AHLUSSUNAH WAL
JAMA’AH SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
YANG MODERAT UNTUK
MEMAHAMI AJARAN ISLAM
Oleh
: Dodik Prasetyo
A. PENDAHULUAN
Membincangkan Ahlussunah
wal Jama’ah (Aswaja), berarti membincangkan Islam itu sendiri, mengingat
tradisi Islam yang selama ini menjadi ritualitas kita adalah Islam Ahlussunah
wal Jama’ah,mulai pada wilayah teologi/kalamologi, syar’I sampai pada ranah
sufistik. Terminologi yang umum melekat pada Aswaja selama ini dimaknai sebagai
salah satu “model” dalam Islam (Firqotul
Islamiyah). Dalam hal teologi mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi, dalam hal tasawuf mengikuti Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali dan Imam
Junaid Al-Baghdadi, dalam hal praktek peribadatan mengikuti empat madzhab
(Hambali, Syafi’I, Hanafi dan Maliki)
Pemahaman Aswaja seperti
tersebut di atas amatlah simpel dan terbatas. Sehingga tidak bisa mengantarkan
kita kepada pemahaman sesungguhnya terhadap Aswaja itu sendiri. Sebab Aswaja
pada dasarnya bukanlah Madzhab akan tetapi sebuah metodologi dan kerangka berfikir
(Manhaj Al-Fikr) yang digariskan oleh
sahabat terdahulu yang relatif bersih dari kepentingan politik saat itu. Namun
demikian dalam perjalanan proses selanjutnya mengalami proses interaksi dengan
pelembagaan aliran-aliran lain yang ada saat itu. Sehingga keberadaannyapun
relatif tidak bisa lepas dari kondisi politik.
Agar
lebih jelas cakrawala pandangan kita terhadap term tersebut adalah keharusan
kita untuk memahami Aswaja perspektif historis.
B. LATAR
KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Ketika kita menggali cerita
tentang Aswaja, berarti merunut perjalanan Islam sesudah Rasul wafat. Seperti
kita ketahui bersama kehudupan keberagamaan selama Rasul masih hidup relatif
tidak ada konflik,karena ketika ada permasalahan langsung dirujukkan kepada
Rasul dan Sabda Rasul (dengan bimbingan/petunjuk Tuhan) bisa dijadikan rumusan
penyelesaian masalah.
Konteks
berbeda ketika Rasul telah wafat, seolah kaum muslimin/para sahabat saat itu
kehilangan pegangan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.permasalahan yang
signifikan adalah kasus terbunuhnya Sayidina Ustman r.a. yang akhirnya menjadi
“fitnah besar” di antara para sahabat (Al-Fitnatul
Kubro).Kekholifahan Sayidina Ali yang kurang didukung oleh sebagian kaum
muslimin terutama Muawiyah bin Abu Sofyan (yang sebelumnya pendukung Ustman)
menjadikan konflik berkepanjangan.konflik tersebut diakhiri dengan perundingan
“tahkim” di bukit Baitul Jandal antara pengikut Ali dan Muawiyah. Hasil akhir
yang menjadikan Muawiyah sebagai pemimpin tidak bisa diterima secara aklamasi
oleh forum tersebut. Rupanya dari perselisihan politik ini ternyata melebar
menjadi persoalan kalam. Sebagian orang yang semula setia dengan Ali (bagian
dari Syi’ah), memisahkan diri dan menamakandiri sebagai Khowarij mengatakan
bahwa Ali,Muawiyah, Amru bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan semua yang mengikuti
forum tersebut adalah “kafir” atau murtad (Apostate).Karena Khowarij berpedoman
pada ayat : “Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah adalah
orang-orang kafir.” (Q.S. AL-Maidah: 44)
Dari
sini mereka mengambil semboyan La hukma
illa lillah (tiada hukum selain dari Allah). Klaim ini berkembang juga pada
orang yang berbuat dosa, pertanyannya dalah : Apakah seorang muslim yang
berbuat dosa besar itu masih menyandang predikat mukmin ? Khowarij memfonisnya
dengan kafir,karena pelaku dosa besar berarti telah melanggar larangan Allah
dan artinya keluar dari agama Islam dan karenanya mesti dibunuh. Ironisnya
klaim tersebut oleh Khowarij diperlebar hingga muslim yang bukan pengikut
Khowarij juga dihakimi kafir.
