Pers Mahasiswa dalam Dinamika Pendidikan
(Sebuah Pengantar)*
Agung Sedayu**
Saat kita berbicara tentang pers
mahasiswa (persma) dan dinamika pendidikan perguruan tinggi, akan banyak makna
tersirat yang akan kita temukan disana. Apa lagi ketika dikaitkan dengan posisi
dan peran pers mahasiswa. Paling tidak ada tiga poin penting yang bisa
ditemukan tentang arti penting keberadaan organisasi kemahasiswaan satu ini.
Pertama, sebagai medium tranformasi informasi, ide maupun gagasan. Kedua,
sebagai sarana aplikasi dan manifestasi pengabdian keilmuan dan yang utama
sebagai media kontrol dan kritik internal maupun eksternal kampus.
Fungsi yang unik dari persma ini
muncul karena persma merupakan perpaduan antara kerja jurnalistik dan budaya
ilmiah kampus yang tergodok dalam cawan cita-cita idealisme mahasiswa.
Bagaimanapun sebuah institusi yang bergerak dibidang jurnalistik, peran pers
mahasiswa tidak jauh berbeda dengan pers umum, yaitu menggali, mengolah dan
menyebarkan informasi sebagai usaha memenuhi hak masyarakat di dalam maupun
luar kampus untuk mendapatkan informasi, sekaligus sebagai medium pendidikan
berdemokrasi dan kotrol sosial.
Akan tetapi jika kita kaji lebih
jauh, pers mahasiswa memiliki beberapa potensi yang tidak tidak dimiliki oleh
pers umum. Posisi pers mahasiswa yang berada di lingkungan kampus, yang
tertasbihkan sebagai salah satu sumber keilmuan, dan sekaligus di lingkungan
masyarakat yang merupakan alam real akumulasi permasalahan.
Posisi ini mengharuskan pegiat persma mampu menangkap
permasalahan yang berkembang di masyarakat, mengusungnya ke dalam kampus
sebagai obyek riset dan penelitian untuk diuraikan dan menemukan alternatif
pemecahannya. Langkah strategis untuk membumikan segala teori keilmuan yang
diperoleh dengan realitas sosial masyarakat yang ada.
Peran ini jelas menjadikan persma
tidak sekedar menjadi laboratorium mahasiswa melakukan riset ataupun studi
kasus akan tetapi lebih jauh merupakan manifestasi dari kesadaran, kepedulian
dan aplikasi nilai pengabdian kepada masyarakat yang termaktub dalam Tri Darma
Perguruan Tinggi, melalui media yang diterbitkan. Bentuk aksi ini dapat mengkikis stigma menara gading kampus
lantaran selama ini banyak dinilai mempunyai kecenderungan cuek dengan
permasalahan yang berkembang di masyarakat.
Sebenarnya wajar jika masyarakat memunculkan stigma
negatif ini, karena memang notabene kampus
tidak memiliki cukup piranti yang mampu melakukan fungsi idealnya. Taruhlah KKN
(kuliah kerja nyata) yang dahulunya pernah menjadi ikon pewujudan pengabdian
kampus kepada masyarakat secara langsung. Ternyata dalam aplikasinya masih
kurang mampu mengakumulasi kebutuhan masyarakat. Malah dibeberapa kampus KKN
tidak lagi dijadikan suatu keharusan bagi mahasiswa. Begitu juga dengan riset
ilmiah dosen dan mahasiswa yang seringkali hanya berhenti di rak-rak
perpustakaan saja.
Sedikit pemahaman di atas merupakan
salah satu alasan persma menolak posisinya sebagai sebuah lembaga penerbitan
khusus yang sekedar berbasis pada bakat dan minat atau lembaga belajar membaca,
menulis, dan membikin media
saja. Begitu juga dengan pengkotakkan
paradigma wilayah garapan media persma yang hanya seputar pernik-pernik di
dalam kampus. Bagaimanapun fungsi pers yang disandang, mengharuskan persma
tidak sekedar memandang masyarakat secara partial.
Segala permasalahan yang berkembang di masyarakat --dalam maupun luar kampus--
merupakan lahan garapan wajib persma.
Pasalnya meskipun kran kebebasan
pers telah –lumayan-- terbuka di Indonesia, ternyata banyak kasus dan
permasalahan kerakyatan yang tidak mampu tercover oleh media umum secara mendalam. Terutama kasus
yang bersifat lokal. Padahal saat ini, seiring dengan pelaksanaan otonomi
daerah, pendidikan dan kontrol sosial lokal daerah merupakan sebuah kebutuhan
yang tidak bisa ditawar.
