Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    tradisi islam

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 37
    Lokasi : rahasia

    tradisi islam Empty tradisi islam

    Post by kutubuku Sun Jun 27, 2010 8:09 pm


    Mendudukan Kembali Tradisi Islam

    (Tanggapan
    Untuk Ahmad Fuad Fanani)


    Oleh : Amin RH



    Tulisan Ahmad Fuad
    Fanani (AFF), Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
    (JIMM), di harian Republika, 21 Mei 2004 yang berjudul “Menghindari Kejumudan
    Penafsiran Islam” sangat menarik untuk dicermati. Isinya, tajam, menantang
    dan berani memasuki wilayah “sensitive” pemikiran Islam yang notabene tidak
    ada perselisihan diantara kaum muslim. Paradigma baru yang diajukan oleh AFF
    bukanlah hal baru, melainkan merupakan paradigma lama yang biasa
    digembar-gemborkan oleh “mazhab” Islam Liberal, hanya saja dikemas dengan
    istilah dan kemasan baru.


    Dalam tulisan tersebut, AFF menulis bahwa
    Islam yang otentik dan paling benar bukanlah Islam masa lalu yang dipraktekan
    oleh nabi Muhammad semasa hidupnya. Kebenaran Islam yang sejati menurutnya
    juga bukanlah dengan model penafsiran teks sebagaimana dilakukan oleh para
    sahabat. Karenanya, dalam upaya bagaimana menentukan sikap Islam ketika
    berhadapan dengan perkembangan zaman modernitas Barat maka perlu dilakukan
    kembali pembacaan ulang terhadap karya tafsir ulama masa lampau. Bahkan AFF
    dengan arogannya mengklaim tidak ada
    pembakuan tafsir yang betul-betul bisa menjamin keotentikan kebenaran ajaran
    Islam.


    Untuk mendukung gagasannya AFF mengutip
    pendapat Nasr Hamid Abu Zaid, “Antara Islam dan pemahaman Islam haruslah
    dibedakan. Artinya, Islam sebagai wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan
    berlaku sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu Islam yang
    universal itu dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah
    pemahaman. Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis
    dan perkembangan zaman yang terjadi”. Selanjutnya, AFF juga menekankan
    keberagaman (pluralisme) agama yang mengakui kebenaran agama lain.


    Paling tidak, disini ada 4 hal yang patut
    dijelaskan dan disingkap oleh penulis tentang kekeliruan gagasan-gagasan AFF
    tersebut; seputar pemahaman “wahyu terpisah dari pemahaman wahyu itu
    sendiri”, penafsiran literal dan non literal, berkaitan dengan meneladani (ittiba)
    rasul dan islamisasi, serta pluralisme atau keberagaman.


    Mendudukan Kembali

    A. Islam dan Pemahaman Islam Terpisah ?

    Gagasan “wahyu terpisah dari pemahaman wahyu itu
    sendiri” sebagaimana diungkapkan oleh
    Nasr Hamid Abu Zaid - yang telah mendidik banyak cendikiawan, termasuk
    beberapa dari Indonesia - sebenarnya telah dikritik oleh banyak pemikir
    muslim, diantaranya Dr. Musthafa Tajuddin, pakar Ulumul Qur’an asal Maroko
    yang sekarang mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. Dr.
    Musthafa secara langsung pernah berdialog secara terbuka dengan Nasr Abu Zaid
    di Maroko. Dalam dialog tersebut Dr. Musthafa, banyak mengkritik secara tajam
    pendapat-pendapat Nasr tentang kritik terhadap teks al-Qur’an (satu studi
    yang biasa dilakukan terhadap Bible) dan pendapat Nasr Hamid , bahwa
    al-Qur’an adalah “a cultural product”. Sebagaimana disebutkan dalam
    salah satu bukunya, “Mafhum al-Nash”, disana Nasr Abu Zaid
    mengungkapkan, “The whole Al-Qur’an adalah muntaj tsaqofi”, “bahwa al-Qur’an
    adalah “a cultural product”.


