuhan (al-iman bi Allah) .
Konsep umat terbaik, bila dipahami dari ayat tersebut,
menurut saya sesungguhnya mempunyai arti yang sangat mendalam bagi konsep
keberagamaan, yaitu beragama dari konteks dan realitas kemanusiaan. Beragama
dimulai dari nilai-nilai kemanusiaan sebelum menuju keberimanan. Sedangkan iman
sebagai pesan utama dalam agama justeru menjadi terminal terakhir. Untuk menuju
iman diperlukan sebuah proses yang menjamin tersebarnya kebaikan, keadilan dan
kesejahteraan sosial. Sebaliknya, kemungkaran, terutama kejahatan yang berasal
dari ketidakadilan harus bisa diantisipasi dan dicegah sedini mungkin. Di sini
sebenarnya tersimpan prioritas keberagamaan untuk tujuan kemanusiaan. Apabila
hal tersebut sudah bisa dilakukan dengan sebaik mungkin, maka iman akan dengan
mudah tertancap dalam diri setiap umat beragama.
Konsep umat terbaik (khair ummah) , sebagaimana
dijelaskan ayat tersebut sesungguhnya ingin menegaskan hakikat Islam sebagai
agama yang memelihara keseimbangan antara kemanusiaan dan ketuhanan. Islam
adalah agama sejak awal diturunkan untuk membawa misi perubahan bagi manusia.
Hanya saja yang menjadi soal adalah tatkala konsep
“umat terbaik” tersebut dijadikan klaim kebenaran yang mewujud dalam pandangan
eksklusif. Artinya, muncul kesadaran bahwa “saya adalah umat terbaik”,
sedangkan umat lain “bukan umat terbaik”. Pandangan seperti ini seringkali
dijadikan “teologi klaim kebenaran” yang merenggagkan persaudaraan dengan umat
lain. Di sini arti penting pemahaman yang bersifat progresif, bahwa konsep
“umat terbaik” tersebut mesti diletakkan dalam konteks kemanusiaan, yaitu
menebarkan kebaikan, keadilan, dan kedamaian; mencegah kejahatan dan konflik
serta beriman kepada Tuhan, sehingga doktrin keagamaan dapat berfungsi sebagai
doktrin pengukuhan atas keberislaman, tetapi juga mempunyai semangat pembebasan
dan perubahan pada tataran empirik.
Karena itu, dalam nalar keagamaan yang lebih luas,
sejatinya perlu pemahaman dan penghayatan yang lebih mendalam dan mendasar
terhadap Islam. Salah satu ayat seringkali dijadikan rujukan untuk memahami
Islam adalah: Sesunnguhnya agama di sisi Tuhan adalah islam (QS Ali
‘Imran [3]:19).
Lalu pertanyaannya, apa yang dimaksud islam dalam ayat
tersebut? Apakah islam sebagai agama atau islam sebagai ajaran-ajaran
universal yang bernuansa kemanusiaan?
Al-Imam al-Qurthuby dalam al-Jami’ li Ahkam Al-Quran
mengutarakan, bahwa yang dimaksud dengan islam adalah keimanan dan
ketaatan, sebagaimana dikatakan oleh Abu al-‘Aliyah dan sebagian besar ulama
kalam. Namun sebagian ulama ada yang membedakan antara islam dan iman
merujuk kepada Hadis Jibril yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dalam hadis
tersebut dijelaskan: iman adalah percaya kepada Tuhan, Malaikat, para Nabi,
hari akhir, para Utusan Tuhan. Sedangkan islam adalah menyembah Tuhan,
tidak menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan
Ramadhan dan menunaikan haji.
