Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    mahasiswa dan tradisi berpikir

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    mahasiswa dan tradisi berpikir Empty mahasiswa dan tradisi berpikir

    Post by ratri Wed May 26, 2010 2:39 pm

    Mahasiswa
    dan Tradisi Berpikir





    Oleh:

    Rijal Asep
    Nugroho*








    Aku Berpikir, Karena itu aku ada




    (Descartes)





    Saat pelajaran budi pekerti di SMP Pertiwi
    Majapura, Yuyun, gadis cantik yang duduk di kelas 2B ditanya Bu Yati, Apa yang
    membedakan manusia dengan binatang? Tentu ia kaget karena sedang melamun. Bu
    Yati tanggap, ia guru yang baik dan paham tabiat muridnya, ia sadar pelajaran
    budi pekerti bukanlah pelajaran yang menarik minat, bukan karena siswanya tak
    bermoral, namun lebih pada kurikulumnya yang dikemas sedemikian rupa menjadi
    moralitas yang semu. Bu yati menganggap wajar bila Yuyun lebih asyik melamun
    daripada menyimak, bahkan ia pun sebenarnya sudah muak jadi robot kepentingan
    pemerintah dan industri, namun ia tak mampu bersuara, Wah! Bisa-bisa dapurnya tak bisa ngebul.


    Sebagai Guru
    yang baik , ia tak boleh membiarkan kewibawaannya jatuh, didekatinya Yuyun,
    “Semua muridku harus baik dan pintar, tak boleh melamun, apalagi saat pelajaran
    dikelas. Nah Yuyun, coba jawab pertanyaan Ibu, Apa yang membedakan manusia
    dengan binatang?”.


    Ini bukan
    pertanyaan sulit bagi Yuyun, juga bagi teman-teman yang lain, Bu Yati sudah
    berulang kali mengatakannya, bahwa akal budi
    membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Ketika hendak menjawab,
    tiba-tiba ia teringat kakaknya yang kuliah di Unud. Kakaknya, Iin, seorang
    ketua senat di kampusnya, yang tentu saja sangat bangga dengan dunianya, dunia
    yang selalu mentradisikan budaya berpikir. Namun, kadang Yuyun melihat perilaku
    kakaknya justru tak manusiawi. Mungkin karena predikatnya sebagai mahasiswa,
    Mba Iin merasa bahwa ia berbeda dengan masyarakat lainnya. Bukankah mahasiswa
    kaum intelektual? Bukankah menurut Descartes keberadaan manusia ditentukan
    karena ia berpikir? Bukankah mahasiswa selalu mentradisikan budaya berpikir, berarti
    keberadaannya melebihi keberadaan komunitas lain?


    Tiba-tiba saja
    Yuyun merasa ngeri jadi mahasiswa, serentak Yuyun pun iba pada Mba Iin. Mba Iin
    dan kawan-kawanya sering merasa hebat dari lainnya, mereka merasa sebagai agent of change, merasa bahwa setiap
    perubahan hanya bisa ditentukan oleh mereka. Sungguh perasaan elitis telah
    tumbuh di dalam benak Mba Iin dan teman-temannya, bahwa mahasiswa merupakan
    status yang jauh lebih hebat dari pada masyarakat lain seperti Tukang Becak,
    buruh, nelayan dan petani. Pernyataan itu sering terlontar ketika teman-teman
    Mba Iin berdiskusi.


    Pernah ketika
    Yuyun sedang belajar, teman-teman Mba Iin datang dan berbincang di teras
    samping mendiskusikan ospek penerimaan mahasiswa baru. “Tampaknya kita perlu
    bikin acara kayak stadium general, deh In”, Ujar Tia, teman Mba Iin yang
    berambut cepak, “Tapi mungkin suasananya diubah, misalnya pembicaranya kita
    undang dari petani dan nelayan di desa-desa, mereka bisa menceritakan persoalan
    yang dihadapi sehingga kita bisa menyumbangkan pikiran intelektual kita untuk
    membantu mereka.”


    “Wah, kamu ini
    gimana sich!”, terdengar suara yang ketus, Yuyun hapal, itu suara judes Mba Iin
    kalo lagi marah, “Bagaimana mungkin kita undang orang-orang tak berpendidikan
    sebagai pembicara di stadium general? Ini tidak akan menarik bagi mahasiswa
    baru. Bukankah kita kemarin sudah sepakat untuk mengundang Mas Kiki dari
    LIPI?”. Serentak teman-teman yang lain mengiyakan.


    Yuyun ngeri
    dengan mahasiswa, baginya, Mba Tia menganggap masyarakat itu bodoh dan tak
    mampu menyelesaikan persoalan sehingga mahasiswa harus mengundang mereka
    sebagai orang-orang yang gagal untuk diberi sumbangan pikiran intelektual. Ya,
    tetap saja masyarakat diposisikan sebagai objek oleh Mba Tia. Mba Iin dan
    mayoritas teman-temannya lebih parah, seakan-akan dengan kekayaan
    intelektualnya, mereka sah-sah saja menghina kemampuan masyarakat lain,
    memandang rendah kaum petani dan nelayan. Mahasiswa jadi elit, dan menjadikan
    kampus sebagai menara gading yang harus dijauhkan dari masyarakat. Apakah
    akibat dari kemampuan berpikir? Yuyun jadi takut untuk berpikir, yuyun tak mau
    kehilangan sifat manusiawinya, tak mau dijauhkan dari masyarakat. Keringat
    mulai menetes dari kening Yuyun, rupanya bayangan-bayangan menakutkan ini
    begitu nyata.


