Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    ahlussunnah wal jama'ah sebagai manhaj fiqr

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 37
    Lokasi : rahasia

    ahlussunnah wal jama'ah sebagai manhaj fiqr Empty ahlussunnah wal jama'ah sebagai manhaj fiqr

    Post by kutubuku Wed Jun 30, 2010 6:56 pm

    AHLUSSUNAH WAL
    JAMA’AH SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR


    YANG MODERAT UNTUK
    MEMAHAMI AJARAN ISLAM








    Oleh
    : Dodik Prasetyo








    A. PENDAHULUAN




    Membincangkan Ahlussunah
    wal Jama’ah (Aswaja), berarti membincangkan Islam itu sendiri, mengingat
    tradisi Islam yang selama ini menjadi ritualitas kita adalah Islam Ahlussunah
    wal Jama’ah,mulai pada wilayah teologi/kalamologi, syar’I sampai pada ranah
    sufistik. Terminologi yang umum melekat pada Aswaja selama ini dimaknai sebagai
    salah satu “model” dalam Islam (Firqotul
    Islamiyah).
    Dalam hal teologi mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur
    Al-Maturidi, dalam hal tasawuf mengikuti Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali dan Imam
    Junaid Al-Baghdadi, dalam hal praktek peribadatan mengikuti empat madzhab
    (Hambali, Syafi’I, Hanafi dan Maliki)


    Pemahaman Aswaja seperti
    tersebut di atas amatlah simpel dan terbatas. Sehingga tidak bisa mengantarkan
    kita kepada pemahaman sesungguhnya terhadap Aswaja itu sendiri. Sebab Aswaja
    pada dasarnya bukanlah Madzhab akan tetapi sebuah metodologi dan kerangka berfikir
    (Manhaj Al-Fikr) yang digariskan oleh
    sahabat terdahulu yang relatif bersih dari kepentingan politik saat itu. Namun
    demikian dalam perjalanan proses selanjutnya mengalami proses interaksi dengan
    pelembagaan aliran-aliran lain yang ada saat itu. Sehingga keberadaannyapun
    relatif tidak bisa lepas dari kondisi politik.


    Agar
    lebih jelas cakrawala pandangan kita terhadap term tersebut adalah keharusan
    kita untuk memahami Aswaja perspektif historis.





    B. LATAR
    KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA





    Ketika kita menggali cerita
    tentang Aswaja, berarti merunut perjalanan Islam sesudah Rasul wafat. Seperti
    kita ketahui bersama kehudupan keberagamaan selama Rasul masih hidup relatif
    tidak ada konflik,karena ketika ada permasalahan langsung dirujukkan kepada
    Rasul dan Sabda Rasul (dengan bimbingan/petunjuk Tuhan) bisa dijadikan rumusan
    penyelesaian masalah.


    Konteks
    berbeda ketika Rasul telah wafat, seolah kaum muslimin/para sahabat saat itu
    kehilangan pegangan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.permasalahan yang
    signifikan adalah kasus terbunuhnya Sayidina Ustman r.a. yang akhirnya menjadi
    “fitnah besar” di antara para sahabat (Al-Fitnatul
    Kubro)
    .Kekholifahan Sayidina Ali yang kurang didukung oleh sebagian kaum
    muslimin terutama Muawiyah bin Abu Sofyan (yang sebelumnya pendukung Ustman)
    menjadikan konflik berkepanjangan.konflik tersebut diakhiri dengan perundingan
    “tahkim” di bukit Baitul Jandal antara pengikut Ali dan Muawiyah. Hasil akhir
    yang menjadikan Muawiyah sebagai pemimpin tidak bisa diterima secara aklamasi
    oleh forum tersebut. Rupanya dari perselisihan politik ini ternyata melebar
    menjadi persoalan kalam. Sebagian orang yang semula setia dengan Ali (bagian
    dari Syi’ah), memisahkan diri dan menamakandiri sebagai Khowarij mengatakan
    bahwa Ali,Muawiyah, Amru bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan semua yang mengikuti
    forum tersebut adalah “kafir” atau murtad (Apostate).Karena Khowarij berpedoman
    pada ayat : “Barang siapa yang tidak
    memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah adalah
    orang-orang kafir.”
    (Q.S. AL-Maidah: 44)



