Manhaj Shahih dan Penyelewengan Aqidah
Tidak diragukan, Islam adalah agama yang haq dari Allah, dan
sumbernya jelas berupa wahyu yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya pemahaman Islam yang benar, maka perlu diketahui
kaidah-kaidah pokok tentang pengambilan sumber Islam dan cara menggunakan atau
mencari dalil yang benar.
Berikut ini penjelasan
singkat tentang kaidah-kaidah pokok mengenai manhaj pengambilan sumber aqidah
Islam dan pengambilan dalil menurut Dr Nashir Abdul Karim Al-Aql.
1. Sumber
aqidah adalah Kitab Allah (Al-Qur’anul Karim), Sunnah Rasul-Nya saw yang
shahih, dan ijma’ salafus shalih (kesepakatan generasi terdahulu yang baik).
2. Setiap
Sunnah Rasul saw yang shahih wajib diterima, walaupun sifatnya hadits ahad
(setiap jenjang, periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun 3
orang lebih. Kalau hadits mutawatir setiap jenjang diriwayatkan oleh banyak
orang).
3. Yang
menjadi rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah adalah nash-nash penjelas
(teks ayat ataupun hadits yang menjelaskan maksud-maksud ayat atau hadits).
Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus shalih, dan pemahaman imam-imam yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus
shalih. Dan apa yang telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak
dipertentangkan dengan pengertian (lain) yang semata-mata
kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.
4. Dasar-dasar
agama semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw, maka tidak ada hak bagi seorang
pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan anggapan bahwa itu termasuk dalam
agama.
5. Pasrah
kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw (dalam hal penetapan Islam ini) secara
lahir maupun batin. Maka tidak ada hak untuk mempertentangkan satu hal pun dari
Al-Quran ataupun dari As-Sunnah yang
shahih (baik mempertentangkannya itu)
dengan qiyas, ataupun dengan perasaan, kasyf (klaim tersingkapnya
hijab/ tabir hingga melihat yang batin/ ghaib), ucapan syaikh, pendapat imam
dan sebagainya.
6. Akal
yang obyektif dan benar akan sesuai dengan naql (ayat ataupun hadits)
yang shahih. Keduanya tidak akan bertentangan selamanya. Dan ketika terjadi
kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah naql (ayat ataupun
hadits).
7. Wajib
memegangi lafal-lafal syar’i dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal bid’ah
(bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global)
yang mengandung kemungkinan benar dan salah maka ditafsirkan dari makna
(lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka ditetapkanlah dengan lafal
kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang batil maka ditolak.
8. Al-’Ishmah
(keterpeliharaan dari kesalahan) itu tetap bagi Rasul saw, sedang ummat ini
terjaga tidak akan bersepakat atas kesesatan. Adapun orang perorangnya maka
tidak ada ‘ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) bagi seseorang pun
dari ummat Islam ini. Sedang hal-hal yang ada perselisihan di kalangan para
imam dan lainnya maka tempat kembalinya adalah kepada Al-Quran dan As-Sunnah;
kemudian mujtahid ummat yang bersalah
agar meminta ampun.
9. Di
kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang mendapatkan bisikan
ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan ilham), dan mimpi yang
benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari nubuwwah
(kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini semua adalah
karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar gembira)
--dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah merupakan
sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.
10. Bertengkar
dalam agama itu tercela, tetapi berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah
(disyari’atkan). Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam
pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib
mencegah diri dari menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal yang memang
tidak ada ilmu bagi seorang muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa
itu termasuk urusan Allah SWT) maka menyerahkan hal itu kepada Allah SWT.
11. Wajib
memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula memegangi
manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh
menolak bid’ah dengan bid’ah, dan tidak boleh melawan tafrith
(kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja) dengan ghuluw (berlebih-lebihan,
ekstrem), tidak pula sebaliknya, ghuluw dilawan dengan tafrith, itu
tidak boleh.
