Jurnalistik]
Bagaimana Cara Pers Mempengaruhi Kita?
Salah satu
"pantangan besar" bagi seorang jurnalis adalah: dilarang menyampaikan
opini pribadi si penulis secara langsung di dalam tulisannya. Sebab, tugas
seorang wartawan hanyalah sebagai "mediator" antara nara sumber
(sumber berita) dengan pembaca.
Lantas, apakah ini berarti si wartawan tidak boleh berpendapat sama sekali?
Apakah si wartawan - bahkan redaktur sebuah media - tidak boleh menyebarluaskan
opini atau idealisme atau aliran hidupnya kepada para pembaca?
Tentu saja amat boleh. Tapi, ada strategi cantik yang bisa dilakukan. Dan
inilah yang akan kita bicarakan kali ini.
Peristiwa VS Berita
Sebelumnya, kita akan bahas dulu apa perbedaan antara peristiwa dengan berita.
Peristiwa adalah sesuatu yang sifatnya amat objektif. Misalnya: Ada orang yang ditabrak oleh mobil di jalan raya.
Ini adalah sesuatu yang sangat objektif.
Sedangkan berita adalah peristiwa yang diceritakan(*).
Ketika peristiwa di atas diceritakan oleh seorang saksi mata kepada orang lain,
maka peristiwa ini telah berubah menjadi berita. Dan berita tidak akan pernah
seratus persen objektif.
Kenapa? Sebab ketika si saksi mata menceritakan sebuah peristiwa, pasti
subjektivitas dirinya sudah terlibat di dalam berita tersebut. Subjektivitas
ini bisa dalam skala yang paling kecil (seperti gaya bercerita), yang agak
besar (sikap si saksi mata terhadap peristiwa tersebut), hingga yang berskala
besar (seperti idealisme, kepentingan bisnis atau politik, dan sebagainya).
Berikut adalah sebuah contoh nyata tentang subjektivitas berita. Kita andaikan,
peristiwa di atas diceritakan oleh tiga orang saksi mata, yakni Ani, Budi, dan
Yani.
ANI:
“Wah, tadi ada orang yang ditabrak mobil di
jalan raya. Kasihan, deh. Dia luka parah dan enggak ada yang mau nolong.”
BUDI:
“Tadi pas gue lewat di jalan raya, ada yang
ketabrak mobil. Lukanya enggak begitu parah, sih. Tapi anehnya, kok enggak ada
yang mau nolong, ya?”
YANI:
“Tadi ada orang yang ketabrak mobil. Syukurin
tuh orang. Makanya, kalo nyeberang lihat kiri kanan dulu.”
Coba perhatikan, dan rasakan subjektivitas masing-masing berita di atas.
Maka, sebenarnya TAK ADA BERITA YANG 100 % OBJEKTIF. Kalaupun ada
yang mengaku sebagai media massa yang objektif (contohnya yang
ini), mungkin mereka hanya mencoba seobjektif mungkin.
Perbedaan sikap dan cara bercerita ketiga orang di atas adalah contoh
subjektivitas, tapi masih berskala kecil. Dalam prakteknya di dunia
jurnalistik, subjektivitas ini bisa berskala lebih besar, misalnya karena
menyangkut ideologi, misi dan visi setiap penerbitan, dan sebagainya.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu di situs berita luar negeri terdapat sebuah
foto yang sebenarnya biasa-biasa saja. Adegannya adalah seorang ibu berjilbab
sedang diperiksa oleh petugas keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di
Jakarta.
Kita yang tinggal di Jakarta tentu tahu, bahwa adegan seperti ini sudah jadi
pemandangan umum, tak ada yang istimewa. Karena banyak bom yang meledak, setiap
gedung merasa perlu memeriksa semua tamu yang masuk.
Tapi coba lihat, apa yang ditulis oleh situs berita luar negeri tersebut. Pada
komentar foto, dia menulis seperti ini:
Seorang wanita muslim diperiksa oleh pihak
keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di Jakarta.
Memang benar, wanita yang diperiksa itu seorang muslim, karena dia pakai
jilbab. Tapi kita tak bisa membaca sebuah berita apa adanya seperti itu. Kita
perlu bertanya secara kritis, seperti ini:
1.
Kenapa si wartawan menulis “seorang wanita muslim”?