Kelompok
yang merespon lain atas penghakiman tersebut adalah Murji’ah yang mengatakan
bahwa orang yang telah melanggar larangan Allah itu tidak bisa divonis berdosa
atau tidak, kerana itu adalah hak Tuhan. Manusia tidak bisa menentukan,
sehingga apapun keputusannya diserahkan semua kepada Allah di akherat kelak.
Ketika
kekholifahan Umaiyyah menuju fase kejayaan (setelah kemenangan dari perundingan
Tahkim), sebagai otoritas resmi nan tunggal dalam dunia Islam saat
itu,dalamupaya memperkuat posisi dan legitimasi dirasa perlu untuk menetapkan
wacana keagamaan.Mu’awiyah rupanya sangat cerdas dalam menangkap realitas
wacana umat di mana terjadi partarungan wacana antara Khowarij dan
Murji’ah.maka tidak ada pilihan lain selain wacana yang ditawarkan oleh
Murji’ah yang diakui sebagai madzhab resmi kehkolifahan tersebut. Alasannya
adalah seolah kasus peristiwa Tahkim adalah urusan Allah dan termasuk Mu’awiyah
tidak bisa disalahkan.
Proses
pelmbagaan wacana keagamaan ini mendapat perlawanan dari kalangan oposisi.
Dalam hal ini Hasan Al Basri. Dengan mengajarkan kaum muslimin untuk
mendisiplinkan diri dan mengerjakan kebajikan guna menghadapi pengadilan Tuhan
di akherat. Dari fatwa ini terselip faham tentang kemampuan dan tanggung jawab
individu. Polarisasi wacana di atas mengkristal menjadi dua aliran pemahaman
yang dikenal denga Jabariah dan Qodariyah. Dan akhirnya menjadi cikal bakal
berdirinya aliran Mu’tazilah.
Premis
kelahiran Mu’tazilah sebenarnya tidak cukup denganpremis di atas. Bahwa
konstruk wacana Mu’tazilah sebenarnya juga tidak lepas dari gesekan dengan
wacana dari luar Islam. Semisal, wacana teologi Masehi, Yahudi, Zoroaster dan
Hallenis serta gesekan peradaban dari Cina Yunani dll. Singkatnya fase mitologi
yang ditawarkan Jabariah menuju fase rasionalitas dijadikan konstruk wacana
oleh Mu’tazilah untuk men-counter wacana dariluar tersebut. Dan pada pada masa
inilah tradisi filsafat mulai dikembangkan dan mengalami proses inquisisi (mihnah) serta pelembagaan/ortodoksi
dengan dukungan rezim Abbasiyah.
Reaksi
terhadap madzhab rasionalitas yang dikembangkan Mu’tazilah ini mendapat
perlawanan dari Abu Hasan Al-Asyari yang mencoba memberikan alternatif jalan
tengah bagi perdebatan Jabariyah dan Qodariyah. Ia memfatwakan bahwa manusia
bisa melakukan sesuatu karena dibarengi oleh kehendak/perbuatan Tuhan, artinya
jika seseorang hendak melakukan sesuatu maka saat itu pula Tuhan menciptakan
kesanggupan manusia. Dengan prosesi tersebut manusia mendapatkan perbuatannya
tapi tidak menciptakannya. Secra implisit seolah mengakomodasi atau sebagai
jalan tengah antara Jabariyah dan Qodariyah, walaupun setelah diuji lebih
lanjut ternyata lebih condong ke Jabariyah. Sebab manusia tidak akan
mendapatkan perbuatannya jika Tuhan tidak mencipta. Pendapat ini didukung oleh
Al-Maturidi, bahwa manusia mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang dapat dipakai
untuk memilih perbuatan yang baik atau buruk.
