Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    bagaimana cara media mempengaruhi massa

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    bagaimana cara media mempengaruhi massa Empty bagaimana cara media mempengaruhi massa

    Post by admin Fri Jun 18, 2010 3:55 pm

    Jurnalistik]
    Bagaimana Cara Pers Mempengaruhi Kita?



    Salah satu
    "pantangan besar" bagi seorang jurnalis adalah: dilarang menyampaikan
    opini pribadi si penulis secara langsung di dalam tulisannya. Sebab, tugas
    seorang wartawan hanyalah sebagai "mediator" antara nara sumber
    (sumber berita) dengan pembaca.

    Lantas, apakah ini berarti si wartawan tidak boleh berpendapat sama sekali?
    Apakah si wartawan - bahkan redaktur sebuah media - tidak boleh menyebarluaskan
    opini atau idealisme atau aliran hidupnya kepada para pembaca?

    Tentu saja amat boleh. Tapi, ada strategi cantik yang bisa dilakukan. Dan
    inilah yang akan kita bicarakan kali ini.


    Peristiwa VS Berita


    Sebelumnya, kita akan bahas dulu apa perbedaan antara peristiwa dengan berita.

    Peristiwa adalah sesuatu yang sifatnya amat objektif. Misalnya: Ada orang yang ditabrak oleh mobil di jalan raya.
    Ini adalah sesuatu yang sangat objektif.

    Sedangkan berita adalah peristiwa yang diceritakan(*).

    Ketika peristiwa di atas diceritakan oleh seorang saksi mata kepada orang lain,
    maka peristiwa ini telah berubah menjadi berita. Dan berita tidak akan pernah
    seratus persen objektif.

    Kenapa? Sebab ketika si saksi mata menceritakan sebuah peristiwa, pasti
    subjektivitas dirinya sudah terlibat di dalam berita tersebut. Subjektivitas
    ini bisa dalam skala yang paling kecil (seperti gaya bercerita), yang agak
    besar (sikap si saksi mata terhadap peristiwa tersebut), hingga yang berskala
    besar (seperti idealisme, kepentingan bisnis atau politik, dan sebagainya).

    Berikut adalah sebuah contoh nyata tentang subjektivitas berita. Kita andaikan,
    peristiwa di atas diceritakan oleh tiga orang saksi mata, yakni Ani, Budi, dan
    Yani.

    ANI:
    “Wah, tadi ada orang yang ditabrak mobil di
    jalan raya. Kasihan, deh. Dia luka parah dan enggak ada yang mau nolong.”

    BUDI:
    “Tadi pas gue lewat di jalan raya, ada yang
    ketabrak mobil. Lukanya enggak begitu parah, sih. Tapi anehnya, kok enggak ada
    yang mau nolong, ya?”

    YANI:
    “Tadi ada orang yang ketabrak mobil. Syukurin
    tuh orang. Makanya, kalo nyeberang lihat kiri kanan dulu.”

    Coba perhatikan, dan rasakan subjektivitas masing-masing berita di atas.

    Maka, sebenarnya
    TAK ADA BERITA YANG 100 % OBJEKTIF. Kalaupun ada
    yang mengaku sebagai media massa yang objektif (contohnya yang
    ini
    ), mungkin mereka hanya mencoba seobjektif mungkin.

    Perbedaan sikap dan cara bercerita ketiga orang di atas adalah contoh
    subjektivitas, tapi masih berskala kecil. Dalam prakteknya di dunia
    jurnalistik, subjektivitas ini bisa berskala lebih besar, misalnya karena
    menyangkut ideologi, misi dan visi setiap penerbitan, dan sebagainya.

    Sebagai contoh, beberapa tahun lalu di situs berita luar negeri terdapat sebuah
    foto yang sebenarnya biasa-biasa saja. Adegannya adalah seorang ibu berjilbab
    sedang diperiksa oleh petugas keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di
    Jakarta.

    Kita yang tinggal di Jakarta tentu tahu, bahwa adegan seperti ini sudah jadi
    pemandangan umum, tak ada yang istimewa. Karena banyak bom yang meledak, setiap
    gedung merasa perlu memeriksa semua tamu yang masuk.

    Tapi coba lihat, apa yang ditulis oleh situs berita luar negeri tersebut. Pada
    komentar foto, dia menulis seperti ini:

    Seorang wanita muslim diperiksa oleh pihak
    keamanan di depan pintu masuk sebuah mal di Jakarta.