Pemilihan kata seperti ini bisa menimbulkan kesan bahwa yang diperiksa di depan
mal hanyalah orang muslim. Kesan selanjutnya, seolah-olah semua umat Islam itu
patut dicurigai sehingga perlu diperiksa. Padahal kenyataannya, setiap orang
tanpa kecuali (apapun agama dan golongannya) akan diperiksa kalau mereka hendak
memasuki mal.
2.
Kemungkinan besar si wartawan – ketika memburu foto di
depan mal - tak hanya memotret wanita berjilbab tadi. Pasti banyak orang yang
yang terekam oleh kameranya. Tapi kenapa yang ditampilkan di situsnya hanya si
wanita berjilbab?
Itulah contoh yang jelas mengenai
subjektivitas berita. Intinya, tak ada berita yang benar-benar objektif.
Kiat Pers dalam Mempengaruhi Pembaca
Jadi, walaupun ada prinsip bahwa seorang jurnalis tidak boleh menyampaikan
pendapat atau opininya secara langsung di dalam sebuah tulisan jurnalistik,
dalam prakteknya subjektivitas tetap tak bisa dicegah.
Karena itu, jurnalistik juga mengenal sejumlah kiat untuk menyampaikan pesan,
opini, dan sebagainya, tanpa harus "melanggar" aturan di atas.
Berikut adalah beberapa di antaranya.
01. Pemilihan istilah
Sebagai contoh, coba bandingkan kedua kalimat ini:
Pemberontak Palestina menyerbu markas tentara
Israel.
Pejuang Palestina menyerbu markas tentara
Israel.
Kedua kalimat di atas sebenarnya sama saja. Yang berbeda cuma pada kata
“pemberontak” dan “pejuang”.
Kita tentu tahu, kedua istilah ini punya makna yang berbeda. Pemberontak
biasanya identik dengan penjahat atau pengkhianat negara, sedangkan pejuang adalah
orang yang bekerja untuk meraih sesuatu yang mulia. Pemberontak bermakna
negatif, sedangkan pejuang bermakna positif.
Kalimat pertama adalah contoh kalimat yang sering dipakai oleh pers Barat yang
anti Islam. Mereka hendak memberi kesan bahwa Palestina berbuat salah karena
menyerang Israel. Padahal kenyataannya, justru rakyat Palestina yang berjuang
untuk memerdekakan negara mereka dari jajahan Israel.
02. Menonjolkan pendapat tokoh yang satu
misi dengan kita
Memang, seorang wartawan hendaknya menampilkan pendapat dari dua kubu yang
berbeda. Dari yang pro maupun yang kontra. Supaya beritanya berimbang. Tapi
dalam teknis penulisan, kita bisa mengatur agar tulisan kita membawa misi
sesuai yang kita harapkan.
Contoh:
Si wartawan hendak menulis berita tentang kontes Miss Universe, tapi Anda tak
setuju dengan acara ini. Setelah mewawancarai tokoh-tokoh yang pro dan kontra,
dia menulis beritanya seperti ini (contoh):
”Miss Universe itu boleh-boleh saja, kok.
Mereka kan mengharumkan nama bangsa,” ujar Mr. X. Pendapat senada dilontarkan
oleh Mr. Y. Katanya, “Kontes Miss Universe bisa menunjang pariwisata kita.”
Namun pendapat berbeda disampaikan oleh Mr. Z. Menurutnya, kontes Miss Universe
itu tidak ada gunanya sama sekali. “Itu hanyalah ajang pamer aurat. Biaya
penyelenggaraan acaranya bisa dipakai untuk membantu rakyat miskin,” tandasnya
tegas.
Coba perhatikan. Pendapat yang pro diletakkan di bagian awal, sementara
pendapat yang kontra (yang sejalan dengan misi penulisnya) diletakkan di bagian
akhir. Ini tentu ada maksudnya. Biasanya, yang muncul belakangan adalah
kesimpulan. Jadi dengan penempatan pendapat yang sesuai misi kita di bagian
akhir, kita dapat menggiring pembaca untuk setuju dengan pendapat kita.
03. Seleksi terhadap materi berita
Secara teori, kita bisa memasukkan informasi apa saja untuk mendukung berita
yang kita tulis. Misalnya, kita ingin memuat sebuah foto tentang keakraban
antara ibu dengan anak. Di sini, kita bisa memilih: si ibunya ini pakai jilbab
atau tidak? Jika kedua pilihan ini tidak mempengaruhi pesan yang hendak
disampaikan, maka tak ada salahnya jika kita memilih foto ibu yang berjilbab.
