Mendudukan Kembali Tradisi Islam (Tanggapan Untuk Ahmad Fuad Fanani) Oleh : Amin RH Tulisan Ahmad Fuad Fanani (AFF), Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), di harian Republika, 21 Mei 2004 yang berjudul “Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam” sangat menarik untuk dicermati. Isinya, tajam, menantang dan berani memasuki wilayah “sensitive” pemikiran Islam yang notabene tidak ada perselisihan diantara kaum muslim. Paradigma baru yang diajukan oleh AFF bukanlah hal baru, melainkan merupakan paradigma lama yang biasa digembar-gemborkan oleh “mazhab” Islam Liberal, hanya saja dikemas dengan istilah dan kemasan baru. Dalam tulisan tersebut, AFF menulis bahwa Islam yang otentik dan paling benar bukanlah Islam masa lalu yang dipraktekan oleh nabi Muhammad semasa hidupnya. Kebenaran Islam yang sejati menurutnya juga bukanlah dengan model penafsiran teks sebagaimana dilakukan oleh para sahabat. Karenanya, dalam upaya bagaimana menentukan sikap Islam ketika berhadapan dengan perkembangan zaman modernitas Barat maka perlu dilakukan kembali pembacaan ulang terhadap karya tafsir ulama masa lampau. Bahkan AFF dengan arogannya mengklaim tidak ada pembakuan tafsir yang betul-betul bisa menjamin keotentikan kebenaran ajaran Islam. Untuk mendukung gagasannya AFF mengutip pendapat Nasr Hamid Abu Zaid, “Antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Artinya, Islam sebagai wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu Islam yang universal itu dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah pemahaman. Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi”. Selanjutnya, AFF juga menekankan keberagaman (pluralisme) agama yang mengakui kebenaran agama lain. Paling tidak, disini ada 4 hal yang patut dijelaskan dan disingkap oleh penulis tentang kekeliruan gagasan-gagasan AFF tersebut; seputar pemahaman “wahyu terpisah dari pemahaman wahyu itu sendiri”, penafsiran literal dan non literal, berkaitan dengan meneladani (ittiba) rasul dan islamisasi, serta pluralisme atau keberagaman. Mendudukan Kembali A. Islam dan Pemahaman Islam Terpisah ? Gagasan “wahyu terpisah dari pemahaman wahyu itu sendiri” sebagaimana diungkapkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid - yang telah mendidik banyak cendikiawan, termasuk beberapa dari Indonesia - sebenarnya telah dikritik oleh banyak pemikir muslim, diantaranya Dr. Musthafa Tajuddin, pakar Ulumul Qur’an asal Maroko yang sekarang mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. Dr. Musthafa secara langsung pernah berdialog secara terbuka dengan Nasr Abu Zaid di Maroko. Dalam dialog tersebut Dr. Musthafa, banyak mengkritik secara tajam pendapat-pendapat Nasr tentang kritik terhadap teks al-Qur’an (satu studi yang biasa dilakukan terhadap Bible) dan pendapat Nasr Hamid , bahwa al-Qur’an adalah “a cultural product”. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu bukunya, “Mafhum al-Nash”, disana Nasr Abu Zaid mengungkapkan, “The whole Al-Qur’an adalah muntaj tsaqofi”, “bahwa al-Qur’an adalah “a cultural product”. Dr. Musthafa, dalam kritiknya mengungkapkan, bahwa karya Nasr Abu Zaid, sebenarnya bukanlah “scientific book”. Ia hanyalah mengungkapkan ide lama Mu’tazilah, bahwa al- Qur’an hanyalah satu “linguistic text”. Padahal, kata Musthafa, Al-Qur’an adalah “wahyu” dan sekaligus “a linguistic text”. Al-Qur’an adalah kalamullah. Karena itu, lanjut Dr. Musthafa, teks al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dari Allah, sebagai Dzat yang melahirkan al-Qur’an. Dengan anggapan bahwa bahwa al-Qur’an adalah “produk budaya”, memang Nasr Hamid bisa menafsirkan al-Qur’an dengan melepaskan al-Qur’an dari “pengarangnya”, yaitu Allah SWT. Dengan demikian pendapat bahwa wahyu terpisah dengan pemahaman wahyu itu sendiri jelas menyimpang. Al-Qur’an adalah kalamullah, karena itu, untuk memahaminya, maka harus dipahami, bahwa teks itu sendiri punya makna, bukan hanya diserahkan kepada pembacanya (reader). Maka, untuk memahami al-Qur’an, haruslah dipahami, bagaimana al- Qur’an itu sendiri menjelaskan maknanya, kemudian bagaimana Rasulluloh saw memberikan penjelasan dan bagaimana para