    Dari
    sini mereka mengambil semboyan La hukma
    illa lillah
    (tiada hukum selain dari Allah). Klaim ini berkembang juga pada
    orang yang berbuat dosa, pertanyannya dalah : Apakah seorang muslim yang
    berbuat dosa besar itu masih menyandang predikat mukmin ? Khowarij memfonisnya
    dengan kafir,karena pelaku dosa besar berarti telah melanggar larangan Allah
    dan artinya keluar dari agama Islam dan karenanya mesti dibunuh. Ironisnya
    klaim tersebut oleh Khowarij diperlebar hingga muslim yang bukan pengikut
    Khowarij juga dihakimi kafir.



    Kelompok
    yang merespon lain atas penghakiman tersebut adalah Murji’ah yang mengatakan
    bahwa orang yang telah melanggar larangan Allah itu tidak bisa divonis berdosa
    atau tidak, kerana itu adalah hak Tuhan. Manusia tidak bisa menentukan,
    sehingga apapun keputusannya diserahkan semua kepada Allah di akherat kelak.



    Ketika
    kekholifahan Umaiyyah menuju fase kejayaan (setelah kemenangan dari perundingan
    Tahkim), sebagai otoritas resmi nan tunggal dalam dunia Islam saat
    itu,dalamupaya memperkuat posisi dan legitimasi dirasa perlu untuk menetapkan
    wacana keagamaan.Mu’awiyah rupanya sangat cerdas dalam menangkap realitas
    wacana umat di mana terjadi partarungan wacana antara Khowarij dan
    Murji’ah.maka tidak ada pilihan lain selain wacana yang ditawarkan oleh
    Murji’ah yang diakui sebagai madzhab resmi kehkolifahan tersebut. Alasannya
    adalah seolah kasus peristiwa Tahkim adalah urusan Allah dan termasuk Mu’awiyah
    tidak bisa disalahkan.



    Proses
    pelmbagaan wacana keagamaan ini mendapat perlawanan dari kalangan oposisi.
    Dalam hal ini Hasan Al Basri. Dengan mengajarkan kaum muslimin untuk
    mendisiplinkan diri dan mengerjakan kebajikan guna menghadapi pengadilan Tuhan
    di akherat. Dari fatwa ini terselip faham tentang kemampuan dan tanggung jawab
    individu. Polarisasi wacana di atas mengkristal menjadi dua aliran pemahaman
    yang dikenal denga Jabariah dan Qodariyah. Dan akhirnya menjadi cikal bakal
    berdirinya aliran Mu’tazilah.



    Premis
    kelahiran Mu’tazilah sebenarnya tidak cukup denganpremis di atas. Bahwa
    konstruk wacana Mu’tazilah sebenarnya juga tidak lepas dari gesekan dengan
    wacana dari luar Islam. Semisal, wacana teologi Masehi, Yahudi, Zoroaster dan
    Hallenis serta gesekan peradaban dari Cina Yunani dll. Singkatnya fase mitologi
    yang ditawarkan Jabariah menuju fase rasionalitas dijadikan konstruk wacana
    oleh Mu’tazilah untuk men-counter wacana dariluar tersebut. Dan pada pada masa
    inilah tradisi filsafat mulai dikembangkan dan mengalami proses inquisisi (mihnah) serta pelembagaan/ortodoksi
    dengan dukungan rezim Abbasiyah.



