Persma, Transformasi Ide, dan Kuli Tinta[b][1][/b]
Oleh: Rijal Asep Nugroho[2]
1.
Banyak pandangan
tentang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sebagai
organisasi, katanya LPM didirikan
untuk latihan menulis. Sebagian lagi menolak anggapan itu dan berkata bahwa LPM
lebih berfungsi untuk pengkaderan. Tapi sebagian lainnya lebih suka melihat
sebagai media untuk transformasi ide. Secara umum bisa ditarik garis bahwa LPM
sebagai organisasi yang tentu pula punya garis perjuangan[3]
(cita-cita bersama), harus melakukan perjuangan tersebut secara terus-menerus.
Dalam perjuangan yang berkelanjutan inilah diperlukan suatu sistem dan strategi
pengkaderan yang jitu agar transformasi ide-ide yang diperjuangkan tersebut
bisa berlangsung secara masif.
2.
Untuk menyusun
suatu strategi, pertama kali yang dilakukan adalah memahami tipologi mahasiswa
dan geografis kampus[4]. Beberapa tipe mahasiswa yang secara umum ada
di Indonesia bisa dikenali. Tipe yang menonjol adalah tipe mahasiswa yang suka
gaul[5]
dan menghabiskan masa mahasiswanya di mal-mal, kafe-kafe, diskotik-diskotik,
bahkan ada yang ngedrug. Tipe yang agak menonjol adalah tipe professional
student, ini tipe mahasiswa yang karena alasan tertentu lebih memilih
menghabiskan masa mahasiswanya hanya untuk kuliah dan kuliah. Tipe lainnya
adalah tipe pragmatis student, tipe mahasiswa yang paham terhadap
peliknya persolan kampus, masyarakat dan negara, tapi tak punya kepercayaan
diri untuk merubah keadaan, tipe ini sering diselimuti perasaan kurang pede bahkan
ada pula yang tejebak menjadi penjilat birokrat untuk sekedar mencari aman,
atau pula mencari jabatan. Tipe yang jadi minoritas adalah tipe activis
student, tipe mahasiswa yang tercerahkan dan mempunyai visi yang besar
untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadilan sosial.
3.
Dikaitkan dengan
LPM, kesemua tipe yang ada selalu berhubungan dengan motivasi. Jika dalam
penerimaan anggota di suatu LPM calon anggota ditanya motivasinya, itulah khas
yang akan menunjukkan mahasiswa/calon anggota tersebut masuk tipe yang mana.
LPM harus mampu mengakomodir semua tipe mahasiswa. Biasanya motivasi tipe professional
student masuk ke sebuah LPM dilatarbelakangi perlunya suatu kemampuan/skil
yang akan mendukung proses kuliahnya. Berbeda, tipe pragmatis student maupun
mahasiswa yang sebatas cari kesenangan, lebih termotivasi akan aktualisasi diri
dan tentu saja, penyaluran hobi. Namun untuk tipe activis student,
motivasi yang melatarbelakanginya selalu berkaitan dengan sebuah perjuangan,
LPM dianggap sebagai sebuah media perjuangan yang efektif untuk melakukan
konsolidasi, pengorganisiran, pendidikan politik maupun usaha-usaha pencerahan
demi terwujudnya cita-cita bersama[6].
4.
Selanjutnya untuk
menyusun strategi pengkaderan yang jitu, perlu dipahami akan definisi dari LPM
(dalam hal ini perwujudan ideal akan LPM yang mengakomodir semua tipe). LPM
merupakan media untuk beraktualisasi dalam bentuk kritik yang bermetodologi.
Aktualisasi merupakan sarana penyaluran hobi maupun penampakan eksistensi diri.
Namun tentu saja aktualisasi tidak berakhir di sini, dalam pers mahasiswa
sebagai bagian dari tiga pilar gerakan mahasiswa[7],
aktualisasi haruslah dalam bentuk kritik sebagai manifestasi wacana pemikiran
kritis. LPM juga dituntut untuk menyajikan aktualisasi kritisnya dengan
metodologi yang valid dan bisa dipercaya, di sinilah LPM harus mampu
mengawinkan metodologi jurnalistik dengan metodologi ilmiah. Ini yang akan
membedakan persma dengan pers-pers
lainnya.
5.