sahabat Rasul memahami makna tersebut. Jadi, bukan teks itu dicabut dan disekulerkan, dipisahkan dari Allah SWT, lalu dipahami semata-mata secara produk cultural, yaitu sebagai teks bahasa semata. Di samping merujuk pendapat-pendapat Mu’tazilah, Nasr Hamid juga banyak menggunakan metode yang disebut Hermeneutic. Dan Ia seorang hermeneut. Dalam The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Salah satu prinsip penting dalam hermeneutika untuk memahami satu teks adalah menganalisis kondisi pengarang dari teks tersebut. Bapak hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Tentang penggunaan metode hermeneutika oleh Nasr Hamid untuk mendukung pendapatnya, Dr. Musthafa juga mengkritiknya. Misalnya, ia (Nasr Hamid) mengecam al-Shafii, Ash’arie dan menyanjung Mu’tazilah. Tetapi, karena sesuai dengan pendapatnya, dia mengutip al Jurjani, yang adalah juga penganut mazhab Syafi’i. Dalam hermeneutika, dia menganut Godamer dan membuang jenis hermeneutika lain yang tidak sejalan dengan Godamer – yang menganut hermeneutika subjective (the subjective meaning of text). Tapi, Nasr tidak mau menoleh kepada hermeneutika objektif, misalnya, yang dikembangkan oleh Umberto Eco dan sebagainya. B. Tafsir Literal Bukan Non Literal Berkaitan dengan penolakan AFF terhadap model penafsiran teks, yang biasa dilakukan oleh sahabat dan banyak kalangan ulama, adalah penolakan yang aneh dan cenderung mewarisi tradisi “tafsir hermeneutika” oleh para orientalis Kristen dan Yunani. Prof. Al-Attas, pada Konferensi Dunia Kedua Pendidikan Islam (Second World Conference on Muslim Education) di Islamabad, menyatakan dengan tegas, “bahwa ilmu Tafsir al- Qur’an benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain. Ilmu Tafsir al- Qur’an adalah penting karena ini benar-benar merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa At- Thabari (wafat 923 M) mengangapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang dipergunakan ummat Islam untuk memahami pengertian dan ajaran kitab suci al-Qur’an, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”. Selanjutnya, Al-Attas menambahkan, tafsir adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi, sebab Nabi telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah kenabian, seperti yang terbukti pada ayat, “agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka” (TQS. An-Nahl [16]: 44). Karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dengan mengikuti cara-cara retorika orang-orang Arab, maka orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi memahami makna ayat al-Qur’an serta situasi ketika diturunkannya (sha’n dan asbab al-nuzul). Meskipun demikian, terdapat aspek-aspek ayat dan ajaran al- Qur’an yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari Nabi, baik secara verbal (perkataan) ataupun tingkah laku yang kemudian disebut as-sunnah. Pengetahuan tentang as-sunnah inilah menjadi salah satu pra syarat yang asasi bagi pemahaman dan penafsiran al-Qur’an. Pra syarat lain, menurut al-Suyuthi, adalah pengetahuan ilmu linguistik Arab, seperti lexicografi, Tatabahasa, Konjugasi dan retorika, Ilmu Fiqih, pengetahuan tentang berbagai macam bacaan al-Qur’an, ilmu Asbabunnuzul dan ilmu Nasikh Mansukh. Dari gambaran singkat diatas, sangatlah jelas bahwa ilmu penafsiran al-Qur’an sangat berbeda dari hermeneutik atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen atau tradisi agama lain. Dasar yang sangat fundamental dari perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas teks serta keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci itu. Ummat Islam secara universal menyakini teks al-Qur’an sebagai kata-kata Tuhan yang diwahyukan secara verbatim kepada nabi, dan banyak yang menghafal dan menulis ayat-ayatnya ketika Nabi masih hidup. Adanya berbagai variasi bacaan al-Qur’an telah diketahui dan diakui oleh orang-orang terdahulu yang berwenang dan dianggap sebagai tidak penting: karena semua itu berbeda hanya dalam kata-kata yang mengandung pengertian yang sama. Sebaliknya, orang-orang Yunani, seperti juga orang-orang Hindu, Budha tidak pernah mempercayai seorang Nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat mereka, kebanyakan berdasarkan pada mitologi (mitos-mitos), puisi dan spekulasi filosof-filosof mereka yang bermacam-macam. Kitab Bible (Perjanjian lama dan Perjanjian baru) juga mempunyai masalah yang sama. Menurut para cendikiawan mereka, kitab Bible tidak dibangun sepenuhnya atas dasar aqliyah yang menunjukkan keasliannya, tapi berdasarkan pada keimanan atau sikap dogmatis belaka. Seperti yang dinyatakan oleh seorang cendikiawan, “Teks Bible yang sekarang berada di tangan kita memiliki satu kekhususan: meski usianya yang cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak terlambat, oleh sebab itu dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga 1000 tahun) telah banyak berubah dari aslinya...”. Dalam Encyclopedia Britannica juga menyatakan, “individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors” (gaya dan kosakata masing-masing yang ditemukan pada berbagai pengarang mengenai Bible). Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan kalam Tuhan secara harfiah (literal). Bahkan, ketika ada aliran yang menyakini bahwa lafadz Bible itu kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Oleh karena itu mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan kalam Tuhan. Kritik lain, penafsiran tidak boleh literal tapi harus non literal, juga tidaklah sesuai dengan fakta. Sebab, hukum asal (al-ashlu) dari setiap kata dan pernyataan adalah literal dan jelas. Sebagai contoh kalimat: “Saya ingin makan”, makna awal yang difahami adalah ia ingin makan karena lapar. Tidak dapat kemudian dipahami dia ingin jalan-jalan, dengan alasan bahwa “makan” dalam konteks tersebut adalah “makan angin” (jalan-jalan). Suatu makna awal literal dapat berubah menjadi non literal apabila terdapat pernyataan-pernyataan lain yang menunjukkan perubahan makna tersebut. Begitu pula al-Qur’an. Kitab suci umat Islam ini merupakan kalamullah, firman-firman Allah SWT yang berupa pernyataan-pernyataan. Jadi, hukum asal dari makna ayat-ayatnya adalah literal dan jelas selama tidak ada nash lain sebagai qarinah (indikasi) yang mengubah makna tersebut. Selanjutnya, penggunaan tafsir non literal sebagaimana digagas AFF juga sering terjadi ketidakkonsistenan. Sebagai misal, ketika mereka kukuh memaknai jihad sebagai “aktivitas penuh kesungguhan”. Padahal ini adalah makna literal bukan non literal. Sebaliknya, nash-nash yang mengandung kata jihad menunjukkan makna non literal: perang. Perbuatan Rasulluloh pun ketika turun ayat-ayat “jihad” yang dilakukannya adalah perang. Jadi, bila mereka konsisten dengan konsep penafsiran non literal semestinya memaknai jihad sebagai perang bukan sebatas “sungguh-sungguh”. Contoh lain, adalah kata “Islam”, mereka memaknainya dengan “berserah diri”. Semua agama yang berserah diri disebut “Islam”. Padahal, “Islam” dalam arti “berserah diri” merupakan makna literal dalam bahasa Arab. Bila semua kata “Islam: dan turunannya dalam dalam al-Qur’an, dihubungkan dengan hadits serta tindakan Rasul menyeru para penguasa dengan kalimat “aslim taslam” maka akan diketahui bahwa “Islam” dalam al-Qur’an tersebut maknanya adalah dien yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesama manusia. Adanya batasan, “kepada nabi Muhammad SAW” telah mengecualikan agama lain, selain agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW; baik agama yang diturunkan kepada nabi Musa, Isa maupun yang lain. Apakah Kristen, Yahudi ataukah agama-agama nabi dan rasul yang lain (Islam: Politik Spritual, Hafidz Abdurrahman, Singapore, 1998). Berdasarkan pada penjelasan ringkas diatas dapat disimpulkan bahwa Tafsir adalah benar-benar merupakan suatu metode ilmiah. Tafsir yang benar adalah yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan tentang “bidang-bidang” bahasa Arab, al-Qur’an serta hadits dan sunnah. Maka dari itu, Tafsir tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi-interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subyektif. C. Ittiba Rasul dan Islamisasi Kekhwatiran AFF untuk kembali ke “praktek masa lalu” juga sesuatu yang aneh dan menunjukkan “ketidakmengertiannya” akan ittiba rasul. Jika ittiba Rasul yang dipahami AFF sebagai hidup sebagaimana zaman nabi; berkendaraan pakai onta atau kuda, berpakaian harus jubah atau gamis, perang menggunakan pedang tidak boleh rudal atau tank, tentu saja sangat keliru. Berkaitan dengan ittiba Rasul – yang wajib bagi setiap muslim – harus memenuhi tiga kualifikasi, 1) mumatsalah (sama persis). Misalnya, bagaimana Rasul SAW memotong tangan bagi pencuri, yaitu hanya tangan kanan dan pada pergelangannya Tidak boleh kemudian memotong pada bagian sikunya. 