Kendatipun demikian, para ulama berpandangan bahwa
antara islam dan iman saling menyempurnakan (al-tadakhul) , karena makna
iman adalah penghayatan di hati, pengungkapan di lisan dan pelaksanaan dalam
tindakan. Iman adalah totalitas dalam keberagamaan, sedangkan islam adalah
bagian terpenting dalam keberimanan tersebut. Di sinilah sebenarnya letak
pertautan antara islam dan iman. Imam Muhammad al-Razi juga
memaknai islam sebagai iman. 3)
Al-Imam al-Thabary dalam Jami’ al-Bayan pun
menjelaskan hal yang serupa, bahwa islam adalah pembuktian bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan mengimani bahwa seluruh ajaran Rasulullah Saw. bersumber
dari Allah. Islam adalah keikhlasan kepada Tuhan dan peribadatan yang tidak
menyekutukan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan seluruh kewajiban
lainnya.
Menurut saya, tafsir al-Imam al-Qurthuby dan al-Imam
al-Thabary terhadap islam adalah Islam sebagai agama yang memuat
ritualitas yang khusus untuk umat Islam. Artinya, Islam sebagai agama mempunyai
ketentuan dan batasan tertentu yang berbeda dengan agama-agama lain. Dan setiap
agama mesti menghargai perbedaan tersebut sebagai ekspresi dari kebebasan beragama.
Tapi menurut saya, dalam pengertian islam
sebagai iman terdapat sebuah makna yang sangat berharga bagi keberagamaan yang
pluralis. Salah satu poin yang sangat progresif dalam konsep iman adalah
percaya kepada para utusan Tuhan (al-iman bi al-rasul) dan kitab-kitab
suci (al-iman bi al-kutub al-muqaddasah) . Pandangan ini mengandaikan
sebuah pandangan dan sikap keberagamaan yang terbuka terhadap agama-agama dan
para nabi-nya.
Penggunaan kata “kutub” yang berarti kitab-kitab suci
dan “rusul” yang berarti para utusan Tuhan menjelaskan bahwa hakikatnya
Tuhan menurunkan sejumlah kitab dan sejumlah utusan untuk membawa misi
kebenaran, kemanusiaan, keadilan dan kedamaian. Jadi, salah satu indikator
keimanan adalah meyakini keberadaan kitab suci agama lain dan para nabi-nya.
Dan sekali lagi, konsep iman sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis
Nabi menunjukkan keterbukaan Islam terhadap agama-agama lain dengan pengakuan
terhadap kitab-kitab suci dan para Nabinya. Dan ini juga menjelaskan, bahwa pandangan
Islam sebagai agama yang diterima di sisi Tuhan, bukan berarti menutup diri
terhadap keberadaan kitab suci agama lain, melainkan justru menebarkan sikap
toleran dan inklusif sebagai ekspresi ketauhidan.
Selain tafsir atas Islam sebagai agama, terdapat
pandangan lain, yaitu islam sebagai ajaran yang bersifat universal. Imam
al-Zamakhsyari memahami islam dalam ayat di atas sebagai keadilan dan
ketauhidan. Tafsir islam sebagai keadilan merujuk pada ayat sebelumnya, qaiman
bi al-qisthi yang berarti menegakkan keadilan. Menurut Ahmad Bahgat, bahwa
makna keadilan adalah keadilan dalam ekonomi, keadilan dalam hukum. Keadilan
juga bermakna keadilan di antara keragaman agama-agama, keadilan di antara
individu dan sosial, keadilan antara langit dan bumi, keadilan antara yang
miskin dan kaya, bahkan dengan keadilan langit dan bumi tercipta. Tuhan sendiri
dalam asma’ al-husna menyebut diri-Nya dengan al-‘adl (Maha
Adil).4)
Sedangkan ketauhidan adalah inti dari agama di sisi
Tuhan. Dan agama yang tidak mengajarkan ketauhidan sesungguh-Nya agama yang
tidak mendapatkan tempat di sisi-Nya. Ini menunjukkan dimensi universalitas
Islam sebagai ajaran yang berlaku universal bagi seluruh umat manusia di semua
tempat dan waktu. Siapapun yang menegakkan ketauhidan dan keadilan, maka
sesungguhnya ia disebut sebagai islam.
