Menuangkan Ide: Proses Menulis Kreatif*
Raymond Valiant**
Marilah
kita memuali sesi ini dengan sebuah pernyataan tunggal: Dunia tulis-menulis
adalah pemasaran ide. Agar suatu tulisan layak dibaca dan dinikmati orang lain,
isinya harus bisa menjual ide.
Yang
membuat pers atau jurnalisme umum menarik adalah sifat komunikasinya yang khas,
yakni umum, tidak personal seperti handphone atau pager. Dari masyarakat umum
untuk masyarakat umum dan membicarakan kepentingan umum. Itulah sebab pers
menjadi khazanah yang menarik untuk dibaca dan dikirimi tulisan.
Dalam
pengertian ini, ide menjadi semacam pemberi nyawa yang menjadikan pers hidup.
Dan tentu saja bagi pers yang menempatkan ide sebaga komoditi, maka cara
menuangkan ide adalah penting. Tulisan apapun-kecuali berita-selalu dimualai
dari bagaimana ide itu diperoleh.
Memang
inilah hakekat pekerjaan tulis-menulis. Dalam wacanan penulisan yang lain
seperti puisi, surat cinta atau novel, proses mencari ide boleh jadi sama.
Namun berbeda juga, karena ide untuk artikel, feature atau esai akan berbeda
dengan tulisan fiksi.
Ide
dalam kerja tulis-menulis, mesti berangkat dari kepentingan umum. Karena
majalah, koran ataupun tabloid melayani kepentingan umum. Jadi proses mencari
ide ini mirip sekali dengan metode pemcahan masalaha dalam kerja-kerja ilmiah.
Masalah, niscaya ada dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat bernegara.
Berbagai gesekan dan kemajemukan dalam hidup sehari-hari, niscaya menimbulkan
masalah.
Misalnya
dalam dalil ilmu hukum disebut batas-batas kekuasaan individu adalah individu
orang lain. Dengan cara itulah misalnya akan timbul masalah: Bagaimana mengatur
hak-hak, sebab manusia cenderung serakah. Dari situasi semacam inilah ide bisa
dimunculkan.
Jadi
dapat diyakini kalau ide dalam duni tulis-menulis sebaliknya berangkat dari
kepentingan bersama (masyarakat) jika mau dibaca orang.
Itulah
bedanya, secara sempit, antara penulisan artikel/esai dengan penulisan
roman/fiksi. Penulis roman hanya menggarap ide personal. Misanya, ingatannya
pada kampung halaman atau kerinduan pada pacarnya. Sedangkan penulis
artikel/esai menggarap kepentingan masyarakat.
Tapi
kebanyakan manusia jaman sekarang lagi tumpul. Mungkin karena keenakan terbawa
kelana konsumerisme. Bisa jadi, nurani manusia sudah tumpul karena tidak rajin
membaca, tidak peka dan tanggap terhadap situasi.
Asyik-masyuk
dengan kepentingan sendiri, sementara kehidupan di sekeliling serba susah.
Orang jaman sekarang mungkin terbiasa mendahulukan hal-hal individual, sehingga
tidak biasa mengurus masyarakat. Alhasil ide menulis cerdas untuk umum jarang
lahir.
Lantas, bagaimana caranya “Mencairkan” ide? Marilah kita
uraikan
Alkisah,
tak jauh dari Jl. Bendungan Sutami ada sebuah warung kecil dari papan tripleks.
Tak ada yang khusus dari kedai ini. Bentuknya biasa-biasa saja. Letaknya pun
sangat lazim di pinggir jalan. Malah kesannya serba sesak.
Pemilik
warung sekaligus tinggal di sana dan ia mesti mengikhlaskan sebagian ruang
pribadinya kepada umum, karena pembeli akan makan-minum dimana saja sebab tidak
ada batas antara ruang umum (warung) dan ruang pribadi (rumah).
Toh
di tengah kelaziman ini, ada sesuatu yang menonjol. Tidak menyolok memang.