    Reaksi
    terhadap madzhab rasionalitas yang dikembangkan Mu’tazilah ini mendapat
    perlawanan dari Abu Hasan Al-Asyari yang mencoba memberikan alternatif jalan
    tengah bagi perdebatan Jabariyah dan Qodariyah. Ia memfatwakan bahwa manusia
    bisa melakukan sesuatu karena dibarengi oleh kehendak/perbuatan Tuhan, artinya
    jika seseorang hendak melakukan sesuatu maka saat itu pula Tuhan menciptakan
    kesanggupan manusia. Dengan prosesi tersebut manusia mendapatkan perbuatannya
    tapi tidak menciptakannya. Secra implisit seolah mengakomodasi atau sebagai
    jalan tengah antara Jabariyah dan Qodariyah, walaupun setelah diuji lebih
    lanjut ternyata lebih condong ke Jabariyah. Sebab manusia tidak akan
    mendapatkan perbuatannya jika Tuhan tidak mencipta. Pendapat ini didukung oleh
    Al-Maturidi, bahwa manusia mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang dapat dipakai
    untuk memilih perbuatan yang baik atau buruk.



    Dari
    wacana teologis ini berimbas pada konstruk pemikiran fiqih. Dengan empat Imam
    mazdhab yang diakui oleh jumhur. As
    Syafi’I berhasil menetapkan jurisprudensi hukum Islam (usul fiqih). Suatu penataan yang cukup sistematis dalampemilihan
    jenis hadist dengan telaah kritis melalui serangkaian premis-premis yang
    diterima nalar sehat (rasionalitas)



    Sikap
    moderat dalam mendekaykan diri kepada Tuhan (Taqarup
    ila Allah)
    dengan jalan tertentu (tasawuf)
    juga ditawarkan oleh ulama sunni ( sebutan ulama penganjur Ahlussunah wal
    Jama’ah) seperti Al-Ghozali, Al-Junaidi, Abu Hasan Syadili, dll. Yang merupakan
    generasi sesudah Al-Asya’ri dan Al-Maturidi. Misalnya Al-Junaidi, mengatakan
    bahwa dalam menuju Tuhan (liqo’ ila
    Allah)
    seorang sufi dalam ritualnya senantiasa berpegang teguh pada
    syari’ah yang telah ditetapkan dan tidak menggunakan pendekatan yang ekstrim.



    Dari
    usaha verifikasi dalam memahami historis Aswaja, ada entriponit yang menjadi
    realitas, bahwa nalar kalam dan nalar politik menjadi satu dan yang terjadi
    adalah penunggalan wacana melalui proses rekayasa oleh otoritas politik yang
    berkembang saat itu. Wacana Aswaja tetap eksis sampai saat ini selain didukung
    oleh legalisasi yang mantap dari struktur kekuasaan dan asumsi behwa kebenaran
    wacana Aswaja sudah final sehingga dirasa tidak perlu melakukan eksplorasi atau
    pengkajian ulang (redifinisi/dekonstruksi). Konsekwensi yang di terima kaum
    muslimin dewasa ini begitu mahal dan tergis mengalami kemunduran peradaban
    dalam pemikiran yang akhirnya tertinggal dengan peradaban di luar komunitas
    Islam (barat) dan menjadi “makhluk kedua” (second
    creation)
    di tengah gerusan kontelasi global.





    C. MENGEMBALIKAN
    ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR





    Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dapat
    dimaknai dalam dua term. Pertama
    Manhaj Al-Fikr difahami sebagai landasan/kerangka/frame dalam berfikir. Ini
    berarti nilai-nilai luhur Aswaja dijadikan pijakan (manhaj) dalam melakukan eksplorasi pemikiran. Kedua, Manhaj Al-Fikr diartikan sebagai
    metode berfikir. Suatu metode tentunya memiliki karakteristik/khas tersendiri
    uang berlainan dengan metode lain. dalam bahasa sederhana Aswaja sebagai Manhaj
    Al-Fikr adalah metode berfikir versi Aswaja.