Setiap tipe
mahasiswa memang harus ditempatkan sesuai dengan motivasinya, namun lebih dari
itu, LPM berkewajiban melakukan upgrading untuk menaikkan kapasitas dari anggotanya
agar mempunyai pemahaman yang utuh akan pengertian dasar dari sebuah LPM.
Berangkat dari pengertian inilah (pemahaman utuh akan LPM) tentu saja
diharamkan sebuah manajemen yang menitikberatkan pada kemampuan individu dan
spesialisasi[8]
apalagi jika hanya dikaitkan dengan aktualisasi diri. Semisal seorang
fotografer hanya tahu persoalan foto, seorang reporter hanya tahu persoalan
pencarian berita, Tidak! Spesialisasi tak bisa dibenarkan, melainkan
konsentrasi kerja[9].
Konsentrasi kerja berbeda dengan spesialisasi. Konsentrasi kerja berorientasi
akan pemahaman utuh, namun dalam kerja keseharian dilakukan pembagian kerja
agar kinerja bisa efektif dan terkonsentrasi. Konsentrasi kerja juga mengutamakan
kerja sama tim yang baik.
6.
Berikutnya untuk
memanajemen sistem pengkaderan perlu dilakukan levelisasi. Levelisasi bukanlah
dikotomi antaranggota, bukan pula
pembagian status senior-yunior. Levelisasi lebih merupakan strategi
untuk merangkul semua tipe mahasiswa, untuk secara efektif melakukan upgrading
anggota, juga manifestasi dari konsentrasi kerja. Level pertama adalah level
aktualisasi. Level kedua adalah level aktualisasi dalam bentuk kritik. Level
ketiga adalah level aktualisasi dalam bentuk kritik yang bermetodologi. Level
keempat sudah memasuki pemahaman akan manajemen pengorganisasian secara utuh
(ingat dalam konsentrasi kerja, bukan spesialisasi, setiap orang yang dalam pos
organisasi pun harus paham persoalan jurnalistik, atau bisa diartikan punya
latar belakang jurnalistik yang kuat). Level kelima adalah pengurus inti[10]
sebagai stakeholder atau pemegang kebijakan.
7.
Pada level
aktualisasi, anggota terlebih dahulu dibekali dengan kemampuan aktualisasi
dalam jurnalistik (dasar-dasar jurnalistik). Minimalnya adalah penulisan berita
langsung. Kemudian kemampuan ini harus ditindaklanjuti dengan uji materi
melalui berbagai produk/media (sasaran produk ini lebih pada menaikkan jam
terbang). Dalam proses di keseharian, level aktualisasi diarahkan untuk lebih
ideologis (sebagai bagian transformasi ide) yang bentuknya bisa beragam,
semisal adalah diskusi kelompok mingguan dengan tema-tema tertentu sesuai
dengan sasaran yang ingin dicapai. Dalam periode tertentu dilakukan evaluasi,
anggota yang jam terbangnya sudah cukup tinggi dan punya motivasi lebih untuk
menjadi kritis bisa dinaikkan levelnya untuk memasuki level aktualisasi dalam
bentuk kritis.
8.
Pada level
aktualisasi dalm bentuk kritik, anggota terlebih dahulu dibekali dengan
kemampuan analisis dasar terhadap kasus, peristiwa maupun fenomena. Perlu
pemahaman lebih jauh terhadap kasus, peristiwa, maupun fenomena kaitanya dengan
penulisan berita. Adapun pendekatan analisis dasar bisa dipecah menjadi
beberapa pendekatan semisal filsafat dasar, pengantar teologi pembebasan,
analisa sosial dasar, pengantar hukum kritis, analisa ekonomi dasar dll. Dalam
prosesnya, anggota pada level ini harus dibekali dengan wacana kritis secara
lebih radikal[11]
(mengakar). Setiap anggota pada level ini juga harus diuji materi melalui
produk/media yang bisa dievaluasi.
9.
Pada level
aktualisasi dalam bentuk kritik yang bermetodologis, anggota terlebih dahulu
dibekali beberapa metodologi maupun isme-isme yang ada dalam jurnalistik. Pada
level ini, anggota harus lebih matang dalam penulisannya, selanjutnya anggota
harus mampu mengawinkan metodologi ilmiah (penelitian ilmiah, penelitian
sosial, penelitian kulitatif maupun kuantitatif) dengan metodologi jurnalistik
(metode jurnalistik presisi[12],
jurnalistik poststrukturalis[13],
jurnalistik neomarxis[14]).