    Memang benar, wanita yang diperiksa itu seorang muslim, karena dia pakai
    jilbab. Tapi kita tak bisa membaca sebuah berita apa adanya seperti itu. Kita
    perlu bertanya secara kritis, seperti ini:



    1.
    Kenapa si wartawan menulis “seorang wanita muslim”?
    Pemilihan kata seperti ini bisa menimbulkan kesan bahwa yang diperiksa di depan
    mal hanyalah orang muslim. Kesan selanjutnya, seolah-olah semua umat Islam itu
    patut dicurigai sehingga perlu diperiksa. Padahal kenyataannya, setiap orang
    tanpa kecuali (apapun agama dan golongannya) akan diperiksa kalau mereka hendak
    memasuki mal.



    2.
    Kemungkinan besar si wartawan – ketika memburu foto di
    depan mal - tak hanya memotret wanita berjilbab tadi. Pasti banyak orang yang
    yang terekam oleh kameranya. Tapi kenapa yang ditampilkan di situsnya hanya si
    wanita berjilbab?



    Itulah contoh yang jelas mengenai
    subjektivitas berita. Intinya, tak ada berita yang benar-benar objektif.


    Kiat Pers dalam Mempengaruhi Pembaca


    Jadi, walaupun ada prinsip bahwa seorang jurnalis tidak boleh menyampaikan
    pendapat atau opininya secara langsung di dalam sebuah tulisan jurnalistik,
    dalam prakteknya subjektivitas tetap tak bisa dicegah.

    Karena itu, jurnalistik juga mengenal sejumlah kiat untuk menyampaikan pesan,
    opini, dan sebagainya, tanpa harus "melanggar" aturan di atas.

    Berikut adalah beberapa di antaranya.

    01. Pemilihan istilah

    Sebagai contoh, coba bandingkan kedua kalimat ini:

    Pemberontak Palestina menyerbu markas tentara
    Israel.

    Pejuang Palestina menyerbu markas tentara
    Israel.

    Kedua kalimat di atas sebenarnya sama saja. Yang berbeda cuma pada kata
    “pemberontak” dan “pejuang”.

    Kita tentu tahu, kedua istilah ini punya makna yang berbeda. Pemberontak
    biasanya identik dengan penjahat atau pengkhianat negara, sedangkan pejuang adalah
    orang yang bekerja untuk meraih sesuatu yang mulia. Pemberontak bermakna
    negatif, sedangkan pejuang bermakna positif.

    Kalimat pertama adalah contoh kalimat yang sering dipakai oleh pers Barat yang
    anti Islam. Mereka hendak memberi kesan bahwa Palestina berbuat salah karena
    menyerang Israel. Padahal kenyataannya, justru rakyat Palestina yang berjuang
    untuk memerdekakan negara mereka dari jajahan Israel.

    02. Menonjolkan pendapat tokoh yang satu
    misi dengan kita

    Memang, seorang wartawan hendaknya menampilkan pendapat dari dua kubu yang
    berbeda. Dari yang pro maupun yang kontra. Supaya beritanya berimbang. Tapi
    dalam teknis penulisan, kita bisa mengatur agar tulisan kita membawa misi
    sesuai yang kita harapkan.

    Contoh:
    Si wartawan hendak menulis berita tentang kontes Miss Universe, tapi Anda tak
    setuju dengan acara ini. Setelah mewawancarai tokoh-tokoh yang pro dan kontra,
    dia menulis beritanya seperti ini (contoh):

    ”Miss Universe itu boleh-boleh saja, kok.
    Mereka kan mengharumkan nama bangsa,” ujar Mr. X. Pendapat senada dilontarkan
    oleh Mr. Y. Katanya, “Kontes Miss Universe bisa menunjang pariwisata kita.”
    Namun pendapat berbeda disampaikan oleh Mr. Z. Menurutnya, kontes Miss Universe
    itu tidak ada gunanya sama sekali. “Itu hanyalah ajang pamer aurat. Biaya
    penyelenggaraan acaranya bisa dipakai untuk membantu rakyat miskin,” tandasnya
    tegas.

    Coba perhatikan. Pendapat yang pro diletakkan di bagian awal, sementara
    pendapat yang kontra (yang sejalan dengan misi penulisnya) diletakkan di bagian
    akhir. Ini tentu ada maksudnya. Biasanya, yang muncul belakangan adalah
    kesimpulan. Jadi dengan penempatan pendapat yang sesuai misi kita di bagian
    akhir, kita dapat menggiring pembaca untuk setuju dengan pendapat kita.

    03. Seleksi terhadap materi berita

    Secara teori, kita bisa memasukkan informasi apa saja untuk mendukung berita
    yang kita tulis. Misalnya, kita ingin memuat sebuah foto tentang keakraban
    antara ibu dengan anak. Di sini, kita bisa memilih: si ibunya ini pakai jilbab
    atau tidak? Jika kedua pilihan ini tidak mempengaruhi pesan yang hendak
    disampaikan, maka tak ada salahnya jika kita memilih foto ibu yang berjilbab.
    Sebab ini bisa menjadi sarana yang baik untuk memasyarakatkan pemakaian jilbab
    di kalangan pembaca.

