Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    hadits setelah dibukukan

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 37
    Lokasi : rahasia

    hadits setelah dibukukan Empty hadits setelah dibukukan

    Post by kutubuku Thu Jun 24, 2010 3:18 pm

    HADITS SETELAH DIBUKUKAN







    A.
    Pendahuluan
    Salah satu fungsi hadits adalah merupakan penafsiran Al Qur’an dalam praktik
    atau penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
    pribadi Nabi SAW, merupakan perwujudan dari Al Qur’an yang ditafsirkan manuia,
    serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
    Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi)
    praksis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal
    itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasi dalam Sunnah Nabi, yakni
    ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi SAW.
    Adanya pembukuan hadits tentunya mempunyai dampak positif yang banyak sekali
    terhadap perkembangan dan penyebaran ajaran Islam. Hal ini dapat kita lihat ketika
    ada suatu permasalahan atau perselisihan mengenai suatu hukum yang terjadi di
    antara umat Islam, setelah mereka memeriksa dan mencari dalil tentang hukum
    tersebut dalam Al Qur’an hampir dapat dipastikan mereka akan mencari dalil
    sunnah (hadits) sebagai pilihan kedua.
    Dalam pembahasan makalah ini penulis ingin mengemukakan secara mendalam sejak
    pengertian, latar belakang dan permulaan pembukuan hadits, perselisihan
    pemakaian hadits sebagai dasar hukum Islam dan terakhir dampak atau
    implimentasi dari pembukuan hadits. Pembahasan mengenai pengertian memang sudah
    berulang kali kita bahas dan juga latar belakang serta permulaan kodifikasi
    hadits juga pernah kita bahas bersama namun, kali ini penulis ingin
    mengemukakan sesuatu yang beda yang mungkin dapat menambah wawasan kita tentang
    pembukuan hadits khususnya.



    B.
    Pembahasan
    1. Pengertian Hadits
    Para ahli ilmu hadits mendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang
    disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir,
    atau sifat-sifat atau akhlak. Namun bila kita membuka kitab-kitab hadits,
    segera kita menemukan banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan
    ucapan, berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan di sini,
    dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada Shahih Bukhari, hadits No. 117
    menceritakan tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan Abu
    Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak
    disibukkan dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin.
    Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan perutnya, menghadiri majelis
    yang tidak dihadiri yang lain, dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang
    lain.
    Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab haditsnya, padahal
    riwayat ini tidak menyangkut ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits
    yang menceritakan sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya
    terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi
    saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh al-Bukhari menyebutkan secara
    terperinci hadits-hadits mawquf dalam Shahih Bukhari.
    Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih dapat dianggap
    hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah "apa saja yang disandarkan
    (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat
    fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat."
    Namun jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat, para ulama di
    luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat tentang para tabi'in yakni ulama
    yang berguru kepada para sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari,
    misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan dan perbuatan,
    bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw. Menurut Bukhari, ini
    adalah ucapan para ulama di berbagai negeri. . Karena itu menurut Dr. Atar,
    definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang disandarkan
    (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat
    fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat dan
    tabi'in."
    Pendapat Dr. Atar ini sangat cocok sekali dengan realita yang kita hadapi
    mengenai definisi hadits tersebut. Dari apa yang telah kita pelajari bersama
    mengenai definisi serta macam-macam hadits ternyata ada kontradiksi antara
    definisi dan praktek pembagian hadits, sehingga sesuatu yang bukan hadits
    sering kita sebut sebagai hadits dan bahkan sering kita jadikan dalil dalam
    berdiskusi.
    Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan kaum modernis untuk
    menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada kematian. Hadits itu
    berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada ahli mayit dan menyediakan
    makanan sesudah penguburannya termasuk meratap." Hadits ini merupakan
    ucapan 'Abdullah al-Bajali, bukan ucapan Nabi saw. . Demikian pula, kebiasaan
    melakukan adzan awal pada shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional,
    didasarkan kepada hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman
    ibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalam adzan
    Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar ibn Khatab.



    2. Selintas
    Latar Belakang Pembukuan Hadits
    Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada
    pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya dorongan pembukuan
    hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah.
    Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan
    pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang
    bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang 'Umar II sebagai
    anggota kelima dari al-Khulafa al-Rasyidun, sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.
    'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124
    H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup di kalangan penduduk
    Madinah, Kota Nabi, karena keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan
    kelanjutan langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika
    bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari "tradisi"
    atau "sunnah" Nabi sendiri.
    Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk menemukan dan
    mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideology Jama'ah-nya, yang dengan ideologi
    itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau
    pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan
    kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II melihat bahwa sikap yang serba
    akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham
    keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah
    ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab),
    'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah Ibn Mas'ud.
    Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba inklusifistik sesama kaum
    muslim itu merupakan "tradisi" atau "sunnah" historis
    penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga merupakan kelanjutan yang sah dari
    "tradisi" atau "sunnah" Nabi. Maka penelitian dan pembukaan
    tentang tradisi penduduk Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukuan
    "tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya,
    "sunnah" itu akan memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang
    persatuan seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup. Dan
    berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak disebut sebagai
    paham "sunnah dan jama'ah" dan para pendukungnya disebut ahl
    al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan sunnah dan jama'ah).
    Mushthafa al-Siba'i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis
    Madjid amat menghargai kebijakan 'Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah
    itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak
    memberi angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba'i,
    golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam
    kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti
    Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut
    al-Siba'i, sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi
    untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn
    al-'Ash.



    3.
    Perselisihan tentang Otoritas Hadits
    Seperti yang telah kita ketahui bahwa tentang adanya kelompok-kelompok kaum
    muslim yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan hadits. Mereka
    sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena ingkar pada sunnah Nabi adalah
    mustahil bagi seorang muslim. Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan
    "Ingkar Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr.
    Mushthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan mantan
    dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta seorang tokoh pembina gerakan
    al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria, golongan Ingkar Hadits itu terdapat di
    mana-mana dalam dunia Islam, dari dahulu sampai sekarang.
    Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang menolak hadits ialah
    bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan bahwa Kitab Suci merupakan
    satu-satunya sumber penetapan syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya.
    Sedangkan sunnah (yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam keabsahannya
    sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi penambahan-penambahan padanya,
    dan karena adanya banyak kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya.
    Mereka mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:
    a. Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun yang Kami abaikan
    dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am 6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah
    mencakup seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi ada peran bagi
    sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum dan membuat syari'ah.
    b. Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan, sebagaimana
    difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah menurunkan pelajaran,
    dan sesungguhnyalah Kami yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan
    tidak menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk ke dalamnya
    penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya hadits termasuk sumber penetapan
    syari'ah, tentulah Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya dari
    kemungkinan penyelewengan dan perubahan sebagaimana Dia telah memelihara Kitab
    Suci-Nya.
    c. Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw., bahkan secara otentik
    diceritakan bahwa beliau melarang membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di
    zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para sahabat Nabi
    serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn
    Muhammad, al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak suka pada usaha
    membukukannya. Pembukuan hadits baru dimulai pada akhir abad pertama, dan
    selesai pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad ketiga. Ini adalah
    jangka waktu yang cukup panjang untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan
    teks-teks hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan sunnah pada tingkat
    dugaan (martabat al-dhann) belaka, sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan
    hukum syar'i, karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak sedikit
    pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm 52:28).
    d. Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda "Sesungguhnya
    hadits akan memancarkan daridiriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan
    bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku; dan apapun yang sampai
    kepadamu dan menyalahi al-Qur'an, ia tidak berasal dariku."





      Waktu sekarang Sun Nov 24, 2024 11:14 am