Pandangan islam dalam arti ajaran yang bersifat
universal, biasa dianut oleh mereka yang menggunakan pendekatan kebahasaan.
Imam Muhammad al-Razi mendekati islam dengan perspektif kebahasaan.
Menurut dia, setidaknya terdapat tiga makna tentang islam; Pertama,
ketundukan dan keterkaitan (al-inqiyad wa al-mutaba’ah) . Kedua,
kedamain dan keselamatan. Ketiga, totalitas dalam beribadah kepada Tuhan (ikhlash
al-din wa al-aqidah li Allah).5)
Pendekatan kebahasaan seperti di atas sebenarnya bisa
menjadi salah satu cara untuk memahami islam. Dan pendekatan bahasa
biasanya bisa menunjukkan kelenturan Islam sebagai ajaran yang universal. Islam
tidak hanya sebatas ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., melainkan juga
sebagai ajaran yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim, Nabi
Ya’kub, Nabi Isma’il. Islam dalam arti penyerahan diri dan ketundukan kepada
Tuhan, sebagaimana dijelaskan secara gamblang dalam Al-Quran sebagai berikut: Tatkala
Tuhannya berkata berfirman kepadanya (Nabi Ibrahim as.), “berserah diri dan
tunduklah!” (aslim). Ia menjawab, “saya telah berserah diri (aslamtu) kepada
Tuhan semesta alam. Nabi Ibrahim a.s telah berwasiat kepada keturunan dan
Ya’qub, “wahai anakku, sesungguhnya Allah telah memilih sebuah agama bagi
kalian, kamu hendaklah kalian meninggal dunia dalam keadaan tunduk dan berserah
diri kepada-Nya (muslimun). Atau kalian telah menjadi saksi tatkala Ya’qub akan
meninggal dunia, beliau berkata kepada anak-anaknya, “apa yang kalian sembah
setelah kematianku?” Lalu mereka menjawab, “kami akan menyembah Tuhan-mu dan
Tuhan nenek moyangmu: Tuhannya Nabi Ibrahim, Nabi Isma’il dan Nabi Ishaq, yaitu
Tuhan Yang Esa, dan kami telah berserah diri (muslimun) kepada-Nya. (QS
al-Baqarah [2]:131-133). Barangsiapa yang berserah diri kepada Allah, maka
sesungguhnya ia tidak akan takut dan sedih (QS Al-Baqarah [2]:112).
Dengan demikian pendekatan kebahasaan dalam memahami islam
sesungguhnya dapat mengantarkan pada makna kehanifan ajarannya yang diantara
karakteristiknya yaitu dimensi kontinyuitas antara ajaran para nabi terdahulu
dengan ajaran Nabi Muhammad saw. Pendekatan kebahasaan akan mampu menemukan
makna yang beragam yang memungkinkan adanya dialog esoteris di antara
agama-agama. Ajaran tentang keadilan, kemanusiaan, kedamaian dan kesetaraan
adalah ajaran primordial Tuhan sejak awal penciptaan manusia di muka bumi, yang
kemudian disempurnakan oleh Tuhan melalui para nabi dan utusan-Nya. Karena itu,
memahami Islam sebagai paradigma kemanusiaan merupakan sebuah keniscayaan untuk
menemukan makna yang lebih mencerminkan keragaman dan kelenturannya terhadap
kemodernan.
