Fatwa
Yusuf al-Qardhawi
Zakat
untuk Membangun Masjid
Menyalurkan
zakat untuk pembangunan masjid sehingga
dapat digunakan untuk mengagungkan nama Allah, berdzikir kepada-Nya,
menegakkan syiar-syiar-Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-pelajaran
dan nasihat-nasihat, termasuk hal yang diperselisihkan para ulama dahulu
maupun sekarang.
Apakah pembangunan masjid ini masuk dalam
kategori "fi sabilillah" atau tidak. "Fi sabilillah"
yang merupakan salah satu dari delapan sasaran zakat, yaitu orang fakir, orang
miskin, pengurus zakat, para muallaf, memerdekakan budak, orang yang mempunyai
hutang, dan orang dalam perjalanan. Allah berfirman, "Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana," (QS at-taubah [9]: 60).
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai
"fi sabilillah" (di jalan Allah) terbatas pada
"jihad" saja, yakni berperang di jalan Allah, sebagaimana yang
dipahami oleh jumhur. Yusuf al-Qardhawi memperluas makna jihad tidak hanya
terbatas pada jihad dalam arti perjuangan bersenjata, tapi juga mencakup jihad
ideologi (pemikiran), jihad tarbawi (pendidikan), jihad da'wi (dakwah),
jihad dini (perjuangan agama), dan lain-lainnya.
Yusuf al-Qardhawi memaknai jihad sebagai
segala usaha untuk memelihara eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi kepribadian
Islam dari serangan musuh yang hendak mencabut Islam dari akar-akarnya, baik
serangan itu berasal dari salibisme, misionarisme, marxisme, komunisme, atau
dari Free Masonry dan zionisme, maupun dari antek dan agen-agen mereka yang
berupa gerakan-gerakan sempalan Islam semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan
Bathiniyah (Kebatinan), serta kaum sekuler yang terus-menerus menyerukan
sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.
Berdasarkan hal ini, maka Yusuf al-Qardhawi
mengatakan bahwa negara-negara kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya
mampu mendirikan masjid-masjid yang diperlukan umat, seperti negara-negara
Teluk, maka tidak seyogianya zakat di negara tersebut dipergunakan untuk
pembangunan masjid. Sebab negara-negara seperti ini sudah tidak memerlukan
zakat untuk hal ini. Menurut Syeikh Qardhawi, masih ada sasaran-sasaran lain
yang disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang dananya, baik
dari uang zakat maupun selain zakat.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa membangun
sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya cukup digunakan untuk membangun
sepuluh atau lebih masjid di negara-negara muslim yang miskin yang padat penduduknya,
sehingga satu masjid saja dapat menampung puluhan ribu orang.
Dari sini beliau merasa mantap memperbolehkan
menggunakan zakat untuk membangun masjid di negara-negara miskin yang sedang
menghadapi serangan kristenisasi, komunisme, zionisme, Qadianiyah,
Bathiniyah, dan lain-lainnya. Lenih jauh Yusuf al-Qardhawi menegaskan bahwa kadang-kadang
mendistribusikan zakat untuk keperluan ini-dalam kondisi seperti ini–jauh
lebih utama daripada didistribusikan untuk yang lain.
Ada dua alasan yang diutarakan Yusuf
al-Qardhawi membolehkan pendistribusian zakat untuk membangun masjid di
negara-negara miskin. Pertama, umat Islam yang hidup di negara-negara miskin
adalah kaum yang fakir, yang harus dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai
manusia sehingga dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia
muslim. Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi bagi jamaah muslimah.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan, apabila umat Islam di negara-negara miskin tidak memiliki
dana untuk mendirikan masjid, baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan
pribadi atau dari para dermawan, maka tidak ada larangan di negara tersebut
untuk mendirikan masjid dengan menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib
didirikan dengannya sehingga tidak ada kaum Muslim yang hidup tanpa
mempunyai masjid.
Sebagaimana setiap orang muslim membutuhkan
makan dan minum untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya, maka jamaah muslimah
juga membutuhkan masjid untuk menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman
mereka. Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa program pertama yang dilaksanakan
Nabi Saw setelah hijrah ke Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi yang mulia
yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman itu.
Kedua, masjid di negara-negara yang sedang
menghadapi bahaya perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada
dibawah pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah semata-mata tempat ibadah,
melainkan juga sekaligus sebagai markas perjuangan dan benteng untuk membela
keluhuran Islam dan melindungi syakhshiyah islamiyah.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, dalil yang lebih
mendekati hal ini ialah peranan masjid dalam membangkitkan harakah umat
Islam di Palestina yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut bahasa
berarti mengguncang/menggoyang) yang pada awal kehadirannya dikenal dengan
sebutan "Intifadhah al masajid." Kemudian oleh media
informasi diubah menjadi "Intifadhah al-Hijarah" batu-batu
karena takut dihubungkan dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan
bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.
