Membangun Persma Dalam Bentuk LPM
Oleh : Agus Budiono
Awal Pemikiran
Dipandang secara ideal, persma lahir dengan berbagai
alasan untuk sebuah arah perjuangan menuju perubahan besar di masyarakat.
Persma, layaknya pers umum, sebanrnya mampu menjadi pembentuk opini pada suatu
komunitas, media transformasi sebuah nilai dan sarana komunikasi. Namun
permasalahan mulai muncul di saat persma tidak dapat memancing perhatian
masyarakat pembacanya sendiri karena persma tidak populer dikalangan mahasiswa.
Pertanyaannya adalah persma sudah tidak dapat memenuhi tugas yang seharusnya
dikerjakan.
Pilihan yang kemudian muncul adalah apakah tetap
mempertahankan persma utnuk tetap ada dan ikut mewarnai kehidupan demokratisasi
kampus dengan konsekuensi mengubah dan membenahi infrastruktur yang ada.
Pilihan kedua yaitu membubarkan persma dengan dalih sudah tak ada lagi pilihan
karena persma komunitas pembaca tidak terlalu menghiraukan kehadirannya.
Pragmatisme yang kini muncul di setiap corak hasil
terbitan dan kegiatan persma sebagai lembaga semakin tinggi. Kondisi ini
diperparah dengan masih banyaknya prosentase mahasiswa yang berpikiran
pragmatis pula.
Kalau dilihat dari definisi yang ada pers mahasiswa
dapat dikatakan sebagai hasil hubungan mesra antara tradisi ilmiah kampus
dengan tradisi jurnalisme[1].
Dari definisi ini kiranya dapat dikatakan bahwa pers mahasiswa dalam melakukan
kehidupan sehari-harinya menggunakan metodologi ilmiah untuk mencari dan
menganalisis data yang didapat dan menampilkannya dengan kemasan jurnalistik
dengan berbagai style.
Pers Mahasiswa dalam Sebuah Organisasi
Proses
pembatasan gerak pers mahasiswa oleh penguasa melaui NKK/BKK yang diberlakukan
seiring pembekuan dewan mahasiswa menempatkan persma dalam sebuah lembaga UKM
(unit kegiatan mahasiswa) di golongkan sebagai sebuah perkumpulan sesama
penghobi kegiatan jurnalistik dikampus. Misi dan bentuk persma yang ideal
memang sejak itu sudah sengaja dimatikan.
Dengan
bentuk seperti sebuah organisasi minat dan bakat, maka persma yang ada
dibentuknya dalam sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang mekanisme dan pola
hubungna kerjanya sangat dibatasi hanya sebatas terbitan yang dijalankan oleh
mahasiswa. Melalui UU Pokok pers, UU no. 21 tahun 1982[2]
disebutkan bahwa pers mahsiswa bukan lagi sebuah wadah untuk proses
ideologisasi mahasiswa yagn ada dikampus tapi lebih hanya pada proses untuk
menghasilkan sebuah terbitan.
Dari
hirarki tanggung jawab, persma (menurut definisi UU Pokok tersebut) bertanggung
jawab secara hukum kepada birokrat kampus dalam hal hasil terbitan, keuangan
dan sebagainya.Dengan segala aturan yang dipandang mengekang tersebut, gerak
laju pertumbuhan pers mahasiswa dikampus juga sangat terasa dibatasi.
Dipandang
sebagai sebuah organisasi, persma juga teridiri oelh infrastruktur yang membentuknya.
Infrastruktur yang dimiliki oelh pers mahasiswa adalah infrastruktur
redaksional dan organisasi. Untuk dapat membangun persma secara keseluruhan,
maka kita dituntut untuk membangun sebuah infrastruktur yang kuat yang
menyusunnya.
Infrastruktur
redaksional terkait dengan pemahaman mengenai Nilai Dasar Perjuangan Persma
yang kemudian diturunkan dalam program kerja redaksional dan yang lebih penting
terkait dengan pola politik redaksional yang dijalankan.
