Mukadimah
Makna iman dalam perspektif Islam bukanlah
sekadar percaya melainkan harus melingkupi tiga aspek yang kesemuanya ada pada
manusia yakni qalb (hati), lisan dan amal shaleh. Artinya seseorang yang
beriman harus meyakini dalam hatinya dengan sesungguh-sungguhnya tentang semua
hal yang harus diyakininya. Kemudian menjelaskan dengan lisannya sebagai sebuah
pernyataan keimanan yang membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Dan akhirnya
dijabarkan dan dibuktikan secara kongkrit dalam amal perbuatannya
Tidak bisa dikatakan beriman seseorang, bila
ia tidak memenuhi tiga kriteria kelengkapan iman tersebut. Misalnya seperti
paman Nabi saw. yakni Abu Thalib, yang sebenarnya di lubuk hatinya meyakini
kebenaran risalah yang dibawa kemenakannya dan sikap serta perilakunya
menunjukkan bahwa ia selalu siap menjaga dan melindungi Rasulullah. Namun
karena beliau tidak juga kunjung mau melafalkan keimanannya, maka beliau mati
tetap dalam keadaan kafir dan dikatakan kelak masuk neraka, walaupun dengan
hukuman teringan. Hal yang sebaliknya justru ada pada tokoh munafik yakni
Abdullah bin Ubay bin Salul. Sosok ini menggembor-gemborkan lafas keimanannya
dan menunjukkan sikap serta amalan selaku seorang muslim, tetapi hatinya
mengingkari hal itu dan senantiasa diliputi hasad, kebusukan dan kebencian
sehingga selalu secara diam-diam sibuk melakukan intrik-intrik,
manuver-manuver, ”kasak-kusuk”, membuat dan menyebarkan isu, fitnah dan
provokasi. Pendek kata benar-benar musuh dalam selimut yang menggunting dalam
lipatan
Selanjutnya tipe ketiga, yakni tipe orang
yang meyakini keimanan dalam hatinya, melafalkannya namun enggan melaksanakan
konsekuensi-konsekuensi keimanannya tersebut. Orang-orang seperti ini
dikategorikan orang-orang “fasiq”.
Kemudian hal-hal apa saja yang harus diimani? Obyek yang
harus diimani adalah semua yang termasuk dalam rukun iman yang enam, seperti
yang tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 285 dan kemudian hadist Jibril yang
terkenal. Keenam rukun iman tersebut ialah iman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, takdir yang baik dan
buruk serta hari kiamat
Keimanan seseorang terhadap rukun iman
tersebut membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dijalaninya. Iman
kepada Allah seyogianya membuat seseorang menjadi taat kepada-Nya, menjalankan
semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya serta selalu
bersandar dan memohon pertolongan kepada-Nya, takut kepada ancaman dan
neraka-Nya dan rindu serta mengharapkan ampunan, pahala dan syurga-Nya. Di
samping itu tentu saja selalu ingat dan bersyukur kepada-Nya.
Berikutnya iman kepada malaikat membawa
konsekuensi kita berhati-hati dalam sikap, perkataan, dan perbuatan karena di
kanan dan di kiri kita ada Raqib dan Atid yang siap mencatat segala yang baik
maupun yang buruk yang kita kerjakan.
Sedangkan iman kepada kitab-kitab-Nya membuat
kita mengimani semua kitab suci yang berasal dari-Nya. Namun kitab-kitab suci
terdahulu adalah sesuatu yang sudah habis masa berlakunya dan telah dikoreksi
dan disempurnakan di dalam kitab yang terakhir: Al-Qur’an. Sehingga Al-Qur’an
sajalah yang menjadi sumber acuan kita dalam segala aspek kehidupan.
Kemudian iman kepada nabi-nabi membawa
konsekuensi kita harus meneladaninya. Dan tidak membeda-bedakannya (QS 2:285).
Namun tentu saja uswah dan panutan utama kita adalah Rasulullah Muhammad SAW
(QS 33:21)
Berikutnya iman kepada takdir yang baik dan
buruk membuat kita akan selalu berusaha, berikhtiar optimal dan kemudian
bertawakal atau berserah diri kepada Allah. Jika berhasil, itu berarti takdir
baik berupa karunia Allah yang haus disyukuri dan bila gagal atau terkena
musibah, itu berarti taqdir buruk berupa cobaan yang harus disabari dan
diterima.
Dan akhirnya iman kepada hari akhir atau
kiamat akan menyebabkan kita selalu waspada dan berhitung atau mengkalkulasi
pahala dan dosa kita serta mempersiapkan bekal untuk hari kiamat itu (QS 59:18)
berupa ketakwaan karena segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah kelak.
Dinamika iman dan bagaimana berinteraksi dengan kedinamisan iman
tersebut.
قَالَتِ الْأَعْرَابُ
ءَامَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ
الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ
مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badwi itu berkata, “Kami telah
beriman". Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi
katakanlah, “Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan
mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Hujurat:14)
Dari ayat tersebut di atas kita bisa melihat
bahwa masalah iman bukanlah masalah sederhana, karena dibutuhkan waktu, jihad,
kesungguh-sungguhan dalam ibadah, ketabahan selain juga faktor hidayah untuk
membuat keimanan seseorang benar-benar mengakar, menukik, bahkan menghunjam ke
dalam lubuk hati.