Dalam mengawinkan metode ilmiah dengan metode jurnalistik inilah yang akan
membedakan persma dengan pers-pers
lainnya.
10.
Yang perlu diingat,
strategi pengkaderan dalam LPM bertujuan untuk transformasi ide-ide perjuangan,
bukan untuk mencetak wartawan maupun kuli tinta.
11.
Yang terakhir, ini
hanyalah satu strategi yang bisa dijadikan referensi, bukan untuk dijadikan
kitab suci. Karena jika terjebak menjadi dogmatis, maka seketika itu pula nalar
kritis menjadi mati. Ini hanyalah satu strategi yang bisa dijadikan referensi,
bukan untuk dijadikan kitab suci, yang terpenting adalah berani untuk berkreasi
dan bereksperimen, nilai kreativitas itu tinggi, karena setiap strategi tempur
lebih dikondisikan pada medan yang dihadapi, beranilah berkreasi, beranilah
bereksperimen, jangan takut salah! Karena anggapan salah dan benar diukur dari
institusi yang berkuasa. Mahasiswa adalah masa belajar, dan tak ada
pembelajaran kalau selalu takut salah. Kalau perlu, lupakan seluruh isi dari
makalah ini, dan berkreasilah sesuka hati sepanjang Anda memahami alasan yang
mendasari maupun filosofinya.
[1]
Disampaikan pada acara DIKLAT Jurnalistik Se-jawa-Bali-Nusa Tenggara
yang diadakan UAPKM-UB pada tanggal 13-15 Mei 2002, untuk materi Strategi
Peningkatan Kualitas SDM Pers Mahasiswa.
[2] Sekjend PPMI 2002-2004, Mahasiswa Teknik Elektro Udayana, Kord.
Pengembangan SDM PMM Maestro FT Unud 2002-2003.
[3] Sejarah Pers dari lahirnya adalah media perlawanan terhadap
penindasan. Jurnalistik untuk jurnalistik sudah harus dikubur bersama kematian
paham objektivisme. Pers mahasiswa adalah media perlawanan, jurnalistik untuk
perlawanan.
[4] Memahami tipologi mahasiswa merupakan bagian memahami lingkungan.
Setiap strategi harus dilandasi pada pemahaman terhadap lingkungan (mengenal
lingkungan)
[5] Khas produk anak zaman postmodernisme yang mencari kesenangan, kebebasan, dan ada
kalanya haus mencari seks, yang mengikuti nabi-nabi seperti Madonna, Westlife
dll.
[6] Teori dasar organisasi selalu mensyaratkan adanya tujuan yang sama.
LPM yang tercerahkan dalam tujuannya selalu mengambil keberpihakan kepada
rakyat, masyarakat banyak yang termarjinalkan, juga berpihak pada kebenaran.
Terkait dengan informasi (media informasi) selalu mengarah pada informasi milik rakyat yang menuju pada kedaulatan rakyat, atau masyarakat
madani.
[7] Tiga pilar gerakan mahasiswa adalah pers mahasiswa, kelompok studi
mahasiswa dan komite aksi mahasiswa.
[8] Spesialisasi sering diidentikkan dengan profesionalitas.
Spesialisasi merupakan syarat yang ditawarkan adam smith untuk membentuk
masyarakat kapitalis, yaitu: Pertama, Negara menahan diri; Kedua, Individu
melakukan spesialisasi.
[9] Konsentrasi kerja ditawarkan kaum sosialis untuk melawan
spesialisasi. Dalam sejarahnya, orang-orang besar selalu punya pemahaman dan
kemampuan yang multidisiplin ilmu (lintas disiplin ilmu). Bahkan seorang
Bethoven merupakan ahli musik yang juga ahli matematik dan fisika, juga
menguasai berbagai bahasa.
[10] Pada level pengurus inti, proses transformasi ide diharapkan sudah
tuntas.
[11] Pengertian radikal telah bergeser mempunyai konotasi yang buruk
sebagai akibat penyesatan oleh agen-agen kapitalis dan orde baru. Radikal
berasal dari kata Radik atau akar, yang diartikan mengakar atau sampai tuntas.
[12] Jurnalisme presisi mengikuti filsafat positivis, sulit untuk
mengembangkan wacana kritis.
[13] Tokoh yang menyumbangkan pemikran besarnya adalah Focoult.
[14] Tokoh yang menyumbangkan pemikran besarnya adalah Habermas.