12. Setiap
bikinan baru dalam agama itu bid’ah, dan setiap bid’ah tu sesat, dan setiap
kesesatan itu di neraka.[1]
Sumber dan penyebab menyimpangnya
aqidah
Aqidah itu wajib dijaga
kemurniannya, tidak boleh ada penyimpangan atau penyelewengan. Karena, kalau
aqidahnya menyimpang berarti keimanannya rusak, akibatnya semua amal tidak
diterima. Sebab syarat diterimanya amal itu adalah iman, dalam arti iman yang
benar, yang tidak menyimpang.
Sumber dan penyebab
menyimpangnya aqidah perlu diketahui, di antaranya sebagai berikut.
1. Akal
yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Juga kebodohan terhadap aqidah
shahihah. Contoh akal yang tak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah adalah akal
Iblis, yaitu dengan akalnya iblis menentang Allah SWT.
قال
ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين.
“Allah
berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya
dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raaf: 12).
Di samping itu, kebodohan
terhadap aqidah yang benar mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang haq
dan mana yang bathil. Kebodohan itu disebabkan beberapa faktor di antaranya
karena tidak mau mempelajari, tidak diajari sejak kecil hingga tua, bahkan di
kalangan Muslimin belum tentu diajarkan aqidah yang benar, karena enggan,
karena kurang perhatian, dan ada pula karena desakan yang dahsyat dari pengaruh
aqidah-aqidah yang bathil. Maka para ulama, ustadz, da’i dan para orang tua
hendaknya memperhatikan ummat dan generasi Muslim agar mereka mengenal aqidah
yang benar, supaya tidak tersesat.
2. Mengikuti
hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
ولا تطع من
............................................. أمره فرطا.
“Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah
kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah
keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28).
Nabi Muhammad Saw bersabda:
إياكم
والغلو في الدين فإنما هلك من كان قبلكم بالغلو.
“Iyyaakum
walghuluwwa fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bilghuluwwi.”
Artinya:
“Jauhilah oleh kamu
sekalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya rusaknya
orang dulu sebelum kamu itu hanyalah karena ghuluw.[2]
3. Karena
menirukan penyelewengan tingkah laku pemeluk
agama-agama terdahulu. Nabi Saw
bersabda:
لتركبن
سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو أن أحدهم دخل جحر ضب لدخلتم وحتى
لو أن أحدهم جامع امرأته بالطريق لفعلتموه.
“Latarkabunna
sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wadziroo’an bi dziroo’in hattaa
lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hattaa lau anna ahadahum
jaama’am-ro’atahuu bit-thoriiqi lafa’altumuuhu.”
Artinya:
“Pasti kamu sekalian
benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan orang yang telah ada sebelum
kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya
salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kamu masuk (pula), dan sampai-sampai
seandainya salahsatu mereka menyetubuhi perempuannya di jalan pasti kamu
sekalian melakukannya (pula).[3]
Mengikuti kelakuan orang-orang dahulu (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) dalam
kasus yang dikemukakan Nabi Saw itu tentang keburukan. Sedang mengenai hal-hal
yang disyari’atkan untuk umat-umat terdahulu pun tidak boleh dilakukan, kecuali
kalau dibolehkan oleh Nabi SAW. Karena Nabi SAW bersabda:
"...والله
لو كان موسى حيا لما وسعه إلا أن يتبعني."
“...Walloohi lau kaana
Muusaa hayyan lamaa wasa’ahu illaa an yattabi’anii.”
Artinya:
“...Demi Allah,
seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali
dia harus mengikutiku.” [4]
4. Adat
istiadat yang bertentangan dengan Islam, ta’asshub (fanatik suku,
golongan dsb), dan taklid buta (mengikuti tanpa tahu dalilnya).
وإذا قيل لهم اتبعوا
............................................ ولا يهتدون.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,
Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.”
(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat peunjuk?” (QS Al-Baqarah: 170).