Namun sering luput dari perhatian mereka yang peka.
Sebauh
papan berukuran 90 kali 50 sentimeter terpasang gagah depan warung itu. Bukan
dengan tulisan “Sudi Mampir” atau “Coca Cola” seperti umumnya kita melihat
papan reklame warung atau kedai. Malah yang tertulis adalah, “Kantor Ranting
Sumbersari, Partai Nasional Indonesia (PNI)” dengan huruf merah yang tegas,
gagah da jeli. Lengkap dengan logo bergambar banteng menanduk dalam bingkai
segitiga merah.
Meraka
yang lewat sepeintas mungkin tak memperhatikan kejadian ini. Pertama-tama
karena pentas politik menjelang Pemili 1999 ini adalah pameran partai-partai
“besar” yang sibuk menggelar warna dan keunikannya. Merah, hijau kuning, biru
dan hitam, berkibar di langit, di taman, di tiang listrik, di tepi jalan, di
pos sudut gang-nyaris di tiap titik obyektif kesadaran kita.
Walau
belum memasuki kampanye, para partai umumnya sudah menggelal okol, konvoi,
parade, spanduk, bendera dan simpatisan yang sangar. Mulut yang sekian tahun
disumbat kadang-kadang menjadi over confident dan lupa cara berbicara secara
wajar.
Kedua, kita telah dipaksa memahami
secara bawah sadar oleh partai-partai sekarang bahwa demokrasi selalu
drepresentasikan oleh jumlah dan volume. Mereka memaksa untuk eksis dalam benak
orang dengan membelanjakan modal berjibun setiap hari untuk menanamkan image.
Lalu, bagaimana ranting partai di pinggir Jalan Bendungan Sutami itu? Di atas
kertas, pengurus pusat partai tadi punya duit setidaknya Rp. 20 miliar yang
merupakan ongkos minimum membuka cabang di (setidaknya) 8 propinsi, melantik
pengurus, fotokopi dan membayar honor pegawai.
Tapi
uniknya dalam suhu politi ala reformasi, uang sebesar itu boleh jadi tidak
punya imbas apa-apa. Lebih mudah wajah kita melihat Amien Rais, Gus Dur,
Megawati dan Akbar Tandjung di televisi (pada waktu tayang prime time yang
mahal harganya) ketimbang papan 90 kali 50 sentimeter di pinggir jalan: Lantas,
orang bisa tersenyum: Koq partai ngantor di warung? “Ah..., namanya juga partai
(orang) kecil”.
Ironisnya, ketika kebanyakan orang Indonesia
lapar dan dana untuk bantuan mereka diselewngkan, justru partai-partai besar
mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk Pemilu. Kasihan orang kecil, mereka
benar-benar tidak pernah “terwakili” dalam benak sistem politik kita.
Nah,
cerita tadi telah kita kupas. Apa kita pakai contoh pembuka ternyata makin
menarik bila diungkap sedemikian ruapa. Kenapa? Karena kenyataan tersebut
ditulis dengan upaya penghayatan atau imajinasi. Kehadiran kantor ranting PNI
yang numpang di warung akan tampak sebgai hal biasa bagi mereka yang memangdan
kenyataan dengan cara-cara yang “biasa”. Ide menarik justru muncul dari cara kita
memberi “makna” pada kenyataan, shingga hal-hal di balik kenyataan akan
“muncul” dengan sendirinya. Bukankah kantor ranting yang sederhana sungguh
kontras dibandingkan gepita para partai besar yang berebut simpati dengan
tampil wah-justru ketika Indonesia sedang miskin?
Ide
akan menjadi terasing jika tidak disertai upaya menempatkankannya dalam
kenyataan. Mengingat faktor public interest dalam kerja jurnalistik dan pers
umum lainnya, ide harus bisa disesuaikan dengan situasi setempat. Mungkin juga
proses ini bisa dinamakan aktualisasi ide, atau apalah namanya.
Kita
ilustrasikan sebgai berikut: anggap saja ketua ranting PNI tadi bernama Gogon.