Oleh: Rijal Asep Nugroho[2]
1.
Banyak pandangan
tentang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sebagai
organisasi, katanya LPM didirikan
untuk latihan menulis. Sebagian lagi menolak anggapan itu dan berkata bahwa LPM
lebih berfungsi untuk pengkaderan. Tapi sebagian lainnya lebih suka melihat
sebagai media untuk transformasi ide. Secara umum bisa ditarik garis bahwa LPM
sebagai organisasi yang tentu pula punya garis perjuangan[3]
(cita-cita bersama), harus melakukan perjuangan tersebut secara terus-menerus.
Dalam perjuangan yang berkelanjutan inilah diperlukan suatu sistem dan strategi
pengkaderan yang jitu agar transformasi ide-ide yang diperjuangkan tersebut
bisa berlangsung secara masif.
2.
Untuk menyusun
suatu strategi, pertama kali yang dilakukan adalah memahami tipologi mahasiswa
dan geografis kampus[4]. Beberapa tipe mahasiswa yang secara umum ada
di Indonesia bisa dikenali. Tipe yang menonjol adalah tipe mahasiswa yang suka
gaul[5]
dan menghabiskan masa mahasiswanya di mal-mal, kafe-kafe, diskotik-diskotik,
bahkan ada yang ngedrug. Tipe yang agak menonjol adalah tipe professional
student, ini tipe mahasiswa yang karena alasan tertentu lebih memilih
menghabiskan masa mahasiswanya hanya untuk kuliah dan kuliah. Tipe lainnya
adalah tipe pragmatis student, tipe mahasiswa yang paham terhadap
peliknya persolan kampus, masyarakat dan negara, tapi tak punya kepercayaan
diri untuk merubah keadaan, tipe ini sering diselimuti perasaan kurang pede bahkan
ada pula yang tejebak menjadi penjilat birokrat untuk sekedar mencari aman,
atau pula mencari jabatan. Tipe yang jadi minoritas adalah tipe activis
student, tipe mahasiswa yang tercerahkan dan mempunyai visi yang besar
untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadilan sosial.
3.
Dikaitkan dengan
LPM, kesemua tipe yang ada selalu berhubungan dengan motivasi. Jika dalam
penerimaan anggota di suatu LPM calon anggota ditanya motivasinya, itulah khas
yang akan menunjukkan mahasiswa/calon anggota tersebut masuk tipe yang mana.
LPM harus mampu mengakomodir semua tipe mahasiswa. Biasanya motivasi tipe professional
student masuk ke sebuah LPM dilatarbelakangi perlunya suatu kemampuan/skil
yang akan mendukung proses kuliahnya. Berbeda, tipe pragmatis student maupun
mahasiswa yang sebatas cari kesenangan, lebih termotivasi akan aktualisasi diri
dan tentu saja, penyaluran hobi. Namun untuk tipe activis student,
motivasi yang melatarbelakanginya selalu berkaitan dengan sebuah perjuangan,
LPM dianggap sebagai sebuah media perjuangan yang efektif untuk melakukan
konsolidasi, pengorganisiran, pendidikan politik maupun usaha-usaha pencerahan
demi terwujudnya cita-cita bersama[6].
4.
Selanjutnya untuk
menyusun strategi pengkaderan yang jitu, perlu dipahami akan definisi dari LPM
(dalam hal ini perwujudan ideal akan LPM yang mengakomodir semua tipe). LPM
merupakan media untuk beraktualisasi dalam bentuk kritik yang bermetodologi.
Aktualisasi merupakan sarana penyaluran hobi maupun penampakan eksistensi diri.
Namun tentu saja aktualisasi tidak berakhir di sini, dalam pers mahasiswa
sebagai bagian dari tiga pilar gerakan mahasiswa[7],
aktualisasi haruslah dalam bentuk kritik sebagai manifestasi wacana pemikiran
kritis. LPM juga dituntut untuk menyajikan aktualisasi kritisnya dengan
metodologi yang valid dan bisa dipercaya, di sinilah LPM harus mampu
mengawinkan metodologi jurnalistik dengan metodologi ilmiah. Ini yang akan
membedakan persma dengan pers-pers
lainnya.
5.
Setiap tipe
mahasiswa memang harus ditempatkan sesuai dengan motivasinya, namun lebih dari
itu, LPM berkewajiban melakukan upgrading untuk menaikkan kapasitas dari anggotanya
agar mempunyai pemahaman yang utuh akan pengertian dasar dari sebuah LPM.