Tentunya kerja pelaksanaan visi pers
mahasiswa ini bukan merupakan suatu hal yang mudah. Banyak menguras fikiran,
tenaga, waktu, bahkan tidak jarang menyerempet bahaya. Disini peran pihak
birokrasi kampus, yang merupakan pembimbing dan sekaligus pengayom dibutuhkan.
Dukungan terhadap aktifitas pers mahasiswa untuk
meningkatkan kemampuan jurnalistik menjadi sebuah hal yang penting dilakukan.
Dukungan ini tentunya bukan sekedar memberikan surat keputusan (SK) pengesahan
keberadaan pers mahasiswa di kampus. Lebih dari itu kedewasaan birokrasi kampus
dalam menerima kritik yang mungkin termuat dalam isi media pers mahasiswa juga
dibutuhkan. Mengapa? Karena hingga saat ini masih banyak kasus intimidasi baik
secara halus maupun kasar yang malah dilakukan birokrasi kampus kepada pers mahasiswa
karena berita yang disuguhkan.
Selain itu perlindungan hukum oleh
birokrasi kampus juga dibutuhkan, terutama saat persma menerima intimidasi dan
kekerasan dari pihak luar kampus karena pemberitaan atau ketika jurnalis persma
melakukan kerja-kerja jurnalistiknya. Mengingat posisi pers mahasiswa yang
ternyata secara legal formal belum
memiliki kepastian pengakuan sebagai institusi pers. Sayangnya, tidak semua
pihak birokrasi kampus mau dan mampu melakukanya.
Ada sekian banyak contoh kasus rendahnya kepedulian
birokrasi kampus terhadap kekerasan yang menimpa pers mahasiswa. Sebut saja
kasus penyerangan pihak luar ke sekretariat lembaga pers mahasiswa (LPM) Arena,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Agustus tahun 2000 lalu. Saat segerombolan
organisasi massa menyerang sekretariat LPM Arena, merusak dan mengambil
perangkat CPU komputer, yang hingga saat ini, kasus ini belum mampu
terselesaikan. Begitu juga dengan pengrusakan sekretariat LPM Suara USU,
Universitas Sumatra Utara, 27 Mei 2004 lalu.
Hingga saat ini kasus ini juga belum mengalami
perkembangan berarti. Bahkan tampak tidak mendapat perhatian dari pihak
kepolisian, yang sekali lagi disebabkan oleh keengganan pihak birokrasi kampus
untuk berkerjasama. Seperti yang tertulis dalam laporan khusus media Suara USU,
edisi Oktober 2004 :
“Setelah
pelaporan kepihak kepolisian, polisi tidak melakukan observasi ataupun tinjauan
ke lapangan. Tetapi setalah dilakukan aksi oleh forum mahasiswa USU Bersatu
(Formasu), pada Senin, 31 Mei 2004, pukul 15.00 WIB, yang berjarak empat hari
setelah pengaduan barulah pihak kepolisian turun ke lapangan untuk mengambil
gambar kerusakan.”
Padahal logikanya pengrusakan sekretariat Suara USU,
yang notabene juga merupakan salah satu aset dari Universitas Sumatera Utara
seharusnya menjadi tanggung jawab rektor untuk menuntut pihak kepolisian segara
melakukan pengusutan. Akan tetapi sebaliknya pihak rektorat justru terkesan
tidak serius dan menganggap hal itu merupakan suatu hal yang biasa, bukan
bentuk kriminal di dalam kampus. Sikap mendua inilah yang sering kali menjadi
salah satu alasan kengganan kepolisian melakukan pengusutan terhadap
kasus-kasus tersebut karena bagaimanapun di mata hukum, intitusi pendidikan
merupakan wilayah khusus yang tidak serta merta penegak hukum dapat memasuki
tanpa ijin rektor.
Kedua kasus tersebut merupakan contoh rendahnya
kepedulian birokrasi kampus terhadap kekerasan dan intimidasi pihak luar kampus
yang menimpa pers mahasiswa. Akhirnya dalam diskusi ini diharapkan kita dapat
menemukan formulasi untuk menjadikan pers mahasiswa yang lebih mampu mewujudkan
cita-cita Tri Dharma Perguruan Tinggi yang lebih baik
·
Disampiakan
oleh Agung Sedayu, Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dalam
Diskusi Publik Pers Mahasiswa dan Problema Pendidikan, Jogja, 28 Januari 2005
·
Sekjend
PPMI 2004-2005
(Sebuah Pengantar)*
Agung Sedayu**
Saat kita berbicara tentang pers
mahasiswa (persma) dan dinamika pendidikan perguruan tinggi, akan banyak makna
tersirat yang akan kita temukan disana. Apa lagi ketika dikaitkan dengan posisi
dan peran pers mahasiswa. Paling tidak ada tiga poin penting yang bisa
ditemukan tentang arti penting keberadaan organisasi kemahasiswaan satu ini.