Dari
wacana teologis ini berimbas pada konstruk pemikiran fiqih. Dengan empat Imam
mazdhab yang diakui oleh jumhur. As
Syafi’I berhasil menetapkan jurisprudensi hukum Islam (usul fiqih). Suatu penataan yang cukup sistematis dalampemilihan
jenis hadist dengan telaah kritis melalui serangkaian premis-premis yang
diterima nalar sehat (rasionalitas)
Sikap
moderat dalam mendekaykan diri kepada Tuhan (Taqarup
ila Allah) dengan jalan tertentu (tasawuf)
juga ditawarkan oleh ulama sunni ( sebutan ulama penganjur Ahlussunah wal
Jama’ah) seperti Al-Ghozali, Al-Junaidi, Abu Hasan Syadili, dll. Yang merupakan
generasi sesudah Al-Asya’ri dan Al-Maturidi. Misalnya Al-Junaidi, mengatakan
bahwa dalam menuju Tuhan (liqo’ ila
Allah) seorang sufi dalam ritualnya senantiasa berpegang teguh pada
syari’ah yang telah ditetapkan dan tidak menggunakan pendekatan yang ekstrim.
Dari
usaha verifikasi dalam memahami historis Aswaja, ada entriponit yang menjadi
realitas, bahwa nalar kalam dan nalar politik menjadi satu dan yang terjadi
adalah penunggalan wacana melalui proses rekayasa oleh otoritas politik yang
berkembang saat itu. Wacana Aswaja tetap eksis sampai saat ini selain didukung
oleh legalisasi yang mantap dari struktur kekuasaan dan asumsi behwa kebenaran
wacana Aswaja sudah final sehingga dirasa tidak perlu melakukan eksplorasi atau
pengkajian ulang (redifinisi/dekonstruksi). Konsekwensi yang di terima kaum
muslimin dewasa ini begitu mahal dan tergis mengalami kemunduran peradaban
dalam pemikiran yang akhirnya tertinggal dengan peradaban di luar komunitas
Islam (barat) dan menjadi “makhluk kedua” (second
creation) di tengah gerusan kontelasi global.
C. MENGEMBALIKAN
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dapat
dimaknai dalam dua term. Pertama
Manhaj Al-Fikr difahami sebagai landasan/kerangka/frame dalam berfikir. Ini
berarti nilai-nilai luhur Aswaja dijadikan pijakan (manhaj) dalam melakukan eksplorasi pemikiran. Kedua, Manhaj Al-Fikr diartikan sebagai
metode berfikir. Suatu metode tentunya memiliki karakteristik/khas tersendiri
uang berlainan dengan metode lain. dalam bahasa sederhana Aswaja sebagai Manhaj
Al-Fikr adalah metode berfikir versi Aswaja.
Pemaknaan tersebut didasari asumsi
dasar bahwa sekian banyak persoalan sosial yang seharusnya mampu dijawab oleh
dogma agama ironisnya justru banyak persoalan yang tidak terselesaikan olehnya.
Sehingga seringkali agama tertinggal oleh semakin k0mpleksnya persoalan yang
ada. Sehingga mau tidak mau kita harus menemukan formulasi paling tepat untuk
menetapkan pisau analisa yang paling tajam untuk didiagnosa akar
permasalahannya dalam menjawab persoalan dan fenomena yang berkembang. Tentunya dengan dilandasi oleh
nilai-nilai luhur Aswaja.
Dengan demikian pembacaan
kompleksitas permasalahan tetap dilandasi dan disemangati oleh ruh-ruh
spiritualitas pesan-pesan Ketuhanan dan Kenabian. Aktualisasi dalam tataran
praksis adalah dengan bersikap kritis,
proporsional,obyektif egaliter dan konstruktif serta kontekstual. Seperti
yang tekandung dalam prinsip-prinsip Aswaja : tasamuh, tawasuth dan I’tidal disertai niali-nilai wasthiyah, ‘adalah, mu’awanah, huriyyah, tajdidiyah, ijtihadiyah,
maslahah mursalah.
Sehingga
proses penunggalan tafsir tertentu dan penganggapan kebenaran sudah final dan
tifdak boleh diotak-atik kembali – yang sebenarnya ini tidak lepas dari peran
otoritas kekuasaan untuk menjaga eksistensi mereka – yang pada akhirnya
menumpulkan kreatifitas kita untuk menjawab segala persoalan agama dan sosial.