    Dr. Musthafa, dalam kritiknya
    mengungkapkan, bahwa karya Nasr Abu Zaid, sebenarnya bukanlah “scientific
    book”.
    Ia hanyalah mengungkapkan ide lama Mu’tazilah, bahwa al- Qur’an
    hanyalah satu “linguistic text”. Padahal, kata Musthafa, Al-Qur’an
    adalah “wahyu” dan sekaligus “a linguistic text”. Al-Qur’an adalah
    kalamullah. Karena itu, lanjut Dr. Musthafa, teks al-Qur’an tidak bisa
    dipisahkan dari Allah, sebagai Dzat yang melahirkan al-Qur’an. Dengan
    anggapan bahwa bahwa al-Qur’an adalah “produk budaya”, memang Nasr Hamid bisa
    menafsirkan al-Qur’an dengan melepaskan al-Qur’an dari “pengarangnya”, yaitu
    Allah SWT. Dengan demikian pendapat bahwa wahyu terpisah dengan pemahaman
    wahyu itu sendiri jelas menyimpang. Al-Qur’an adalah kalamullah, karena itu,
    untuk memahaminya, maka harus dipahami, bahwa teks itu sendiri punya makna,
    bukan hanya diserahkan kepada pembacanya (reader). Maka, untuk memahami
    al-Qur’an, haruslah dipahami, bagaimana al- Qur’an itu sendiri menjelaskan
    maknanya, kemudian bagaimana Rasulluloh saw memberikan penjelasan dan
    bagaimana para sahabat Rasul memahami makna tersebut. Jadi, bukan teks itu
    dicabut dan disekulerkan, dipisahkan dari Allah SWT, lalu dipahami
    semata-mata secara produk cultural, yaitu sebagai teks bahasa semata.


    Di samping merujuk pendapat-pendapat
    Mu’tazilah, Nasr Hamid juga banyak menggunakan metode yang disebut Hermeneutic.
    Dan Ia seorang hermeneut. Dalam The New Encyclopedia Britannica
    menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang
    interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical
    interpretation).
    Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan
    kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Salah satu prinsip penting dalam
    hermeneutika untuk memahami satu teks adalah menganalisis kondisi pengarang
    dari teks tersebut. Bapak hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher
    (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada
    analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan)
    pengarangnya.


    Tentang
    penggunaan metode hermeneutika oleh Nasr Hamid untuk mendukung
    pendapatnya, Dr. Musthafa juga mengkritiknya. Misalnya, ia (Nasr Hamid)
    mengecam al-Shafii, Ash’arie dan menyanjung Mu’tazilah. Tetapi, karena sesuai
    dengan pendapatnya, dia mengutip al Jurjani, yang adalah juga penganut mazhab
    Syafi’i. Dalam hermeneutika, dia menganut Godamer dan membuang jenis
    hermeneutika lain yang tidak sejalan dengan Godamer – yang menganut hermeneutika
    subjective (the subjective meaning of text).
    Tapi, Nasr tidak mau menoleh
    kepada hermeneutika objektif, misalnya, yang dikembangkan oleh Umberto Eco
    dan sebagainya.


    B. Tafsir Literal Bukan Non Literal

    Berkaitan dengan penolakan AFF terhadap model
    penafsiran teks, yang biasa dilakukan oleh sahabat dan banyak kalangan ulama,
    adalah penolakan yang aneh dan cenderung mewarisi tradisi “tafsir
    hermeneutika”
    oleh para orientalis Kristen dan Yunani. Prof. Al-Attas,
    pada Konferensi Dunia Kedua Pendidikan Islam (Second World Conference on
    Muslim Education)
    di Islamabad, menyatakan dengan tegas, “bahwa ilmu
    Tafsir al- Qur’an benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani juga
    tidak identik dengan hermeneutika
    Kristen, dan tidak juga sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur
    dan agama lain. Ilmu Tafsir al- Qur’an adalah penting karena ini benar-benar
    merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan,
    pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam. Itulah sebabnya mengapa At-
    Thabari (wafat 923 M) mengangapnya sebagai yang terpenting dibanding dengan
    seluruh pengetahuan dan ilmu. Ini adalah ilmu yang dipergunakan ummat Islam
    untuk memahami pengertian dan ajaran kitab suci al-Qur’an, hukum-hukumnya dan
    hikmah-hikmahnya”.


