HADITS SETELAH DIBUKUKAN
A.
Pendahuluan
Salah satu fungsi hadits adalah merupakan penafsiran Al Qur’an dalam praktik
atau penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
pribadi Nabi SAW, merupakan perwujudan dari Al Qur’an yang ditafsirkan manuia,
serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi)
praksis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal
itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasi dalam Sunnah Nabi, yakni
ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi SAW.
Adanya pembukuan hadits tentunya mempunyai dampak positif yang banyak sekali
terhadap perkembangan dan penyebaran ajaran Islam. Hal ini dapat kita lihat ketika
ada suatu permasalahan atau perselisihan mengenai suatu hukum yang terjadi di
antara umat Islam, setelah mereka memeriksa dan mencari dalil tentang hukum
tersebut dalam Al Qur’an hampir dapat dipastikan mereka akan mencari dalil
sunnah (hadits) sebagai pilihan kedua.
Dalam pembahasan makalah ini penulis ingin mengemukakan secara mendalam sejak
pengertian, latar belakang dan permulaan pembukuan hadits, perselisihan
pemakaian hadits sebagai dasar hukum Islam dan terakhir dampak atau
implimentasi dari pembukuan hadits. Pembahasan mengenai pengertian memang sudah
berulang kali kita bahas dan juga latar belakang serta permulaan kodifikasi
hadits juga pernah kita bahas bersama namun, kali ini penulis ingin
mengemukakan sesuatu yang beda yang mungkin dapat menambah wawasan kita tentang
pembukuan hadits khususnya.
B.
Pembahasan
1. Pengertian Hadits
Para ahli ilmu hadits mendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang
disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir,
atau sifat-sifat atau akhlak. Namun bila kita membuka kitab-kitab hadits,
segera kita menemukan banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan
ucapan, berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan di sini,
dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada Shahih Bukhari, hadits No. 117
menceritakan tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan Abu
Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak
disibukkan dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin.
Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan perutnya, menghadiri majelis
yang tidak dihadiri yang lain, dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang
lain.
Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab haditsnya, padahal
riwayat ini tidak menyangkut ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits
yang menceritakan sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya
terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi
saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh al-Bukhari menyebutkan secara
terperinci hadits-hadits mawquf dalam Shahih Bukhari.
Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih dapat dianggap
hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah "apa saja yang disandarkan
(dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat
fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat."
Namun jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat, para ulama di
luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat tentang para tabi'in yakni ulama
yang berguru kepada para sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari,
misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw. Menurut Bukhari, ini
adalah ucapan para ulama di berbagai negeri. . Karena itu menurut Dr. Atar,
definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang disandarkan
(dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat
fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat dan
tabi'in."
Pendapat Dr. Atar ini sangat cocok sekali dengan realita yang kita hadapi
mengenai definisi hadits tersebut. Dari apa yang telah kita pelajari bersama
mengenai definisi serta macam-macam hadits ternyata ada kontradiksi antara
definisi dan praktek pembagian hadits, sehingga sesuatu yang bukan hadits
sering kita sebut sebagai hadits dan bahkan sering kita jadikan dalil dalam
berdiskusi.
Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan kaum modernis untuk
menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada kematian. Hadits itu
berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada ahli mayit dan menyediakan
makanan sesudah penguburannya termasuk meratap." Hadits ini merupakan
ucapan 'Abdullah al-Bajali, bukan ucapan Nabi saw. . Demikian pula, kebiasaan
melakukan adzan awal pada shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional,
didasarkan kepada hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman
ibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalam adzan
Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar ibn Khatab.
2. Selintas
Latar Belakang Pembukuan Hadits
Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada
pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya dorongan pembukuan
hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah.
Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan
pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang
bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang 'Umar II sebagai
anggota kelima dari al-Khulafa al-Rasyidun, sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.
'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124
H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup di kalangan penduduk
Madinah, Kota Nabi, karena keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan
kelanjutan langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika
bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari "tradisi"
atau "sunnah" Nabi sendiri.
Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk menemukan dan
mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideology Jama'ah-nya, yang dengan ideologi
itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau
pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan
kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II melihat bahwa sikap yang serba
akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham
keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah
ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab),
'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah Ibn Mas'ud.
Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba inklusifistik sesama kaum
muslim itu merupakan "tradisi" atau "sunnah" historis
penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga merupakan kelanjutan yang sah dari
"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Maka penelitian dan pembukaan
tentang tradisi penduduk Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukuan
"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya,
"sunnah" itu akan memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang
persatuan seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup. Dan
berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak disebut sebagai
paham "sunnah dan jama'ah" dan para pendukungnya disebut ahl
al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan sunnah dan jama'ah).