Dalam
kondisi seperti sekarang ini, pilihan-pilihan selalu dihadapkan pada kita
disaat harus mengambil langkah perbaikan infrastruktur yang ada. Mengenai
infrastruktur mana yang harus didahulukan untuk dibangun masih menjadi
pertanyaan semua pihak.
Membangun Infrastruktur LPM
LPM
sebagai lembaga formal dikampus berada diantar beberapa lembaga formal
kemahasiswaan yang lain. Karena dalam berhubungan dengan lembaga formal
lainnya, maka LPM dituntut untuk sedapat mungkin berhubungan sesuai dengan
aturan main yang ada. LPM juga dituntut jeli saat dihadapkan pada suatu
permasalahan yang memaksa diberlakukannnya politik organisasi secara spesifik.
Secara
umum LPM terdiri dari dua infrastruktur utama yaitu infrastruktur redaksional
dan organisasi. Infrastruktur redaksional terkait dengan kerjap-kerja yang menghasilkan
suatu hasil terbitan. Untuk dapat menghasilkan sebuah hasil sesuai dengan
politik redaksional dibutuhkan aturan
mekanisme yang jelas dan SDM yang
mempuyai kapabilitas.
Jika
LPM hanya memperhatikan infrastruktur redaksionalnya saja, maka dapat berakibat
pada lemahnya mekanisme organisasi yang menaungi kerja-kerja redaksional.
Implikasi yang muncul kemudian akan sedikit banyak mengganggu kerja-kerja
redaksional karena masalah keorganisasian yang muncul akan menyita banyak waktu
para pegiatnya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Namun
menjadi sangat tidak lucu ketika LPM lebih mementingkan membangun infrastruktur
organisasi dengan mengesampingkaninfrastruktur redaksional. Bisa jadi kerja
redaksional yang dilakukan hanyalah sebuah aktivisme untuk sebuah hobi
kewartawanan belaka.
Jadi
untuk dapat membangun persma yang sudah kadung dimanifestasikan oleh NKK/BKK
telah menjadi LPM, jawaban yang paling mungkin adalah membangun kedua
infrastruktur tersebut secara stabil dan simultan. Stabil dalam artian tidak
berat sebelah dan simultan berarti tetap menjaga konsistensi konsentrasi
membangun kedua infrastruktur terssebut.
Pilihan
dari membangun kedua-duanya adalah bagaimana membuat sebuah sistem kaderisasi
yang dapat memberikan gambaran mengenai kerja-kerja yang akan dan harus
dilakukan. Dalam membangun kader dibutuhkan silabus kaderisasi yang jelas
sehingga dapat dilakukan uji materi dan evaluasi dari setiap metode kaderisasi
yang dipakai.
Lakukan Pembacaan Diri
Untuk
memulai suatu kerja pembangunan organisasi, dibutuhkan perencanaan menyeluruh
termasuk juga mengenai pendataan terhadap segala segala aset yang dimiliki oleh
organisasi tersebut, termasuk didalamnya kemampuan SDM didalamnya.
Dari
sekian banyak sumber daya yang dimiliki organisasi, SDM merupakan satu-satu
sumber daya yang paling berharga. Dilihat dari sifat sebuah organisasi yang
hanya sebuah benda mati, SDM adalah jawaban pokok mengenai keberlangsungan
sebuah organisasi. Maka dengan sendirinya, pembacaan terhadap kemampuan SDM
sangat penting mengenai seberapa besar sumber daya yang dimiliki tiap pegiat
yang ada.
Levelisasi
merupakan langkah awal untuk melihat seberapa jauh sumber daya yang dimiliki
oleh setiap pegiat yang dimiliki. Levelisasi dapat berjalan dengan baik jika
kita sudah mempunyai standarisasi yang jelas terhadap tiap level yang dibuat.
Secara mudah, level person di sebuah organisasi dapat diberikan sebagai berikut
: simpatisan, anggota, calon kader dan kader.