    04. Menonjolkan informasi tertentu dan dan
    tidak menonjolkan informasi lainnya

    Contoh kasus: Ada dua materi yang bisa kita tampilkan:
    liputan konser nasyid dan liputan konser dangdut. Yang mana yang harus dimuat?
    Jika tujuannya adalah dakwah, kita punya pilihan sebagai berikut.

    1.Memuat liputan konser nasyid, sementara liputan konser dangdut tak dimuat.

    2.Memuat kedua liputan ini. Tapi liputan konser nasyid dibahas secara lebih
    lengkap, dan ditonjolkan di halaman depan. Sementara liputan dangdut dibahas
    sekilas saja.

    Apakah hal seperti ini diperbolehkan? Tentu saja boleh. Yang tak boleh adalah
    berbohong. Kita pasti tahu, trik seperti di atas bukan termasuk bohong.

    05. Membentuk citra tertentu

    Apa yang dimaksud dengan citra? Untuk lebih jelasnya, coba perhatikan kedua
    contoh paragraf berikut.

    Contoh 1:
    Konser musik rock tadi malam berlangsung
    meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris, mengelu-elukan idola
    mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga sepuluh malam. Penonton
    tampak puas dengan penampilan artis-artis di atas panggung. “Asyik aja
    pokoknya. Lain kali kalo ada acara seperti ini, gue pasti datang,” ujar Doni,
    salah seorang penonton yang datang jauh-jauh dari Tasikmalaya untuk menonton
    konser ini.


    Contoh 2:
    Konser musik rock tadi malam
    berlangsung meriah. Penonton jingkrak-jingkrak dan berteriak histeris,
    mengelu-elukan idola mereka. Acara berlangsung sejak pukul empat sore hingga
    sepuluh malam. Shalat magrib pun terlewat. Suasana riuh tetap terasa di seluruh
    lapangan. Banyak botol minuman keras dan puntung rokok berserakan di atas
    rumput. Penonton tampaknya menikmati acara yang sangat meriah ini. Namun tak
    jauh dari lokasi konser, seorang penduduk setempat mengajukan keluhannya.
    “Bising banget, Mas. Kami kagak bisa tidur semalaman,” ujarnya.


    Coba perhatikan. Kedua contoh di atas sebenarnya menginformasikan peristiwa
    yang sama. Tapi ada perbedaan yang sangat jelas di dalam sudut pandang
    pemberitaannya.

    Itulah salah satu contoh pembentukan citra. Dua orang jurnalis membentuk citra
    yang berbeda dari informasi yang sama.

    Apakah boleh menampilkan tulisan dengan cara seperti itu? Boleh-boleh saja,
    kok. Secara umum, si jurnalis hanya bermain-main dengan “persepsi”. Setiap
    orang tentu punya persepsi atau pandangan yang berbeda-beda mengenai sesuatu,
    kan?


    * * *

    Nah, itulah beberapa metode yang biasa diterapkan oleh wartawan di dalam
    menyampaikan opini atau misi/visi mereka. Sebenarnya masih banyak teknik
    lainnya. Tapi semoga penjelasan di atas bisa memberi gambaran yang memadai.


    Fakta Kontemporer


    Masalah yang dihadapi oleh Islam saat ini, yakni citra jelek sebagai agama
    teroris, sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor pembentukan citra. Pers yang
    anti Islam dan liberal, yang mendominasi dunia penerbitan kita, tak pernah
    berhenti menulis berita yang menjelek-jelekkan Islam. Secara perlahan dan
    sistematis, mereka membentuk pola pikir pembaca, bahwa Islam itu sadis,
    teroris, dan kejam. Akibatnya, banyak orang yang terpengaruh, dan menjadi takut
    pada Islam.

    Ini adalah masalah terbesar yang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Terlebih
    karena hampir semua pers dikuasai oleh golongan-golongan yang tidak berpihak
    pada Islam.

    Semoga dengan tulisan ini, kita bisa lebih kritis di dalam menyikapi setiap
    berita yang muncul di media massa. Ingatlah bahwa pasti ada "sesuatu"
    di balik setiap karya jurnalistik.

    Tapi, jangan pula kita pesimis. Kiat di atas sebenarnya bermata dua, seperti
    pisau. Ia bisa digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, namun bisa juga
    dipergunakan untuk kebaikan, misalnya untuk berdakwah.

    Semoga bermanfaat Smile

      Waktu sekarang Sat Nov 23, 2024 3:34 pm