Pertama, sebagai medium tranformasi informasi, ide maupun gagasan. Kedua,
sebagai sarana aplikasi dan manifestasi pengabdian keilmuan dan yang utama
sebagai media kontrol dan kritik internal maupun eksternal kampus.
Fungsi yang unik dari persma ini
muncul karena persma merupakan perpaduan antara kerja jurnalistik dan budaya
ilmiah kampus yang tergodok dalam cawan cita-cita idealisme mahasiswa.
Bagaimanapun sebuah institusi yang bergerak dibidang jurnalistik, peran pers
mahasiswa tidak jauh berbeda dengan pers umum, yaitu menggali, mengolah dan
menyebarkan informasi sebagai usaha memenuhi hak masyarakat di dalam maupun
luar kampus untuk mendapatkan informasi, sekaligus sebagai medium pendidikan
berdemokrasi dan kotrol sosial.
Akan tetapi jika kita kaji lebih
jauh, pers mahasiswa memiliki beberapa potensi yang tidak tidak dimiliki oleh
pers umum. Posisi pers mahasiswa yang berada di lingkungan kampus, yang
tertasbihkan sebagai salah satu sumber keilmuan, dan sekaligus di lingkungan
masyarakat yang merupakan alam real akumulasi permasalahan.
Posisi ini mengharuskan pegiat persma mampu menangkap
permasalahan yang berkembang di masyarakat, mengusungnya ke dalam kampus
sebagai obyek riset dan penelitian untuk diuraikan dan menemukan alternatif
pemecahannya. Langkah strategis untuk membumikan segala teori keilmuan yang
diperoleh dengan realitas sosial masyarakat yang ada.
Peran ini jelas menjadikan persma
tidak sekedar menjadi laboratorium mahasiswa melakukan riset ataupun studi
kasus akan tetapi lebih jauh merupakan manifestasi dari kesadaran, kepedulian
dan aplikasi nilai pengabdian kepada masyarakat yang termaktub dalam Tri Darma
Perguruan Tinggi, melalui media yang diterbitkan. Bentuk aksi ini dapat mengkikis stigma menara gading kampus
lantaran selama ini banyak dinilai mempunyai kecenderungan cuek dengan
permasalahan yang berkembang di masyarakat.
Sebenarnya wajar jika masyarakat memunculkan stigma
negatif ini, karena memang notabene kampus
tidak memiliki cukup piranti yang mampu melakukan fungsi idealnya. Taruhlah KKN
(kuliah kerja nyata) yang dahulunya pernah menjadi ikon pewujudan pengabdian
kampus kepada masyarakat secara langsung. Ternyata dalam aplikasinya masih
kurang mampu mengakumulasi kebutuhan masyarakat. Malah dibeberapa kampus KKN
tidak lagi dijadikan suatu keharusan bagi mahasiswa. Begitu juga dengan riset
ilmiah dosen dan mahasiswa yang seringkali hanya berhenti di rak-rak
perpustakaan saja.
Sedikit pemahaman di atas merupakan
salah satu alasan persma menolak posisinya sebagai sebuah lembaga penerbitan
khusus yang sekedar berbasis pada bakat dan minat atau lembaga belajar membaca,
menulis, dan membikin media
saja. Begitu juga dengan pengkotakkan
paradigma wilayah garapan media persma yang hanya seputar pernik-pernik di
dalam kampus. Bagaimanapun fungsi pers yang disandang, mengharuskan persma
tidak sekedar memandang masyarakat secara partial.
Segala permasalahan yang berkembang di masyarakat --dalam maupun luar kampus--
merupakan lahan garapan wajib persma.
Pasalnya meskipun kran kebebasan
pers telah –lumayan-- terbuka di Indonesia, ternyata banyak kasus dan
permasalahan kerakyatan yang tidak mampu tercover oleh media umum secara mendalam. Terutama kasus
yang bersifat lokal. Padahal saat ini, seiring dengan pelaksanaan otonomi
daerah, pendidikan dan kontrol sosial lokal daerah merupakan sebuah kebutuhan
yang tidak bisa ditawar.