Dalam
membuat levelisasi, standarisasi diberlakukan pada setiap person dengan
pertimbangan beban kerja dan tanggung jawab. Parameter levelisasi tidak dapat
menggunakan patokan berkait lamanya seseorang ada dalam organisasi tersebut
juga bukan pada tingginya tingkat wacana dan pengetahuan yang dimilikinya.
Pembuatan standarisasi dan parameter harus ketat, hal ini dilakukan untuk
mempermudah proses kaderisasi organisasi itu sendiri.
Silabus Sebagai Gambaran Umum Kaderisasi
Setelah
pembacaan awal terhadap potensi yang dimiliki oleh tiap anggota dilakukan, maka
untuk menjalankan proses kaderisasi harus dibuat sebuah acuan kerja yang
nantinya dipakai dasar melangkah.
Penyusunan
silabus hendaknya berpijak pada kerangka awal pembangunan organisasi LPM secara
menyeluruh. Kalau di LPM dikenal dengan dua infrastruktur organisasi, maka silabus
juga diarahkan pada pembangunan kedua infrastruktur tersebut. Sedangkan untuk
membangun infrastruktur organisasi dan redaksional dibutuhkan beberapa
parameter yang jelas mengenai keduanya.
Gambaran
umum silabus yang dibutuhkan nantinya akan diaktualisasikan kedalam beberapa
proses kaderisasi pada setiap jenjang/level yang ada. Perlu diingat bahwa
sebuah teori akan menjadi sampah jika tidak diikuti oleh beberapa proses
penyertanya seperti pengendapan, pendalaman dan yang terpenting adalah
penerapannya pada tiap kerjap-kerja yang dilakukan. Pengalaman empirik adalah
guru terbaik dari sebuah pelajaran hidup termasuk juga organisasi.
Dalam
kerangka organisasi kemahasiswaan, teori dan praktek menjadi sebuah kesatuan
utuh yang tidak dapat terpisah atau saling mendahului satu sama lain. Maka
untuk sebuah proses kaderisasi yang ada, silabus pelatihan juga harus diikuti
oleh serangkaian kegiatan praksis.
Selanjutnya
gambaran mengenai silabus kaderisasi tiap level dapat secara umum terlihat
seperti di bawah ini :
A. Simpatisan
Simpatisan
dapat didefinisikan sebagai person baik didalam maupun diluar sistem yang
mempunyai rasa simpati terhadap keberadaan organisasi yang ada. Simpatisan
dapat berupa simpatisan niat, yaitu hanya bersimpati sebatas dihati. Juga ada
simpatisan yang ikut larut dalam beberapa dinamika organisasi namun tidak
mempunyai keterikatan struktural organisasi (keanggotaan).
Karena
simpatisan hanya bersifat kerja bakti dan berada di luar sistem, maka untuk
setiap kerja organisasi, keberadaan simpatisan tidak dapat dan tidak perlu
diperhitungkan sebagai target tim kerja. Namun perlu diingat, dengan adanya
simpatisan maka secara tidak langsung eksistensi sebuah organisasi dapat
diaktakan mendapat pengakuan dari luar sistem orgnisasi. Simpatisan hanya memiliki
keterikatan emosional yang mungkin karena hubungan perkawanan atau perasaan
senasib. Agar simpatisan dapat ‘digunakan’ untuk kerja organisasi, dapat
digunakan cara pendekatan personal dan ajakan bergabung/ikut menyukseskan
kerja-kerja prganisasi.
Untuk
menarik simaptisan masuk kedalam sistem adalah dengan menarik mereka kedalam
organisasi dengan menjadi anggota. Karena dasar simpatisan adalah simpati
terhadap organisasi, maka secara otomatis simpatisan akan dapat diproyeksikan
lebih lanjut.
B. Anggota
Orang
yang dipandang telah memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan organisasi dapat
dikatakan sebagai anggota. Sistem penyaringan anggota dapat dilakukan dengan
beberapa mekanisme prasyarat yang jelas dan parameter yang berbeda tiap
organisasi/LPM. Penentuan parameter untuk dapat menjadi anggota tergantung dari
kondisi obyektif yang ada di sekitar LPM.
