Aswaja Klaim Nahdlatul Ulama
Pembakuan terhadap Kemapanan dalam Visi
Anak Muda Nahdlatul =91Ulama*
Imam Ghazali MA
Mukaddimah NU sejak berdirinya tahun 1926
mencantumkan istilah aswaja
pada Qanun Asasinya.Jadi bagi NU, aswaja adalah doktrin aqidah yang
harus dimengerti, ditanamkan secara benar dan dipertahankan oleh
pimpinan dan para anggotanya. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep
Ahlusunnah Waljamaah disingkat Aswaja yang dijabarkan oleh K.H.Bisyri
Mustafa dibakukan menjadi Aswaja versi NU. Menurutnya Aswaja adalah
golongan muslim yang mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy=92ari dan Abu
Mansur Al- Maturidi dalam bidang aqidah dan mengikuti salah satu dari
mazhab empat dalam fiqih serta mengikuti Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan
Abu Hamid al-Ghazali dibidang tasawuf. Dan kesemuanya itu menjadi
rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Tapi anehnya, ulama NU sejak berdiri sampai saat ini
belum sempat
melakukan =93kajian serius=94 terhadap pemikiran para tokoh perumus=
Aswaja
tadi. Kevakuman ini mendorong generasi muda NU terutama mereka yang
mengenyam pendidikan tinggi, seperti Said Aqil, Masdar F. Mas=92udi,
Nurhadi Iskandar, Ulil Absar Abdalla dan lain-lain mencoba untuk
melakukan =93kajian kritis=94 terhadap keabsahan rumusan tersebut.=
Apakah
betul klaim aswaja sebagai doktrin kelompok tradisional (baca NU) ?.
Jauh sebelumnya, Umar Hasyim dalam bukunya Apakah
Anda Temasuk Golongan
Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan bahwa pengertian Ahlussunnah Wal
Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak asumsi
bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah hanya dianut oleh segolongan tradisional
saja.(Lihat, Einar Matahan Sitompul,Mth, NU dan Pancasila, footnote,
hal 70)
Walhasil, dengan melihat latar belakang
intelektualitas para perumus
Aswaja model NU dan kondisi sosialogis masyarakat Indonesia pada awal
berdirinya NU, secara apriori ada satu keyakinan bahwa konsepsi Aswaja
model NU tidak dimaksudkan sebagai defenisi mutlak dan oleh karenanya
sangat kondisional dan temporal.
Aswaja dalam Konteks Historis
Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah umat
yang satu, tidak
terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah, paham
keagamaan, ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul
segera teratasi dengan turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan
dari Rasullulah SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis
dan terkendali pada waktu itu. Konon Rasulullah SAW sering memfrediksi
=93kondisi nyaman=94 ini akan segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi
Rasullulah SAW itu terungkap dalam beberapa hadits, yang biasanya
diawali dengan kata-kata =93saya=92ti ala ummati Zaman=94 (umatku akan=
sampai
pada suatu masa), =93sataf tariqu ummati=94 (umatku akan terpecah) dan
seterusnya.
Berdasarkan hadits =93model Prediksi=94 itulah
istilah Ahlusunnah Wal
Jamaah ditemukan. Rasulullah SAW.bersabda :=94Umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat dan yang lain
binasa=94. Ditanyakan :Siapakah golongan yang selamat itu ? Rasulullah
menjawab Ahlussunnah Wal Jamaah. Ditanyakan: apa Ahlussunnah Wal Jamaah
itu ?. Rasulullah menjawab: =93apa yang aku dan sahabat-sahabatku=
lakukan
saat ini=94
Hadits =93iftiraqul ummah=94 diatas seperti yang
dikatakan Abdul Qahir,
mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang meriwayatkannya. Namun
demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut.
Yang pertama: berpendapat dhaif dengan hujjah tak
satu pun dari sekian
isnad yang tidak mengandung perawi dhaif . Yang kedua: berpendapat
muhtajju bihi dengan alasan: meskipun tidak satu pun isnad yang tidak
mengandung perawi dhaif tapi banyaknya isnad dan sahabat yang
meriwayatkan, memperkuat dugaan adanya hadits tersebut.(lihat
:Al-Baghdady, Al-farqu Bainal firaq,Hal 7 catatan kaki).
Jadi, jika hadits itu shahih Aswaja sebagai informasi
yang akan muncul
kemudian, sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW,.tetapi Aswaja
sebagai realitas komunitas muslim belum ada pada masa itu. Atau dengan
kata lain kaum muslimin pada masa Rasulullah itulah Aswaja; berdasarkan
hadits tadi =93ma ana alaihi al-yauma wa ashhabi=94 bahwa aswaja adalah
sikap dan amalan yang kulakukan sekarang bersama sahabat-sahabatku.
Jadi amalan (Sunnah) Rasul yang
bersama para sahabat itulah yang
disebut Aswaja. Yaitu ketika kaum muslimin tidak terkotak-kotak dalam
kecenderungan misi politik. Ternyata setelah beliau wafat, para sahabat
sudah terkotak dalam kecenderungan politik tertentu. Dengan mengikuti
logika =93asap dan api=94, isu =93iftiragul ummah=94 dari prediksi=
Rasul
menjadi kenyataan dan adanya satu firqah (golongan) yang selamat, sudah
dikenal pada masa sahabat. Akan tetapi klaim sebagai Aswaja belum ada
pada masa sahabat. Dengan demikian pada masa khulafaurrasyidin pun
masih dipertanyakan apakah masuk dalam kriteria ma ana =91alaihi=
al-yauma
wa ashhabi ?
Setelah
beliau wafat, kecenderungan politik dengan segala frediksinya
mulai tampak ke permukaan, antara golongan Anshar, Muhajirin, dan Ahlul
Bait. Tetapi .frediksi itu segera teratasi, setelah mayoritas umat
sepakat membaiat Abu Bakar, kemudian Umar, Usman, dan Ali sebagai
pimpinan tertinggi kaum muslimin (khalifah-Khulafa). Tetapi itu bukan
berarti frediksi kecenderungan politik pudar pada masa yang dikenal
dengan era Khulafa al-.Rasyidin itu. Frediksi itu terus berkembang dan
menunggu waktu yang kondusif untuk muncul.