Sehingga agama menjadi “mati” karena tidak lagi mampu berkembang sesuai dengan
konteks zaman, keadaan ini sedikit demi sedikit akan terbongkar dan penafsiran
teks akan menemukan jalannya kembali dalam menghadapi persoalan zaman. Sebab
jika agama ingin benar-benar hidup dan dihidupi oleh umatnya untuk memberikan
jalan terbaik bagi persoalan dunia harus dimaknai dengan mempertimbangkan ruang
dan waktu. Konteks perjalanan sejarah dan kondisi sosial yang letar
belakanginya. Dan yang harus kita lakukan hari ini adalah proses kritik
sejarah. Sehingga kedok-kedok kebenaran tunggal terhadap penafsiran teks yang
sebenarnya tidak lepas dari proyek politis akan dapat dikembalikan pada konteks
sebenarnya sesuai dengan konteks historis dan sosial. Sehingga agama kan mampu melindungi
umatnya dari segala macam penindasan,baik penguasa negara maupun penguasa
lainnya. Sebab tujuan utama diturunkannya syari’ah (Maqosid Al-Syari’ah) adalah membawa nilai-nilai kemanusiaan, yaitu
:
1.
Hifdzu al-din (memelihara kebebasan
beragama)
2.
Hifdzu al-aql (memelihara kebebasan
berfikir dan akal fikiran)
3.
Hifdzu al-maal (memelihara harta benda)
4.
Hifdzu al-nafs (memelihara hak hidup)
5.
Hifdzu al-nasl (memelihara keturunan)
Itulah
lima prinsip
dasar yang disarikan dari tiga prinsip utama Aswaja di atas, yang secara
substantif menjadi tanggung jawab otoritas kekuasaan dan bukan sebaliknya.
Dari situlah urgrnsitas pembacaan/pewacanaan
Aswaja dari berbagai perspektif (sosial, politik, budaya, dsb). Sehingga wacana
Aswaja selalu Up-to date sepanjang
zaman. Saya kira tesa di atas cukup
menghantarkan pertanyaan mengapakita harus mengembalikan Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr.
JAMA’AH SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
YANG MODERAT UNTUK
MEMAHAMI AJARAN ISLAM
Oleh
: Dodik Prasetyo
A. PENDAHULUAN
Membincangkan Ahlussunah
wal Jama’ah (Aswaja), berarti membincangkan Islam itu sendiri, mengingat
tradisi Islam yang selama ini menjadi ritualitas kita adalah Islam Ahlussunah
wal Jama’ah,mulai pada wilayah teologi/kalamologi, syar’I sampai pada ranah
sufistik. Terminologi yang umum melekat pada Aswaja selama ini dimaknai sebagai
salah satu “model” dalam Islam (Firqotul
Islamiyah). Dalam hal teologi mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi, dalam hal tasawuf mengikuti Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali dan Imam
Junaid Al-Baghdadi, dalam hal praktek peribadatan mengikuti empat madzhab
(Hambali, Syafi’I, Hanafi dan Maliki)
Pemahaman Aswaja seperti
tersebut di atas amatlah simpel dan terbatas. Sehingga tidak bisa mengantarkan
kita kepada pemahaman sesungguhnya terhadap Aswaja itu sendiri. Sebab Aswaja
pada dasarnya bukanlah Madzhab akan tetapi sebuah metodologi dan kerangka berfikir
(Manhaj Al-Fikr) yang digariskan oleh
sahabat terdahulu yang relatif bersih dari kepentingan politik saat itu. Namun
demikian dalam perjalanan proses selanjutnya mengalami proses interaksi dengan
pelembagaan aliran-aliran lain yang ada saat itu. Sehingga keberadaannyapun
relatif tidak bisa lepas dari kondisi politik.
Agar
lebih jelas cakrawala pandangan kita terhadap term tersebut adalah keharusan
kita untuk memahami Aswaja perspektif historis.
B. LATAR
KULTURAL DAN POLITIK KELAHIRAN ASWAJA
Ketika kita menggali cerita
tentang Aswaja, berarti merunut perjalanan Islam sesudah Rasul wafat. Seperti
kita ketahui bersama kehudupan keberagamaan selama Rasul masih hidup relatif
tidak ada konflik,karena ketika ada permasalahan langsung dirujukkan kepada
Rasul dan Sabda Rasul (dengan bimbingan/petunjuk Tuhan) bisa dijadikan rumusan
penyelesaian masalah.