Kemudian persoalan berikutnya adalah
kenyataan bahwa iman itu dinamis, fluktuatif atau turun-naik. Jadi setelah iman
sudah ada di dalam hati, penting untuk selalu dideteksi apakah iman kita
meningkat dan bertambah atau justru menurun dan berkurang.
Dalam hadis Nabi saw. disebutkan, “Al-iman
yazid wa yanqush” (Iman bisa bertambah atau berkurang). Karena itu
seorang yang beriman harus selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan
keimanan nya. Seperti halnya tanaman, pohon, atau tumbuh-tumbuhan yang dapat
kering, layu, atau bahkan mati bila tak disiram atau diberi pupuk, demikian
pula halnya dengan keimanan yang dimiliki seseorang.
Begitu rentannya hati terhadap fluktuasi iman
digambarkan oleh Abdullah bin Rawahah ra, “Berbolak-baliknya hati lebih
cepat dibanding air yang menggelegak di periuk tatkala mendidih.” Dari
tinjauan etimologisnya saja, hati, qalban adalah sesuatu yang berbolak-balik
sudah, nampak pula kerentanannya. Dan karena iman tempat di hati, seyogianyalah
kita mewaspadai berbolak-baliknya hati dan turun naiknya iman.
Karena itu dalam surat Ali Imran: 8, Allah
menuntun agar kita berdoa minta diberikan hidayah, rahmat dan ketetapan hati.
Demikian pula doa yang dicontohkan Nabi saw. ”Ya Allah, yang pandai
membolak-balikkan hati, tetapkan hati hamba pada agamamu.” Mengapa kita
harus terus berdoa seperti itu? Karena usaha menjaga keimanan agar tetap
survive dan kalau bisa meningkat adalah hal yang sangat berat, apalagi sampai
membuat iman itu berbuah.
Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah
mengungkapkan kata-kata bijak, ”Dunia adalah ladang tempat menanam kebajikan
yang hasilnya akan kita tuai, panen di akhirat kelak.”
Menurut Ibnul Qayyim pula, iman yang dimiliki
seseorang adalah modal berupa bibit. Dan agar bibit itu tumbuh dan berbuah ia
harus senantiasa disiram dan dipupuk oleh ketaatan kepada Allah.
Kita memang tidak bisa mengukur atau
memprediksikan besar kecilnya kadar keimanan seseorang, namun paling tidak kita
bisa melihat bias dan imbas keimanannya dari libasut taqwa, pakaian
takwa yang dimilikinya dan implementasi iman berupa ibadah, amal shaleh dan
ketaatan yang dilakukannya.
Seberapa besar dan banyak bibit yang dimiliki
seseorang dan sejauh mana ia merawat, menjaga, menyirami dan memberinya pupuk
dengan ketaatannya kepada Allah, maka sebegitu pulalah buah yang akan dituainya
kelak di akhirat.
Rasulullah saw. pun menegaskan, “Al iman
yaazidu bi thoat wa yanqushu bil maksiat. Iman akan bertambah/meningkat
dengan ketaatan dan akan berkurang atau menurun dengan kemaksiatan yang
dilakukan.
1. Sebab-sebab bertambah dan berkurangnya
iman
Merujuk kepada hadis Nabi saw. di atas, jelas
nampak bahwa sebab utama bertambahnya keimanan seseorang adalah jika ia
berusaha selalu taat kepada Allah. Allah akan mencintai dan merahmati
orang-orang yang taat kepada-Nya dan rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132). Semakin
besar ketaatan yang diberikan seseorang kepada Allah apakah itu dalam rangka
menuruti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya maka akan semakin meningkatlah
kadar keimanannya.
Sebab-sebab yang lainnya yang juga bisa
menjaga dan meningkatkan kadar keimanan adalah bila seseorang selalu mengingat
Allah dan banyak bersyukur kepada-Nya. Atau bila diberi cobaan berupa musibah
tetap sabar dan bersandar pada Allah serta tak pernah berburuk sangka pada-Nya
(QS 29: 2) karena cobaan memang secara sunatullah terkait dengan pengujian
kadar keimanan.
Ada sebuah siklus positif yang bisa terjadi
pada diri seorang mukmin yakni bila ia memiliki keimanan, iman akan
mendorongnya taat, menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang
dikehendaki-Nya (QS 51: 56). Kemudian ibadah akan menghasilkan ketakwaan dan
ketakwaan dengan sendirinya akan meningkatkan keimanan seseorang.
Sedangkan sebab menurun atau berkurang dan
bahkan hilangnya keimanan seseorang adalah maksiat yang dilakukannya. Semakin
banyak kemaksiatan kepada Allah yang dilakukan seseorang akan semakin menurun
kadar keimanannya. Bahkan jika seseorang terjerumus melakukan dosa besar, pada
saat ia melakukan maksiat itu dikatakan iman nya habis sama sekali.
Imam Ghazali mengumpamakan hati seseorang
seperti lembaran putih bersih. Dosa yang disebabkan maksiat yang dilakukannya
akan menyebabkan titik hitam di lembaran putih itu. Semakin banyak dosa
kemaksiatan yang dilakukannya, maka lembaran itu akan hitam kelam. Dan hati
yang pekat seperti itu tidak lagi sensitif terhadap dosa-dosanya.