Usman yang
tewas secara tragis dan naiknya Ali sebagai khalifah
dianggap oleh para sejarawan sebagai titik kulminasi munculnya friksi
politik yang terpendam pada masa Abu Bakar dan Umar. Kejadian ini
dikenal dengan Fitnah Kubra yang pertama. Dan dari sinilah visi politik
kaum muslimin sulit dipadamkan bahkan mengarah pada konfrontasi yang
terus menerus.
Berangkat
dari konfrontasi fitnah kubra I yang segera diikuti perang
shiffin sebagai fitnah kubra II, visi dan friksi politik kaum muslimin
sudah sulit untuk disatukan kembali. Semua golongan yakin akan
=93kebenaran=94 visi politiknya. Atas dasar keyakinan itulah semua=
golongan
membangun tradisi intelektual dari semua lini disiplin ilmu keislaman
yang berkembang. Masing- masing golongan sibuk meligitiasi Qur=92an,
hadits dan atsar para sahabat sesuai dengan kecenderungan politik
mereka masing-masing.
Landasan
tradisi intelektual diatas, akhirnya semakin kokoh, setelah
kaum muslimin berinteraksi dengan ragam budaya lokal, seperti Parsi,
India, Asyuri, Finiqi, Zoroaster Masehi, Yahudi, dan yang paling
menonjol adalah tradisi Hellenisme Yunani.
Kapan
Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?
Pendapat
pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya
Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini
juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri
(22-110 H). Komunitas yang
paling menonjol pada masa Dinasti Umayah
adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi
Hasyimiyyin, Mu=92tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian
pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai
nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul
Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Dari
paparan diatas, diskursus pemikiran yang paling menonjol dan
berpengaruh pada tatanan sosial dan politik pada abad kedua dan ketiga
Hijriyah (masa Abbasiyah I) adalah rasional Mu=92tazilah yang=
berhadapan
dengan golongan tektualis Ahlus Hadits Hanabilah. Golongan terakhir
inilah kemudian mengklaim diri mereka sebagai aswaja
Pendapat
kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah
Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani
Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair.
Pendukung Bani Umayyah berkata,=93kami adalah ahlul Jamaah Siapa
menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami
adalah ahlusunnah wal Jamaah=94. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu
dengan mengatakan, =93maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin
meskipun berbeda pendapat dan mazhab=94 (lihat Ibrahim H=E2kat,=
Assiy=E2sah
wa Al-Mujtam=E2=92fi =91Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada
pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh
bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat
ketiga; Muhammad Abduh dalam Risalat at tauhid menjelaskan
bahwa aswaja adalah klaim pendukung dan pengikut Al-Asy=92ari (wafat=
303
H) seperti Imam Haramain, Al- Isfiayny dan Abu Bakar Al-Baqilany untuk
pendapat beliau. (lihat Muhammad Abduh, Ris=E2latut Tauhid, hal
11).Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema aswaja baru muncul pada
awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan aqidah. Dari pendapat
kedua dan ketiga dapat disimpulkan bahwa istilah aswaja belum ada pada
masa pemulaan Islam. Sebab pada waktu itu umat Islam masih dalam
kondisi Ummatun Wahidah.
Perpecahan
umat Islam akibat perbedaan haluan politik pada masa sahabat
memang melahirkan kelompok-kelompok. Akan tetapi tak satu pun kelompok
diberi nama Aswaja. Baru pada masa pemerintahan dinasti Umayyah,
kelompok itu mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja. Begitu juga
ketika Ma=92bad Al-Juhany, Ghoylan Ad-Dimasyqy dan Yunus Al-Asway pada
masa akhir sahabat mempermasalahkan qadla dan qadar (lihat
Syahrasyatany, Milal wan Nihal,hal.22), lahir kelompok-kelompok dengan
aqidah masing-masing. Namun tak satu pun kelompok yang dijuluki sebagai
Aswaja. Baru setelah Asy=92ari memodernisasi ekstrem aqal dan ekstrem
naql dalam aqidahnya, para pengikutnya memproklamirkan diri sebagai
Aswaja. Dari fakta diatas ada indikasi bahwa munculnya klaim Aswaja
merupakan upaya mendapatkan kemenangan psikologis bagi suatu golongan.
Siapakah
Ahlussunnah Wal Jamaah ?
Hadits
prediksi Rasul tentang iftiraqul ummah tidak menunjuk dengan
sharih orang-orang yang termasuk dalam golongan Aswaja. Ia hanya
memberikan petunjuk secara global bahwa Aswaja adalah orang-orang yang
mengikuti =93jejak Nabi dan Sahabat=94 bisa berbeda antara satu orang
dengan yang lain atau satu golongan dengan golongan lain.
Secara
etimologis Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata, yaitu:
ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas, al-sunnah; tradisi,
jalan, kebiasaan dan perbuatan sedang al-jamaah; kebersamaan,
kolektifitas, komunitas, mayoritas dan lain-lain. Tiga rangkaian kata
diatas, kemudian berkembang menjadi istilah bagi sebuah komunitas
muslim yang secara konsisten bepegang teguh kepada tradisi (sunnah)
Nabi Muhammad Saw dan sebagai landasan normatif setelah Al-Qur.=92an,=
dan
selalu mengikuti alur pemikiran dan sikap mayoritas kaum muslimin.
Dengan kata lain Ahlussunnah adalah golongan mayoritas. Bila bani
Umayyah mengklaim sebagai kelompok mayoritas maka Syiah pun membalasnya
dengan klaim yang sama. Bahkan mereka mengatakan bahwa bani Umayyah
adalah kelompok separatis. (Ibahim Haokat,As-Siyasah wal Mujtama=92 i
Ashil Umawy, hal 318)
Jadi
pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas
konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan
karakteristik tertentu yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu
Konsepsi
Aswaja baru mendapatkan karakteristik politis dan theologis
ketika para pendukung Asy=92ari memproklamasi kan diri sebagai Aswaja.