Modal
dasar yang harus dimiliki oleh anggota LPM adalah skill dasar jurnalistik dan
ideologi persma. Skill dasar jurnalistik nantinya akan dipakai modal awal bagi
anggota untuk berpartisiasi dalam kerja tahap produk buat anggota. Namun untuk
wawasan ideologi hendaknya diberikan setelah skill dipunyai dan diterapkan
dalam kerja konkrit, karena paham ideologi persma sendiri akan tidak banyak
berarti pada anggota baru tanpa adanya pengalaman empirik dalam kerja-kerja di
persma.
Sedangkan
mengenai acuan dasar pembentukan anggota dapat digambarkan dengan beberapa
silabus di bawah ini :
1.
Wawasan
Ø
Mengenal macam
bentuk dan sifat dari tiap terbitan/pers.
Ø
Tugas dan tanggungjawab
pers
2.
Manajemen
Ø
Manajemen
redaksional
3.
Skill dasar
jurnalistik
Ø
Teknik
wawancara
Ø
Teknik menulis
berita
Ø
Teknik menulis
opini
Ø
Teknik polling
Ø
Lay out dan
artistik
Ø
Resensi
Setelah
menjalani pelatihan denga materi seperti di atas, maka hendaknya anggota baru
diebrikan ruang untuk sedikit banyak mengaktualisasikan kemampuan dasarnya
dalam hal skil jurnalistik. Untuk itu dapat dibuat media tersendiri untuk
mereka dan diberikan otoritas dalam hal manajemen redaksionalnya.
Hal
di atas perlu dilakukan mengingat bahwa anggota baru hendaknya tidak diajak
berpikir terlalu banyak dulu, api lebih pada penguatan pengalaman empirik dari
kerja yang sudah dilakukan. Bentuknya dapat berupa buletin dwi mingguan atau
bulanan yag sifatnya rangkuman berita seputar kampus.
[1] Lih. “Evaluasi
dan Eksistensi Penerbitan Mahasiswa Indonesia” Eddy Rifai, 1997
[2] Ibid
Oleh : Agus Budiono
Awal Pemikiran
Dipandang secara ideal, persma lahir dengan berbagai
alasan untuk sebuah arah perjuangan menuju perubahan besar di masyarakat.
Persma, layaknya pers umum, sebanrnya mampu menjadi pembentuk opini pada suatu
komunitas, media transformasi sebuah nilai dan sarana komunikasi. Namun
permasalahan mulai muncul di saat persma tidak dapat memancing perhatian
masyarakat pembacanya sendiri karena persma tidak populer dikalangan mahasiswa.
Pertanyaannya adalah persma sudah tidak dapat memenuhi tugas yang seharusnya
dikerjakan.
Pilihan yang kemudian muncul adalah apakah tetap
mempertahankan persma utnuk tetap ada dan ikut mewarnai kehidupan demokratisasi
kampus dengan konsekuensi mengubah dan membenahi infrastruktur yang ada.
Pilihan kedua yaitu membubarkan persma dengan dalih sudah tak ada lagi pilihan
karena persma komunitas pembaca tidak terlalu menghiraukan kehadirannya.
Pragmatisme yang kini muncul di setiap corak hasil
terbitan dan kegiatan persma sebagai lembaga semakin tinggi. Kondisi ini
diperparah dengan masih banyaknya prosentase mahasiswa yang berpikiran
pragmatis pula.
Kalau dilihat dari definisi yang ada pers mahasiswa
dapat dikatakan sebagai hasil hubungan mesra antara tradisi ilmiah kampus
dengan tradisi jurnalisme[1].
Dari definisi ini kiranya dapat dikatakan bahwa pers mahasiswa dalam melakukan
kehidupan sehari-harinya menggunakan metodologi ilmiah untuk mencari dan
menganalisis data yang didapat dan menampilkannya dengan kemasan jurnalistik
dengan berbagai style.