Artinya tidak ada perasaan takut atau menyesal
pada saat atau sesudah melakukan kemaksiatan. Apabila kemaksiatan yang
dilakukan seseorang masih terkatagori as sayyiat atau dosa kecil, maka
kebajikan-kebajikan yang kita lakukan insya Allah akan mengkompensasi dosa dosa
kecil tersebut. Dalam hadis Nabi SAW dikatakan, “Bertakwalah kepada Allah di
manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik dan
pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. “
Sementara itu di dalam surat Ali Imran ayat
135 disebutkan ciri orang beriman dan bertakwa adalah bila melakukan kekejian
atau menzhalimi diri sendiri (dengan berbuat dosa ) mereka cepat-cepat ingat
Allah dan mohon ampunan atas dosa-dosanya Allah Taala memang menyuruh kita
bersegera bertobat memohon ampunan dan surga-Nya (QS 3: 133).
Hal yang harus dipenuhi dalam tobat adalah
adanya unsur menyesali maksiat yang dilakukan, kemudian berhenti dan ketika
berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi.
2. Dampak Positif atau Manfaat Kekuatan Iman
a. Memiliki kekuatan hubungan dengan Allah. ”Al-quwwatu
silah billah“ (kekuatan hubungan dengan Allah ) adalah buah keimanan yang
paling nyata. Karena seorang mukmin yang memiliki kekuatan hubungan dengan
Allah tidak akan pernah berputus asa dari rahmat Allah, ia tidak akan karam
dalam keputus-asaan. Karena ia akan selalu berpaling kepada Allah. Ia yakin
Allah akan selalu menolong dan tidak pernah mengecewakannya. Cobaan sebesar
apapun tak pernah membuatnya berburuk sangka terhadap Allah.
b. Memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa.
Iman yang dimiliki seseorang membuatnya tidak pernah takut pada manusia
sepanjang ia tidak melakukan kesalahan. Ia hanya takut kepada Allah saja.
Dengan mengingat Allah, hatinya akan senantiasa diliputi ketenteraman dan
ketenangan (QS 13:28), sehingga Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh
menakjubkan urusannya orang beriman, bila diberi karunia ia bersyukur dan itu
baik untuknya. Dan bila diberi musibah ia bersabar dan itu lebih baik untuknya.”
Iman dalam diri seorang mukmin menjadi stabilisator bagi jiwanya.
Karunia yang teramat besar tidak akan pernah membuatnya ujub, takabur atau lupa
diri melainkan ia tetap tenang dan mengembalikannya kepada Dzat yang Maha
memberi: bahwa itu semua karunia Allah. Dan cobaan sebesar dan seberat apapun
juga tidak akan membuatnya hilang akal, terguncang jiwanya dan berburuk sangka
atau berpaling dari Allah.
c.
Memiliki kemampuan memikul beban apakah itu beban
kehidupan ataupun beban dijalan Allah. Orang yang beriman akan mampu memikul
beban kehidupan ataupun beban di jalan Allah tanpa berkeluh kesah. Ia akan
berikhtiar semaksimal mungkin dan mengembalikan masalah hasilnya kepada Allah.
Fatimah putri Nabi saw.
adalah contoh luar biasa seseorang yang ikhlas dan sanggup memikul beban yang
berat. Suatu saat ketika ia bersama bapak dan ibunya serta pengikut –pengikut
risalah bapaknya dan juga kaum nya mengalami tahun-tahun sulit masa
pemboikotan, ibunda Khadijah sempat dengan sendu berujar kepadanya “Kasihan
anakku sekecil ini kau sudah menderita,” jawaban Fatimah benar-benar
mencengangkannya, “Ibu …mengapa ibu berkata begitu? cobaan yang lebih berat
dari ini pun aku sanggup”
Memiliki ketabahan dan kesabaran dalam menanggulangi musibah.
Sesungguhnya setiap mukmin akan dicoba oleh Allah dengan berbagai cobaan
keimanan. Dan siapa yang sabar dan mengembalikan segalanya kepada Allah, ia
akan diberi kabar gembira berupa, kasih sayang, kesertaan, ampunan dan
surganya. Ketabahan dan kesabaran memang tak ada batasnya. Namun balasan dari
Allah bagi orang –orang yang sabar pun tak ada batasnya. Tak terhitung dan
berlimpah ruah seperti luapan air bah.
3. Tanda-tanda keimanan
Bukti keimanan seseorang yang paling nyata tentu saja adalah amal
shaleh yang dilakukannya dan libasut taqwa (pakaian takwa) yang
dikenakannya. Yang membedakan seorang muslim dari kufri adalah keimanannya
kepada hal yang ghaib. Kemudian juga shalat karena dalam hadis dikatakan:bainal
abdi wal kafir tarkus shalat , bainal abdi was syirik tarkus shalat (batas
antara seorang hamba Allah dengan yang kafir adalah meninggalkan shalat dan
batas seorang hamba Allah dengan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat. )
Di dalam QS 49:15 disebutkan orang yang beriman ialah yang tak pernah
sedikit pun ragu terhadap yang diimaninya. Kemudian mampu mengatasi ujian-ujian
keimanan dari Allah (QS 29:2) ada satu surat di dalam Al Quran yang berjudul
Al-Mu’minun (orang-orang beriman )
Surat itu merinci karakterikristik orang -orang yang beriman yakni
khusyuk dalam shalat, menjauhi perbuatan dan perkataan yang sia-sia, menunaikan
zakat, menjaga kemaluannya, menjaga amanah-amanah dan menepati janji serta
menjaga shalat-shalatnya.