Melihat Islam sebagai paradigma kemanusiaan membutuhkan
sebuah pendekatan yang bersifat distingtif. Artinya, bila selama ini Islam
lebih sering dilihat dengan kacamata dogmatik dan doktrinal, maka sebaiknya
Islam dilihat dengan kacamata kesejarahan. Pergulatan doktrin dengan sejarah
menjadi titik tolak untuk menyingkap dimensi humanitas dalam Islam. Di sini,
sebenarnya akan terkuak sebuah problem yang amat mendasar dalam studi Islam
sedari dulu hingga sekarang, bahwa dalam masa yang cukup lama studi keislaman
mengasumsikan kebenaran sebagai produk pemahaman terhadap teks. Seolah-olah
disimpulkan: tidak ada kebenaran di luar teks. Teks menjadi embarkasi pemahaman
keagamaan sekaligus terminal akhir sebuah kebenaran. Klaim kesempurnaan dan
keparipurnaan Islam selalu merujuk kepada kesempurnaan tekstual.
Pada aras ini, tentu saja penalaran tekstual menjadi
“tekstualisme” dan “sikap tekstualis”. Di sini, kita harus mengambil langkah
yang adil dan bijaksana, bahwa sebagai sebuah pendekatan, pemahaman tekstual
harus mendapatkan porsi yang semestinya, tidak lebih dan tidak pula kurang.
Pemahaman tekstual hanya bisa menjelaskan “ruang teks”. Artinya, setiap teks
mempunyai makna literal yang perlu diungkap untuk menyingkap makna awal yang
mewujud di dalamnya. Sebagai sebuah makna, tentu saja harus diapresiasi.
Namun hal lain yang lebih penting dan mesti disadari
juga, bahwa makna tidak hanya merujuk kepada teks, tetapi juga merujuk kepada
konteks. Tatkala Al-Quran sebagai teks, maka mau tidak mau, Al-Quran menjadi
sebuah ujaran yang terikat dengan konteks tertentu. Ayat-ayat yang mengisahkan
tentang Abu Lahab, menstruasi, haji, perbudakan, hubungan antar agama dan
lain-lain, merupakan sebuah bukti yang nyata bahwa Al-Quran telah menjadi “teks
yang menyejarah”. Secara eksplisit, Al-Quran telah menjadi “teks langit”
sekaligus “teks bumi”. Di sinilah pendekatan kesejarahan menjadi penting untuk
menghadirkan makna baru di dalam Al-Quran. Jikalau Al-Quran berbicara untuk
konteks kesejarahan pada zamannya, maka sudah semestinya bila Al-Quran juga
berbicara untuk konteks kesejarahan pada zaman ini.
Dalam kaitan, Al-Quran sebagai teks yang berakulturasi dengan
sejarah dan konteks zamanya, sebenarnya dijelaskan secara detail oleh konsep asbab
al-nuzul, yaitu sebab-sebab turunnya ayat. Al-Quran diturunkan secara
berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, yang memungkinkan adanya
dialektika dan dialog antara teks dengan konteks. Para ulama terdahulu pun
menyerukan pentingnya pemaknaan terhadap teks melalui penelusuran terhadap
sebab-sebab turunnya ayat, sehingga semangat kesejarahan tidak hilang dalam
teks.
Pentingya melihat sebab-sebab turunnya Al-Quran,
sesungguhnya hendak meneguhkan karakter humanitas teks, bahwa Al-Quran pada
dasarnya merupakan hasil pergulatan antara sakralitas dengan historisitas.
Artinya, klaim sakralitas terhadap teks tidak serta merta menutupi dimensi
historisitas yang tersimpan dalam teks. Benar, Al-Quran bersumber dari Tuhan,
tetapi orientasi kemanusiaan yang mewujud dalam teks Al-Quran juga tidak bisa
dikesampingkan begitu saja. Intinya, menerima sakralitas teks berarti menerima
historisitas teks. Karena sakralitas teks tidak hanya terletak pada teks itu
sendiri melainkan juga terletak pada dialektika historis yang terdapat dalam
teks. Adanya konsep asbab al-nuzul dalam ilmu-ilmu Al-Quran membuktikan,
bahwa Al-Quran adalah teks yang secara intens terkait dan terikat dengan ruang
dan waktu.