Ia duduk di depan warungnya sambil merenungi “kantor” yang sekian bulan
terakhir ini direpotkan persiapan Pemilu. Mungkin Gogon cuma sebuah gambaran
dari Major thinking-pikira besar yang hendak dikemukakan mengenai rumitnya
Pemilu. Maka, untuk mengungkap secara gamblang, ide tersebut harus
dikontekskan. Pekerjaan ini saya anggap yang paling mencerdaskan dalam seluruh tahapan
proses kreatif menulis. Dengan cara inilah ide itu mencair jadi untaian
kerangka tulisan yang menjelaskan secara rinci tahap demi tahap perkembangan
ide tadi.
Gogon
bisa ditempatkan sekadar sebaga ilustrasi untuk menggambarkan
partisipasipolitik di basis pemilih kawula alit. Tetapi ia juga bbisa dikaitkan
melorotnya kepekaan partai-partai jaman kini akan persoalan rakyat kecil negeri
kita.
Bahwa
proses kontekstualisasi itu hendaknya ditarik dengan isu-isu aktual hari ini,
merupakan inti kontekstualisasi. Biasanya proses penggiringan ini mengikuti
naluri dan selera pribasi penulisnya, itu sah-sah saja. Tapi yang penting tetap
berpedoman pada tujuan penulisan. Jika ide dalam tulisan bagi media umum adalah
bagaikan muatan bagi sebuah kendaraan, maka tujuan kendaraan itu adalah
kontektualisasi ide. Proses pemberian nyawa pada ide tulisan harus menarik dan
terasa merenggut keinginan pembaca. Dari awal sudah kita dapatkan bahwa proses
pemberian nyawa merupakan bagian penting dalam perihal tulis=menulis. Pada saat
itulah tulisan kerja jurnalistik itu lantas amat menari, hidup dan menjadi
sumber pencerahan khalayak pembacanya. Ide dikemas lewat kasus-kasus aktual,
anta kasus mikro dan makro, sehingga menjadi sangat kontekstual dengan
kebutuhan jaman pembacanya.
Pada
saat itula keluasan dan kedalaman motif-motif pribadi penulisnya teruji. Yang
parti teruji juga adalah keluasan pengetahuan penulisnya. Tidak mungkin seorang
penulis bekerja berdagang ide, kulkan ide, memberi tambahan bagi ide itu,
lantas menggelar idenya di warung (media umum), tanpa memiliki kelualasan
wawasan. Tapi yang lebih penting adalah nurani penulis itu sendiri. Saya catat
di sini bahwa ada semacam prasyarat bahwa mengkontekskan ide harus diawali
pendalaman nurani.
Marilah
kita gali aspek ini secara lebih mendalam. Dalam kerja penulisan ada sebuah
motif terdalam yang kita sebut nurani penulisan. Ini penamaan yang saya pinjam
dari Dody Wisnu-Wartawan slendro Harian Umum Kompas-karena saya tidak tahu
apakah kajian literer mempersoalkannya (atau barangkali tidak). Nurani
penulisan, dalam banyak hal bisa disebut kepanditaan, kewaskitaan,
kecendekiaan.
Jadi
penggiringan ide, sangat berkait dengan motif moral. Dia bukan semata-mata
kerja tekhnis melakukan kristalisasi, pencarian intisari masalah dan penulisan
namun lebih dari itu dia juga-dalam bahasa agama-semacam dakwah, syiar moral.
Sayang, banyak media melalaikan hal ini. (Seorang teman mengatakan, pers umum
jaman sekarang lebih senang jadi provokator) Jika citarasa syiar moral ini kita
cicipi, betapa moralisasi kerja penggiringan ide itu menjadi sesuatu yang
mulia, bermakna, sehingga kerja menulis bukan lagi emnjadi upaya sekedar
mencari sesuap nasi.