Sebab ini bisa menjadi sarana yang baik untuk memasyarakatkan pemakaian jilbab
di kalangan pembaca.
04. Menonjolkan informasi tertentu dan dan
tidak menonjolkan informasi lainnya
Contoh kasus: Ada dua materi yang bisa kita tampilkan:
liputan konser nasyid dan liputan konser dangdut. Yang mana yang harus dimuat?
Jika tujuannya adalah dakwah, kita punya pilihan sebagai berikut.
1.Memuat liputan konser nasyid, sementara liputan konser dangdut tak dimuat.
2.Memuat kedua liputan ini. Tapi liputan konser nasyid dibahas secara lebih
lengkap, dan ditonjolkan di halaman depan. Sementara liputan dangdut dibahas
sekilas saja.
Apakah hal seperti ini diperbolehkan? Tentu saja boleh. Yang tak boleh adalah
berbohong. Kita pasti tahu, trik seperti di atas bukan termasuk bohong.
05. Membentuk citra tertentu
Apa yang dimaksud dengan citra? Untuk lebih jelasnya, coba perhatikan kedua
contoh paragraf berikut.
Contoh 1:
Konser musik rock tadi malam berlangsung
meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris, mengelu-elukan idola
mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga sepuluh malam. Penonton
tampak puas dengan penampilan artis-artis di atas panggung. “Asyik aja
pokoknya. Lain kali kalo ada acara seperti ini, gue pasti datang,” ujar Doni,
salah seorang penonton yang datang jauh-jauh dari Tasikmalaya untuk menonton
konser ini.
Contoh 2:
Konser musik rock tadi malam
berlangsung meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris,
mengelu-elukan idola mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga
sepuluh malam. Shalat magrib pun terlewat. Suasana riuh tetap terasa di seluruh
lapangan. Banyak botol minuman keras dan puntung rokok berserakan di atas
rumput. Penonton tampaknya menikmati acara yang sangat meriah ini. Namun tak
jauh dari lokasi konser, seorang penduduk setempat mengajukan keluhannya.
“Bising banget, Mas. Kami kagak bisa tidur semalaman,” ujarnya.
Coba perhatikan. Kedua contoh di atas sebenarnya menginformasikan peristiwa
yang sama. Tapi ada perbedaan yang sangat jelas di dalam sudut pandang
pemberitaannya.
Itulah salah satu contoh pembentukan citra. Dua orang jurnalis membentuk citra
yang berbeda dari informasi yang sama.
Apakah boleh menampilkan tulisan dengan cara seperti itu? Boleh-boleh saja,
kok. Secara umum, si jurnalis hanya bermain-main dengan “persepsi”. Setiap
orang tentu punya persepsi atau pandangan yang berbeda-beda mengenai sesuatu,
kan?
* * *
Nah, itulah beberapa metode yang biasa diterapkan oleh wartawan di dalam
menyampaikan opini atau misi/visi mereka. Sebenarnya masih banyak teknik
lainnya. Tapi semoga penjelasan di atas bisa memberi gambaran yang memadai.
Fakta Kontemporer
Masalah yang dihadapi oleh Islam saat ini, yakni citra jelek sebagai agama
teroris, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor pembentukan citra. Pers yang
anti Islam dan liberal, yang mendominasi dunia penerbitan kita, tak pernah
berhenti menulis berita yang menjelek-jelekkan Islam. Secara perlahan dan
sistematis, mereka membentuk pola pikir pembaca, bahwa Islam itu sadis,
teroris, dan kejam. Akibatnya, banyak orang yang terpengaruh, dan menjadi takut
pada Islam.
Ini adalah masalah terbesar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Terlebih
karena hampir semua pers dikuasai oleh golongan-golongan yang tidak berpihak
pada Islam.
Semoga dengan tulisan ini, kita bisa lebih kritis di dalam menyikapi setiap
berita yang muncul di media massa. Ingatlah bahwa pasti ada "sesuatu"
di balik setiap karya jurnalistik.
Tapi, jangan pula kita pesimis. Kiat di atas sebenarnya bermata dua, seperti
pisau. Ia bisa digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, namun bisa juga
dipergunakan untuk kebaikan, misalnya untuk berdakwah.