Karena itu, pemahaman yang tidak menggunakan
ukuran-ukuran kesejarahan amat memungkinkan pemahaman yang ekstrem, komunal dan
eksklusif. Alih-alih Al-Quran sebagai petunjuk (hudan) , pembeda (furqan)
dan penjelas (tibyan) , justru sebaliknya Al-Quran menjadi pesan
keagamaan yang berwatak provokatif dan menciptakan ketegangan yang bersifat
permanen. Misalnya, dalam hal hubungan antar agama, seringkali muncul sikap
anti-toleran dan konfrontatif dengan agama non-Islam karena didasari sebuah
ayat: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela membiarkanmu, sehingga
kamu mengikuti ajaran mereka (QS Al-Baqarah [2]:120)
Bagi mereka yang berpandangan tekstual akan memahami
ayat di atas sesuai dengan bunyi teksnya, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani selamanya
akan memusuhi orang-orang muslim. Perbedaan agama menjadi salah satu sumber
adanya ketegangan yang bersifat laten dan manifes antara muslim dan non-muslim.
Ayat tersebut seringkali digunakan sebagai ideologi dan teologi bagi hubungan
yang bersifat konfrontatif dengan agama lain.
Tentu saja, pemahaman tekstual di atas menyimpan
problematika serius, karena akan menuai dampak yang amat buruk bagi masa depan
kemanusiaan, terutama dalam kaitannya dengan hubungan antar agama. Keragaman
agama yang merupakan sebuah keniscayaan dan bahkan sunnatullah harus
berada dalam bayang-bayang konflik yang tidak berkesudahan.
Karena itu, dalam rangka menyingkap makna yang lebih
kontekstual dan mampu menyelami substansi yang menjadi intensitas teks,
diperlukan pembacaan yang serius terhadap sabab al-nuzul. Abu al-Hasan ‘Ali Ibn
Ahmad al-Wahidy al-Naysabury dalam Asbab al-Nuzul menyebutkan dua sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Pertama, tentang genjatan senjata (al-hudnah)
. Kedua, Ibnu ‘Abbas menyebut perbedaan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha di
Jerussalem ke Masjid al-Haram di Mekkah. Umat Yahudi di Madinah dan Nasrani
Bani Najran berharap kepada Rasulullah Saw untuk berkiblat ke arah kiblat
mereka. Setelah turunnya perintah perbindahan arah kiblat tersebut, Rasulullah
amat sulit memenuhi permintaan mereka.6)
Di sinilah sebenarnya lokus perbedaan yang ingin
dijelaskan oleh ayat tersebut. Jadi, pertama-tama memang mesti diakui bahwa
terdapat perbedaan beberapa hal yang mungkin bersifat abadi, yaitu mengenai
arah kiblat dan situasi tertentu seperti peperangan, tetapi tidak menutup
kemungkinan mencapai kerja sama dan persamaan dalam beberapa hal yang berkaitan
dengan isu-isu kemanusiaan, seperti membela kelompok-kelompok tertindas. Dalam
memberantas korupsi, misalnya, setiap agama harus menyatukan langkah guna
membendung penyakit sosial dan penyakit politik yang sudah lama menjangkiti
bangsa ini. Setiap agama dituntut untuk membangun konsep keadilan sosial yang
merujuk kepada etika yang tersedia dalam kitab suci masing-masing.
Dalam kaitannya dengan arah kiblat, sebenarnya Al-Quran
telah memberikan pandangan yang cukup mendasar untuk keluar dari perbedaan arah
kiblat, sebagaimana disampaikan dalam ayat yang berbunyi: Dan kekuasaan
Tuhan terbentang di barat dan timur. Dimanapun Anda menghadap (berkiblat),
makan kekuasaan Tuhan akan terlihat (QS Al-Baqarah [2]:115)
Ayat ini sebenarnya bisa disebut “ayat netralisir” dari
ayat sebelumnya. Artinya, ketidakrelaan yang bersifat abadi bagi penganut agama
Yahudi dan Nasrani dalam hal arah kiblat, sesungguhnya telah dinetralisasi oleh
ayat ini, sehingga dengan demikian segala bentuk ketidakharmonisan antara
agama-agama samawi bisa merujuk kepada ayat yang mendamaikan antara barat dan
timur, serta ayat yang menghargai keragaman agama dan kesalehan setiap
penganutnya.