Konteks
berbeda ketika Rasul telah wafat, seolah kaum muslimin/para sahabat saat itu
kehilangan pegangan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.permasalahan yang
signifikan adalah kasus terbunuhnya Sayidina Ustman r.a. yang akhirnya menjadi
“fitnah besar” di antara para sahabat (Al-Fitnatul
Kubro).Kekholifahan Sayidina Ali yang kurang didukung oleh sebagian kaum
muslimin terutama Muawiyah bin Abu Sofyan (yang sebelumnya pendukung Ustman)
menjadikan konflik berkepanjangan.konflik tersebut diakhiri dengan perundingan
“tahkim” di bukit Baitul Jandal antara pengikut Ali dan Muawiyah. Hasil akhir
yang menjadikan Muawiyah sebagai pemimpin tidak bisa diterima secara aklamasi
oleh forum tersebut. Rupanya dari perselisihan politik ini ternyata melebar
menjadi persoalan kalam. Sebagian orang yang semula setia dengan Ali (bagian
dari Syi’ah), memisahkan diri dan menamakandiri sebagai Khowarij mengatakan
bahwa Ali,Muawiyah, Amru bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan semua yang mengikuti
forum tersebut adalah “kafir” atau murtad (Apostate).Karena Khowarij berpedoman
pada ayat : “Barang siapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah adalah
orang-orang kafir.” (Q.S. AL-Maidah: 44)
Dari
sini mereka mengambil semboyan La hukma
illa lillah (tiada hukum selain dari Allah). Klaim ini berkembang juga pada
orang yang berbuat dosa, pertanyannya dalah : Apakah seorang muslim yang
berbuat dosa besar itu masih menyandang predikat mukmin ? Khowarij memfonisnya
dengan kafir,karena pelaku dosa besar berarti telah melanggar larangan Allah
dan artinya keluar dari agama Islam dan karenanya mesti dibunuh. Ironisnya
klaim tersebut oleh Khowarij diperlebar hingga muslim yang bukan pengikut
Khowarij juga dihakimi kafir.
Kelompok
yang merespon lain atas penghakiman tersebut adalah Murji’ah yang mengatakan
bahwa orang yang telah melanggar larangan Allah itu tidak bisa divonis berdosa
atau tidak, kerana itu adalah hak Tuhan. Manusia tidak bisa menentukan,
sehingga apapun keputusannya diserahkan semua kepada Allah di akherat kelak.
Ketika
kekholifahan Umaiyyah menuju fase kejayaan (setelah kemenangan dari perundingan
Tahkim), sebagai otoritas resmi nan tunggal dalam dunia Islam saat
itu,dalamupaya memperkuat posisi dan legitimasi dirasa perlu untuk menetapkan
wacana keagamaan.Mu’awiyah rupanya sangat cerdas dalam menangkap realitas
wacana umat di mana terjadi partarungan wacana antara Khowarij dan
Murji’ah.maka tidak ada pilihan lain selain wacana yang ditawarkan oleh
Murji’ah yang diakui sebagai madzhab resmi kehkolifahan tersebut. Alasannya
adalah seolah kasus peristiwa Tahkim adalah urusan Allah dan termasuk Mu’awiyah
tidak bisa disalahkan.
Proses
pelmbagaan wacana keagamaan ini mendapat perlawanan dari kalangan oposisi.
Dalam hal ini Hasan Al Basri. Dengan mengajarkan kaum muslimin untuk
mendisiplinkan diri dan mengerjakan kebajikan guna menghadapi pengadilan Tuhan
di akherat. Dari fatwa ini terselip faham tentang kemampuan dan tanggung jawab
individu. Polarisasi wacana di atas mengkristal menjadi dua aliran pemahaman
yang dikenal denga Jabariah dan Qodariyah. Dan akhirnya menjadi cikal bakal
berdirinya aliran Mu’tazilah.