Orang yang beriman dengan memenuhi kriteria-kriteria di atas akan
mewarisi syurga Firdaus dan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ciri mukmin yang lain ada pada QS 48:29, yang bahkan ciri keimanannya
itu tampak pula secara fisik berupa dahi yang hitam /berbekas karena selalu
bersujud kepada-Nya.
Dan akhirnya orang yang istiqamah dalam keimanannya akan selalu
memiliki sikap at tafa’ul (optimis), as syajaah (berani), dan ith
mi’nan (tenang ) dalam kehidupan ini.
4. Terapi atau cara meningkatkan keimanan
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk
meningkatkan keimanan seseorang di antaranya ialah:
a.
Shalat tepat waktu dan khusyu, juga memperbanyak shalat
nawaafil.
b.
Shaum. Selain shaum di bulan Ramadhan juga shaum-shaum
sunnah seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, Daud, Arafah, dan lain-lain.
c.
Memperbanyak tilawah quran. Dalam QS 8:2 disebutkan
ciri orang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati
mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambah tambahlah keimanan mereka.
d.
Dzikir dan takafur. Rasulullah saw. terlihat menangis
ketika turun surat QS 3: 190-191. Bilal lalu bertanya dan beliau menjawab:
celakalah orang yang membaca ayat ini namun tak kunjung menarik pelajaran darinya.
Dan kedua ayat tersebut berisikan tentang bertakafur terhadap tanda-tanda
kekuasaannya.
e.
Jalasah ruhiah. Acara mabit, menginap, qiamul lail dan
sahur bersama untuk kemudian berpuasa dan bila memungkinkan ifthar shaum
bersama dengan didahului taujih, ruhiah akan besar efeknya bagi keimanan
seseorang. Muadz bin Jabbal dulu acap mengajak sahabat-sahabat yang lain, “ijlis
bina‘ nu’minu sa’ah” (duduklah bersama kami, berimanlah sejenak dengan
penuh konsentrasi).
f.
Dzikrul maut. Mengingat kematian yang pasti datangnya
apakah dengan menjenguk dan mentalkinkan orang yang sakaratul maut atau
memandikan, mengkafani dan menguburkan maupun ziarah kubur kesemuanya juga
dapat meningkatkan keimanan seseorang.
SUPLEMEN
Akidah secara etimologis berarti yang terikat. Dr Abdullah Azzam
mendefinisikan istilah akidah sebagai perjanjian yang teguh dan kuat, terpatri
dalam hati dan tertanam di lubuk hati yang paling dalam. Sementara Imam Syahid
Hasan Al-Banna menjabarkan akidah sebagai urusan yang wajib diyakini
kebenarannya oleh hati menenteramkan jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak
bercampur dengan keraguan.
Akidah yang diajarkan Rasulullah saw. adalah tauhid dan tujuannya ialah
untuk memperkuat ikatan /keyakinan dan hubungan dengan Allah.
Ada dua metode dalam mempelajari akidah atau yang berkaitan dengan
masalah keimanan.
1. Metode asasi yakni metode salafi
atau salafus shaleh.
2. Metode ghairu asasi yakni metode
ilmu kalam.
Metode asasi adalah metode yang digunakan kaum salafus shaleh yakni
metode yang digunakan di era Rasulullah, di era sahabat, tabi’in dan tabit
tabi’in.
Metode ini adalah suatu cara mengenal Allah melalui Allah seperti
ungkapan Abu Bakar Sidik, “Kalau Allah tidak memperkenalkan dirinya kepadaku
niscaya aku tidak mengenalnya”.
Metode ini merupakan metode ahlus sunnah wal jama’ah dan metode yang
kamil serta syamil.
Sementara metode kedua adalah metode ghairu asasi yang lebih dikenal
sebagai metode ilmu kalam yakni menggunakan upaya pendekatan filosofis dan daya
nalar dalam masalah keimanan atau akidah.
Metode ilmu kalam terbukti tidak dapat memberi atsar atau pengaruh
keimanan bagi orang yang mempelajarinya juga tidak bisa menuntun kepada
perilaku atau akhlak yang islami. Dan bukannya membuat kita semakin yakin malah
semakin ragu kepada Allah dan Risalahnya.