Pers Mahasiswa dalam Sebuah Organisasi
Proses
pembatasan gerak pers mahasiswa oleh penguasa melaui NKK/BKK yang diberlakukan
seiring pembekuan dewan mahasiswa menempatkan persma dalam sebuah lembaga UKM
(unit kegiatan mahasiswa) di golongkan sebagai sebuah perkumpulan sesama
penghobi kegiatan jurnalistik dikampus. Misi dan bentuk persma yang ideal
memang sejak itu sudah sengaja dimatikan.
Dengan
bentuk seperti sebuah organisasi minat dan bakat, maka persma yang ada
dibentuknya dalam sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang mekanisme dan pola
hubungna kerjanya sangat dibatasi hanya sebatas terbitan yang dijalankan oleh
mahasiswa. Melalui UU Pokok pers, UU no. 21 tahun 1982[2]
disebutkan bahwa pers mahsiswa bukan lagi sebuah wadah untuk proses
ideologisasi mahasiswa yagn ada dikampus tapi lebih hanya pada proses untuk
menghasilkan sebuah terbitan.
Dari
hirarki tanggung jawab, persma (menurut definisi UU Pokok tersebut) bertanggung
jawab secara hukum kepada birokrat kampus dalam hal hasil terbitan, keuangan
dan sebagainya.Dengan segala aturan yang dipandang mengekang tersebut, gerak
laju pertumbuhan pers mahasiswa dikampus juga sangat terasa dibatasi.
Dipandang
sebagai sebuah organisasi, persma juga teridiri oelh infrastruktur yang membentuknya.
Infrastruktur yang dimiliki oelh pers mahasiswa adalah infrastruktur
redaksional dan organisasi. Untuk dapat membangun persma secara keseluruhan,
maka kita dituntut untuk membangun sebuah infrastruktur yang kuat yang
menyusunnya.
Infrastruktur
redaksional terkait dengan pemahaman mengenai Nilai Dasar Perjuangan Persma
yang kemudian diturunkan dalam program kerja redaksional dan yang lebih penting
terkait dengan pola politik redaksional yang dijalankan.
Dalam
kondisi seperti sekarang ini, pilihan-pilihan selalu dihadapkan pada kita
disaat harus mengambil langkah perbaikan infrastruktur yang ada. Mengenai
infrastruktur mana yang harus didahulukan untuk dibangun masih menjadi
pertanyaan semua pihak.
Membangun Infrastruktur LPM
LPM
sebagai lembaga formal dikampus berada diantar beberapa lembaga formal
kemahasiswaan yang lain. Karena dalam berhubungan dengan lembaga formal
lainnya, maka LPM dituntut untuk sedapat mungkin berhubungan sesuai dengan
aturan main yang ada. LPM juga dituntut jeli saat dihadapkan pada suatu
permasalahan yang memaksa diberlakukannnya politik organisasi secara spesifik.
Secara
umum LPM terdiri dari dua infrastruktur utama yaitu infrastruktur redaksional
dan organisasi. Infrastruktur redaksional terkait dengan kerjap-kerja yang menghasilkan
suatu hasil terbitan. Untuk dapat menghasilkan sebuah hasil sesuai dengan
politik redaksional dibutuhkan aturan
mekanisme yang jelas dan SDM yang
mempuyai kapabilitas.
Jika
LPM hanya memperhatikan infrastruktur redaksionalnya saja, maka dapat berakibat
pada lemahnya mekanisme organisasi yang menaungi kerja-kerja redaksional.
Implikasi yang muncul kemudian akan sedikit banyak mengganggu kerja-kerja
redaksional karena masalah keorganisasian yang muncul akan menyita banyak waktu
para pegiatnya untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Namun
menjadi sangat tidak lucu ketika LPM lebih mementingkan membangun infrastruktur
organisasi dengan mengesampingkaninfrastruktur redaksional. Bisa jadi kerja
redaksional yang dilakukan hanyalah sebuah aktivisme untuk sebuah hobi
kewartawanan belaka.
Jadi
untuk dapat membangun persma yang sudah kadung dimanifestasikan oleh NKK/BKK
telah menjadi LPM, jawaban yang paling mungkin adalah membangun kedua
infrastruktur tersebut secara stabil dan simultan. Stabil dalam artian tidak
berat sebelah dan simultan berarti tetap menjaga konsistensi konsentrasi
membangun kedua infrastruktur terssebut.