Premis
kelahiran Mu’tazilah sebenarnya tidak cukup denganpremis di atas. Bahwa
konstruk wacana Mu’tazilah sebenarnya juga tidak lepas dari gesekan dengan
wacana dari luar Islam. Semisal, wacana teologi Masehi, Yahudi, Zoroaster dan
Hallenis serta gesekan peradaban dari Cina Yunani dll. Singkatnya fase mitologi
yang ditawarkan Jabariah menuju fase rasionalitas dijadikan konstruk wacana
oleh Mu’tazilah untuk men-counter wacana dariluar tersebut. Dan pada pada masa
inilah tradisi filsafat mulai dikembangkan dan mengalami proses inquisisi (mihnah) serta pelembagaan/ortodoksi
dengan dukungan rezim Abbasiyah.
Reaksi
terhadap madzhab rasionalitas yang dikembangkan Mu’tazilah ini mendapat
perlawanan dari Abu Hasan Al-Asyari yang mencoba memberikan alternatif jalan
tengah bagi perdebatan Jabariyah dan Qodariyah. Ia memfatwakan bahwa manusia
bisa melakukan sesuatu karena dibarengi oleh kehendak/perbuatan Tuhan, artinya
jika seseorang hendak melakukan sesuatu maka saat itu pula Tuhan menciptakan
kesanggupan manusia. Dengan prosesi tersebut manusia mendapatkan perbuatannya
tapi tidak menciptakannya. Secra implisit seolah mengakomodasi atau sebagai
jalan tengah antara Jabariyah dan Qodariyah, walaupun setelah diuji lebih
lanjut ternyata lebih condong ke Jabariyah. Sebab manusia tidak akan
mendapatkan perbuatannya jika Tuhan tidak mencipta. Pendapat ini didukung oleh
Al-Maturidi, bahwa manusia mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang dapat dipakai
untuk memilih perbuatan yang baik atau buruk.
Dari
wacana teologis ini berimbas pada konstruk pemikiran fiqih. Dengan empat Imam
mazdhab yang diakui oleh jumhur. As
Syafi’I berhasil menetapkan jurisprudensi hukum Islam (usul fiqih). Suatu penataan yang cukup sistematis dalampemilihan
jenis hadist dengan telaah kritis melalui serangkaian premis-premis yang
diterima nalar sehat (rasionalitas)
Sikap
moderat dalam mendekaykan diri kepada Tuhan (Taqarup
ila Allah) dengan jalan tertentu (tasawuf)
juga ditawarkan oleh ulama sunni ( sebutan ulama penganjur Ahlussunah wal
Jama’ah) seperti Al-Ghozali, Al-Junaidi, Abu Hasan Syadili, dll. Yang merupakan
generasi sesudah Al-Asya’ri dan Al-Maturidi. Misalnya Al-Junaidi, mengatakan
bahwa dalam menuju Tuhan (liqo’ ila
Allah) seorang sufi dalam ritualnya senantiasa berpegang teguh pada
syari’ah yang telah ditetapkan dan tidak menggunakan pendekatan yang ekstrim.
Dari
usaha verifikasi dalam memahami historis Aswaja, ada entriponit yang menjadi
realitas, bahwa nalar kalam dan nalar politik menjadi satu dan yang terjadi
adalah penunggalan wacana melalui proses rekayasa oleh otoritas politik yang
berkembang saat itu. Wacana Aswaja tetap eksis sampai saat ini selain didukung
oleh legalisasi yang mantap dari struktur kekuasaan dan asumsi behwa kebenaran
wacana Aswaja sudah final sehingga dirasa tidak perlu melakukan eksplorasi atau
pengkajian ulang (redifinisi/dekonstruksi). Konsekwensi yang di terima kaum
muslimin dewasa ini begitu mahal dan tergis mengalami kemunduran peradaban
dalam pemikiran yang akhirnya tertinggal dengan peradaban di luar komunitas
Islam (barat) dan menjadi “makhluk kedua” (second
creation) di tengah gerusan kontelasi global.