Setelah kita bicarakan sumber-sumber pokok pengambilan dan manhaj
Islam, demikian pula kita waspadai sumber-sumber penyelewengan aqidah Islam,
mudah-mudahan kita terbebas dari segala penyelewengan. Sehingga iman dan Islam
kita benar-benar lurus sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Mudah-mudahan. Amien.
Sumber:
..Dr. Nashir bin Abdul Karim
Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul
Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H
·
Mendudukkan
Tasawuf, Darul Falah Jakarta,
Ramadhan 1420H/ Desember 1999.
·
Dr Shaleh bin
Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Darul Haq Jakarta,
cetakan I, Rajab 420H.
[1] (Dr.
Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil
‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H, hal 7-9).
[2] (HR
Ahmad, An-Nasaa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, berderajat Shahih).
[3] (HR
Al-Hakim dari Ibnu Abbas, berderajat shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jami’
as-Shaghir).
[4] (Diriwayatkan
Imam Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi
dengan lebih sempurna, berderajat Hasan, karena punya banyak jalan menurut
Al-Lalkai dan Al-Harawi dan lainnya).
Tidak diragukan, Islam adalah agama yang haq dari Allah, dan
sumbernya jelas berupa wahyu yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya pemahaman Islam yang benar, maka perlu diketahui
kaidah-kaidah pokok tentang pengambilan sumber Islam dan cara menggunakan atau
mencari dalil yang benar.
Berikut ini penjelasan
singkat tentang kaidah-kaidah pokok mengenai manhaj pengambilan sumber aqidah
Islam dan pengambilan dalil menurut Dr Nashir Abdul Karim Al-Aql.
1. Sumber
aqidah adalah Kitab Allah (Al-Qur’anul Karim), Sunnah Rasul-Nya saw yang
shahih, dan ijma’ salafus shalih (kesepakatan generasi terdahulu yang baik).
2. Setiap
Sunnah Rasul saw yang shahih wajib diterima, walaupun sifatnya hadits ahad
(setiap jenjang, periwayatnya tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun 3
orang lebih. Kalau hadits mutawatir setiap jenjang diriwayatkan oleh banyak
orang).
3. Yang
menjadi rujukan dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah adalah nash-nash penjelas
(teks ayat ataupun hadits yang menjelaskan maksud-maksud ayat atau hadits).
Rujukan lainnya adalah pemahaman salafus shalih, dan pemahaman imam-imam yang berjalan di atas manhaj (jalan) salafus
shalih. Dan apa yang telah ditetapkan dari Al-Quran dan As-Sunnah tidak
dipertentangkan dengan pengertian (lain) yang semata-mata
kemungkinan-kemungkianan dari segi bahasa.
4. Dasar-dasar
agama semuanya telah dijelaskan oleh Nabi saw, maka tidak ada hak bagi seorang
pun untuk mengadakan sesuatu yang baru dengan anggapan bahwa itu termasuk dalam
agama.
5. Pasrah
kepada Allah dan kepada Rasul-Nya saw (dalam hal penetapan Islam ini) secara
lahir maupun batin. Maka tidak ada hak untuk mempertentangkan satu hal pun dari
Al-Quran ataupun dari As-Sunnah yang
shahih (baik mempertentangkannya itu)
dengan qiyas, ataupun dengan perasaan, kasyf (klaim tersingkapnya
hijab/ tabir hingga melihat yang batin/ ghaib), ucapan syaikh, pendapat imam
dan sebagainya.
6. Akal
yang obyektif dan benar akan sesuai dengan naql (ayat ataupun hadits)
yang shahih. Keduanya tidak akan bertentangan selamanya. Dan ketika terjadi
kebimbangan yang bertentangan maka didahulukanlah naql (ayat ataupun
hadits).
7. Wajib
memegangi lafal-lafal syar’i dalam aqidah, dan menjauhi lafal-lafal bid’ah
(bikinan baru). Sedangkan lafal-lafal yang mujmal (garis besar/ global)
yang mengandung kemungkinan benar dan salah maka ditafsirkan dari makna
(lafal)nya, lantas hal yang keadaannya benar maka ditetapkanlah dengan lafal
kebenarannya yang syar’i, sedang hal yang batil maka ditolak.