*Tunjungsekar, awal April 1999. Buat Bertha
** Penulis alumni Tekhik Pengairan, anggota
UAPKM-UB
Raymond Valiant**
Marilah
kita memuali sesi ini dengan sebuah pernyataan tunggal: Dunia tulis-menulis
adalah pemasaran ide. Agar suatu tulisan layak dibaca dan dinikmati orang lain,
isinya harus bisa menjual ide.
Yang
membuat pers atau jurnalisme umum menarik adalah sifat komunikasinya yang khas,
yakni umum, tidak personal seperti handphone atau pager. Dari masyarakat umum
untuk masyarakat umum dan membicarakan kepentingan umum. Itulah sebab pers
menjadi khazanah yang menarik untuk dibaca dan dikirimi tulisan.
Dalam
pengertian ini, ide menjadi semacam pemberi nyawa yang menjadikan pers hidup.
Dan tentu saja bagi pers yang menempatkan ide sebaga komoditi, maka cara
menuangkan ide adalah penting. Tulisan apapun-kecuali berita-selalu dimualai
dari bagaimana ide itu diperoleh.
Memang
inilah hakekat pekerjaan tulis-menulis. Dalam wacanan penulisan yang lain
seperti puisi, surat cinta atau novel, proses mencari ide boleh jadi sama.
Namun berbeda juga, karena ide untuk artikel, feature atau esai akan berbeda
dengan tulisan fiksi.
Ide
dalam kerja tulis-menulis, mesti berangkat dari kepentingan umum. Karena
majalah, koran ataupun tabloid melayani kepentingan umum. Jadi proses mencari
ide ini mirip sekali dengan metode pemcahan masalaha dalam kerja-kerja ilmiah.
Masalah, niscaya ada dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat bernegara.
Berbagai gesekan dan kemajemukan dalam hidup sehari-hari, niscaya menimbulkan
masalah.
Misalnya
dalam dalil ilmu hukum disebut batas-batas kekuasaan individu adalah individu
orang lain. Dengan cara itulah misalnya akan timbul masalah: Bagaimana mengatur
hak-hak, sebab manusia cenderung serakah. Dari situasi semacam inilah ide bisa
dimunculkan.
Jadi
dapat diyakini kalau ide dalam duni tulis-menulis sebaliknya berangkat dari
kepentingan bersama (masyarakat) jika mau dibaca orang.
Itulah
bedanya, secara sempit, antara penulisan artikel/esai dengan penulisan
roman/fiksi. Penulis roman hanya menggarap ide personal. Misanya, ingatannya
pada kampung halaman atau kerinduan pada pacarnya. Sedangkan penulis
artikel/esai menggarap kepentingan masyarakat.
Tapi
kebanyakan manusia jaman sekarang lagi tumpul. Mungkin karena keenakan terbawa
kelana konsumerisme. Bisa jadi, nurani manusia sudah tumpul karena tidak rajin
membaca, tidak peka dan tanggap terhadap situasi.
Asyik-masyuk
dengan kepentingan sendiri, sementara kehidupan di sekeliling serba susah.
Orang jaman sekarang mungkin terbiasa mendahulukan hal-hal individual, sehingga
tidak biasa mengurus masyarakat. Alhasil ide menulis cerdas untuk umum jarang
lahir.
Lantas, bagaimana caranya “Mencairkan” ide? Marilah kita
uraikan
Alkisah,
tak jauh dari Jl. Bendungan Sutami ada sebuah warung kecil dari papan tripleks.
Tak ada yang khusus dari kedai ini. Bentuknya biasa-biasa saja. Letaknya pun
sangat lazim di pinggir jalan. Malah kesannya serba sesak.
Pemilik
warung sekaligus tinggal di sana dan ia mesti mengikhlaskan sebagian ruang
pribadinya kepada umum, karena pembeli akan makan-minum dimana saja sebab tidak
ada batas antara ruang umum (warung) dan ruang pribadi (rumah).
Toh
di tengah kelaziman ini, ada sesuatu yang menonjol. Tidak menyolok memang.
Namun sering luput dari perhatian mereka yang peka.