Di sinilah letak perlunya membaca teks suci dengan
menggunakan pendekatan aksiomatik, yaitu menyelami sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya teks tersebut, yang dikenal dalam ilmu al-Quran
dengan asbab al-nuzul atausabab al-tanzil.
Hanya saja, yang menjadi persoalan bahwa tidak semua
ayat di dalam al-Quran mempunyai sabab al-nuzul, sehingga tidak
memungkinkan semua ayat dipahami dengan menggunakan sabab al-nuzul. Di
pihak lain, problem kemanusiaan semakin pesat bersamaan dengan perkembangan
zaman yang semakin dahsyat. Lalu, pertanyannya bagaimana metodologi pemahaman
keagamaan dapat menjembantani kerumitan dalam menangkap makna yang tersimpat
dalam teks suci? Apa saja parameter keabsahan dalam membaca teks agar mempunyai
relevansi dengan konteks, sehingga melahirkan pemahaman keagamaan yang moderat?
Dalam hal ini, kita perlu mempunyai kesadaran baru,
bahwa konsep sabab al-nuzul bukanlah konsep yang statis. Artinya, upaya
merujuk terhadap sebab-sebab turunnya teks tidak hanya bersandar pada sabab
al-nuzul yang sudah dikodifikasi ulama terdahulu, melainkan mendasari pada
realitas kekinian, sehingga dengan demikian terjadi rekontekstualisasi. Ketika
al-Quran diturunkan, al-Quran berhadapan dengan kondisi sosio-historis
tertentu, maka tak terelakkan saat ini Al-Quran pun berhadapan dengan problem
kemanusiaan yang jauh lebih rumit. Karena itu, pembacaan terhadap sabab
al-nuzul tidak hanya berdasarkan konsep lama yang telah tersedia, melainkan
bisa membaca problem kekinian secara saksama, sehingga mampu menguraikan makna
yang tersedia dalam teks secara jelas. Pada dasarnya, teks itu diam, otonom dan
tidak berbunyi, akan tetapi yang membuat teks tersebut berbunyi adalah manusia
sebagai penafsir terhadap teks. Di sinilah arti penting subyektivitas penafsir
dalam mencari makna yang tersimpan dalam teks.
Hemat saya, problem kemanusian, seperti ketidakadilan,
kekerasan, kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan bisa menjadi sabab
al-nuzul yang live di tengah-tengah masyarakat. Apabila Islam
dipahami sebagai agama keadilan, kedamaian, kemajuan dan kebebasan berpikir,
maka seluruh pemahaman terhadap doktrin keislaman sejatinya dapat membongkar
mitos-mitos pemahaman yang selama ini menghambat bagi lahirnya nuansa kemanusiaan
dalam Islam.
Salah satu hambatan yang muncul dalam pemahaman
keagamaan adalah unggulnya “nalar lafadz”. Artinya, bahwa yang dimaksud
kebenaran dalam teks adalah lafadz, bukan dialektika antara lafadz dengan
konteks. Salah satu kaidah yang digunakan secara fasih, bahwa sebuah hukum
harus merujuk kepada keumuman lafadz, bukan pada kekhususan sebab-musababnya (al-‘ibrah
bi ‘umum al-lafdz la bi khushus al-sabab) . Lafadz merupakan paramater
kebenaran, sehingga sebelum melakukan penalaran apapun harus melewati lafadz.
Lafadz dianggap mempunyai sakralitas tersendiri, bahkan diasumsikan dapat
menyelesaikan problem kemanusiaan di setiap ruang dan waktu. Dari cara pandang
inilah, lalu lahir makhluk yang bernama “pemahaman tekstual”.