2) ‘ala wajhih (jika Rasul mewajibkan harus diwajibkan, dan jika mensunahkan harus disunahkan, dan seterusnya). 3) min ajlih (sesuai dengan timing pelaksanaan Nabi. Sebagai contoh, pelaksanaan ibadah Haji, hanya boleh dilakukan pada bulan Dzullhijah. Sehingga gagasan Masdar F Masudi, bahwa pelaksanaan ibadah haji boleh dilakukan di luar bulan Dzullhijah, di bulan Ramadhan misalnya, jelas-jelas aneh dan ngawur. Sebagaimana juga ibadah sholat lima waktu, hanya boleh dilakukan pada saat telah tiba waktu nya, kecuali ketika ada keadaan dimana syara membolehkannya. Sedangkan konsep Islamisasi kehidupan juga perlu diluruskan. Islam mengenal 2 kategori saat membahas tentang peradaban; hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan pemahaman (majmu’ah mafahim) yang menyangkut pandangan hidup. Ini oleh Islam ditolak karena menyangkut pemikiran atau ideology tertentu yang khas, seperti demokrasi, nasionalisme, pluralisme dll. Sedangkan madaniyah adalah bentuk materi hasil teknologi. Madaniyah asal tidak terkait dengan hadharah selain Islam, maka madaniyah dari manapun boleh diambil. Sebagai contoh, masa ketika Rasul saw mengadopsi bentuk mata uang Romawi. D. Pluralisme Tuduhan AFF terhadap penafsiran ulama-ulama dahulu – bahwa “Islam adalah agama yang paling benar”– tidak menghargai pluralisme dan cenderung mengakibatkan konflik diantara umat beragama lain, adalah tuduhan yang keliru dan cenderung menutup mata terhadap realitas yang ada. Fakta membuktikan, bahwa eksklusivisme teologis tidak secara otomatis menciptakan intoleransi atau konflik antar agama. Sejarah peradaban Islam di zaman Nabi saw, para sahabat, di masa Andalusia, Khilafah Utsmani dan sebagainya sudah membuktikan hal itu. Bahkan banyak sekali hadits Nabi saw yang memerintahkan kaum muslim menghormati kepercayaan agama lain, meskipun pada saat yang sama al-Qur’an penuh dengan kritikan terhadap konsep teologis Kristen, Yahudi dan kaum kafir Musyrik. Sebutan “kafir” dalam al-Qur’an juga bukanlah berarti memerintahkan kaum muslim untuk mengkafir-kafirkan orang yang tidak kafir. Atau rajin mendatangi kaum non-muslim sambil menuding-nuding, “kamu kafir” dan sebagainya. Namun, yang semestinya “kafir” sudah sepatutnya ditempatkan pada tempatnya sebagai kafir. Kalau dia mati pun “sudah ada kuburnya masing-masing”. Islam memang menyebut kaum non-muslim sebagai kafir. Dan itu tidak berarti kaum muslim boleh memaksa mereka memeluk Islam (QS. 2:256), atau memusuhi kaum non-muslim karena perbedaan agama. Bahkan, jika diteliti dengan cermat, konflik antara agama di Indonesia, juga bukan terjadi akibat factor eksklusivitas teologis. Konflik Islam-Kristen justru mulai muncul tahun 1967, saat Orde Baru mulai menerapkan kebijakan sekulerisasi dan mengenalkan konsep SARA. Konflik terbaru di Ambon beberapa waktu yang lalu, juga membuktikan, bahwa meskipun di sana terdapat masyarakat Kristen dan Islam, tetapi konflik yang muncul bukanlah karena perbedaan konsep teologis, namun ulah dari gerakan FKM (Front Kedaulatan Maluku) dan itu sudah diakui sendiri oleh kedua komunitas keagamaan dan aparat keamanan di sana. |
Login
info rakyat
Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin
---------------
PEMBERITAHUAN....
SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865
PEMBERITAHUAN....
SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865
Sekilas Info
Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin
kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]
tradisi islam
kutubuku- Mega Ultimate Member
- Zodiac : Jumlah posting : 297
Join date : 18.06.10
Age : 37
Lokasi : rahasia
- Post n°1
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as