Akhirnya Yusuf al-Qardhawi berkesimpulan
bahwa menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam kondisi seperti itu
termasuk infak zakat fi sabilillah demi menjunjung tinggi kalimat-Nya
serta membela agama dan umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan
demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi sabilillah
(di jalan Allah).
n
Yusuf al-Qardhawi
Zakat
untuk Membangun Masjid
Menyalurkan
zakat untuk pembangunan masjid sehingga
dapat digunakan untuk mengagungkan nama Allah, berdzikir kepada-Nya,
menegakkan syiar-syiar-Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-pelajaran
dan nasihat-nasihat, termasuk hal yang diperselisihkan para ulama dahulu
maupun sekarang.
Apakah pembangunan masjid ini masuk dalam
kategori "fi sabilillah" atau tidak. "Fi sabilillah"
yang merupakan salah satu dari delapan sasaran zakat, yaitu orang fakir, orang
miskin, pengurus zakat, para muallaf, memerdekakan budak, orang yang mempunyai
hutang, dan orang dalam perjalanan. Allah berfirman, "Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana," (QS at-taubah [9]: 60).
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai
"fi sabilillah" (di jalan Allah) terbatas pada
"jihad" saja, yakni berperang di jalan Allah, sebagaimana yang
dipahami oleh jumhur. Yusuf al-Qardhawi memperluas makna jihad tidak hanya
terbatas pada jihad dalam arti perjuangan bersenjata, tapi juga mencakup jihad
ideologi (pemikiran), jihad tarbawi (pendidikan), jihad da'wi (dakwah),
jihad dini (perjuangan agama), dan lain-lainnya.
Yusuf al-Qardhawi memaknai jihad sebagai
segala usaha untuk memelihara eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi kepribadian
Islam dari serangan musuh yang hendak mencabut Islam dari akar-akarnya, baik
serangan itu berasal dari salibisme, misionarisme, marxisme, komunisme, atau
dari Free Masonry dan zionisme, maupun dari antek dan agen-agen mereka yang
berupa gerakan-gerakan sempalan Islam semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan
Bathiniyah (Kebatinan), serta kaum sekuler yang terus-menerus menyerukan
sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.
Berdasarkan hal ini, maka Yusuf al-Qardhawi
mengatakan bahwa negara-negara kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya
mampu mendirikan masjid-masjid yang diperlukan umat, seperti negara-negara
Teluk, maka tidak seyogianya zakat di negara tersebut dipergunakan untuk
pembangunan masjid. Sebab negara-negara seperti ini sudah tidak memerlukan
zakat untuk hal ini. Menurut Syeikh Qardhawi, masih ada sasaran-sasaran lain
yang disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang dananya, baik
dari uang zakat maupun selain zakat.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa membangun
sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya cukup digunakan untuk membangun
sepuluh atau lebih masjid di negara-negara muslim yang miskin yang padat penduduknya,
sehingga satu masjid saja dapat menampung puluhan ribu orang.
Dari sini beliau merasa mantap memperbolehkan
menggunakan zakat untuk membangun masjid di negara-negara miskin yang sedang
menghadapi serangan kristenisasi, komunisme, zionisme, Qadianiyah,
Bathiniyah, dan lain-lainnya. Lenih jauh Yusuf al-Qardhawi menegaskan bahwa kadang-kadang
mendistribusikan zakat untuk keperluan ini-dalam kondisi seperti ini–jauh
lebih utama daripada didistribusikan untuk yang lain.
Ada dua alasan yang diutarakan Yusuf
al-Qardhawi membolehkan pendistribusian zakat untuk membangun masjid di
negara-negara miskin. Pertama, umat Islam yang hidup di negara-negara miskin
adalah kaum yang fakir, yang harus dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai
manusia sehingga dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia
muslim. Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi bagi jamaah muslimah.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan, apabila umat Islam di negara-negara miskin tidak memiliki
dana untuk mendirikan masjid, baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan
pribadi atau dari para dermawan, maka tidak ada larangan di negara tersebut
untuk mendirikan masjid dengan menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib
didirikan dengannya sehingga tidak ada kaum Muslim yang hidup tanpa
mempunyai masjid.
Sebagaimana setiap orang muslim membutuhkan
makan dan minum untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya, maka jamaah muslimah
juga membutuhkan masjid untuk menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman
mereka. Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa program pertama yang dilaksanakan
Nabi Saw setelah hijrah ke Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi yang mulia
yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman itu.
Kedua, masjid di negara-negara yang sedang
menghadapi bahaya perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada
dibawah pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah semata-mata tempat ibadah,
melainkan juga sekaligus sebagai markas perjuangan dan benteng untuk membela
keluhuran Islam dan melindungi syakhshiyah islamiyah.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, dalil yang lebih
mendekati hal ini ialah peranan masjid dalam membangkitkan harakah umat
Islam di Palestina yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut bahasa
berarti mengguncang/menggoyang) yang pada awal kehadirannya dikenal dengan
sebutan "Intifadhah al masajid." Kemudian oleh media
informasi diubah menjadi "Intifadhah al-Hijarah" batu-batu
karena takut dihubungkan dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan
bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.
Akhirnya Yusuf al-Qardhawi berkesimpulan
bahwa menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam kondisi seperti itu
termasuk infak zakat fi sabilillah demi menjunjung tinggi kalimat-Nya
serta membela agama dan umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan
demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi sabilillah
(di jalan Allah).
n
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as