Semoga bermanfaat
Bagaimana Cara Pers Mempengaruhi Kita?
Salah satu
"pantangan besar" bagi seorang jurnalis adalah: dilarang menyampaikan
opini pribadi si penulis secara langsung di dalam tulisannya. Sebab, tugas
seorang wartawan hanyalah sebagai "mediator" antara nara sumber
(sumber berita) dengan pembaca.
Lantas, apakah ini berarti si wartawan tidak boleh berpendapat sama sekali?
Apakah si wartawan - bahkan redaktur sebuah media - tidak boleh menyebarluaskan
opini atau idealisme atau aliran hidupnya kepada para pembaca?
Tentu saja amat boleh. Tapi, ada strategi cantik yang bisa dilakukan. Dan
inilah yang akan kita bicarakan kali ini.
Peristiwa VS Berita
Sebelumnya, kita akan bahas dulu apa perbedaan antara peristiwa dengan berita.
Peristiwa adalah sesuatu yang sifatnya amat objektif. Misalnya: Ada orang yang ditabrak oleh mobil di jalan raya.
Ini adalah sesuatu yang sangat objektif.
Sedangkan berita adalah peristiwa yang diceritakan(*).
Ketika peristiwa di atas diceritakan oleh seorang saksi mata kepada orang lain,
maka peristiwa ini telah berubah menjadi berita. Dan berita tidak akan pernah
seratus persen objektif.
Kenapa? Sebab ketika si saksi mata menceritakan sebuah peristiwa, pasti
subjektivitas dirinya sudah terlibat di dalam berita tersebut. Subjektivitas
ini bisa dalam skala yang paling kecil (seperti gaya bercerita), yang agak
besar (sikap si saksi mata terhadap peristiwa tersebut), hingga yang berskala
besar (seperti idealisme, kepentingan bisnis atau politik, dan sebagainya).
Berikut adalah sebuah contoh nyata tentang subjektivitas berita. Kita andaikan,
peristiwa di atas diceritakan oleh tiga orang saksi mata, yakni Ani, Budi, dan
Yani.
ANI:
“Wah, tadi ada orang yang ditabrak mobil di
jalan raya. Kasihan, deh. Dia luka parah dan enggak ada yang mau nolong.”
BUDI:
“Tadi pas gue lewat di jalan raya, ada yang
ketabrak mobil. Lukanya enggak begitu parah, sih. Tapi anehnya, kok enggak ada
yang mau nolong, ya?”
YANI:
“Tadi ada orang yang ketabrak mobil. Syukurin
tuh orang. Makanya, kalo nyeberang lihat kiri kanan dulu.”
Coba perhatikan, dan rasakan subjektivitas masing-masing berita di atas.
Maka, sebenarnya TAK ADA BERITA YANG 100 % OBJEKTIF. Kalaupun ada
yang mengaku sebagai media massa yang objektif (contohnya yang
ini), mungkin mereka hanya mencoba seobjektif mungkin.
Perbedaan sikap dan cara bercerita ketiga orang di atas adalah contoh
subjektivitas, tapi masih berskala kecil. Dalam prakteknya di dunia
jurnalistik, subjektivitas ini bisa berskala lebih besar, misalnya karena
menyangkut ideologi, misi dan visi setiap penerbitan, dan sebagainya.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu di situs berita luar negeri terdapat sebuah
foto yang sebenarnya biasa-biasa saja. Adegannya adalah seorang ibu berjilbab
sedang diperiksa oleh petugas keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di
Jakarta.
Kita yang tinggal di Jakarta tentu tahu, bahwa adegan seperti ini sudah jadi
pemandangan umum, tak ada yang istimewa. Karena banyak bom yang meledak, setiap
gedung merasa perlu memeriksa semua tamu yang masuk.
Tapi coba lihat, apa yang ditulis oleh situs berita luar negeri tersebut. Pada
komentar foto, dia menulis seperti ini:
Seorang wanita muslim diperiksa oleh pihak
keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di Jakarta.
Memang benar, wanita yang diperiksa itu seorang muslim, karena dia pakai
jilbab. Tapi kita tak bisa membaca sebuah berita apa adanya seperti itu. Kita
perlu bertanya secara kritis, seperti ini:
1.
Kenapa si wartawan menulis “seorang wanita muslim”?