Karena itu, pemahaman tekstual adalah produk dari
penalaran di atas yang berkembang cukup lama dalam tradisi Islam. Biasanya
pemahaman tekstual dikontradiksikan dengan pemahaman rasional. Salah satu
ungkapan yang masyhur: barangsiapa memahami al-Quran dengan rasio, maka ia
akan masuk neraka. Artinya, pemahaman yang benar dan bisa direkomendasikan
ke surga adalah pemahaman tekstual. Pemahaman tekstual mengandaikan bahwa
kebenaran yang mendapatkan legalitas dari Tuhan adalah kebenaran tekstual yang
tidak terjamah oleh manusia. Kebenaran tersebut disebut kebenaran absolut.
Sedangkan kebenaran kontekstual yang merupakan olah pikir, refleksi dan
teoritisasi dari manusia dianggap sebagai kebenaran yang bersifat nisbi,
relatif. Pemahaman tekstual dianggap menggunakan penalaran Tuhan, sedangkan
pemahaman kontekstual dianggap menggunakan penalaran manusia. Atas dasar itu,
dipahami secara turun-temurun, bahwa yang nisbi harus mengikuti yang absolut.
Manusia harus mengikuti Tuhan.
Pemahaman yang didasari pada sabab al-nuzul
mempunyai kebuntuan dan tidak diapresiasi secara saksama. Di sisi lain, yang
dipahami dengan sabab al-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi
turunnya ayat pada waktu itu, bukan sebab-sebab yang lahir setelah Al-Quran
dibukukan hingga zaman ini.
Karena itu, kaidah pemahaman di atas semestinya harus
dikembangkan menjadi kaidah yang lebih memberikan perhatian yang lebih besar
terhadap konteks atau sebab-sebab yang bersifat sosial dan manusiawi. Kaidah
alternatif yang diharapkan dapat menjembatani ketegangan antara teks dan
konteks adalah sebuah hukum didasari pada sebab-sebab yang bersifat khusus,
bukan didasari oleh lafadz yang bersifat umum (al-‘ibrah bi khushus al-sabab
la bi ‘umum al-lafdz) . Artinya, pencarian terhadap kebenaran teks tidak
hanya menggunakan pembedahan terhadap struktur teks, melainkan juga dapat
menggunakan pembacaan terhadap konteks sosial.7)
Penalaran semacam ini sebenarnya bukanlah barang
langka, bahkan dalam tradisi Islam sendiri. Umar bin Khattab menjadi salah satu
sahabat yang memberikan keteladanan dalam pemahaman yang lahir dari konteks
sosial-masyarakat. Misalnya dalam hal hukum tangan bagi pencuri. Al-Quran
secara eksplisit menjelaskan bahwa seseorang yang mencuri, baik laki-laki
maupun perempuan harus dipotong tangannya. Akan Umar bin Khattab mempunyai cara
pandang yang lain dalam memahami ayat tersebut. Tatkala ia menemukan dua orang
hamba sahaya yang mencuri harta majikannya, ia berijtihad bahwa kedua pencuri
tersebut tidak dipotong tangannya. Kedua hamba tersebut tidak memenuhi syarat untuk
mendapatkan hukuman potong tangan, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran,
karena majikan telah menelantarkan kedua hamba sahaya tersebut dalam kelaparan.
Bahkan, Umar bin Khattab mengancam, bila kedua hamba tersebut mencuri lagi
harta majikannya, maka sang majikanlah yang akan dipotong tangannya!