Meskipun Asy=92ari dikenal sebagai theolog,wa bittalii mazhab yang
didirikan adalah mazhab theologi, akan tetapi perbedaan umat Islam
dalam aqidah pada waktu itu interen dengan perbedaan politis. Sehingga
mazhab theologi Asya=92ri juga mencakup pendapat beliau tentang=
khilafah
.
Al-Baqdhadi
(wafat29 H) dalam alfarqu bainal firaq, mengembangkan
cakupan Aswaja dan Beliau tidak memasukkan merumuskan konsepnya dengan
karakteristik yang lebih jelas. Menurutnya ada lima belas pokok aqidah
yang harus diketahui oang mukallaf. Dan orang yang mempunyai pendapat
berbeda dengan 15 aqidah tersebut maka orang itu tersesat.Beliau juga
membagi kelas kelas Aswaja menjadi delapan yaitu: mutakallimin, fuqaha,
muhaditsin,mufassirin,ulamaahl lughah, mutashawwifin, orang-orang yang
berjihad dan orang-orang yang mengikuti pendapat ulama Aswaja.
Beliau
tidak memasukkan Khawarij, Qadariyyah, Syi=92ah dan lain-lain
dalam kelompok Aswaja karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang
mencela, mengfasikkan para sahabat bahkan mengkafirkannya. Padahal
Aswaja adalah orang yang mengikuti jejak sahabat.
Ada
beberapa catatan yang perlu disampaikan bahwa:
1. Dalam
menafsirkan Aswaja ,Al-Bagd=E2dy tidak menyebut-nyebut dalil
naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz
ashhaby.
2. Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja,
padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3. kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah
masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Jadi dari
pembahasan diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja
yang kemudian dibakukan adalah pengintian masalah-masalah aqidah yang
sedang diperdebatkan dan penetapan salah satu pendapat yang dianggap
sesuai dengan pendapat mayoritas sahabat.
Konsep
Aswaja Versi NU
=93Hai
para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari=
kalangan
Ahlussunnah Wal Jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian
sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum
kalian,begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya
sampai pada kalian. Begitu
juga kalian harus melihat dari siapa
kalian menuntut ilmu agama Islam. Karena dengan cara menuntut ilmu
pengetahuan seperti itu maka kalian menjadi pemegang kuncinya,
bahkan menjadi pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karenanya
janganlah memasuki satu rumah kecuali melalui pintunya. Barang
siapa yang memasuki satu rumah tidak melalui pintunya maka ia
adalah pencuri=94. (Einar,opcit,hal 69).
Demikian
Hadatus Syekh Hasyim Asy=92ari mulanya merumuskan aswaja.
Yang
menarik dari perumusan diatas adalah disebutkannya Pengikut Imam
Mazhab Empat. Ini satu indikasi bahwa penekanan aswaja mulanya pada
permasalahan figh yang dalam hal ini adalah masalah taqlid terhadap
imam empat. Hal ini bisa dimengerti karena perbedaan esensial yamg
terjadi antara kelompok pembaharu dengan kelompok tradisional adalah
masalah taqlid dan ijtihad.
Tetapi
mengapa hanya pendapat imam yang empat dianut? Jawaban yang
sering terdengar adalah hanya imam empat itulah yang mazhabnya
terkodifikasi lengkap sehingga sampai ke tangan kita dengan selamat.
Adapun mazhab lainnya belum terkodifikasi secara lengkap sehingga
pendapatnya tidak utuh sampai ke tangan kita. Kalau benar ini
alasannya, maka ada satu kejanggalan, mengapa madzhab Ad-Dzahiri dengan
mengacu kitab al-Muhall=E2 Ibnu Hazm tidak diikuti. Padahal Ibnu Hazm
juga disebut oleh Al-Baghdadi sebagai ulama Ahlussunnah.
Jika NU
merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya
sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin
memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang
terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.
Definisi
yang dirumuskan (hasil penjabaran KH.Bisyri Mustafa) adalah
sebagai berikut : satu, menganut ajaran-ajaran imam madzhab dari salah
satu empat madzhab dalam bidang fiqih. Kedua, menganut ajaran Imam Abu
Hasan al-Asy=92ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid.
Ketiga, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidy dan
Ghazali dalam bidang tasawwuf
Rumusan
pada point kedua menegaskan corak ke-Aswaja-an NU dan sikap
kaum tradisional terhadap gerakan pembaruan, sedang pada point ketiga
merupakan sikap penerimaan NU terhadap paktek tasawuf dengan menyeleksi
tasawuf yang benar.
Bila kita
bandingkan dengan konsepsi Aswaja Al-Baghdadi, setidaknya ada
dua hal yang berbeda ; Pertama, Aswaja versi NU tidak menyebutkan
pandangannya tehadap masalah khilafah. Hal ini bisa dimengerti, karena
Islam yang masuk di Indonesia bukan Islam Syiah juga bukan Khawarij
oleh karenanya perbedaan umat Islam di Indonesia tidak berkisar pada
masalah itu. Kedua, Aswaja model NU langsung dengan jelas menunjuk pada
aliran tasawuf tertentu, yang itu tidak masuk dalam konsepsi Aswaja
Al-Baghdadi. Jadi mengacu pada hal diatas bisa disimpulkan bahwa Aswaja
model NU di satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan
di sisi lain merupakan pengakuan tehadap praktek keagamaan yang
berkembang saat itu.