C. MENGEMBALIKAN
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dapat
dimaknai dalam dua term. Pertama
Manhaj Al-Fikr difahami sebagai landasan/kerangka/frame dalam berfikir. Ini
berarti nilai-nilai luhur Aswaja dijadikan pijakan (manhaj) dalam melakukan eksplorasi pemikiran. Kedua, Manhaj Al-Fikr diartikan sebagai
metode berfikir. Suatu metode tentunya memiliki karakteristik/khas tersendiri
uang berlainan dengan metode lain. dalam bahasa sederhana Aswaja sebagai Manhaj
Al-Fikr adalah metode berfikir versi Aswaja.
Pemaknaan tersebut didasari asumsi
dasar bahwa sekian banyak persoalan sosial yang seharusnya mampu dijawab oleh
dogma agama ironisnya justru banyak persoalan yang tidak terselesaikan olehnya.
Sehingga seringkali agama tertinggal oleh semakin k0mpleksnya persoalan yang
ada. Sehingga mau tidak mau kita harus menemukan formulasi paling tepat untuk
menetapkan pisau analisa yang paling tajam untuk didiagnosa akar
permasalahannya dalam menjawab persoalan dan fenomena yang berkembang. Tentunya dengan dilandasi oleh
nilai-nilai luhur Aswaja.
Dengan demikian pembacaan
kompleksitas permasalahan tetap dilandasi dan disemangati oleh ruh-ruh
spiritualitas pesan-pesan Ketuhanan dan Kenabian. Aktualisasi dalam tataran
praksis adalah dengan bersikap kritis,
proporsional,obyektif egaliter dan konstruktif serta kontekstual. Seperti
yang tekandung dalam prinsip-prinsip Aswaja : tasamuh, tawasuth dan I’tidal disertai niali-nilai wasthiyah, ‘adalah, mu’awanah, huriyyah, tajdidiyah, ijtihadiyah,
maslahah mursalah.
Sehingga
proses penunggalan tafsir tertentu dan penganggapan kebenaran sudah final dan
tifdak boleh diotak-atik kembali – yang sebenarnya ini tidak lepas dari peran
otoritas kekuasaan untuk menjaga eksistensi mereka – yang pada akhirnya
menumpulkan kreatifitas kita untuk menjawab segala persoalan agama dan sosial.
Sehingga agama menjadi “mati” karena tidak lagi mampu berkembang sesuai dengan
konteks zaman, keadaan ini sedikit demi sedikit akan terbongkar dan penafsiran
teks akan menemukan jalannya kembali dalam menghadapi persoalan zaman. Sebab
jika agama ingin benar-benar hidup dan dihidupi oleh umatnya untuk memberikan
jalan terbaik bagi persoalan dunia harus dimaknai dengan mempertimbangkan ruang
dan waktu. Konteks perjalanan sejarah dan kondisi sosial yang letar
belakanginya. Dan yang harus kita lakukan hari ini adalah proses kritik
sejarah. Sehingga kedok-kedok kebenaran tunggal terhadap penafsiran teks yang
sebenarnya tidak lepas dari proyek politis akan dapat dikembalikan pada konteks
sebenarnya sesuai dengan konteks historis dan sosial. Sehingga agama kan mampu melindungi
umatnya dari segala macam penindasan,baik penguasa negara maupun penguasa
lainnya. Sebab tujuan utama diturunkannya syari’ah (Maqosid Al-Syari’ah) adalah membawa nilai-nilai kemanusiaan, yaitu
:
1.
Hifdzu al-din (memelihara kebebasan
beragama)
2.
Hifdzu al-aql (memelihara kebebasan
berfikir dan akal fikiran)
3.
Hifdzu al-maal (memelihara harta benda)
4.
Hifdzu al-nafs (memelihara hak hidup)
5.
Hifdzu al-nasl (memelihara keturunan)
Itulah
lima prinsip
dasar yang disarikan dari tiga prinsip utama Aswaja di atas, yang secara
substantif menjadi tanggung jawab otoritas kekuasaan dan bukan sebaliknya.
Dari situlah urgrnsitas pembacaan/pewacanaan
Aswaja dari berbagai perspektif (sosial, politik, budaya, dsb). Sehingga wacana
Aswaja selalu Up-to date sepanjang
zaman. Saya kira tesa di atas cukup
menghantarkan pertanyaan mengapakita harus mengembalikan Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as