Berangkat dari pengertian inilah (pemahaman utuh akan LPM) tentu saja
diharamkan sebuah manajemen yang menitikberatkan pada kemampuan individu dan
spesialisasi[8]
apalagi jika hanya dikaitkan dengan aktualisasi diri. Semisal seorang
fotografer hanya tahu persoalan foto, seorang reporter hanya tahu persoalan
pencarian berita, Tidak! Spesialisasi tak bisa dibenarkan, melainkan
konsentrasi kerja[9].
Konsentrasi kerja berbeda dengan spesialisasi. Konsentrasi kerja berorientasi
akan pemahaman utuh, namun dalam kerja keseharian dilakukan pembagian kerja
agar kinerja bisa efektif dan terkonsentrasi. Konsentrasi kerja juga mengutamakan
kerja sama tim yang baik.
6.
Berikutnya untuk
memanajemen sistem pengkaderan perlu dilakukan levelisasi. Levelisasi bukanlah
dikotomi antaranggota, bukan pula
pembagian status senior-yunior. Levelisasi lebih merupakan strategi
untuk merangkul semua tipe mahasiswa, untuk secara efektif melakukan upgrading
anggota, juga manifestasi dari konsentrasi kerja. Level pertama adalah level
aktualisasi. Level kedua adalah level aktualisasi dalam bentuk kritik. Level
ketiga adalah level aktualisasi dalam bentuk kritik yang bermetodologi. Level
keempat sudah memasuki pemahaman akan manajemen pengorganisasian secara utuh
(ingat dalam konsentrasi kerja, bukan spesialisasi, setiap orang yang dalam pos
organisasi pun harus paham persoalan jurnalistik, atau bisa diartikan punya
latar belakang jurnalistik yang kuat). Level kelima adalah pengurus inti[10]
sebagai stakeholder atau pemegang kebijakan.
7.
Pada level
aktualisasi, anggota terlebih dahulu dibekali dengan kemampuan aktualisasi
dalam jurnalistik (dasar-dasar jurnalistik). Minimalnya adalah penulisan berita
langsung. Kemudian kemampuan ini harus ditindaklanjuti dengan uji materi
melalui berbagai produk/media (sasaran produk ini lebih pada menaikkan jam
terbang). Dalam proses di keseharian, level aktualisasi diarahkan untuk lebih
ideologis (sebagai bagian transformasi ide) yang bentuknya bisa beragam,
semisal adalah diskusi kelompok mingguan dengan tema-tema tertentu sesuai
dengan sasaran yang ingin dicapai. Dalam periode tertentu dilakukan evaluasi,
anggota yang jam terbangnya sudah cukup tinggi dan punya motivasi lebih untuk
menjadi kritis bisa dinaikkan levelnya untuk memasuki level aktualisasi dalam
bentuk kritis.
8.
Pada level
aktualisasi dalm bentuk kritik, anggota terlebih dahulu dibekali dengan
kemampuan analisis dasar terhadap kasus, peristiwa maupun fenomena. Perlu
pemahaman lebih jauh terhadap kasus, peristiwa, maupun fenomena kaitanya dengan
penulisan berita. Adapun pendekatan analisis dasar bisa dipecah menjadi
beberapa pendekatan semisal filsafat dasar, pengantar teologi pembebasan,
analisa sosial dasar, pengantar hukum kritis, analisa ekonomi dasar dll. Dalam
prosesnya, anggota pada level ini harus dibekali dengan wacana kritis secara
lebih radikal[11]
(mengakar). Setiap anggota pada level ini juga harus diuji materi melalui
produk/media yang bisa dievaluasi.
9.
Pada level
aktualisasi dalam bentuk kritik yang bermetodologis, anggota terlebih dahulu
dibekali beberapa metodologi maupun isme-isme yang ada dalam jurnalistik. Pada
level ini, anggota harus lebih matang dalam penulisannya, selanjutnya anggota
harus mampu mengawinkan metodologi ilmiah (penelitian ilmiah, penelitian
sosial, penelitian kulitatif maupun kuantitatif) dengan metodologi jurnalistik
(metode jurnalistik presisi[12],
jurnalistik poststrukturalis[13],
jurnalistik neomarxis[14]).