Jika
rumusan NU diatas dimaksudkan mendefinisikan Aswaja, maka definisi
itu mengandung beberapa kelemahan; pertama, para imam madzhab fiqih
tidak mungkin secara teologis mengikuti rumusan al-Asy=92ari dan
al-Maturidi, karena masa hidup imam madzhab itu jauh lebih awal sebelum
Al-Asy=92ari lahir malah yang terjadi Al-Asy=92ari dalam fiqih=
mengikuti
Imam Syafi=92i, dan al-Maturidi mengikuti madzhab Hanafi. Kedua, Imam
Junaidi tidak mungkin mengikuti teologi al-Asy=92ari dan Al-Maturidi,
karena yang pertama hidup satu abad sebelum tokoh kedua dan ketiga
lahir. Junaidi juga tidak dikenal sebagai pengikut salah satu mazhab
fiqih. Ketiga, Al-Ghazali walau pun sebagai pelanjut teologi al-Asy=92a=
ri
dan pengikut madzhab Syafi=92i dalam kategori tasawuf, ia bisa
dikategorikan sebagai pengembang teori tasawuf liberal, seperti yang
dikembangkan al-Hallaj. Keempat,
rumusan teologi al-Asya=92ri sampai=
saat
ini masih simpang siur. Dalam kitab al-Ibanah, ia secara gamblang
mengecam Mu=92tazilah karena sering mentakwil ayat-ayat mutasyabihat,
seraya memuji Ahmad bin Hambal yang tak mau mentakwil. Ia sendiri
menisbatkan diri sebagai pelanjut perjuangan Ahmad bin Hambal. Tetapi
dalam kitab Al-Luma=92 dan Istihsan, ia mentakwil ayat-ayat=
mutasyabihat,
dan memuji Mu=92tazilah sebagai golongan Islam yang cerdas dan berjasa
membentengi aqidah Islam dari serangan teologi Masehi, Yahudi,
Hellenisme, dan lain-lain. Dalam dua kitab itu, ia menuduh kelompok
Hambali , sebagai =93bodoh=94 dan jumud.
Dilain
pihak, golongan Al-Asya=92ari dan al-Maturidi dituduh sebagai
zindiq yang menyesatkan kaum muslimin. bahkan Ibnu Taimiyah dalam
beberapa kitabnya mengkafir-kan Al-Asy=92ari, jadi studi terhadap
pemikiran teologi Al-Asy=92ari masih perlu diungkap secara tuntas.
Buku-buku
yang terbit di Saudi Arabia cenderung untuk mengatakan bahwa
teologi Asy=92ari tidak berbeda dengan teologi yang dikembangkan oleh
Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Studi komprehensif tentang
Al-Asy=92ari ditulis oleh Dr. Hamudah Gharabah menyimpulkan bahwa
al-Asy=92ari merupakan pemikir yang mampu mengambil jalan tengah antara
kecenderungan filosofis dan tektualis dalam menganalisa sifat-sifat dan
kekuasaan Tuhan. Kiranya pendapat terakhir inilah yang dianut oleh
warga NU.
Penutup:
Agenda Aswaja di Era Modern
Rumusan NU
diatas, walaupun mengandung beberapa kelemahan, harus
dipahami sebagai upaya dini untuk meresponi perkembangan pemikiran yang
tak akan keluar dari bingkai pemaduan secara seimbang antara landasan
normatif Qur=92an dan Hadits, dan pengembangan penalaran. Rumusan ini
juga harus dipahami sebagai metode untuk menyeleksi budaya lokal dan
budaya asing yang masuk ke dunia Islam yang selalu berkembang.
Karena rumusan itu kita anggap mengikuti metode
berpikir pada tokoh,
maka harus ada terobosan untuk merenovasi dalam berbagai bidang
pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh
dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang
membawa rahmat bagi alam semesta.
Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era
modern ini adalah
sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak
dalam nation state. Kedua, hubungan Syari=92ah Islam dengan hukum=
publik
baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat
menuju masyarakat yang musyawarah dan terbebas dari belenggu
penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Ketika perdebatan aqidah makin marak dengan munculnya
aliran Qadariyah
dan Jabariyah, lahirlah al-Asy=92ari seorang teolog yang ingin
mengembalikan pemahaman aqidah seperti pemahaman kaum salaf dengan
memoderasi eksterm aqal dan ekstrem naql. Oleh pengikut dan pendukung
nya, pendapat-pendapat beliau diklaim sebagai Aswaja. Awalnya
pengertian Aswaja hanya sebatas pada kelompok aqidah, namun kemudian
berkembang dan mencakup kelompok dalam mazhab fiqih.
Konsep Aswaja baru mempunyai ciri dan karakteristik
tertentu setelah
al-Baghdady merumuskan beberapa aqidah yang menjadi ciri khas Aswaja.
Akan tetapi perumusan Al- Baghdady lebih banyak didasarkan pada
pelacakan terhadap kelompok mayoritas pada setiap era.
Perumusan berikutnya dilakukan NU yang intinya
merupakan penyempitan
terhadap konsep Aswaja Al-Baghdady. Hal itu terjadi karena dasar
keberdirian NU dari satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan
pembaruan dan sisi lain merupakan pengakuan terhadap praktek keagamaan
yang berlaku saat itu. Oleh karena
itu Aswaja model NU tidak bersifat
mutlak dan universal. Dan bisa juga Aswaja NU direvisi mengingat
perkembangan keislaman yang terjadi. Bahkan boleh jadi konsep Aswaja
ditiadakan karena akan mempersempit cakupan Aswaja itu sendiri. Wal-
L=E2hu al musta=92=E2n
*)Tulisan
diambil dari naskah diskusi mingguan KMNU yang diramu kembali
dengan makalah saudara Najib Buchori oleh Firdaus Dahlan
=20
Pembakuan terhadap Kemapanan dalam Visi
Anak Muda Nahdlatul =91Ulama*
Imam Ghazali MA
Mukaddimah NU sejak berdirinya tahun 1926
mencantumkan istilah aswaja
pada Qanun Asasinya.Jadi bagi NU, aswaja adalah doktrin aqidah yang
harus dimengerti, ditanamkan secara benar dan dipertahankan oleh
pimpinan dan para anggotanya. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep
Ahlusunnah Waljamaah disingkat Aswaja yang dijabarkan oleh K.H.Bisyri
Mustafa dibakukan menjadi Aswaja versi NU. Menurutnya Aswaja adalah
golongan muslim yang mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy=92ari dan Abu
Mansur Al- Maturidi dalam bidang aqidah dan mengikuti salah satu dari
mazhab empat dalam fiqih serta mengikuti Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan
Abu Hamid al-Ghazali dibidang tasawuf. Dan kesemuanya itu menjadi
rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Tapi anehnya, ulama NU sejak berdiri sampai saat ini
belum sempat
melakukan =93kajian serius=94 terhadap pemikiran para tokoh perumus=
Aswaja
tadi. Kevakuman ini mendorong generasi muda NU terutama mereka yang
mengenyam pendidikan tinggi, seperti Said Aqil, Masdar F. Mas=92udi,
Nurhadi Iskandar, Ulil Absar Abdalla dan lain-lain mencoba untuk
melakukan =93kajian kritis=94 terhadap keabsahan rumusan tersebut.=
Apakah
betul klaim aswaja sebagai doktrin kelompok tradisional (baca NU) ?.