Sebauh
papan berukuran 90 kali 50 sentimeter terpasang gagah depan warung itu. Bukan
dengan tulisan “Sudi Mampir” atau “Coca Cola” seperti umumnya kita melihat
papan reklame warung atau kedai. Malah yang tertulis adalah, “Kantor Ranting
Sumbersari, Partai Nasional Indonesia (PNI)” dengan huruf merah yang tegas,
gagah da jeli. Lengkap dengan logo bergambar banteng menanduk dalam bingkai
segitiga merah.
Meraka
yang lewat sepeintas mungkin tak memperhatikan kejadian ini. Pertama-tama
karena pentas politik menjelang Pemili 1999 ini adalah pameran partai-partai
“besar” yang sibuk menggelar warna dan keunikannya. Merah, hijau kuning, biru
dan hitam, berkibar di langit, di taman, di tiang listrik, di tepi jalan, di
pos sudut gang-nyaris di tiap titik obyektif kesadaran kita.
Walau
belum memasuki kampanye, para partai umumnya sudah menggelal okol, konvoi,
parade, spanduk, bendera dan simpatisan yang sangar. Mulut yang sekian tahun
disumbat kadang-kadang menjadi over confident dan lupa cara berbicara secara
wajar.
Kedua, kita telah dipaksa memahami
secara bawah sadar oleh partai-partai sekarang bahwa demokrasi selalu
drepresentasikan oleh jumlah dan volume. Mereka memaksa untuk eksis dalam benak
orang dengan membelanjakan modal berjibun setiap hari untuk menanamkan image.
Lalu, bagaimana ranting partai di pinggir Jalan Bendungan Sutami itu? Di atas
kertas, pengurus pusat partai tadi punya duit setidaknya Rp. 20 miliar yang
merupakan ongkos minimum membuka cabang di (setidaknya) 8 propinsi, melantik
pengurus, fotokopi dan membayar honor pegawai.
Tapi
uniknya dalam suhu politi ala reformasi, uang sebesar itu boleh jadi tidak
punya imbas apa-apa. Lebih mudah wajah kita melihat Amien Rais, Gus Dur,
Megawati dan Akbar Tandjung di televisi (pada waktu tayang prime time yang
mahal harganya) ketimbang papan 90 kali 50 sentimeter di pinggir jalan: Lantas,
orang bisa tersenyum: Koq partai ngantor di warung? “Ah..., namanya juga partai
(orang) kecil”.
Ironisnya, ketika kebanyakan orang Indonesia
lapar dan dana untuk bantuan mereka diselewngkan, justru partai-partai besar
mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk Pemilu. Kasihan orang kecil, mereka
benar-benar tidak pernah “terwakili” dalam benak sistem politik kita.
Nah,
cerita tadi telah kita kupas. Apa kita pakai contoh pembuka ternyata makin
menarik bila diungkap sedemikian ruapa. Kenapa? Karena kenyataan tersebut
ditulis dengan upaya penghayatan atau imajinasi. Kehadiran kantor ranting PNI
yang numpang di warung akan tampak sebgai hal biasa bagi mereka yang memangdan
kenyataan dengan cara-cara yang “biasa”. Ide menarik justru muncul dari cara kita
memberi “makna” pada kenyataan, shingga hal-hal di balik kenyataan akan
“muncul” dengan sendirinya. Bukankah kantor ranting yang sederhana sungguh
kontras dibandingkan gepita para partai besar yang berebut simpati dengan
tampil wah-justru ketika Indonesia sedang miskin?
Ide
akan menjadi terasing jika tidak disertai upaya menempatkankannya dalam
kenyataan. Mengingat faktor public interest dalam kerja jurnalistik dan pers
umum lainnya, ide harus bisa disesuaikan dengan situasi setempat. Mungkin juga
proses ini bisa dinamakan aktualisasi ide, atau apalah namanya.
Kita
ilustrasikan sebgai berikut: anggap saja ketua ranting PNI tadi bernama Gogon.