    Selanjutnya, Al-Attas menambahkan, tafsir
    adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi, sebab Nabi
    telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan risalah kenabian,
    seperti yang terbukti pada ayat, “agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan
    kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka”
    (TQS. An-Nahl [16]:
    44). Karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dengan mengikuti cara-cara
    retorika orang-orang Arab, maka orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi
    memahami makna ayat al-Qur’an serta situasi ketika diturunkannya (sha’n
    dan asbab al-nuzul).
    Meskipun demikian, terdapat aspek-aspek ayat dan
    ajaran al- Qur’an yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari Nabi, baik
    secara verbal (perkataan) ataupun tingkah laku yang kemudian disebut
    as-sunnah. Pengetahuan tentang as-sunnah inilah menjadi salah satu pra syarat
    yang asasi bagi pemahaman dan penafsiran al-Qur’an. Pra syarat lain, menurut
    al-Suyuthi, adalah pengetahuan ilmu linguistik Arab, seperti lexicografi,
    Tatabahasa, Konjugasi dan retorika, Ilmu Fiqih, pengetahuan tentang berbagai
    macam bacaan al-Qur’an, ilmu Asbabunnuzul dan ilmu Nasikh Mansukh.


    Dari gambaran singkat diatas, sangatlah jelas bahwa ilmu penafsiran
    al-Qur’an sangat berbeda dari hermeneutik atau ilmu penafsiran kitab-kitab
    Yunani, Kristen atau tradisi agama lain. Dasar yang sangat fundamental dari
    perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas
    teks serta keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci itu.
    Ummat Islam secara universal menyakini teks al-Qur’an sebagai kata-kata Tuhan
    yang diwahyukan secara verbatim kepada nabi, dan banyak yang menghafal dan
    menulis ayat-ayatnya ketika Nabi masih hidup. Adanya berbagai variasi bacaan
    al-Qur’an telah diketahui dan diakui oleh orang-orang terdahulu yang
    berwenang dan dianggap sebagai tidak penting: karena semua itu berbeda hanya
    dalam kata-kata yang mengandung pengertian yang sama. Sebaliknya, orang-orang
    Yunani, seperti juga orang-orang Hindu, Budha tidak pernah mempercayai
    seorang Nabi atau wahyu. Pandangan keagamaan, tradisi dan adat istiadat
    mereka, kebanyakan berdasarkan pada mitologi (mitos-mitos), puisi dan
    spekulasi filosof-filosof mereka yang bermacam-macam.


    Kitab Bible (Perjanjian lama dan Perjanjian
    baru) juga mempunyai masalah yang sama. Menurut para cendikiawan mereka,
    kitab Bible tidak dibangun sepenuhnya atas dasar aqliyah yang
    menunjukkan keasliannya, tapi berdasarkan pada keimanan atau sikap dogmatis
    belaka. Seperti yang dinyatakan oleh seorang cendikiawan, “Teks Bible yang
    sekarang berada di tangan kita memiliki satu kekhususan: meski usianya yang
    cukup lama, ia datang kepada kita dalam bentuk manuskrip-manuskrip yang agak
    terlambat, oleh sebab itu dengan perjalanan waktu (lebih kurang hingga 1000
    tahun) telah banyak berubah dari aslinya...”. Dalam Encyclopedia
    Britannica
    juga menyatakan, “individuality of style and vocabulary
    found in the various biblical authors”
    (gaya dan kosakata masing-masing
    yang ditemukan pada berbagai pengarang mengenai Bible). Adanya perbedaan
    pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan kalam Tuhan
    secara harfiah (literal). Bahkan, ketika ada aliran yang menyakini bahwa
    lafadz Bible itu kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim
    dalam memahami Bible. Oleh karena itu mereka hampir sepakat bahwa Bible secara
    harfiahnya bukan kalam Tuhan.