Jauh sebelumnya, Umar Hasyim dalam bukunya Apakah
Anda Temasuk Golongan
Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan bahwa pengertian Ahlussunnah Wal
Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak asumsi
bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah hanya dianut oleh segolongan tradisional
saja.(Lihat, Einar Matahan Sitompul,Mth, NU dan Pancasila, footnote,
hal 70)
Walhasil, dengan melihat latar belakang
intelektualitas para perumus
Aswaja model NU dan kondisi sosialogis masyarakat Indonesia pada awal
berdirinya NU, secara apriori ada satu keyakinan bahwa konsepsi Aswaja
model NU tidak dimaksudkan sebagai defenisi mutlak dan oleh karenanya
sangat kondisional dan temporal.
Aswaja dalam Konteks Historis
Kaum muslimin pada masa Rasullullah SAW adalah umat
yang satu, tidak
terkotak-kotak dalam aneka kecenderungan, baik kabilah, paham
keagamaan, ataupun visi sosial politik. Segala masalah yang muncul
segera teratasi dengan turunnya wahyu dan disertai dengan pengarahan
dari Rasullulah SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin yang cukup dinamis
dan terkendali pada waktu itu. Konon Rasulullah SAW sering memfrediksi
=93kondisi nyaman=94 ini akan segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi
Rasullulah SAW itu terungkap dalam beberapa hadits, yang biasanya
diawali dengan kata-kata =93saya=92ti ala ummati Zaman=94 (umatku akan=
sampai
pada suatu masa), =93sataf tariqu ummati=94 (umatku akan terpecah) dan
seterusnya.
Berdasarkan hadits =93model Prediksi=94 itulah
istilah Ahlusunnah Wal
Jamaah ditemukan. Rasulullah SAW.bersabda :=94Umatku akan terpecah
menjadi 73 golongan, hanya satu golongan yang selamat dan yang lain
binasa=94. Ditanyakan :Siapakah golongan yang selamat itu ? Rasulullah
menjawab Ahlussunnah Wal Jamaah. Ditanyakan: apa Ahlussunnah Wal Jamaah
itu ?. Rasulullah menjawab: =93apa yang aku dan sahabat-sahabatku=
lakukan
saat ini=94
Hadits =93iftiraqul ummah=94 diatas seperti yang
dikatakan Abdul Qahir,
mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang meriwayatkannya. Namun
demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan hadits tersebut.
Yang pertama: berpendapat dhaif dengan hujjah tak
satu pun dari sekian
isnad yang tidak mengandung perawi dhaif . Yang kedua: berpendapat
muhtajju bihi dengan alasan: meskipun tidak satu pun isnad yang tidak
mengandung perawi dhaif tapi banyaknya isnad dan sahabat yang
meriwayatkan, memperkuat dugaan adanya hadits tersebut.(lihat
:Al-Baghdady, Al-farqu Bainal firaq,Hal 7 catatan kaki).
Jadi, jika hadits itu shahih Aswaja sebagai informasi
yang akan muncul
kemudian, sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW,.tetapi Aswaja
sebagai realitas komunitas muslim belum ada pada masa itu. Atau dengan
kata lain kaum muslimin pada masa Rasulullah itulah Aswaja; berdasarkan
hadits tadi =93ma ana alaihi al-yauma wa ashhabi=94 bahwa aswaja adalah
sikap dan amalan yang kulakukan sekarang bersama sahabat-sahabatku.
Jadi amalan (Sunnah) Rasul yang
bersama para sahabat itulah yang
disebut Aswaja. Yaitu ketika kaum muslimin tidak terkotak-kotak dalam
kecenderungan misi politik. Ternyata setelah beliau wafat, para sahabat
sudah terkotak dalam kecenderungan politik tertentu. Dengan mengikuti
logika =93asap dan api=94, isu =93iftiragul ummah=94 dari prediksi=
Rasul
menjadi kenyataan dan adanya satu firqah (golongan) yang selamat, sudah
dikenal pada masa sahabat. Akan tetapi klaim sebagai Aswaja belum ada
pada masa sahabat. Dengan demikian pada masa khulafaurrasyidin pun
masih dipertanyakan apakah masuk dalam kriteria ma ana =91alaihi=
al-yauma
wa ashhabi ?
Setelah
beliau wafat, kecenderungan politik dengan segala frediksinya
mulai tampak ke permukaan, antara golongan Anshar, Muhajirin, dan Ahlul
Bait. Tetapi .frediksi itu segera teratasi, setelah mayoritas umat
sepakat membaiat Abu Bakar, kemudian Umar, Usman, dan Ali sebagai
pimpinan tertinggi kaum muslimin (khalifah-Khulafa). Tetapi itu bukan
berarti frediksi kecenderungan politik pudar pada masa yang dikenal
dengan era Khulafa al-.Rasyidin itu. Frediksi itu terus berkembang dan
menunggu waktu yang kondusif untuk muncul.
Usman yang
tewas secara tragis dan naiknya Ali sebagai khalifah
dianggap oleh para sejarawan sebagai titik kulminasi munculnya friksi
politik yang terpendam pada masa Abu Bakar dan Umar. Kejadian ini
dikenal dengan Fitnah Kubra yang pertama. Dan dari sinilah visi politik
kaum muslimin sulit dipadamkan bahkan mengarah pada konfrontasi yang
terus menerus.