8. Al-’Ishmah
(keterpeliharaan dari kesalahan) itu tetap bagi Rasul saw, sedang ummat ini
terjaga tidak akan bersepakat atas kesesatan. Adapun orang perorangnya maka
tidak ada ‘ishmah (keterpeliharaan dari kesalahan) bagi seseorang pun
dari ummat Islam ini. Sedang hal-hal yang ada perselisihan di kalangan para
imam dan lainnya maka tempat kembalinya adalah kepada Al-Quran dan As-Sunnah;
kemudian mujtahid ummat yang bersalah
agar meminta ampun.
9. Di
kalangan ummat ada muhaddatsun (orang-orang yang mendapatkan bisikan
ghaib), mulahhamun (orang-orang yang mendapatkan ilham), dan mimpi yang
benar itu adalah haq/ benar; dan itu adalah sebagian dari nubuwwah
(kenabian), dan firasat yang benar itu adalah haq/ benar. Ini semua adalah
karomah (kemuliaan) dan mubassyaroot (khabar-khabar gembira)
--dengan syarat hal itu sesuai dengan syara’—dan itu semua bukanlah merupakan
sumber bagi aqidah dan bukan pula sumber bagi syari’at.
10. Bertengkar
dalam agama itu tercela, tetapi berbantahan (mujadalah) dengan baik itu masyru’ah
(disyari’atkan). Dalam hal yang jelas dilarang menceburkan diri dalam
pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti larangan itu. Dan wajib
mencegah diri dari menceburkan diri untuk berbicara mengenai hal yang memang
tidak ada ilmu bagi seorang muslim (misalanya tentang ruh yang ditegaskan bahwa
itu termasuk urusan Allah SWT) maka menyerahkan hal itu kepada Allah SWT.
11. Wajib
memegangi manhaj wahyu dalam menolak sesuatu, sebagaimana wajib pula memegangi
manhaj wahyu itu dalam mempercayai dan menetapkan sesuatu. Maka tidak boleh
menolak bid’ah dengan bid’ah, dan tidak boleh melawan tafrith
(kelengahan, gegabah/ sembrono, sekenanya saja) dengan ghuluw (berlebih-lebihan,
ekstrem), tidak pula sebaliknya, ghuluw dilawan dengan tafrith, itu
tidak boleh.
12. Setiap
bikinan baru dalam agama itu bid’ah, dan setiap bid’ah tu sesat, dan setiap
kesesatan itu di neraka.[1]
Sumber dan penyebab menyimpangnya
aqidah
Aqidah itu wajib dijaga
kemurniannya, tidak boleh ada penyimpangan atau penyelewengan. Karena, kalau
aqidahnya menyimpang berarti keimanannya rusak, akibatnya semua amal tidak
diterima. Sebab syarat diterimanya amal itu adalah iman, dalam arti iman yang
benar, yang tidak menyimpang.
Sumber dan penyebab
menyimpangnya aqidah perlu diketahui, di antaranya sebagai berikut.
1. Akal
yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Juga kebodohan terhadap aqidah
shahihah. Contoh akal yang tak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah adalah akal
Iblis, yaitu dengan akalnya iblis menentang Allah SWT.
قال
ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين.
“Allah
berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya
dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A’raaf: 12).
Di samping itu, kebodohan
terhadap aqidah yang benar mengakibatkan tidak bisa membedakan mana yang haq
dan mana yang bathil. Kebodohan itu disebabkan beberapa faktor di antaranya
karena tidak mau mempelajari, tidak diajari sejak kecil hingga tua, bahkan di
kalangan Muslimin belum tentu diajarkan aqidah yang benar, karena enggan,
karena kurang perhatian, dan ada pula karena desakan yang dahsyat dari pengaruh
aqidah-aqidah yang bathil. Maka para ulama, ustadz, da’i dan para orang tua
hendaknya memperhatikan ummat dan generasi Muslim agar mereka mengenal aqidah
yang benar, supaya tidak tersesat.