    Pemaknaan tersebut didasari asumsi
    dasar bahwa sekian banyak persoalan sosial yang seharusnya mampu dijawab oleh
    dogma agama ironisnya justru banyak persoalan yang tidak terselesaikan olehnya.
    Sehingga seringkali agama tertinggal oleh semakin k0mpleksnya persoalan yang
    ada. Sehingga mau tidak mau kita harus menemukan formulasi paling tepat untuk
    menetapkan pisau analisa yang paling tajam untuk didiagnosa akar
    permasalahannya dalam menjawab persoalan dan fenomena yang berkembang. Tentunya dengan dilandasi oleh
    nilai-nilai luhur Aswaja.



    Dengan demikian pembacaan
    kompleksitas permasalahan tetap dilandasi dan disemangati oleh ruh-ruh
    spiritualitas pesan-pesan Ketuhanan dan Kenabian. Aktualisasi dalam tataran
    praksis adalah dengan bersikap kritis,
    proporsional,obyektif egaliter dan konstruktif serta kontekstual.
    Seperti
    yang tekandung dalam prinsip-prinsip Aswaja : tasamuh, tawasuth dan I’tidal disertai niali-nilai wasthiyah, ‘adalah, mu’awanah, huriyyah, tajdidiyah, ijtihadiyah,
    maslahah mursalah.



    Sehingga
    proses penunggalan tafsir tertentu dan penganggapan kebenaran sudah final dan
    tifdak boleh diotak-atik kembali – yang sebenarnya ini tidak lepas dari peran
    otoritas kekuasaan untuk menjaga eksistensi mereka – yang pada akhirnya
    menumpulkan kreatifitas kita untuk menjawab segala persoalan agama dan sosial.
    Sehingga agama menjadi “mati” karena tidak lagi mampu berkembang sesuai dengan
    konteks zaman, keadaan ini sedikit demi sedikit akan terbongkar dan penafsiran
    teks akan menemukan jalannya kembali dalam menghadapi persoalan zaman. Sebab
    jika agama ingin benar-benar hidup dan dihidupi oleh umatnya untuk memberikan
    jalan terbaik bagi persoalan dunia harus dimaknai dengan mempertimbangkan ruang
    dan waktu. Konteks perjalanan sejarah dan kondisi sosial yang letar
    belakanginya. Dan yang harus kita lakukan hari ini adalah proses kritik
    sejarah. Sehingga kedok-kedok kebenaran tunggal terhadap penafsiran teks yang
    sebenarnya tidak lepas dari proyek politis akan dapat dikembalikan pada konteks
    sebenarnya sesuai dengan konteks historis dan sosial. Sehingga agama kan mampu melindungi
    umatnya dari segala macam penindasan,baik penguasa negara maupun penguasa
    lainnya. Sebab tujuan utama diturunkannya syari’ah (Maqosid Al-Syari’ah) adalah membawa nilai-nilai kemanusiaan, yaitu
    :



    1.
    Hifdzu al-din (memelihara kebebasan
    beragama)



    2.
    Hifdzu al-aql (memelihara kebebasan
    berfikir dan akal fikiran)



    3.
    Hifdzu al-maal (memelihara harta benda)


    4.
    Hifdzu al-nafs (memelihara hak hidup)


    5.
    Hifdzu al-nasl (memelihara keturunan)


    Itulah
    lima prinsip
    dasar yang disarikan dari tiga prinsip utama Aswaja di atas, yang secara
    substantif menjadi tanggung jawab otoritas kekuasaan dan bukan sebaliknya.



    Dari situlah urgrnsitas pembacaan/pewacanaan
    Aswaja dari berbagai perspektif (sosial, politik, budaya, dsb). Sehingga wacana
    Aswaja selalu Up-to date sepanjang
    zaman. Saya kira tesa di atas cukup
    menghantarkan pertanyaan mengapakita harus mengembalikan Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr.

      Waktu sekarang Sat Nov 23, 2024 12:17 am