Pemilihan kata seperti ini bisa menimbulkan kesan bahwa yang diperiksa di depan
mal hanyalah orang muslim. Kesan selanjutnya, seolah-olah semua umat Islam itu
patut dicurigai sehingga perlu diperiksa. Padahal kenyataannya, setiap orang
tanpa kecuali (apapun agama dan golongannya) akan diperiksa kalau mereka hendak
memasuki mal.
2.
Kemungkinan besar si wartawan – ketika memburu foto di
depan mal - tak hanya memotret wanita berjilbab tadi. Pasti banyak orang yang
yang terekam oleh kameranya. Tapi kenapa yang ditampilkan di situsnya hanya si
wanita berjilbab?
Itulah contoh yang jelas mengenai
subjektivitas berita. Intinya, tak ada berita yang benar-benar objektif.
Kiat Pers dalam Mempengaruhi Pembaca
Jadi, walaupun ada prinsip bahwa seorang jurnalis tidak boleh menyampaikan
pendapat atau opininya secara langsung di dalam sebuah tulisan jurnalistik,
dalam prakteknya subjektivitas tetap tak bisa dicegah.
Karena itu, jurnalistik juga mengenal sejumlah kiat untuk menyampaikan pesan,
opini, dan sebagainya, tanpa harus "melanggar" aturan di atas.
Berikut adalah beberapa di antaranya.
01. Pemilihan istilah
Sebagai contoh, coba bandingkan kedua kalimat ini:
Pemberontak Palestina menyerbu markas tentara
Israel.
Pejuang Palestina menyerbu markas tentara
Israel.
Kedua kalimat di atas sebenarnya sama saja. Yang berbeda cuma pada kata
“pemberontak” dan “pejuang”.
Kita tentu tahu, kedua istilah ini punya makna yang berbeda. Pemberontak
biasanya identik dengan penjahat atau pengkhianat negara, sedangkan pejuang adalah
orang yang bekerja untuk meraih sesuatu yang mulia. Pemberontak bermakna
negatif, sedangkan pejuang bermakna positif.
Kalimat pertama adalah contoh kalimat yang sering dipakai oleh pers Barat yang
anti Islam. Mereka hendak memberi kesan bahwa Palestina berbuat salah karena
menyerang Israel. Padahal kenyataannya, justru rakyat Palestina yang berjuang
untuk memerdekakan negara mereka dari jajahan Israel.
02. Menonjolkan pendapat tokoh yang satu
misi dengan kita
Memang, seorang wartawan hendaknya menampilkan pendapat dari dua kubu yang
berbeda. Dari yang pro maupun yang kontra. Supaya beritanya berimbang. Tapi
dalam teknis penulisan, kita bisa mengatur agar tulisan kita membawa misi
sesuai yang kita harapkan.
Contoh:
Si wartawan hendak menulis berita tentang kontes Miss Universe, tapi Anda tak
setuju dengan acara ini. Setelah mewawancarai tokoh-tokoh yang pro dan kontra,
dia menulis beritanya seperti ini (contoh):
”Miss Universe itu boleh-boleh saja, kok.
Mereka kan mengharumkan nama bangsa,” ujar Mr. X. Pendapat senada dilontarkan
oleh Mr. Y. Katanya, “Kontes Miss Universe bisa menunjang pariwisata kita.”
Namun pendapat berbeda disampaikan oleh Mr. Z. Menurutnya, kontes Miss Universe
itu tidak ada gunanya sama sekali. “Itu hanyalah ajang pamer aurat. Biaya
penyelenggaraan acaranya bisa dipakai untuk membantu rakyat miskin,” tandasnya
tegas.
Coba perhatikan. Pendapat yang pro diletakkan di bagian awal, sementara
pendapat yang kontra (yang sejalan dengan misi penulisnya) diletakkan di bagian
akhir. Ini tentu ada maksudnya. Biasanya, yang muncul belakangan adalah
kesimpulan. Jadi dengan penempatan pendapat yang sesuai misi kita di bagian
akhir, kita dapat menggiring pembaca untuk setuju dengan pendapat kita.
03. Seleksi terhadap materi berita
Secara teori, kita bisa memasukkan informasi apa saja untuk mendukung berita
yang kita tulis. Misalnya, kita ingin memuat sebuah foto tentang keakraban
antara ibu dengan anak. Di sini, kita bisa memilih: si ibunya ini pakai jilbab
atau tidak? Jika kedua pilihan ini tidak mempengaruhi pesan yang hendak
disampaikan, maka tak ada salahnya jika kita memilih foto ibu yang berjilbab.
