Kemiskinan dan Kesempatan Memperoleh Pendidikan
BAGI bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama
dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang
terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka
mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan
pendidikan anak-anaknya.
SEHARUSNYA negara juga demikian.
Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas
pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana
dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
NEGERI ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan
kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau
oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun
seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan
dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai
diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar,
yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap
wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah
dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita
tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin.
Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres-
inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk
anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan
ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk
jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke
desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama
untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau
golongan miskin.
Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak
dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema
wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada
wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat
pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal,
sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi
lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan
yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk
sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka
seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai
murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena
ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu
didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar
dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar
mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka
terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak,
terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu.
Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di
sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu
membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh
kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada
negara yang hampir 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi
buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena
kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara –negara yang
lain.
PENULIS sengaja memfokuskan tulisan ini pada kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dasar enam tahun karena bagi warga negara sekurang-kurangnya harus
memiliki kemampuan setingkat sekolah dasar, dengan harapan akan memperoleh
pendidikan lanjutan. Dengan memiliki dan dibekali kemampuan dasar itu, seorang
warga negara akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan melalui kemampuan
baca, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima
pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya.
Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan
dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang
tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang
akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi.
Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang
akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.
Di lain pihak akan terdapat
keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri
ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini,
yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya,
kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada
perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan
pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak
daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya
pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi.
Adalah suatu kekeliruan yang
telah dibuat bahwa wewenang pendidikan yang begitu luas diberikan kepada
kabupaten dan kota.
Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi
syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan
tidak tahu benar akan tugasnya. Lebih-lebih fungsi pengawasan yang menjadi
syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala
sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri- sendiri dengan melanggar
ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.
MENURUT pengamatan penulis, alasan diadakannya pungutan yang memberatkan
itu antara lain untuk kesejahteraan guru dan pembangunan lokal tambahan. Kedua
alasan itu adalah alasan klasik yang sudah lama terjadi. Akan tetapi, pungutan
yang dilakukan akhir-akhir ini dinilai sudah tidak wajar karena jumlahnya
begitu besar dan memberatkan, terutama bagi yang miskin.
Untuk mengatasi semua itu, pertama, janganlah kemiskinan dijadikan penyebab
terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan.
Kedua, guru atau profesi guru adalah profesi khusus. Profesi guru tidak
sama dengan pegawai negeri lain. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena
itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar
mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk
pungutan-pungutan yang tidak sah.
Ketiga, apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya,
diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan
itu, mereka harus dikenai sanksi.
Keempat, kepada pengelola pendidikan dan komite sekolah, harus selalu ada
koordinasi dengan sekolah agar ketentuan- ketentuan kurikuler, terutama dalam
penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada.
Djauzak Ahmad Mantan Direktur Pendidikan Dasar; Ketua Majelis Pendidikan
Riau
BAGI bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama
dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang
terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka
mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan
pendidikan anak-anaknya.
SEHARUSNYA negara juga demikian.
Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas
pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana
dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
NEGERI ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan
kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau
oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun
seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan
dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai
diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar,
yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap
wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah
dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita
tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin.
Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres-
inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk
anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan
ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk
jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke
desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama
untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau
golongan miskin.
Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak
dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema
wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada
wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat
pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal,
sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi
lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan
yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk
sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka
seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai
murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena
ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu
didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar
dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar
mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka
terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak,
terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu.
Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di
sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu
membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh
kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada
negara yang hampir 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi
buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena
kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara –negara yang
lain.
PENULIS sengaja memfokuskan tulisan ini pada kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dasar enam tahun karena bagi warga negara sekurang-kurangnya harus
memiliki kemampuan setingkat sekolah dasar, dengan harapan akan memperoleh
pendidikan lanjutan. Dengan memiliki dan dibekali kemampuan dasar itu, seorang
warga negara akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan melalui kemampuan
baca, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima
pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya.
Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan
dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang
tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang
akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi.
Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang
akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.
Di lain pihak akan terdapat
keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri
ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini,
yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya,
kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada
perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan
pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak
daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya
pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi.
Adalah suatu kekeliruan yang
telah dibuat bahwa wewenang pendidikan yang begitu luas diberikan kepada
kabupaten dan kota.
Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi
syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan
tidak tahu benar akan tugasnya. Lebih-lebih fungsi pengawasan yang menjadi
syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala
sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri- sendiri dengan melanggar
ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.
MENURUT pengamatan penulis, alasan diadakannya pungutan yang memberatkan
itu antara lain untuk kesejahteraan guru dan pembangunan lokal tambahan. Kedua
alasan itu adalah alasan klasik yang sudah lama terjadi. Akan tetapi, pungutan
yang dilakukan akhir-akhir ini dinilai sudah tidak wajar karena jumlahnya
begitu besar dan memberatkan, terutama bagi yang miskin.
Untuk mengatasi semua itu, pertama, janganlah kemiskinan dijadikan penyebab
terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan.
Kedua, guru atau profesi guru adalah profesi khusus. Profesi guru tidak
sama dengan pegawai negeri lain. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena
itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar
mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk
pungutan-pungutan yang tidak sah.
Ketiga, apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya,
diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan
itu, mereka harus dikenai sanksi.
Keempat, kepada pengelola pendidikan dan komite sekolah, harus selalu ada
koordinasi dengan sekolah agar ketentuan- ketentuan kurikuler, terutama dalam
penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada.
Djauzak Ahmad Mantan Direktur Pendidikan Dasar; Ketua Majelis Pendidikan
Riau
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as