Berangkat
dari konfrontasi fitnah kubra I yang segera diikuti perang
shiffin sebagai fitnah kubra II, visi dan friksi politik kaum muslimin
sudah sulit untuk disatukan kembali. Semua golongan yakin akan
=93kebenaran=94 visi politiknya. Atas dasar keyakinan itulah semua=
golongan
membangun tradisi intelektual dari semua lini disiplin ilmu keislaman
yang berkembang. Masing- masing golongan sibuk meligitiasi Qur=92an,
hadits dan atsar para sahabat sesuai dengan kecenderungan politik
mereka masing-masing.
Landasan
tradisi intelektual diatas, akhirnya semakin kokoh, setelah
kaum muslimin berinteraksi dengan ragam budaya lokal, seperti Parsi,
India, Asyuri, Finiqi, Zoroaster Masehi, Yahudi, dan yang paling
menonjol adalah tradisi Hellenisme Yunani.
Kapan
Klaim Aswaja pada Suatu Golongan Tertentu Muncul ?
Pendapat
pertama: Sejak akhir Khulafatur-Rasyidin sampai tumbangnya
Dinasti Umayah, komunitas aswaja sebetulnya belum muncul. Istilah ini
juga tidak dikenal dalam pengajian (halaqah-halaqah) Hasan al-Basri
(22-110 H). Komunitas yang
paling menonjol pada masa Dinasti Umayah
adalah:Umayah. Alawiyyin yang berkoalisi dengan Abbasiyyin menjadi
Hasyimiyyin, Mu=92tazilah, Hasyawiyah, Khawarij, dan Ahlul Hadits.
Kemudian
pada awal Dinasti Abbasiyah komunitas Ahlul-Hadits mulai
nampak eksistensinya. Ini berawal sejak digulirkannya mihnah khuluqul
Al-Quran oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh sentralnya.
Dari
paparan diatas, diskursus pemikiran yang paling menonjol dan
berpengaruh pada tatanan sosial dan politik pada abad kedua dan ketiga
Hijriyah (masa Abbasiyah I) adalah rasional Mu=92tazilah yang=
berhadapan
dengan golongan tektualis Ahlus Hadits Hanabilah. Golongan terakhir
inilah kemudian mengklaim diri mereka sebagai aswaja
Pendapat
kedua; Menurut Abu Hatim Ar-Razi, seorang penganut Syiah
Ismailiyah (wafat 322 H), tema Aswaja mulai populer dikalangan bani
Umayyah setelah padamnya pemberontakan Hasan, Husein dan Ibnu Zubair.
Pendukung Bani Umayyah berkata,=93kami adalah ahlul Jamaah Siapa
menentang kami berarti menentang umat dan meninggalkan sunnah.Kami
adalah ahlusunnah wal Jamaah=94. Ar-Razi mengomentari peristiwa itu
dengan mengatakan, =93maksud mereka adalah menyepakati satu pemimpin
meskipun berbeda pendapat dan mazhab=94 (lihat Ibrahim H=E2kat,=
Assiy=E2sah
wa Al-Mujtam=E2=92fi =91Ashri Al-Umawy, hal .295) Dengan mengacu pada
pendapat Ar.-Razi, berarti klaim aswaja pertama kali dimunculkan oleh
bani umayyah untuk menunjuk pada golongan politik dan bukan aqidah.
Pendapat
ketiga; Muhammad Abduh dalam Risalat at tauhid menjelaskan
bahwa aswaja adalah klaim pendukung dan pengikut Al-Asy=92ari (wafat=
303
H) seperti Imam Haramain, Al- Isfiayny dan Abu Bakar Al-Baqilany untuk
pendapat beliau. (lihat Muhammad Abduh, Ris=E2latut Tauhid, hal
11).Secara implisit Abduh mengatakan bahwa tema aswaja baru muncul pada
awal abad empat, dan untuk menunjuk golongan aqidah. Dari pendapat
kedua dan ketiga dapat disimpulkan bahwa istilah aswaja belum ada pada
masa pemulaan Islam. Sebab pada waktu itu umat Islam masih dalam
kondisi Ummatun Wahidah.
Perpecahan
umat Islam akibat perbedaan haluan politik pada masa sahabat
memang melahirkan kelompok-kelompok. Akan tetapi tak satu pun kelompok
diberi nama Aswaja. Baru pada masa pemerintahan dinasti Umayyah,
kelompok itu mengklaim dirinya sebagai kelompok Aswaja. Begitu juga
ketika Ma=92bad Al-Juhany, Ghoylan Ad-Dimasyqy dan Yunus Al-Asway pada
masa akhir sahabat mempermasalahkan qadla dan qadar (lihat
Syahrasyatany, Milal wan Nihal,hal.22), lahir kelompok-kelompok dengan
aqidah masing-masing. Namun tak satu pun kelompok yang dijuluki sebagai
Aswaja. Baru setelah Asy=92ari memodernisasi ekstrem aqal dan ekstrem
naql dalam aqidahnya, para pengikutnya memproklamirkan diri sebagai
Aswaja. Dari fakta diatas ada indikasi bahwa munculnya klaim Aswaja
merupakan upaya mendapatkan kemenangan psikologis bagi suatu golongan.
Siapakah
Ahlussunnah Wal Jamaah ?
Hadits
prediksi Rasul tentang iftiraqul ummah tidak menunjuk dengan
sharih orang-orang yang termasuk dalam golongan Aswaja. Ia hanya
memberikan petunjuk secara global bahwa Aswaja adalah orang-orang yang
mengikuti =93jejak Nabi dan Sahabat=94 bisa berbeda antara satu orang
dengan yang lain atau satu golongan dengan golongan lain.
Secara
etimologis Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata, yaitu:
ahl; keluarga, kelompok, golongan, dan komunitas, al-sunnah; tradisi,
jalan, kebiasaan dan perbuatan sedang al-jamaah; kebersamaan,
kolektifitas, komunitas, mayoritas dan lain-lain. Tiga rangkaian kata
diatas, kemudian berkembang menjadi istilah bagi sebuah komunitas
muslim yang secara konsisten bepegang teguh kepada tradisi (sunnah)
Nabi Muhammad Saw dan sebagai landasan normatif setelah Al-Qur.=92an,=
dan
selalu mengikuti alur pemikiran dan sikap mayoritas kaum muslimin.
