Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    berhujjah dengan hadits Ahad

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 37
    Lokasi : rahasia

    berhujjah dengan hadits Ahad Empty berhujjah dengan hadits Ahad

    Post by kutubuku Thu Jun 24, 2010 3:07 pm

    Berhujjah
    Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )


    Mukaddimah

    Pembahasan
    seputar Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa.
    Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama
    itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas
    yang dikehendaki oleh Allah.
    Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana
    keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi
    yang kuat, valid dan meyakinkan.


    Ada
    golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan
    hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy
    ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut
    tidak dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin).
    Benarkah statement-statement yang mereka lemparkan?, berikut ulasan mengenai
    masalah yang amat prinsipil dan urgen tersebut.
    Semoga bermanfa'at bagi kita semua.


    A.
    Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )

    Definisi


    Hadits Ahad
    adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga
    tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan
    oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila
    diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz.
    Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak
    mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits
    yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
    Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama
    muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya
    hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421
    H)
    Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau
    Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan
    yaqin)?

    I. Pendapat Pertama:

    Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI
    (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.

    Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam
    Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun penisbahan ini TIDAK BENAR
    SAMA SEKALI.
    IMAM AHMAD dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits)
    dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap hadits-hadits
    yang diriwayatkan para periwayat kategori LEMAH. Dan ini cukup sebagai bantahan
    terhadap apa yang dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
    Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan
    berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu
    (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.

    BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT PERTAMA INI

    Pendapat tersebut jelas-jelas TIDAK BENAR DAN TIDAK MASUK AKAL, sebab bagaimana
    mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita
    yang didengarnya, padahal kita tahu bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal
    hobi berbohong dan suka lalai.

    II. Pendapat Kedua

    Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd TIDAK DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI
    (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.

    Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) dan Ulama Ushul Fiqih
    (Ushuliyyun) sekalipun sebagian dari ulama Ushul ini seperti al-Juwainiy dan
    Abu Manshur al-Baghdadiy telah menyebutkan di dalam sebagian kitab mereka
    pendapat yang justeru sepakat dengan PENDAPAT KETIGA nanti.
    Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli
    Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.

    SYUBHAT MEREKA

    Mereka berkata, "Sesungguhnya kami di dalam menerima Khabar al-Wâhid atau
    Hadîts Ahâd sekalipun tingkat 'adalah nya mencapai puncaknya, tidak mendapatkan
    pada diri kami selain persentase dominan bagi kebenarannya atas kebohongannya
    namun tanpa dapat memastikan.

    JAWABAN TERHADAP PENDAPAT TERSEBUT

    Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga akan katakan bahwa terhadap Khabar
    al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru kami mendapatkan pada diri kami
    informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan seperti yang anda katakan bahwa
    antara yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih unggul. Manakala anda
    tidak mendapatkan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri
    anda, maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh digeneralisir sebab ia hanyalah
    pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri anda sendiri. Hal ini
    dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang dapat menginformasikan ilmu
    kepada anda sebagaimana yang didapat oleh Ahlussunnah dan al-Hadits, yang
    memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka untuk mendapatkan dan
    mencarinya.
    Karena itu, kami katakan kepada orang yang menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts
    Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda kepada hadits, antusiaslah untuk
    itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali kondisi para periwayat dan
    biografi mereka, jadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan
    anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika itu anda akan mengetahui:
    "Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut memberikan informasi
    ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan terhadapnya
    dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi
    ilmu kepada anda.
    Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa ia tidak memberikan informasi
    ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu artinya, anda telah
    menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan jatah anda sendiri dari
    hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga tidak perlu melibatkan orang lain).

    III. Pendapat Ketiga

    Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT
    KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA BERSYARAT

    Inilah pendapat YANG SHAHIH.

    Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in
    (dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal dari Qarâ`in) bisa
    jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir
    (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya. Termasuk dalam hal
    ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga; baca:
    belecekan) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi
    banyak dan masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat
    (al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama
    terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam
    Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya, diantaranya juga ada
    yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh
    seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas
    memberikan informasi ilmu menurut JUMHUR Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas
    Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini,
    antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan pendapat.

    ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA

    Alhamdulillah, dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini
    banyak sekali, diantaranya:



    1.
    Membeda-bedakan
    antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam
    menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak
    didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal
    oleh para shahabat ataupun para Tabi'in.
    Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan
    oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui
    pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula
    sebaliknya, Rasulullah sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan
    oleh para shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling
    membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang
    dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun
    dari mereka yang berkata terhadap orang yang memberikan informasi kepada
    mereka, "Khabar yang kamu bawa adalah Khabar Ahâd, tidak memberikan
    informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)… sehingga kemudian ia bisa
    menjadi Mutawatir.

    Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu
    informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama
    sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd.
    Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati
    di dalam menerima informasi.
    Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan
    informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab,
    pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan
    informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia
    sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma'
    para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka.



    2.
    Rasulullah
    pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk
    menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar
    yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan
    yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan
    seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari
    kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan
    kesia-siaan seperti itu.



    3.
    Ketika
    ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat
    shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah
    Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan
    hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke
    belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan
    Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu
    orang.
    Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu,
    bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut.


    B.
    Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid) Di Dalam Masalah 'Aqidah

    Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts
    Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin),
    melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh
    berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat
    Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
    Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di
    dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat
    dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat
    bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap
    bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan.
    Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam
    (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy
    al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy.

    BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT INI

    Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya
    bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil
    penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)
    sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut
    hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam
    masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy
    (tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.

    ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA (MADZHAB SALAF) DI DALAM MASALAH INI

    1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam
    berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan BID'AH
    (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf).
    Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras
    sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl
    al-Hadits dan as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti
    itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan
    lain sebagainya.


    2. Adanya
    khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa
    Sallam tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke
    pelbagai pelosok negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan
    selain mereka dalam rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu,
    hal pertama yang disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah.
    Diantara indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada
    Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:



    إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول
    ما تدعوهم إليه عبادة الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا
    الله ...""


    Sesungguhnya
    engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal
    pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah
    kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
    Di dalam riwayat yang lain,
    "…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq
    disembah- selain Allah."


    3.
    Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan
    Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir
    bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada
    kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).


    Kedua
    statement ini adalah Bathil dan termasuk bid'ah (hal yang diada-adakan) oleh
    Ahli Kalam. Islam justeru membawa hal yang amat kontras dengan itu semua; Tidak
    ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan
    dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus
    Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul,
    amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada
    konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau
    dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:


    "Perempuan
    yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
    keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
    mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"
    Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :


    "…jika
    kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.s., an-Nûr :2)

    Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan
    'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir.

    (Diambil dari buku Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , karya Syaikh
    'Utsman 'Ali Hasan, Hal.42-48)

    C. Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy


    Imam
    asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah
    (pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap
    sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan
    karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.


    Dimasa
    hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu
    menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama,
    mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan. Kedua, tidak menerima as-Sunnah
    kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang
    mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak HadIts Ahâd.


    Beliau
    menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua
    tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak
    menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat
    independen sementara kelompok ketiga, tidak kurang dari itu.


    Terhadap
    kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat
    berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan
    kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak
    kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya
    saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja
    dengan kelompok pertama.


    Sedangkan
    terhadap kelompok ketiga, beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi
    yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:



    a.
    Di
    dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya
    tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen
    sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak
    yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan
    alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.



    b.
    Bahwa
    di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan
    nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya
    adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka
    mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala)
    tetap mewajibkan hal itu.



    c.
    Nabi
    Shallallâhu 'alaihi wasallam membolehkan orang yang mendengar darinya untuk
    menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang
    saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
    "Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang
    hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga
    menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu
    dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang
    yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia
    tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya). (H.R.Abu Daud)



    d.
    Para
    shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan
    tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.


    Demikianlah
    diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd.
    (Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy;
    pembelaannya terhadap as-Sunnah)

    D. Fatwa Ulama Kontemporer

    Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap
    hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah 'aqidah
    menjawab:
    "Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad
    tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya
    memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak
    dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam
    ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Ini
    dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:



    1.
    Pendapat
    bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat
    digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil)
    dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil
    penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh
    umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab
    radhiallaahu 'anhu :
    "Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat"
    Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu
    'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah
    dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan
    lainya.



    2.
    Bahwa
    Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang
    per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl
    al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad
    Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah
    yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke
    negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak
    dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.



    3.
    Bila
    kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar
    Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah
    (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga
    dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai
    oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang
    begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah
    tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali
    hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam
    ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah
    tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak
    ada bedanya.



    4.
    Bahwa
    Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada
    pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha
    penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak
    mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
    mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
    tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan
    yang diajukan oleh individu atau kelompok.


    Kesimpulannya:

    Bahwa bila
    ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat
    menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat
    dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang
    yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk
    membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam
    (ulama mazhab yang empat, misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara
    keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan)
    yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang
    dijadikannya sebagai dalil. (Fahd bin Nâshir bin Ibrâhîm al-Sulaimân (editor),
    Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn,
    (Riyadl: Dâr at-Tsurayya, 1414 H/1994 M), Cet. II, hal. 31-32)

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 6:21 am