Pandangan Umar yang amat progresif ini ingin
menunjukkan sebuah cara pandang baru, bahwa keadilan sosial dan kesejahteraan
merupakan titik tolak sekaligus maksud utama dari teks suci. Hukuman potong
tangan yang dijelaskan dalam al-Quran tidak secara serta-merta dan tidak pula
secara harfiah bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat, tetapi mempunyai
syarat-syarat tertentu yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan. Dengan
demikian, kaidah pemahaman yang sebenarnya, “apabila keadilan ditegakkan dan
kesejahteraan telah merata di tengah-tengah masyarakat, maka hukum Tuhan baru
bisa ditegakkan. Sebaliknya, bila keadilan sosial dan kesejahteraan belum
terwujud, maka hukum Tuhan sejatinya harus mendahulukan kemaslahatan umum.”
Pandangan Umar bin Khattab di atas sebenarnya juga
ingin menjelaskan bahwa selain ada sabab al-nuzul yang bersifat
partikular dalam bentuk kasus-kasus dan peristiwa, sebenarnya terdapat sabab
al-nuzul yang bersifat universal, yang dikenal dengan hikmat al-tasyri’
dan maqashid al-syari’ah. Bahkan di balik firman Tuhan dan sabda Nabi
terhadap hikmah dan tujuan-tujuan utama yang hampir disepakati oleh akal budi
dan norma keagamaan sekalipun, yaitu keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan
kesetaraan. Bila teks suci secara harfiah merupakan sebuah kebenaran, maka
nilai-nilai tersebut merupakan kebenaran, yang tingkat keabsahannya di atas
keharfiahan teks suci. Karena hakikatnya, nilai-nilai tersebut merupakan titik
tolak sekaligus tujuan dari firman Tuhan dan sabda Nabi.
Karena itu, selain pendekatan—yang selama ini maklum
dan masyhur di sebagian besar komunitas muslim—yang mengandaikan pemahaman
bersumber dari dari teks langsung sebagai salah satu alternatif dalam memahami
Islam, maka sesungguhnya terdapat pendekatan mengandaikan perlunya melihat
Islam sebagai sumber etik, sekaligus sebagai alternatif baru. Di balik teks
terdapat moralitas dan etika sosial yang mendasari kelahiran teks, bahkan
moralitas dan etika sosial tersebut berlaku dalam semua agama samawi.
Dalam khazanah Islam, pandangan tersebut sebenarnya
sudah dijelaskan oleh oleh kosenp al-kulliyat al-khamsah, atau lima
prinsip yang mendasari keseluruhan hukum dan ketentuan-ketentuan dalam Islam.
Imam al-Syathiby menyebut sebagai al-dharuriyyat yaitu sejumlah nilai
yang menjadi sebuah keharusan untuk tegaknya kemaslahatan agama dan dunia. Bila
nilai-nilai tersebut hilang, maka dunia akan rapuh pula, sehingga mengakibatkan
kerugian yang besar bagi manusia.9) Karenanya, nilai-nilai tersebut disebut
sebagai nilai-nilai yang menjadi keharusan (al-dharuriyyat) , bahkan
untuk semua agama dan aliran kepercayaan.10)
Tapi konsep tersebut seringkali digunakan untuk
masalah-masalah ritual-peribadatan. Karenanya, perlu menghadirkan makna baru
terhadap konsep al-kulliyat al-khamsah. Ibarat air yang berada di dalam
gelas, konsep al-kulliyat al-khomsah adalah gelasnya, sedangkan fikih
adalah air yang berada di dalam gelas tersebut. Maka sebaiknya dilakukan
pembaruan terhadap isi yang berada di dalam gelas tersebut. Pemaknaan terhadap
konsep al-kulliyat al-khamsah menjadi penting untuk menghadirkan
makna-makna baru dalam agama. Muhammad al-Jabiry menjadi salah seorang pemikir
muslim yang berada di barisan ini yang mengandaikan perlunya pengayaan makna
terhadap al-kulliyat al-khamsah untuk mendorong lahirnya karakter progresif
Islam sebagai pembawa panji kemaslahatan. Dengan demikian, konsep al-kulliyat
al-khamsah bisa dijelaskan dengan pandangan berikut:
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as