Dengan kata lain Ahlussunnah adalah golongan mayoritas. Bila bani
Umayyah mengklaim sebagai kelompok mayoritas maka Syiah pun membalasnya
dengan klaim yang sama. Bahkan mereka mengatakan bahwa bani Umayyah
adalah kelompok separatis. (Ibahim Haokat,As-Siyasah wal Mujtama=92 i
Ashil Umawy, hal 318)
Jadi
pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas
konsep Aswaja dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan
karakteristik tertentu yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu
Konsepsi
Aswaja baru mendapatkan karakteristik politis dan theologis
ketika para pendukung Asy=92ari memproklamasi kan diri sebagai Aswaja.
Meskipun Asy=92ari dikenal sebagai theolog,wa bittalii mazhab yang
didirikan adalah mazhab theologi, akan tetapi perbedaan umat Islam
dalam aqidah pada waktu itu interen dengan perbedaan politis. Sehingga
mazhab theologi Asya=92ri juga mencakup pendapat beliau tentang=
khilafah
.
Al-Baqdhadi
(wafat29 H) dalam alfarqu bainal firaq, mengembangkan
cakupan Aswaja dan Beliau tidak memasukkan merumuskan konsepnya dengan
karakteristik yang lebih jelas. Menurutnya ada lima belas pokok aqidah
yang harus diketahui oang mukallaf. Dan orang yang mempunyai pendapat
berbeda dengan 15 aqidah tersebut maka orang itu tersesat.Beliau juga
membagi kelas kelas Aswaja menjadi delapan yaitu: mutakallimin, fuqaha,
muhaditsin,mufassirin,ulamaahl lughah, mutashawwifin, orang-orang yang
berjihad dan orang-orang yang mengikuti pendapat ulama Aswaja.
Beliau
tidak memasukkan Khawarij, Qadariyyah, Syi=92ah dan lain-lain
dalam kelompok Aswaja karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang
mencela, mengfasikkan para sahabat bahkan mengkafirkannya. Padahal
Aswaja adalah orang yang mengikuti jejak sahabat.
Ada
beberapa catatan yang perlu disampaikan bahwa:
1. Dalam
menafsirkan Aswaja ,Al-Bagd=E2dy tidak menyebut-nyebut dalil
naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal terhadap lafadz
ashhaby.
2. Al-Bagdady memasukkan kelompok mutasawwifin dalam kelompok aswaja,
padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut.
3. kelima belas kelompok yang ditetapkan Al-Bagdady adalah
masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Jadi dari
pembahasan diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja
yang kemudian dibakukan adalah pengintian masalah-masalah aqidah yang
sedang diperdebatkan dan penetapan salah satu pendapat yang dianggap
sesuai dengan pendapat mayoritas sahabat.
Konsep
Aswaja Versi NU
=93Hai
para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari=
kalangan
Ahlussunnah Wal Jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian
sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum
kalian,begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya
sampai pada kalian. Begitu
juga kalian harus melihat dari siapa
kalian menuntut ilmu agama Islam. Karena dengan cara menuntut ilmu
pengetahuan seperti itu maka kalian menjadi pemegang kuncinya,
bahkan menjadi pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karenanya
janganlah memasuki satu rumah kecuali melalui pintunya. Barang
siapa yang memasuki satu rumah tidak melalui pintunya maka ia
adalah pencuri=94. (Einar,opcit,hal 69).
Demikian
Hadatus Syekh Hasyim Asy=92ari mulanya merumuskan aswaja.
Yang
menarik dari perumusan diatas adalah disebutkannya Pengikut Imam
Mazhab Empat. Ini satu indikasi bahwa penekanan aswaja mulanya pada
permasalahan figh yang dalam hal ini adalah masalah taqlid terhadap
imam empat. Hal ini bisa dimengerti karena perbedaan esensial yamg
terjadi antara kelompok pembaharu dengan kelompok tradisional adalah
masalah taqlid dan ijtihad.
Tetapi
mengapa hanya pendapat imam yang empat dianut? Jawaban yang
sering terdengar adalah hanya imam empat itulah yang mazhabnya
terkodifikasi lengkap sehingga sampai ke tangan kita dengan selamat.
Adapun mazhab lainnya belum terkodifikasi secara lengkap sehingga
pendapatnya tidak utuh sampai ke tangan kita. Kalau benar ini
alasannya, maka ada satu kejanggalan, mengapa madzhab Ad-Dzahiri dengan
mengacu kitab al-Muhall=E2 Ibnu Hazm tidak diikuti. Padahal Ibnu Hazm
juga disebut oleh Al-Baghdadi sebagai ulama Ahlussunnah.
Jika NU
merumuskan Aswaja dengan menyebut para tokoh bersama rumusannya
sebagai panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin
memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang
terjadi pada abad II, III, IV, V, dan VI Hijriyah.
Definisi
yang dirumuskan (hasil penjabaran KH.Bisyri Mustafa) adalah
sebagai berikut : satu, menganut ajaran-ajaran imam madzhab dari salah
satu empat madzhab dalam bidang fiqih. Kedua, menganut ajaran Imam Abu
Hasan al-Asy=92ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid.
Ketiga, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidy dan
Ghazali dalam bidang tasawwuf
Rumusan
pada point kedua menegaskan corak ke-Aswaja-an NU dan sikap
kaum tradisional terhadap gerakan pembaruan, sedang pada point ketiga
merupakan sikap penerimaan NU terhadap paktek tasawuf dengan menyeleksi
tasawuf yang benar.
Bila kita
bandingkan dengan konsepsi Aswaja Al-Baghdadi, setidaknya ada
dua hal yang berbeda ; Pertama, Aswaja versi NU tidak menyebutkan
pandangannya tehadap masalah khilafah. Hal ini bisa dimengerti, karena
Islam yang masuk di Indonesia bukan Islam Syiah juga bukan Khawarij
oleh karenanya perbedaan umat Islam di Indonesia tidak berkisar pada
masalah itu. Kedua, Aswaja model NU langsung dengan jelas menunjuk pada
aliran tasawuf tertentu, yang itu tidak masuk dalam konsepsi Aswaja
Al-Baghdadi. Jadi mengacu pada hal diatas bisa disimpulkan bahwa Aswaja
model NU di satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan
di sisi lain merupakan pengakuan tehadap praktek keagamaan yang
berkembang saat itu.