Tokoh-tokoh ilmu kalam adalah Abul Hasan Al-Asyhari, Imam Ar-Razi dan
Imam Al-Juwairi, namun mereka akhirnya insaf dan menyadari bahwa metode paling
efektif dalam mempelajari dan menanamkan keimanan adalah metode Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
Wallahu a’lam
Makna iman dalam perspektif Islam bukanlah
sekadar percaya melainkan harus melingkupi tiga aspek yang kesemuanya ada pada
manusia yakni qalb (hati), lisan dan amal shaleh. Artinya seseorang yang
beriman harus meyakini dalam hatinya dengan sesungguh-sungguhnya tentang semua
hal yang harus diyakininya. Kemudian menjelaskan dengan lisannya sebagai sebuah
pernyataan keimanan yang membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu. Dan akhirnya
dijabarkan dan dibuktikan secara kongkrit dalam amal perbuatannya
Tidak bisa dikatakan beriman seseorang, bila
ia tidak memenuhi tiga kriteria kelengkapan iman tersebut. Misalnya seperti
paman Nabi saw. yakni Abu Thalib, yang sebenarnya di lubuk hatinya meyakini
kebenaran risalah yang dibawa kemenakannya dan sikap serta perilakunya
menunjukkan bahwa ia selalu siap menjaga dan melindungi Rasulullah. Namun
karena beliau tidak juga kunjung mau melafalkan keimanannya, maka beliau mati
tetap dalam keadaan kafir dan dikatakan kelak masuk neraka, walaupun dengan
hukuman teringan. Hal yang sebaliknya justru ada pada tokoh munafik yakni
Abdullah bin Ubay bin Salul. Sosok ini menggembor-gemborkan lafas keimanannya
dan menunjukkan sikap serta amalan selaku seorang muslim, tetapi hatinya
mengingkari hal itu dan senantiasa diliputi hasad, kebusukan dan kebencian
sehingga selalu secara diam-diam sibuk melakukan intrik-intrik,
manuver-manuver, ”kasak-kusuk”, membuat dan menyebarkan isu, fitnah dan
provokasi. Pendek kata benar-benar musuh dalam selimut yang menggunting dalam
lipatan
Selanjutnya tipe ketiga, yakni tipe orang
yang meyakini keimanan dalam hatinya, melafalkannya namun enggan melaksanakan
konsekuensi-konsekuensi keimanannya tersebut. Orang-orang seperti ini
dikategorikan orang-orang “fasiq”.
Kemudian hal-hal apa saja yang harus diimani? Obyek yang
harus diimani adalah semua yang termasuk dalam rukun iman yang enam, seperti
yang tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 285 dan kemudian hadist Jibril yang
terkenal. Keenam rukun iman tersebut ialah iman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, takdir yang baik dan
buruk serta hari kiamat
Keimanan seseorang terhadap rukun iman
tersebut membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang harus dijalaninya. Iman
kepada Allah seyogianya membuat seseorang menjadi taat kepada-Nya, menjalankan
semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya serta selalu
bersandar dan memohon pertolongan kepada-Nya, takut kepada ancaman dan
neraka-Nya dan rindu serta mengharapkan ampunan, pahala dan syurga-Nya. Di
samping itu tentu saja selalu ingat dan bersyukur kepada-Nya.
Berikutnya iman kepada malaikat membawa
konsekuensi kita berhati-hati dalam sikap, perkataan, dan perbuatan karena di
kanan dan di kiri kita ada Raqib dan Atid yang siap mencatat segala yang baik
maupun yang buruk yang kita kerjakan.
Sedangkan iman kepada kitab-kitab-Nya membuat
kita mengimani semua kitab suci yang berasal dari-Nya. Namun kitab-kitab suci
terdahulu adalah sesuatu yang sudah habis masa berlakunya dan telah dikoreksi
dan disempurnakan di dalam kitab yang terakhir: Al-Qur’an. Sehingga Al-Qur’an
sajalah yang menjadi sumber acuan kita dalam segala aspek kehidupan.
Kemudian iman kepada nabi-nabi membawa
konsekuensi kita harus meneladaninya. Dan tidak membeda-bedakannya (QS 2:285).
Namun tentu saja uswah dan panutan utama kita adalah Rasulullah Muhammad SAW
(QS 33:21)
Berikutnya iman kepada takdir yang baik dan
buruk membuat kita akan selalu berusaha, berikhtiar optimal dan kemudian
bertawakal atau berserah diri kepada Allah. Jika berhasil, itu berarti takdir
baik berupa karunia Allah yang haus disyukuri dan bila gagal atau terkena
musibah, itu berarti taqdir buruk berupa cobaan yang harus disabari dan
diterima.
Dan akhirnya iman kepada hari akhir atau
kiamat akan menyebabkan kita selalu waspada dan berhitung atau mengkalkulasi
pahala dan dosa kita serta mempersiapkan bekal untuk hari kiamat itu (QS 59:18)
berupa ketakwaan karena segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah kelak.
Dinamika iman dan bagaimana berinteraksi dengan kedinamisan iman
tersebut.
قَالَتِ الْأَعْرَابُ
ءَامَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ
الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ
مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badwi itu berkata, “Kami telah
beriman". Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi
katakanlah, “Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan
mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Hujurat:14)
Dari ayat tersebut di atas kita bisa melihat
bahwa masalah iman bukanlah masalah sederhana, karena dibutuhkan waktu, jihad,
kesungguh-sungguhan dalam ibadah, ketabahan selain juga faktor hidayah untuk
membuat keimanan seseorang benar-benar mengakar, menukik, bahkan menghunjam ke
dalam lubuk hati.