Tentunya kerja pelaksanaan visi pers
mahasiswa ini bukan merupakan suatu hal yang mudah. Banyak menguras fikiran,
tenaga, waktu, bahkan tidak jarang menyerempet bahaya. Disini peran pihak
birokrasi kampus, yang merupakan pembimbing dan sekaligus pengayom dibutuhkan.
Dukungan terhadap aktifitas pers mahasiswa untuk
meningkatkan kemampuan jurnalistik menjadi sebuah hal yang penting dilakukan.
Dukungan ini tentunya bukan sekedar memberikan surat keputusan (SK) pengesahan
keberadaan pers mahasiswa di kampus. Lebih dari itu kedewasaan birokrasi kampus
dalam menerima kritik yang mungkin termuat dalam isi media pers mahasiswa juga
dibutuhkan. Mengapa? Karena hingga saat ini masih banyak kasus intimidasi baik
secara halus maupun kasar yang malah dilakukan birokrasi kampus kepada pers mahasiswa
karena berita yang disuguhkan.
Selain itu perlindungan hukum oleh
birokrasi kampus juga dibutuhkan, terutama saat persma menerima intimidasi dan
kekerasan dari pihak luar kampus karena pemberitaan atau ketika jurnalis persma
melakukan kerja-kerja jurnalistiknya. Mengingat posisi pers mahasiswa yang
ternyata secara legal formal belum
memiliki kepastian pengakuan sebagai institusi pers. Sayangnya, tidak semua
pihak birokrasi kampus mau dan mampu melakukanya.
Ada sekian banyak contoh kasus rendahnya kepedulian
birokrasi kampus terhadap kekerasan yang menimpa pers mahasiswa. Sebut saja
kasus penyerangan pihak luar ke sekretariat lembaga pers mahasiswa (LPM) Arena,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Agustus tahun 2000 lalu. Saat segerombolan
organisasi massa menyerang sekretariat LPM Arena, merusak dan mengambil
perangkat CPU komputer, yang hingga saat ini, kasus ini belum mampu
terselesaikan. Begitu juga dengan pengrusakan sekretariat LPM Suara USU,
Universitas Sumatra Utara, 27 Mei 2004 lalu.
Hingga saat ini kasus ini juga belum mengalami
perkembangan berarti. Bahkan tampak tidak mendapat perhatian dari pihak
kepolisian, yang sekali lagi disebabkan oleh keengganan pihak birokrasi kampus
untuk berkerjasama. Seperti yang tertulis dalam laporan khusus media Suara USU,
edisi Oktober 2004 :
“Setelah
pelaporan kepihak kepolisian, polisi tidak melakukan observasi ataupun tinjauan
ke lapangan. Tetapi setalah dilakukan aksi oleh forum mahasiswa USU Bersatu
(Formasu), pada Senin, 31 Mei 2004, pukul 15.00 WIB, yang berjarak empat hari
setelah pengaduan barulah pihak kepolisian turun ke lapangan untuk mengambil
gambar kerusakan.”
Padahal logikanya pengrusakan sekretariat Suara USU,
yang notabene juga merupakan salah satu aset dari Universitas Sumatera Utara
seharusnya menjadi tanggung jawab rektor untuk menuntut pihak kepolisian segara
melakukan pengusutan. Akan tetapi sebaliknya pihak rektorat justru terkesan
tidak serius dan menganggap hal itu merupakan suatu hal yang biasa, bukan
bentuk kriminal di dalam kampus. Sikap mendua inilah yang sering kali menjadi
salah satu alasan kengganan kepolisian melakukan pengusutan terhadap
kasus-kasus tersebut karena bagaimanapun di mata hukum, intitusi pendidikan
merupakan wilayah khusus yang tidak serta merta penegak hukum dapat memasuki
tanpa ijin rektor.
Kedua kasus tersebut merupakan contoh rendahnya
kepedulian birokrasi kampus terhadap kekerasan dan intimidasi pihak luar kampus
yang menimpa pers mahasiswa. Akhirnya dalam diskusi ini diharapkan kita dapat
menemukan formulasi untuk menjadikan pers mahasiswa yang lebih mampu mewujudkan
cita-cita Tri Dharma Perguruan Tinggi yang lebih baik
·
Disampiakan
oleh Agung Sedayu, Sekjend Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dalam
Diskusi Publik Pers Mahasiswa dan Problema Pendidikan, Jogja, 28 Januari 2005
·
Sekjend
PPMI 2004-2005
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as