    Kritik lain,
    penafsiran tidak boleh literal tapi harus non literal, juga tidaklah sesuai
    dengan fakta. Sebab, hukum asal (al-ashlu) dari setiap kata dan pernyataan
    adalah literal dan jelas. Sebagai contoh kalimat: “Saya ingin makan”, makna
    awal yang difahami adalah ia ingin makan karena lapar. Tidak dapat kemudian
    dipahami dia ingin jalan-jalan, dengan alasan bahwa “makan” dalam konteks
    tersebut adalah “makan angin” (jalan-jalan). Suatu makna awal literal dapat
    berubah menjadi non literal apabila terdapat pernyataan-pernyataan lain yang
    menunjukkan perubahan makna tersebut. Begitu pula al-Qur’an. Kitab suci umat
    Islam ini merupakan kalamullah, firman-firman Allah SWT yang berupa
    pernyataan-pernyataan. Jadi, hukum asal dari makna ayat-ayatnya adalah
    literal dan jelas selama tidak ada nash lain sebagai qarinah (indikasi) yang
    mengubah makna tersebut.


    Selanjutnya,
    penggunaan tafsir non literal sebagaimana digagas AFF juga sering terjadi
    ketidakkonsistenan. Sebagai misal, ketika mereka kukuh memaknai jihad sebagai
    “aktivitas penuh kesungguhan”. Padahal ini adalah makna literal bukan non
    literal. Sebaliknya, nash-nash yang mengandung kata jihad menunjukkan makna
    non literal: perang. Perbuatan Rasulluloh pun ketika turun ayat-ayat “jihad”
    yang dilakukannya adalah perang. Jadi, bila mereka konsisten dengan konsep
    penafsiran non literal semestinya memaknai jihad sebagai perang bukan sebatas
    “sungguh-sungguh”. Contoh lain, adalah kata “Islam”, mereka memaknainya
    dengan “berserah diri”. Semua agama yang berserah diri disebut “Islam”.
    Padahal, “Islam” dalam arti “berserah diri” merupakan makna literal dalam
    bahasa Arab. Bila semua kata “Islam: dan turunannya dalam dalam al-Qur’an,
    dihubungkan dengan hadits serta tindakan Rasul menyeru para penguasa dengan
    kalimat “aslim taslam” maka akan diketahui bahwa “Islam” dalam al-Qur’an
    tersebut maknanya adalah dien yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul
    Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan
    dengan sesama manusia. Adanya batasan, “kepada nabi Muhammad SAW
    telah mengecualikan agama lain, selain agama yang diturunkan kepada nabi
    Muhammad SAW; baik agama yang diturunkan kepada nabi Musa, Isa maupun yang
    lain. Apakah Kristen, Yahudi ataukah agama-agama nabi dan rasul yang lain
    (Islam: Politik Spritual, Hafidz Abdurrahman, Singapore, 1998).


    Berdasarkan pada
    penjelasan ringkas diatas dapat disimpulkan bahwa Tafsir adalah benar-benar
    merupakan suatu metode ilmiah. Tafsir yang benar adalah yang berdasarkan pada
    ilmu pengetahuan yang mapan tentang “bidang-bidang” bahasa Arab, al-Qur’an
    serta hadits dan sunnah. Maka dari itu, Tafsir tidak ada ruang bagi terkaan
    atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi-interpretasi yang
    berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subyektif.


    C. Ittiba Rasul dan Islamisasi

    Kekhwatiran AFF
    untuk kembali ke “praktek masa lalu” juga sesuatu yang aneh dan menunjukkan
    “ketidakmengertiannya” akan ittiba rasul. Jika ittiba Rasul yang dipahami AFF
    sebagai hidup sebagaimana zaman nabi; berkendaraan pakai onta atau kuda,
    berpakaian harus jubah atau gamis, perang menggunakan pedang tidak boleh
    rudal atau tank, tentu saja sangat keliru.