2. Mengikuti
hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
ولا تطع من
............................................. أمره فرطا.
“Dan janganlah kamu ikuti orang yang hatinya telah
kami lalaikan dari mengingati Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah
keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28).
Nabi Muhammad Saw bersabda:
إياكم
والغلو في الدين فإنما هلك من كان قبلكم بالغلو.
“Iyyaakum
walghuluwwa fid diini fainnamaa halaka man kaana qoblakum bilghuluwwi.”
Artinya:
“Jauhilah oleh kamu
sekalian sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama karena sesungguhnya rusaknya
orang dulu sebelum kamu itu hanyalah karena ghuluw.[2]
3. Karena
menirukan penyelewengan tingkah laku pemeluk
agama-agama terdahulu. Nabi Saw
bersabda:
لتركبن
سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو أن أحدهم دخل جحر ضب لدخلتم وحتى
لو أن أحدهم جامع امرأته بالطريق لفعلتموه.
“Latarkabunna
sunana man kaana qoblakum syibron bi syibrin wadziroo’an bi dziroo’in hattaa
lau anna ahadahum dakhola juhro dhobbin ladakholtum wa hattaa lau anna ahadahum
jaama’am-ro’atahuu bit-thoriiqi lafa’altumuuhu.”
Artinya:
“Pasti kamu sekalian
benar-benar akan melakukan perbuatan-perbuatan orang yang telah ada sebelum
kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya
salahsatu mereka masuk lobang biawak pasti kamu masuk (pula), dan sampai-sampai
seandainya salahsatu mereka menyetubuhi perempuannya di jalan pasti kamu
sekalian melakukannya (pula).[3]
Mengikuti kelakuan orang-orang dahulu (Ahli Kitab: Yahudi dan Nasrani) dalam
kasus yang dikemukakan Nabi Saw itu tentang keburukan. Sedang mengenai hal-hal
yang disyari’atkan untuk umat-umat terdahulu pun tidak boleh dilakukan, kecuali
kalau dibolehkan oleh Nabi SAW. Karena Nabi SAW bersabda:
"...والله
لو كان موسى حيا لما وسعه إلا أن يتبعني."
“...Walloohi lau kaana
Muusaa hayyan lamaa wasa’ahu illaa an yattabi’anii.”
Artinya:
“...Demi Allah,
seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali
dia harus mengikutiku.” [4]
4. Adat
istiadat yang bertentangan dengan Islam, ta’asshub (fanatik suku,
golongan dsb), dan taklid buta (mengikuti tanpa tahu dalilnya).
وإذا قيل لهم اتبعوا
............................................ ولا يهتدون.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka,
Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.”
(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat peunjuk?” (QS Al-Baqarah: 170).
Setelah kita bicarakan sumber-sumber pokok pengambilan dan manhaj
Islam, demikian pula kita waspadai sumber-sumber penyelewengan aqidah Islam,
mudah-mudahan kita terbebas dari segala penyelewengan. Sehingga iman dan Islam
kita benar-benar lurus sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Mudah-mudahan. Amien.
Sumber:
..Dr. Nashir bin Abdul Karim
Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, Darul
Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H
·
Mendudukkan
Tasawuf, Darul Falah Jakarta,
Ramadhan 1420H/ Desember 1999.
·
Dr Shaleh bin
Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid I, Darul Haq Jakarta,
cetakan I, Rajab 420H.
[1] (Dr.
Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Mujmal Ushul Ahl As-Sunnah wal Jama’ah fil
‘Aqidah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, Syawwal 1411H, hal 7-9).
[2] (HR
Ahmad, An-Nasaa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, berderajat Shahih).
[3] (HR
Al-Hakim dari Ibnu Abbas, berderajat shahih menurut As-Suyuthi dalam Al-Jami’
as-Shaghir).
[4] (Diriwayatkan
Imam Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi
dengan lebih sempurna, berderajat Hasan, karena punya banyak jalan menurut
Al-Lalkai dan Al-Harawi dan lainnya).
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as