Ia duduk di depan warungnya sambil merenungi “kantor” yang sekian bulan
terakhir ini direpotkan persiapan Pemilu. Mungkin Gogon cuma sebuah gambaran
dari Major thinking-pikira besar yang hendak dikemukakan mengenai rumitnya
Pemilu. Maka, untuk mengungkap secara gamblang, ide tersebut harus
dikontekskan. Pekerjaan ini saya anggap yang paling mencerdaskan dalam seluruh tahapan
proses kreatif menulis. Dengan cara inilah ide itu mencair jadi untaian
kerangka tulisan yang menjelaskan secara rinci tahap demi tahap perkembangan
ide tadi.
Gogon
bisa ditempatkan sekadar sebaga ilustrasi untuk menggambarkan
partisipasipolitik di basis pemilih kawula alit. Tetapi ia juga bbisa dikaitkan
melorotnya kepekaan partai-partai jaman kini akan persoalan rakyat kecil negeri
kita.
Bahwa
proses kontekstualisasi itu hendaknya ditarik dengan isu-isu aktual hari ini,
merupakan inti kontekstualisasi. Biasanya proses penggiringan ini mengikuti
naluri dan selera pribasi penulisnya, itu sah-sah saja. Tapi yang penting tetap
berpedoman pada tujuan penulisan. Jika ide dalam tulisan bagi media umum adalah
bagaikan muatan bagi sebuah kendaraan, maka tujuan kendaraan itu adalah
kontektualisasi ide. Proses pemberian nyawa pada ide tulisan harus menarik dan
terasa merenggut keinginan pembaca. Dari awal sudah kita dapatkan bahwa proses
pemberian nyawa merupakan bagian penting dalam perihal tulis=menulis. Pada saat
itulah tulisan kerja jurnalistik itu lantas amat menari, hidup dan menjadi
sumber pencerahan khalayak pembacanya. Ide dikemas lewat kasus-kasus aktual,
anta kasus mikro dan makro, sehingga menjadi sangat kontekstual dengan
kebutuhan jaman pembacanya.
Pada
saat itula keluasan dan kedalaman motif-motif pribadi penulisnya teruji. Yang
parti teruji juga adalah keluasan pengetahuan penulisnya. Tidak mungkin seorang
penulis bekerja berdagang ide, kulkan ide, memberi tambahan bagi ide itu,
lantas menggelar idenya di warung (media umum), tanpa memiliki kelualasan
wawasan. Tapi yang lebih penting adalah nurani penulis itu sendiri. Saya catat
di sini bahwa ada semacam prasyarat bahwa mengkontekskan ide harus diawali
pendalaman nurani.
Marilah
kita gali aspek ini secara lebih mendalam. Dalam kerja penulisan ada sebuah
motif terdalam yang kita sebut nurani penulisan. Ini penamaan yang saya pinjam
dari Dody Wisnu-Wartawan slendro Harian Umum Kompas-karena saya tidak tahu
apakah kajian literer mempersoalkannya (atau barangkali tidak). Nurani
penulisan, dalam banyak hal bisa disebut kepanditaan, kewaskitaan,
kecendekiaan.
Jadi
penggiringan ide, sangat berkait dengan motif moral. Dia bukan semata-mata
kerja tekhnis melakukan kristalisasi, pencarian intisari masalah dan penulisan
namun lebih dari itu dia juga-dalam bahasa agama-semacam dakwah, syiar moral.
Sayang, banyak media melalaikan hal ini. (Seorang teman mengatakan, pers umum
jaman sekarang lebih senang jadi provokator) Jika citarasa syiar moral ini kita
cicipi, betapa moralisasi kerja penggiringan ide itu menjadi sesuatu yang
mulia, bermakna, sehingga kerja menulis bukan lagi emnjadi upaya sekedar
mencari sesuap nasi.
*Tunjungsekar, awal April 1999. Buat Bertha
** Penulis alumni Tekhik Pengairan, anggota
UAPKM-UB
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as