Sebab ini bisa menjadi sarana yang baik untuk memasyarakatkan pemakaian jilbab
di kalangan pembaca.
04. Menonjolkan informasi tertentu dan dan
tidak menonjolkan informasi lainnya
Contoh kasus: Ada dua materi yang bisa kita tampilkan:
liputan konser nasyid dan liputan konser dangdut. Yang mana yang harus dimuat?
Jika tujuannya adalah dakwah, kita punya pilihan sebagai berikut.
1.Memuat liputan konser nasyid, sementara liputan konser dangdut tak dimuat.
2.Memuat kedua liputan ini. Tapi liputan konser nasyid dibahas secara lebih
lengkap, dan ditonjolkan di halaman depan. Sementara liputan dangdut dibahas
sekilas saja.
Apakah hal seperti ini diperbolehkan? Tentu saja boleh. Yang tak boleh adalah
berbohong. Kita pasti tahu, trik seperti di atas bukan termasuk bohong.
05. Membentuk citra tertentu
Apa yang dimaksud dengan citra? Untuk lebih jelasnya, coba perhatikan kedua
contoh paragraf berikut.
Contoh 1:
Konser musik rock tadi malam berlangsung
meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris, mengelu-elukan idola
mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga sepuluh malam. Penonton
tampak puas dengan penampilan artis-artis di atas panggung. “Asyik aja
pokoknya. Lain kali kalo ada acara seperti ini, gue pasti datang,” ujar Doni,
salah seorang penonton yang datang jauh-jauh dari Tasikmalaya untuk menonton
konser ini.
Contoh 2:
Konser musik rock tadi malam
berlangsung meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris,
mengelu-elukan idola mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga
sepuluh malam. Shalat magrib pun terlewat. Suasana riuh tetap terasa di seluruh
lapangan. Banyak botol minuman keras dan puntung rokok berserakan di atas
rumput. Penonton tampaknya menikmati acara yang sangat meriah ini. Namun tak
jauh dari lokasi konser, seorang penduduk setempat mengajukan keluhannya.
“Bising banget, Mas. Kami kagak bisa tidur semalaman,” ujarnya.
Coba perhatikan. Kedua contoh di atas sebenarnya menginformasikan peristiwa
yang sama. Tapi ada perbedaan yang sangat jelas di dalam sudut pandang
pemberitaannya.
Itulah salah satu contoh pembentukan citra. Dua orang jurnalis membentuk citra
yang berbeda dari informasi yang sama.
Apakah boleh menampilkan tulisan dengan cara seperti itu? Boleh-boleh saja,
kok. Secara umum, si jurnalis hanya bermain-main dengan “persepsi”. Setiap
orang tentu punya persepsi atau pandangan yang berbeda-beda mengenai sesuatu,
kan?
* * *
Nah, itulah beberapa metode yang biasa diterapkan oleh wartawan di dalam
menyampaikan opini atau misi/visi mereka. Sebenarnya masih banyak teknik
lainnya. Tapi semoga penjelasan di atas bisa memberi gambaran yang memadai.
Fakta Kontemporer
Masalah yang dihadapi oleh Islam saat ini, yakni citra jelek sebagai agama
teroris, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor pembentukan citra. Pers yang
anti Islam dan liberal, yang mendominasi dunia penerbitan kita, tak pernah
berhenti menulis berita yang menjelek-jelekkan Islam. Secara perlahan dan
sistematis, mereka membentuk pola pikir pembaca, bahwa Islam itu sadis,
teroris, dan kejam. Akibatnya, banyak orang yang terpengaruh, dan menjadi takut
pada Islam.
Ini adalah masalah terbesar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Terlebih
karena hampir semua pers dikuasai oleh golongan-golongan yang tidak berpihak
pada Islam.
Semoga dengan tulisan ini, kita bisa lebih kritis di dalam menyikapi setiap
berita yang muncul di media massa. Ingatlah bahwa pasti ada "sesuatu"
di balik setiap karya jurnalistik.
Tapi, jangan pula kita pesimis. Kiat di atas sebenarnya bermata dua, seperti
pisau. Ia bisa digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, namun bisa juga
dipergunakan untuk kebaikan, misalnya untuk berdakwah.
Semoga bermanfaat
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as