Kemudian persoalan berikutnya adalah
kenyataan bahwa iman itu dinamis, fluktuatif atau turun-naik. Jadi setelah iman
sudah ada di dalam hati, penting untuk selalu dideteksi apakah iman kita
meningkat dan bertambah atau justru menurun dan berkurang.
Dalam hadis Nabi saw. disebutkan, “Al-iman
yazid wa yanqush” (Iman bisa bertambah atau berkurang). Karena itu
seorang yang beriman harus selalu berusaha memperbaharui dan meningkatkan
keimanan nya. Seperti halnya tanaman, pohon, atau tumbuh-tumbuhan yang dapat
kering, layu, atau bahkan mati bila tak disiram atau diberi pupuk, demikian
pula halnya dengan keimanan yang dimiliki seseorang.
Begitu rentannya hati terhadap fluktuasi iman
digambarkan oleh Abdullah bin Rawahah ra, “Berbolak-baliknya hati lebih
cepat dibanding air yang menggelegak di periuk tatkala mendidih.” Dari
tinjauan etimologisnya saja, hati, qalban adalah sesuatu yang berbolak-balik
sudah, nampak pula kerentanannya. Dan karena iman tempat di hati, seyogianyalah
kita mewaspadai berbolak-baliknya hati dan turun naiknya iman.
Karena itu dalam surat Ali Imran: 8, Allah
menuntun agar kita berdoa minta diberikan hidayah, rahmat dan ketetapan hati.
Demikian pula doa yang dicontohkan Nabi saw. ”Ya Allah, yang pandai
membolak-balikkan hati, tetapkan hati hamba pada agamamu.” Mengapa kita
harus terus berdoa seperti itu? Karena usaha menjaga keimanan agar tetap
survive dan kalau bisa meningkat adalah hal yang sangat berat, apalagi sampai
membuat iman itu berbuah.
Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah pernah
mengungkapkan kata-kata bijak, ”Dunia adalah ladang tempat menanam kebajikan
yang hasilnya akan kita tuai, panen di akhirat kelak.”
Menurut Ibnul Qayyim pula, iman yang dimiliki
seseorang adalah modal berupa bibit. Dan agar bibit itu tumbuh dan berbuah ia
harus senantiasa disiram dan dipupuk oleh ketaatan kepada Allah.
Kita memang tidak bisa mengukur atau
memprediksikan besar kecilnya kadar keimanan seseorang, namun paling tidak kita
bisa melihat bias dan imbas keimanannya dari libasut taqwa, pakaian
takwa yang dimilikinya dan implementasi iman berupa ibadah, amal shaleh dan
ketaatan yang dilakukannya.
Seberapa besar dan banyak bibit yang dimiliki
seseorang dan sejauh mana ia merawat, menjaga, menyirami dan memberinya pupuk
dengan ketaatannya kepada Allah, maka sebegitu pulalah buah yang akan dituainya
kelak di akhirat.
Rasulullah saw. pun menegaskan, “Al iman
yaazidu bi thoat wa yanqushu bil maksiat. Iman akan bertambah/meningkat
dengan ketaatan dan akan berkurang atau menurun dengan kemaksiatan yang
dilakukan.
1. Sebab-sebab bertambah dan berkurangnya
iman
Merujuk kepada hadis Nabi saw. di atas, jelas
nampak bahwa sebab utama bertambahnya keimanan seseorang adalah jika ia
berusaha selalu taat kepada Allah. Allah akan mencintai dan merahmati
orang-orang yang taat kepada-Nya dan rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132). Semakin
besar ketaatan yang diberikan seseorang kepada Allah apakah itu dalam rangka
menuruti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya maka akan semakin meningkatlah
kadar keimanannya.
Sebab-sebab yang lainnya yang juga bisa
menjaga dan meningkatkan kadar keimanan adalah bila seseorang selalu mengingat
Allah dan banyak bersyukur kepada-Nya. Atau bila diberi cobaan berupa musibah
tetap sabar dan bersandar pada Allah serta tak pernah berburuk sangka pada-Nya
(QS 29: 2) karena cobaan memang secara sunatullah terkait dengan pengujian
kadar keimanan.
Ada sebuah siklus positif yang bisa terjadi
pada diri seorang mukmin yakni bila ia memiliki keimanan, iman akan
mendorongnya taat, menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang
dikehendaki-Nya (QS 51: 56). Kemudian ibadah akan menghasilkan ketakwaan dan
ketakwaan dengan sendirinya akan meningkatkan keimanan seseorang.
Sedangkan sebab menurun atau berkurang dan
bahkan hilangnya keimanan seseorang adalah maksiat yang dilakukannya. Semakin
banyak kemaksiatan kepada Allah yang dilakukan seseorang akan semakin menurun
kadar keimanannya. Bahkan jika seseorang terjerumus melakukan dosa besar, pada
saat ia melakukan maksiat itu dikatakan iman nya habis sama sekali.
Imam Ghazali mengumpamakan hati seseorang
seperti lembaran putih bersih. Dosa yang disebabkan maksiat yang dilakukannya
akan menyebabkan titik hitam di lembaran putih itu. Semakin banyak dosa
kemaksiatan yang dilakukannya, maka lembaran itu akan hitam kelam. Dan hati
yang pekat seperti itu tidak lagi sensitif terhadap dosa-dosanya.