Mushthafa al-Siba'i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis
Madjid amat menghargai kebijakan 'Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah
itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak
memberi angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba'i,
golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam
kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti
Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut
al-Siba'i, sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi
untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn
al-'Ash.
3.
Perselisihan tentang Otoritas Hadits
Seperti yang telah kita ketahui bahwa tentang adanya kelompok-kelompok kaum
muslim yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan hadits. Mereka
sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena ingkar pada sunnah Nabi adalah
mustahil bagi seorang muslim. Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan
"Ingkar Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr.
Mushthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan mantan
dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta seorang tokoh pembina gerakan
al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria, golongan Ingkar Hadits itu terdapat di
mana-mana dalam dunia Islam, dari dahulu sampai sekarang.
Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang menolak hadits ialah
bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan bahwa Kitab Suci merupakan
satu-satunya sumber penetapan syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya.
Sedangkan sunnah (yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam keabsahannya
sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi penambahan-penambahan padanya,
dan karena adanya banyak kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya.
Mereka mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:
a. Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun yang Kami abaikan
dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am 6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah
mencakup seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi ada peran bagi
sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum dan membuat syari'ah.
b. Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan, sebagaimana
difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah menurunkan pelajaran,
dan sesungguhnyalah Kami yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan
tidak menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk ke dalamnya
penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya hadits termasuk sumber penetapan
syari'ah, tentulah Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya dari
kemungkinan penyelewengan dan perubahan sebagaimana Dia telah memelihara Kitab
Suci-Nya.
c. Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw., bahkan secara otentik
diceritakan bahwa beliau melarang membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di
zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para sahabat Nabi
serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn
Muhammad, al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak suka pada usaha
membukukannya. Pembukuan hadits baru dimulai pada akhir abad pertama, dan
selesai pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad ketiga. Ini adalah
jangka waktu yang cukup panjang untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan
teks-teks hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan sunnah pada tingkat
dugaan (martabat al-dhann) belaka, sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan
hukum syar'i, karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak sedikit
pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm 52:28).
d. Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda "Sesungguhnya
hadits akan memancarkan daridiriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan
bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku; dan apapun yang sampai
kepadamu dan menyalahi al-Qur'an, ia tidak berasal dariku."
A.
Pendahuluan
Salah satu fungsi hadits adalah merupakan penafsiran Al Qur’an dalam praktik
atau penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
pribadi Nabi SAW, merupakan perwujudan dari Al Qur’an yang ditafsirkan manuia,
serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi)
praksis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal
itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasi dalam Sunnah Nabi, yakni
ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi SAW.
Adanya pembukuan hadits tentunya mempunyai dampak positif yang banyak sekali
terhadap perkembangan dan penyebaran ajaran Islam. Hal ini dapat kita lihat ketika
ada suatu permasalahan atau perselisihan mengenai suatu hukum yang terjadi di
antara umat Islam, setelah mereka memeriksa dan mencari dalil tentang hukum
tersebut dalam Al Qur’an hampir dapat dipastikan mereka akan mencari dalil
sunnah (hadits) sebagai pilihan kedua.
Dalam pembahasan makalah ini penulis ingin mengemukakan secara mendalam sejak
pengertian, latar belakang dan permulaan pembukuan hadits, perselisihan
pemakaian hadits sebagai dasar hukum Islam dan terakhir dampak atau
implimentasi dari pembukuan hadits. Pembahasan mengenai pengertian memang sudah
berulang kali kita bahas dan juga latar belakang serta permulaan kodifikasi
hadits juga pernah kita bahas bersama namun, kali ini penulis ingin
mengemukakan sesuatu yang beda yang mungkin dapat menambah wawasan kita tentang
pembukuan hadits khususnya.
B.
Pembahasan
1. Pengertian Hadits
Para ahli ilmu hadits mendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang
disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir,
atau sifat-sifat atau akhlak. Namun bila kita membuka kitab-kitab hadits,
segera kita menemukan banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan
ucapan, berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan di sini,
dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada Shahih Bukhari, hadits No. 117
menceritakan tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan Abu
Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak
disibukkan dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin.
Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan perutnya, menghadiri majelis
yang tidak dihadiri yang lain, dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang
lain.
Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab haditsnya, padahal
riwayat ini tidak menyangkut ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits
yang menceritakan sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya
terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi
saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh al-Bukhari menyebutkan secara
terperinci hadits-hadits mawquf dalam Shahih Bukhari.
Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih dapat dianggap
hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah "apa saja yang disandarkan
(dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat
fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat."