Pilihan
dari membangun kedua-duanya adalah bagaimana membuat sebuah sistem kaderisasi
yang dapat memberikan gambaran mengenai kerja-kerja yang akan dan harus
dilakukan. Dalam membangun kader dibutuhkan silabus kaderisasi yang jelas
sehingga dapat dilakukan uji materi dan evaluasi dari setiap metode kaderisasi
yang dipakai.
Lakukan Pembacaan Diri
Untuk
memulai suatu kerja pembangunan organisasi, dibutuhkan perencanaan menyeluruh
termasuk juga mengenai pendataan terhadap segala segala aset yang dimiliki oleh
organisasi tersebut, termasuk didalamnya kemampuan SDM didalamnya.
Dari
sekian banyak sumber daya yang dimiliki organisasi, SDM merupakan satu-satu
sumber daya yang paling berharga. Dilihat dari sifat sebuah organisasi yang
hanya sebuah benda mati, SDM adalah jawaban pokok mengenai keberlangsungan
sebuah organisasi. Maka dengan sendirinya, pembacaan terhadap kemampuan SDM
sangat penting mengenai seberapa besar sumber daya yang dimiliki tiap pegiat
yang ada.
Levelisasi
merupakan langkah awal untuk melihat seberapa jauh sumber daya yang dimiliki
oleh setiap pegiat yang dimiliki. Levelisasi dapat berjalan dengan baik jika
kita sudah mempunyai standarisasi yang jelas terhadap tiap level yang dibuat.
Secara mudah, level person di sebuah organisasi dapat diberikan sebagai berikut
: simpatisan, anggota, calon kader dan kader.
Dalam
membuat levelisasi, standarisasi diberlakukan pada setiap person dengan
pertimbangan beban kerja dan tanggung jawab. Parameter levelisasi tidak dapat
menggunakan patokan berkait lamanya seseorang ada dalam organisasi tersebut
juga bukan pada tingginya tingkat wacana dan pengetahuan yang dimilikinya.
Pembuatan standarisasi dan parameter harus ketat, hal ini dilakukan untuk
mempermudah proses kaderisasi organisasi itu sendiri.
Silabus Sebagai Gambaran Umum Kaderisasi
Setelah
pembacaan awal terhadap potensi yang dimiliki oleh tiap anggota dilakukan, maka
untuk menjalankan proses kaderisasi harus dibuat sebuah acuan kerja yang
nantinya dipakai dasar melangkah.
Penyusunan
silabus hendaknya berpijak pada kerangka awal pembangunan organisasi LPM secara
menyeluruh. Kalau di LPM dikenal dengan dua infrastruktur organisasi, maka silabus
juga diarahkan pada pembangunan kedua infrastruktur tersebut. Sedangkan untuk
membangun infrastruktur organisasi dan redaksional dibutuhkan beberapa
parameter yang jelas mengenai keduanya.
Gambaran
umum silabus yang dibutuhkan nantinya akan diaktualisasikan kedalam beberapa
proses kaderisasi pada setiap jenjang/level yang ada. Perlu diingat bahwa
sebuah teori akan menjadi sampah jika tidak diikuti oleh beberapa proses
penyertanya seperti pengendapan, pendalaman dan yang terpenting adalah
penerapannya pada tiap kerjap-kerja yang dilakukan. Pengalaman empirik adalah
guru terbaik dari sebuah pelajaran hidup termasuk juga organisasi.
Dalam
kerangka organisasi kemahasiswaan, teori dan praktek menjadi sebuah kesatuan
utuh yang tidak dapat terpisah atau saling mendahului satu sama lain. Maka
untuk sebuah proses kaderisasi yang ada, silabus pelatihan juga harus diikuti
oleh serangkaian kegiatan praksis.