    Berkaitan dengan
    ittiba Rasul – yang wajib bagi setiap
    muslim – harus memenuhi tiga kualifikasi, 1) mumatsalah (sama persis).
    Misalnya, bagaimana Rasul SAW memotong tangan bagi pencuri, yaitu hanya
    tangan kanan dan pada pergelangannya Tidak boleh kemudian memotong pada
    bagian sikunya. 2) ‘ala wajhih
    (jika Rasul mewajibkan harus diwajibkan, dan jika mensunahkan harus
    disunahkan, dan seterusnya). 3) min ajlih (sesuai dengan timing
    pelaksanaan Nabi. Sebagai contoh, pelaksanaan ibadah Haji, hanya boleh
    dilakukan pada bulan Dzullhijah. Sehingga gagasan Masdar F Masudi, bahwa
    pelaksanaan ibadah haji boleh dilakukan di luar bulan Dzullhijah, di bulan
    Ramadhan misalnya, jelas-jelas aneh dan ngawur. Sebagaimana juga ibadah
    sholat lima waktu, hanya boleh dilakukan pada saat telah tiba waktu nya,
    kecuali ketika ada keadaan dimana syara membolehkannya.


    Sedangkan konsep
    Islamisasi kehidupan juga perlu diluruskan.
    Islam mengenal 2 kategori saat membahas tentang
    peradaban; hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan
    pemahaman (majmu’ah mafahim) yang menyangkut pandangan hidup. Ini oleh
    Islam ditolak karena menyangkut pemikiran atau ideology tertentu yang
    khas, seperti demokrasi, nasionalisme, pluralisme dll. Sedangkan madaniyah
    adalah bentuk materi hasil teknologi. Madaniyah asal tidak terkait dengan
    hadharah selain Islam, maka madaniyah dari manapun boleh diambil. Sebagai
    contoh, masa ketika Rasul saw mengadopsi bentuk mata uang Romawi.


    D. Pluralisme

    Tuduhan AFF terhadap penafsiran ulama-ulama dahulu –
    bahwa “Islam adalah agama yang paling benar”– tidak menghargai pluralisme dan
    cenderung mengakibatkan konflik diantara umat beragama lain, adalah tuduhan
    yang keliru dan cenderung menutup mata terhadap realitas yang ada. Fakta membuktikan, bahwa eksklusivisme
    teologis tidak secara otomatis menciptakan intoleransi atau konflik antar
    agama. Sejarah peradaban Islam di zaman Nabi saw, para sahabat, di masa
    Andalusia, Khilafah Utsmani dan sebagainya sudah membuktikan hal itu. Bahkan
    banyak sekali hadits Nabi saw yang memerintahkan kaum muslim menghormati
    kepercayaan agama lain, meskipun pada saat yang sama al-Qur’an penuh dengan
    kritikan terhadap konsep teologis Kristen, Yahudi dan kaum kafir Musyrik.
    Sebutan “kafir” dalam al-Qur’an juga bukanlah berarti memerintahkan kaum
    muslim untuk mengkafir-kafirkan orang yang tidak kafir. Atau rajin mendatangi
    kaum non-muslim sambil menuding-nuding, “kamu kafir” dan sebagainya. Namun,
    yang semestinya “kafir” sudah sepatutnya ditempatkan pada tempatnya sebagai
    kafir. Kalau dia mati pun “sudah ada kuburnya masing-masing”. Islam memang
    menyebut kaum non-muslim sebagai kafir. Dan itu tidak berarti kaum muslim
    boleh memaksa mereka memeluk Islam (QS. 2:256), atau memusuhi kaum non-muslim
    karena perbedaan agama.


    Bahkan, jika
    diteliti dengan cermat, konflik antara agama di Indonesia, juga bukan terjadi
    akibat factor eksklusivitas teologis. Konflik Islam-Kristen justru mulai
    muncul tahun 1967, saat Orde Baru mulai menerapkan kebijakan sekulerisasi dan
    mengenalkan konsep SARA. Konflik terbaru di Ambon beberapa waktu yang lalu,
    juga membuktikan, bahwa meskipun di sana terdapat masyarakat Kristen dan
    Islam, tetapi konflik yang muncul bukanlah karena perbedaan konsep teologis,
    namun ulah dari gerakan FKM (Front Kedaulatan Maluku) dan itu sudah diakui
    sendiri oleh kedua komunitas keagamaan dan aparat keamanan di sana.


      Waktu sekarang Mon Nov 25, 2024 11:13 pm