Dalam mengawinkan metode ilmiah dengan metode jurnalistik inilah yang akan
membedakan persma dengan pers-pers
lainnya.
10.
Yang perlu diingat,
strategi pengkaderan dalam LPM bertujuan untuk transformasi ide-ide perjuangan,
bukan untuk mencetak wartawan maupun kuli tinta.
11.
Yang terakhir, ini
hanyalah satu strategi yang bisa dijadikan referensi, bukan untuk dijadikan
kitab suci. Karena jika terjebak menjadi dogmatis, maka seketika itu pula nalar
kritis menjadi mati. Ini hanyalah satu strategi yang bisa dijadikan referensi,
bukan untuk dijadikan kitab suci, yang terpenting adalah berani untuk berkreasi
dan bereksperimen, nilai kreativitas itu tinggi, karena setiap strategi tempur
lebih dikondisikan pada medan yang dihadapi, beranilah berkreasi, beranilah
bereksperimen, jangan takut salah! Karena anggapan salah dan benar diukur dari
institusi yang berkuasa. Mahasiswa adalah masa belajar, dan tak ada
pembelajaran kalau selalu takut salah. Kalau perlu, lupakan seluruh isi dari
makalah ini, dan berkreasilah sesuka hati sepanjang Anda memahami alasan yang
mendasari maupun filosofinya.
[1]
Disampaikan pada acara DIKLAT Jurnalistik Se-jawa-Bali-Nusa Tenggara
yang diadakan UAPKM-UB pada tanggal 13-15 Mei 2002, untuk materi Strategi
Peningkatan Kualitas SDM Pers Mahasiswa.
[2] Sekjend PPMI 2002-2004, Mahasiswa Teknik Elektro Udayana, Kord.
Pengembangan SDM PMM Maestro FT Unud 2002-2003.
[3] Sejarah Pers dari lahirnya adalah media perlawanan terhadap
penindasan. Jurnalistik untuk jurnalistik sudah harus dikubur bersama kematian
paham objektivisme. Pers mahasiswa adalah media perlawanan, jurnalistik untuk
perlawanan.
[4] Memahami tipologi mahasiswa merupakan bagian memahami lingkungan.
Setiap strategi harus dilandasi pada pemahaman terhadap lingkungan (mengenal
lingkungan)
[5] Khas produk anak zaman postmodernisme yang mencari kesenangan, kebebasan, dan ada
kalanya haus mencari seks, yang mengikuti nabi-nabi seperti Madonna, Westlife
dll.
[6] Teori dasar organisasi selalu mensyaratkan adanya tujuan yang sama.
LPM yang tercerahkan dalam tujuannya selalu mengambil keberpihakan kepada
rakyat, masyarakat banyak yang termarjinalkan, juga berpihak pada kebenaran.
Terkait dengan informasi (media informasi) selalu mengarah pada informasi milik rakyat yang menuju pada kedaulatan rakyat, atau masyarakat
madani.
[7] Tiga pilar gerakan mahasiswa adalah pers mahasiswa, kelompok studi
mahasiswa dan komite aksi mahasiswa.
[8] Spesialisasi sering diidentikkan dengan profesionalitas.
Spesialisasi merupakan syarat yang ditawarkan adam smith untuk membentuk
masyarakat kapitalis, yaitu: Pertama, Negara menahan diri; Kedua, Individu
melakukan spesialisasi.
[9] Konsentrasi kerja ditawarkan kaum sosialis untuk melawan
spesialisasi. Dalam sejarahnya, orang-orang besar selalu punya pemahaman dan
kemampuan yang multidisiplin ilmu (lintas disiplin ilmu). Bahkan seorang
Bethoven merupakan ahli musik yang juga ahli matematik dan fisika, juga
menguasai berbagai bahasa.
[10] Pada level pengurus inti, proses transformasi ide diharapkan sudah
tuntas.
[11] Pengertian radikal telah bergeser mempunyai konotasi yang buruk
sebagai akibat penyesatan oleh agen-agen kapitalis dan orde baru. Radikal
berasal dari kata Radik atau akar, yang diartikan mengakar atau sampai tuntas.
[12] Jurnalisme presisi mengikuti filsafat positivis, sulit untuk
mengembangkan wacana kritis.
[13] Tokoh yang menyumbangkan pemikran besarnya adalah Focoult.
[14] Tokoh yang menyumbangkan pemikran besarnya adalah Habermas.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as