Selanjutnya
gambaran mengenai silabus kaderisasi tiap level dapat secara umum terlihat
seperti di bawah ini :
A. Simpatisan
Simpatisan
dapat didefinisikan sebagai person baik didalam maupun diluar sistem yang
mempunyai rasa simpati terhadap keberadaan organisasi yang ada. Simpatisan
dapat berupa simpatisan niat, yaitu hanya bersimpati sebatas dihati. Juga ada
simpatisan yang ikut larut dalam beberapa dinamika organisasi namun tidak
mempunyai keterikatan struktural organisasi (keanggotaan).
Karena
simpatisan hanya bersifat kerja bakti dan berada di luar sistem, maka untuk
setiap kerja organisasi, keberadaan simpatisan tidak dapat dan tidak perlu
diperhitungkan sebagai target tim kerja. Namun perlu diingat, dengan adanya
simpatisan maka secara tidak langsung eksistensi sebuah organisasi dapat
diaktakan mendapat pengakuan dari luar sistem orgnisasi. Simpatisan hanya memiliki
keterikatan emosional yang mungkin karena hubungan perkawanan atau perasaan
senasib. Agar simpatisan dapat ‘digunakan’ untuk kerja organisasi, dapat
digunakan cara pendekatan personal dan ajakan bergabung/ikut menyukseskan
kerja-kerja prganisasi.
Untuk
menarik simaptisan masuk kedalam sistem adalah dengan menarik mereka kedalam
organisasi dengan menjadi anggota. Karena dasar simpatisan adalah simpati
terhadap organisasi, maka secara otomatis simpatisan akan dapat diproyeksikan
lebih lanjut.
B. Anggota
Orang
yang dipandang telah memenuhi beberapa syarat yang ditetapkan organisasi dapat
dikatakan sebagai anggota. Sistem penyaringan anggota dapat dilakukan dengan
beberapa mekanisme prasyarat yang jelas dan parameter yang berbeda tiap
organisasi/LPM. Penentuan parameter untuk dapat menjadi anggota tergantung dari
kondisi obyektif yang ada di sekitar LPM.
Modal
dasar yang harus dimiliki oleh anggota LPM adalah skill dasar jurnalistik dan
ideologi persma. Skill dasar jurnalistik nantinya akan dipakai modal awal bagi
anggota untuk berpartisiasi dalam kerja tahap produk buat anggota. Namun untuk
wawasan ideologi hendaknya diberikan setelah skill dipunyai dan diterapkan
dalam kerja konkrit, karena paham ideologi persma sendiri akan tidak banyak
berarti pada anggota baru tanpa adanya pengalaman empirik dalam kerja-kerja di
persma.
Sedangkan
mengenai acuan dasar pembentukan anggota dapat digambarkan dengan beberapa
silabus di bawah ini :
1.
Wawasan
Ø
Mengenal macam
bentuk dan sifat dari tiap terbitan/pers.
Ø
Tugas dan tanggungjawab
pers
2.
Manajemen
Ø
Manajemen
redaksional
3.
Skill dasar
jurnalistik
Ø
Teknik
wawancara
Ø
Teknik menulis
berita
Ø
Teknik menulis
opini
Ø
Teknik polling
Ø
Lay out dan
artistik
Ø
Resensi
Setelah
menjalani pelatihan denga materi seperti di atas, maka hendaknya anggota baru
diebrikan ruang untuk sedikit banyak mengaktualisasikan kemampuan dasarnya
dalam hal skil jurnalistik. Untuk itu dapat dibuat media tersendiri untuk
mereka dan diberikan otoritas dalam hal manajemen redaksionalnya.
Hal
di atas perlu dilakukan mengingat bahwa anggota baru hendaknya tidak diajak
berpikir terlalu banyak dulu, api lebih pada penguatan pengalaman empirik dari
kerja yang sudah dilakukan. Bentuknya dapat berupa buletin dwi mingguan atau
bulanan yag sifatnya rangkuman berita seputar kampus.
[1] Lih. “Evaluasi
dan Eksistensi Penerbitan Mahasiswa Indonesia” Eddy Rifai, 1997
[2] Ibid
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as