Artinya tidak ada perasaan takut atau menyesal
pada saat atau sesudah melakukan kemaksiatan. Apabila kemaksiatan yang
dilakukan seseorang masih terkatagori as sayyiat atau dosa kecil, maka
kebajikan-kebajikan yang kita lakukan insya Allah akan mengkompensasi dosa dosa
kecil tersebut. Dalam hadis Nabi SAW dikatakan, “Bertakwalah kepada Allah di
manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik dan
pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik. “
Sementara itu di dalam surat Ali Imran ayat
135 disebutkan ciri orang beriman dan bertakwa adalah bila melakukan kekejian
atau menzhalimi diri sendiri (dengan berbuat dosa ) mereka cepat-cepat ingat
Allah dan mohon ampunan atas dosa-dosanya Allah Taala memang menyuruh kita
bersegera bertobat memohon ampunan dan surga-Nya (QS 3: 133).
Hal yang harus dipenuhi dalam tobat adalah
adanya unsur menyesali maksiat yang dilakukan, kemudian berhenti dan ketika
berjanji sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya lagi.
2. Dampak Positif atau Manfaat Kekuatan Iman
a. Memiliki kekuatan hubungan dengan Allah. ”Al-quwwatu
silah billah“ (kekuatan hubungan dengan Allah ) adalah buah keimanan yang
paling nyata. Karena seorang mukmin yang memiliki kekuatan hubungan dengan
Allah tidak akan pernah berputus asa dari rahmat Allah, ia tidak akan karam
dalam keputus-asaan. Karena ia akan selalu berpaling kepada Allah. Ia yakin
Allah akan selalu menolong dan tidak pernah mengecewakannya. Cobaan sebesar
apapun tak pernah membuatnya berburuk sangka terhadap Allah.
b. Memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa.
Iman yang dimiliki seseorang membuatnya tidak pernah takut pada manusia
sepanjang ia tidak melakukan kesalahan. Ia hanya takut kepada Allah saja.
Dengan mengingat Allah, hatinya akan senantiasa diliputi ketenteraman dan
ketenangan (QS 13:28), sehingga Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh
menakjubkan urusannya orang beriman, bila diberi karunia ia bersyukur dan itu
baik untuknya. Dan bila diberi musibah ia bersabar dan itu lebih baik untuknya.”
Iman dalam diri seorang mukmin menjadi stabilisator bagi jiwanya.
Karunia yang teramat besar tidak akan pernah membuatnya ujub, takabur atau lupa
diri melainkan ia tetap tenang dan mengembalikannya kepada Dzat yang Maha
memberi: bahwa itu semua karunia Allah. Dan cobaan sebesar dan seberat apapun
juga tidak akan membuatnya hilang akal, terguncang jiwanya dan berburuk sangka
atau berpaling dari Allah.
c.
Memiliki kemampuan memikul beban apakah itu beban
kehidupan ataupun beban dijalan Allah. Orang yang beriman akan mampu memikul
beban kehidupan ataupun beban di jalan Allah tanpa berkeluh kesah. Ia akan
berikhtiar semaksimal mungkin dan mengembalikan masalah hasilnya kepada Allah.
Fatimah putri Nabi saw.
adalah contoh luar biasa seseorang yang ikhlas dan sanggup memikul beban yang
berat. Suatu saat ketika ia bersama bapak dan ibunya serta pengikut –pengikut
risalah bapaknya dan juga kaum nya mengalami tahun-tahun sulit masa
pemboikotan, ibunda Khadijah sempat dengan sendu berujar kepadanya “Kasihan
anakku sekecil ini kau sudah menderita,” jawaban Fatimah benar-benar
mencengangkannya, “Ibu …mengapa ibu berkata begitu? cobaan yang lebih berat
dari ini pun aku sanggup”
Memiliki ketabahan dan kesabaran dalam menanggulangi musibah.
Sesungguhnya setiap mukmin akan dicoba oleh Allah dengan berbagai cobaan
keimanan. Dan siapa yang sabar dan mengembalikan segalanya kepada Allah, ia
akan diberi kabar gembira berupa, kasih sayang, kesertaan, ampunan dan
surganya. Ketabahan dan kesabaran memang tak ada batasnya. Namun balasan dari
Allah bagi orang –orang yang sabar pun tak ada batasnya. Tak terhitung dan
berlimpah ruah seperti luapan air bah.
3. Tanda-tanda keimanan
Bukti keimanan seseorang yang paling nyata tentu saja adalah amal
shaleh yang dilakukannya dan libasut taqwa (pakaian takwa) yang
dikenakannya. Yang membedakan seorang muslim dari kufri adalah keimanannya
kepada hal yang ghaib. Kemudian juga shalat karena dalam hadis dikatakan:bainal
abdi wal kafir tarkus shalat , bainal abdi was syirik tarkus shalat (batas
antara seorang hamba Allah dengan yang kafir adalah meninggalkan shalat dan
batas seorang hamba Allah dengan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat. )
Di dalam QS 49:15 disebutkan orang yang beriman ialah yang tak pernah
sedikit pun ragu terhadap yang diimaninya. Kemudian mampu mengatasi ujian-ujian
keimanan dari Allah (QS 29:2) ada satu surat di dalam Al Quran yang berjudul
Al-Mu’minun (orang-orang beriman )
Surat itu merinci karakterikristik orang -orang yang beriman yakni
khusyuk dalam shalat, menjauhi perbuatan dan perkataan yang sia-sia, menunaikan
zakat, menjaga kemaluannya, menjaga amanah-amanah dan menepati janji serta
menjaga shalat-shalatnya.