Namun jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat, para ulama di
luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat tentang para tabi'in yakni ulama
yang berguru kepada para sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari,
misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan dan perbuatan,
bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw. Menurut Bukhari, ini
adalah ucapan para ulama di berbagai negeri. . Karena itu menurut Dr. Atar,
definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang disandarkan
(dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat
fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat dan
tabi'in."
Pendapat Dr. Atar ini sangat cocok sekali dengan realita yang kita hadapi
mengenai definisi hadits tersebut. Dari apa yang telah kita pelajari bersama
mengenai definisi serta macam-macam hadits ternyata ada kontradiksi antara
definisi dan praktek pembagian hadits, sehingga sesuatu yang bukan hadits
sering kita sebut sebagai hadits dan bahkan sering kita jadikan dalil dalam
berdiskusi.
Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan kaum modernis untuk
menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada kematian. Hadits itu
berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada ahli mayit dan menyediakan
makanan sesudah penguburannya termasuk meratap." Hadits ini merupakan
ucapan 'Abdullah al-Bajali, bukan ucapan Nabi saw. . Demikian pula, kebiasaan
melakukan adzan awal pada shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional,
didasarkan kepada hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman
ibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalam adzan
Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar ibn Khatab.
2. Selintas
Latar Belakang Pembukuan Hadits
Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada
pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya dorongan pembukuan
hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah.
Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan
pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang
bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang 'Umar II sebagai
anggota kelima dari al-Khulafa al-Rasyidun, sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.
'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124
H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup di kalangan penduduk
Madinah, Kota Nabi, karena keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan
kelanjutan langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika
bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari "tradisi"
atau "sunnah" Nabi sendiri.
Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk menemukan dan
mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideology Jama'ah-nya, yang dengan ideologi
itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau
pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan
kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II melihat bahwa sikap yang serba
akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham
keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah
ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab),
'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah Ibn Mas'ud.
Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba inklusifistik sesama kaum
muslim itu merupakan "tradisi" atau "sunnah" historis
penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga merupakan kelanjutan yang sah dari
"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Maka penelitian dan pembukaan
tentang tradisi penduduk Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukuan
"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya,
"sunnah" itu akan memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang
persatuan seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup. Dan
berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak disebut sebagai
paham "sunnah dan jama'ah" dan para pendukungnya disebut ahl
al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan sunnah dan jama'ah).
Mushthafa al-Siba'i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis
Madjid amat menghargai kebijakan 'Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah
itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak
memberi angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba'i,
golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam
kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti
Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut
al-Siba'i, sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi
untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn
al-'Ash.
3.
Perselisihan tentang Otoritas Hadits
Seperti yang telah kita ketahui bahwa tentang adanya kelompok-kelompok kaum
muslim yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan hadits. Mereka
sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena ingkar pada sunnah Nabi adalah
mustahil bagi seorang muslim. Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan
"Ingkar Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr.
Mushthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan mantan
dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta seorang tokoh pembina gerakan
al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria, golongan Ingkar Hadits itu terdapat di
mana-mana dalam dunia Islam, dari dahulu sampai sekarang.
Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang menolak hadits ialah
bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan bahwa Kitab Suci merupakan
satu-satunya sumber penetapan syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya.
Sedangkan sunnah (yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam keabsahannya
sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi penambahan-penambahan padanya,
dan karena adanya banyak kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya.
Mereka mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:
a. Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun yang Kami abaikan
dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am 6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah
mencakup seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi ada peran bagi
sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum dan membuat syari'ah.
b. Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan, sebagaimana
difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah menurunkan pelajaran,
dan sesungguhnyalah Kami yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan
tidak menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk ke dalamnya
penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya hadits termasuk sumber penetapan
syari'ah, tentulah Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya dari
kemungkinan penyelewengan dan perubahan sebagaimana Dia telah memelihara Kitab
Suci-Nya.
c. Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw., bahkan secara otentik
diceritakan bahwa beliau melarang membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di
zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para sahabat Nabi
serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn
Muhammad, al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak suka pada usaha
membukukannya. Pembukuan hadits baru dimulai pada akhir abad pertama, dan
selesai pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad ketiga. Ini adalah
jangka waktu yang cukup panjang untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan
teks-teks hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan sunnah pada tingkat
dugaan (martabat al-dhann) belaka, sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan
hukum syar'i, karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak sedikit
pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm 52:28).
d. Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda "Sesungguhnya
hadits akan memancarkan daridiriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan
bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku; dan apapun yang sampai
kepadamu dan menyalahi al-Qur'an, ia tidak berasal dariku."
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as