    “Yuyun, Ada
    apa? Mengapa pertanyaan mudah seperti ini tak bisa kau jawab?”, Suara wibawa Bu Yati
    menyadarkannya dari bayang-bayang menakutkan. Namun bibir Yuyun masih terkatup,
    badannya gemetar, keringatnya kian menetes. Apalagi ketika ia ingat keadaan
    mayoritas mahasiswa Indonesia yang ia baca di koran-koran. Kebanyakan mahasiswa
    ialah hedonis, gaul dan berhura-hura.


    Mahasiswa
    Indonesia tak pernah memikirkan masyarakat, namun berlomba-lomba berdandan ala
    mode terbaru sambil berharap setelah lulus nanti dapat bekerja di perusahaan
    bonafit, jadi budak kapitalis dan melupakan sumbang sihnya untuk masyarakat.
    Apa bedanya mahasiswa dengan elit politik yang tak pernah memikirkan rakyat,
    walaupun keduanya sama-sama disubsidi dan digaji dari pajak keringat rakyat?
    Apa bedanya mahasiswa dengan Megawati, Akbar Tanjung dan Amin Rais yang
    menghancurkan bangsa ini? Apakah ini akibat dari sistem pendidikan? Jika ia tak
    ingin seperti itu, apakah berarti ia tak usah bersekolah? Beribu-ribu
    pertanyaan berputar di benak Yuyun. Ia jadi takut bersekolah. Ia tak tahu harus
    menjawab apa pertanyaan Bu guru.


    Kini Yuyun
    sadar, jawaban dari pertanyaan Bu Yati tak segampang yang ia kira. Kini Yuyun
    tahu, ia tak mampu menjawab pertanyaan gurunya kali ini. Yuyun makin gemetar,
    ia malu karena ternyata untuk pertanyaan ini saja, ia tak mampu menjawabnya, ia
    malu dikatakan bodoh oleh teman-temannya. Dan yang lebih mengerikan, ia takut
    dimarahi Bu Yati; Bukankah selama ini Bu Yati menganggap dirinya murid
    terpintar? Tentu setelah ini Bu Yati akan memarahinya habis-habisan. Ketakutan
    membelenggu benak Yuyun, ia melihat ribuan kunang berputar, badannya kian
    gemetar, keringan dingin deras mengucur, lalu ia tak mampu melihat apapun,
    dunia terasa gelap dan ia tak lagi ingat apapun jua.


    “Yuyun! Yuyun!
    Ada apa ini? Kau sakit?”, terdengar suara cemas dari Bu Yati, “Anto! Cepat
    telpun ambulans, Yuyun pingsan!”. Serentak kelas jadi ribut, kepala sekolah dan
    guru-guru lain datang ke kelas, Yuyun di bawa ke rumah sakit, sementara Bu Yati
    segera menilpun orang tua Yuyun.


    Kini Yuyun terbaring di rumah sakit,
    bertalamkan sprei yang putih bersih. Wajahnya tampak lelah, Ia belum sadarkan
    diri juga. Namun dalam keletihannya itu, terlihat segurat senyum kecil di
    bibirnya yang mungil. Dalam mimpinya, Yuyun melihat hal yang berbeda.


    Dalam
    mimpinya, masyarakat menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang sangat mulia.
    Pendidikan dianggap sebagai investasi terbaik yang dapat diberikan kepada generasi penerus untuk
    mewujudkan cita-cita bersama, yaitu terbentuknya masyarakat yang adil dan
    makmur. Hasil pendidikan ini membuahkan orang-orang yang berakhlak terpuji,
    mempunyai kemampuan bekerja sama dengan masyarakat yang baik karena bermoral
    tinggi.


    Dalam mimpinya, pendidikan lebih diarahkan
    untuk menciptakan anggota masyarakat yang sadar akan tujuan bersama dan mampu
    menempatkan diri dan menjadi bermanfaat bagi yang lain. Anak-anak dididik agar
    siap menjadi anggota kelompok yang baik dan akan memperkuat masyarakat di
    kemudian hari. Mahasiswa dan dosen sadar, bahwa belajar haruslah sesuai dengan
    kebutuhan, lebih perlu dititikberatkan dalam hal pemahaman, keberaturan
    berpikir, dan pengarahan fokus yang jelas pada tujuan. Dalam mimpinya, ia
    melihat mahasiswa aktif bekerjasama dengan masyarakat, Masyarakat secara
    mandiri memutuskan solusi yang tepat buat dirinya, sementara mahasiswa sering
    berdiskusi dengan masyarakat petani, nelayan, buruh dan pedagang. Sungguh
    mahasiswa menempatkan masyarakat dalam tempat yang tinggi, dimana saat ini
    mereka sedang belajar agar nantinya mampu meneruskan membangun dan menguatkan
    masyarakat.


    Sejenak Yuyun tersadar, dalam ruangan
    berukuran 3X4 ini, ia menyapukan pandangan, begitu sederhana, tak ada
    hiasan bunga-bunga di gorden jendela.
    Dilihatnya seluruh keluarganya berkumpul. Bu Yati juga ada, wajahnya lembut,
    tak segarang ketika di kelas tadi, namun kemudian ia menerawang, Akankah
    mimpi-mimpi indahnya bakal terwujud?

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 11:42 am