Orang yang beriman dengan memenuhi kriteria-kriteria di atas akan
mewarisi syurga Firdaus dan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ciri mukmin yang lain ada pada QS 48:29, yang bahkan ciri keimanannya
itu tampak pula secara fisik berupa dahi yang hitam /berbekas karena selalu
bersujud kepada-Nya.
Dan akhirnya orang yang istiqamah dalam keimanannya akan selalu
memiliki sikap at tafa’ul (optimis), as syajaah (berani), dan ith
mi’nan (tenang ) dalam kehidupan ini.
4. Terapi atau cara meningkatkan keimanan
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk
meningkatkan keimanan seseorang di antaranya ialah:
a.
Shalat tepat waktu dan khusyu, juga memperbanyak shalat
nawaafil.
b.
Shaum. Selain shaum di bulan Ramadhan juga shaum-shaum
sunnah seperti Senin-Kamis, Ayyamul Bidh, Daud, Arafah, dan lain-lain.
c.
Memperbanyak tilawah quran. Dalam QS 8:2 disebutkan
ciri orang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah bergetarlah hati
mereka dan bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambah tambahlah keimanan mereka.
d.
Dzikir dan takafur. Rasulullah saw. terlihat menangis
ketika turun surat QS 3: 190-191. Bilal lalu bertanya dan beliau menjawab:
celakalah orang yang membaca ayat ini namun tak kunjung menarik pelajaran darinya.
Dan kedua ayat tersebut berisikan tentang bertakafur terhadap tanda-tanda
kekuasaannya.
e.
Jalasah ruhiah. Acara mabit, menginap, qiamul lail dan
sahur bersama untuk kemudian berpuasa dan bila memungkinkan ifthar shaum
bersama dengan didahului taujih, ruhiah akan besar efeknya bagi keimanan
seseorang. Muadz bin Jabbal dulu acap mengajak sahabat-sahabat yang lain, “ijlis
bina‘ nu’minu sa’ah” (duduklah bersama kami, berimanlah sejenak dengan
penuh konsentrasi).
f.
Dzikrul maut. Mengingat kematian yang pasti datangnya
apakah dengan menjenguk dan mentalkinkan orang yang sakaratul maut atau
memandikan, mengkafani dan menguburkan maupun ziarah kubur kesemuanya juga
dapat meningkatkan keimanan seseorang.
SUPLEMEN
Akidah secara etimologis berarti yang terikat. Dr Abdullah Azzam
mendefinisikan istilah akidah sebagai perjanjian yang teguh dan kuat, terpatri
dalam hati dan tertanam di lubuk hati yang paling dalam. Sementara Imam Syahid
Hasan Al-Banna menjabarkan akidah sebagai urusan yang wajib diyakini
kebenarannya oleh hati menenteramkan jiwa dan menjadi keyakinan yang tidak
bercampur dengan keraguan.
Akidah yang diajarkan Rasulullah saw. adalah tauhid dan tujuannya ialah
untuk memperkuat ikatan /keyakinan dan hubungan dengan Allah.
Ada dua metode dalam mempelajari akidah atau yang berkaitan dengan
masalah keimanan.
1. Metode asasi yakni metode salafi
atau salafus shaleh.
2. Metode ghairu asasi yakni metode
ilmu kalam.
Metode asasi adalah metode yang digunakan kaum salafus shaleh yakni
metode yang digunakan di era Rasulullah, di era sahabat, tabi’in dan tabit
tabi’in.
Metode ini adalah suatu cara mengenal Allah melalui Allah seperti
ungkapan Abu Bakar Sidik, “Kalau Allah tidak memperkenalkan dirinya kepadaku
niscaya aku tidak mengenalnya”.
Metode ini merupakan metode ahlus sunnah wal jama’ah dan metode yang
kamil serta syamil.
Sementara metode kedua adalah metode ghairu asasi yang lebih dikenal
sebagai metode ilmu kalam yakni menggunakan upaya pendekatan filosofis dan daya
nalar dalam masalah keimanan atau akidah.
Metode ilmu kalam terbukti tidak dapat memberi atsar atau pengaruh
keimanan bagi orang yang mempelajarinya juga tidak bisa menuntun kepada
perilaku atau akhlak yang islami. Dan bukannya membuat kita semakin yakin malah
semakin ragu kepada Allah dan Risalahnya.
Tokoh-tokoh ilmu kalam adalah Abul Hasan Al-Asyhari, Imam Ar-Razi dan
Imam Al-Juwairi, namun mereka akhirnya insaf dan menyadari bahwa metode paling
efektif dalam mempelajari dan menanamkan keimanan adalah metode Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
Wallahu a’lam
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as