Jika
rumusan NU diatas dimaksudkan mendefinisikan Aswaja, maka definisi
itu mengandung beberapa kelemahan; pertama, para imam madzhab fiqih
tidak mungkin secara teologis mengikuti rumusan al-Asy=92ari dan
al-Maturidi, karena masa hidup imam madzhab itu jauh lebih awal sebelum
Al-Asy=92ari lahir malah yang terjadi Al-Asy=92ari dalam fiqih=
mengikuti
Imam Syafi=92i, dan al-Maturidi mengikuti madzhab Hanafi. Kedua, Imam
Junaidi tidak mungkin mengikuti teologi al-Asy=92ari dan Al-Maturidi,
karena yang pertama hidup satu abad sebelum tokoh kedua dan ketiga
lahir. Junaidi juga tidak dikenal sebagai pengikut salah satu mazhab
fiqih. Ketiga, Al-Ghazali walau pun sebagai pelanjut teologi al-Asy=92a=
ri
dan pengikut madzhab Syafi=92i dalam kategori tasawuf, ia bisa
dikategorikan sebagai pengembang teori tasawuf liberal, seperti yang
dikembangkan al-Hallaj. Keempat,
rumusan teologi al-Asya=92ri sampai=
saat
ini masih simpang siur. Dalam kitab al-Ibanah, ia secara gamblang
mengecam Mu=92tazilah karena sering mentakwil ayat-ayat mutasyabihat,
seraya memuji Ahmad bin Hambal yang tak mau mentakwil. Ia sendiri
menisbatkan diri sebagai pelanjut perjuangan Ahmad bin Hambal. Tetapi
dalam kitab Al-Luma=92 dan Istihsan, ia mentakwil ayat-ayat=
mutasyabihat,
dan memuji Mu=92tazilah sebagai golongan Islam yang cerdas dan berjasa
membentengi aqidah Islam dari serangan teologi Masehi, Yahudi,
Hellenisme, dan lain-lain. Dalam dua kitab itu, ia menuduh kelompok
Hambali , sebagai =93bodoh=94 dan jumud.
Dilain
pihak, golongan Al-Asya=92ari dan al-Maturidi dituduh sebagai
zindiq yang menyesatkan kaum muslimin. bahkan Ibnu Taimiyah dalam
beberapa kitabnya mengkafir-kan Al-Asy=92ari, jadi studi terhadap
pemikiran teologi Al-Asy=92ari masih perlu diungkap secara tuntas.
Buku-buku
yang terbit di Saudi Arabia cenderung untuk mengatakan bahwa
teologi Asy=92ari tidak berbeda dengan teologi yang dikembangkan oleh
Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah. Studi komprehensif tentang
Al-Asy=92ari ditulis oleh Dr. Hamudah Gharabah menyimpulkan bahwa
al-Asy=92ari merupakan pemikir yang mampu mengambil jalan tengah antara
kecenderungan filosofis dan tektualis dalam menganalisa sifat-sifat dan
kekuasaan Tuhan. Kiranya pendapat terakhir inilah yang dianut oleh
warga NU.
Penutup:
Agenda Aswaja di Era Modern
Rumusan NU
diatas, walaupun mengandung beberapa kelemahan, harus
dipahami sebagai upaya dini untuk meresponi perkembangan pemikiran yang
tak akan keluar dari bingkai pemaduan secara seimbang antara landasan
normatif Qur=92an dan Hadits, dan pengembangan penalaran. Rumusan ini
juga harus dipahami sebagai metode untuk menyeleksi budaya lokal dan
budaya asing yang masuk ke dunia Islam yang selalu berkembang.
Karena rumusan itu kita anggap mengikuti metode
berpikir pada tokoh,
maka harus ada terobosan untuk merenovasi dalam berbagai bidang
pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin secara menyeluruh
dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam yang
membawa rahmat bagi alam semesta.
Hal yang paling mendesak untuk dirumuskan pada era
modern ini adalah
sebagai berikut, pertama, hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak
dalam nation state. Kedua, hubungan Syari=92ah Islam dengan hukum=
publik
baik nasional maupun internasional. Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat
menuju masyarakat yang musyawarah dan terbebas dari belenggu
penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik dan hukum.
Ketika perdebatan aqidah makin marak dengan munculnya
aliran Qadariyah
dan Jabariyah, lahirlah al-Asy=92ari seorang teolog yang ingin
mengembalikan pemahaman aqidah seperti pemahaman kaum salaf dengan
memoderasi eksterm aqal dan ekstrem naql. Oleh pengikut dan pendukung
nya, pendapat-pendapat beliau diklaim sebagai Aswaja. Awalnya
pengertian Aswaja hanya sebatas pada kelompok aqidah, namun kemudian
berkembang dan mencakup kelompok dalam mazhab fiqih.
Konsep Aswaja baru mempunyai ciri dan karakteristik
tertentu setelah
al-Baghdady merumuskan beberapa aqidah yang menjadi ciri khas Aswaja.
Akan tetapi perumusan Al- Baghdady lebih banyak didasarkan pada
pelacakan terhadap kelompok mayoritas pada setiap era.
Perumusan berikutnya dilakukan NU yang intinya
merupakan penyempitan
terhadap konsep Aswaja Al-Baghdady. Hal itu terjadi karena dasar
keberdirian NU dari satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan
pembaruan dan sisi lain merupakan pengakuan terhadap praktek keagamaan
yang berlaku saat itu. Oleh karena
itu Aswaja model NU tidak bersifat
mutlak dan universal. Dan bisa juga Aswaja NU direvisi mengingat
perkembangan keislaman yang terjadi. Bahkan boleh jadi konsep Aswaja
ditiadakan karena akan mempersempit cakupan Aswaja itu sendiri. Wal-
L=E2hu al musta=92=E2n
*)Tulisan
diambil dari naskah diskusi mingguan KMNU yang diramu kembali
dengan makalah saudara Najib Buchori oleh Firdaus Dahlan
=20
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as