Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    menuangkan ide ke dalam tulisan jilid 3

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 37
    Lokasi : Malang-Indonesia

    menuangkan ide ke dalam tulisan jilid 3 Empty menuangkan ide ke dalam tulisan jilid 3

    Post by admin Fri Jun 18, 2010 3:20 pm

    Menuangkan Ide: Proses Menulis Kreatif*


    Raymond Valiant**





    Marilah
    kita memuali sesi ini dengan sebuah pernyataan tunggal: Dunia tulis-menulis
    adalah pemasaran ide. Agar suatu tulisan layak dibaca dan dinikmati orang lain,
    isinya harus bisa menjual ide.


    Yang
    membuat pers atau jurnalisme umum menarik adalah sifat komunikasinya yang khas,
    yakni umum, tidak personal seperti handphone atau pager. Dari masyarakat umum
    untuk masyarakat umum dan membicarakan kepentingan umum. Itulah sebab pers
    menjadi khazanah yang menarik untuk dibaca dan dikirimi tulisan.


    Dalam
    pengertian ini, ide menjadi semacam pemberi nyawa yang menjadikan pers hidup.
    Dan tentu saja bagi pers yang menempatkan ide sebaga komoditi, maka cara
    menuangkan ide adalah penting. Tulisan apapun-kecuali berita-selalu dimualai
    dari bagaimana ide itu diperoleh.


    Memang
    inilah hakekat pekerjaan tulis-menulis. Dalam wacanan penulisan yang lain
    seperti puisi, surat cinta atau novel, proses mencari ide boleh jadi sama.
    Namun berbeda juga, karena ide untuk artikel, feature atau esai akan berbeda
    dengan tulisan fiksi.


    Ide
    dalam kerja tulis-menulis, mesti berangkat dari kepentingan umum. Karena
    majalah, koran ataupun tabloid melayani kepentingan umum. Jadi proses mencari
    ide ini mirip sekali dengan metode pemcahan masalaha dalam kerja-kerja ilmiah.
    Masalah, niscaya ada dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat bernegara.
    Berbagai gesekan dan kemajemukan dalam hidup sehari-hari, niscaya menimbulkan
    masalah.


    Misalnya
    dalam dalil ilmu hukum disebut batas-batas kekuasaan individu adalah individu
    orang lain. Dengan cara itulah misalnya akan timbul masalah: Bagaimana mengatur
    hak-hak, sebab manusia cenderung serakah. Dari situasi semacam inilah ide bisa
    dimunculkan.


    Jadi
    dapat diyakini kalau ide dalam duni tulis-menulis sebaliknya berangkat dari
    kepentingan bersama (masyarakat) jika mau dibaca orang.


    Itulah
    bedanya, secara sempit, antara penulisan artikel/esai dengan penulisan
    roman/fiksi. Penulis roman hanya menggarap ide personal. Misanya, ingatannya
    pada kampung halaman atau kerinduan pada pacarnya. Sedangkan penulis
    artikel/esai menggarap kepentingan masyarakat.


    Tapi
    kebanyakan manusia jaman sekarang lagi tumpul. Mungkin karena keenakan terbawa
    kelana konsumerisme. Bisa jadi, nurani manusia sudah tumpul karena tidak rajin
    membaca, tidak peka dan tanggap terhadap situasi.


    Asyik-masyuk
    dengan kepentingan sendiri, sementara kehidupan di sekeliling serba susah.
    Orang jaman sekarang mungkin terbiasa mendahulukan hal-hal individual, sehingga
    tidak biasa mengurus masyarakat. Alhasil ide menulis cerdas untuk umum jarang
    lahir.




    Lantas, bagaimana caranya “Mencairkan” ide? Marilah kita
    uraikan








    Alkisah,
    tak jauh dari Jl. Bendungan Sutami ada sebuah warung kecil dari papan tripleks.
    Tak ada yang khusus dari kedai ini. Bentuknya biasa-biasa saja. Letaknya pun
    sangat lazim di pinggir jalan. Malah kesannya serba sesak.


    Pemilik
    warung sekaligus tinggal di sana dan ia mesti mengikhlaskan sebagian ruang
    pribadinya kepada umum, karena pembeli akan makan-minum dimana saja sebab tidak
    ada batas antara ruang umum (warung) dan ruang pribadi (rumah).


    Toh
    di tengah kelaziman ini, ada sesuatu yang menonjol. Tidak menyolok memang.
    Namun sering luput dari perhatian mereka yang peka.


    Sebauh
    papan berukuran 90 kali 50 sentimeter terpasang gagah depan warung itu. Bukan
    dengan tulisan “Sudi Mampir” atau “Coca Cola” seperti umumnya kita melihat
    papan reklame warung atau kedai. Malah yang tertulis adalah, “Kantor Ranting
    Sumbersari, Partai Nasional Indonesia (PNI)” dengan huruf merah yang tegas,
    gagah da jeli. Lengkap dengan logo bergambar banteng menanduk dalam bingkai
    segitiga merah.


    Meraka
    yang lewat sepeintas mungkin tak memperhatikan kejadian ini. Pertama-tama
    karena pentas politik menjelang Pemili 1999 ini adalah pameran partai-partai
    “besar” yang sibuk menggelar warna dan keunikannya. Merah, hijau kuning, biru
    dan hitam, berkibar di langit, di taman, di tiang listrik, di tepi jalan, di
    pos sudut gang-nyaris di tiap titik obyektif kesadaran kita.


    Walau
    belum memasuki kampanye, para partai umumnya sudah menggelal okol, konvoi,
    parade, spanduk, bendera dan simpatisan yang sangar. Mulut yang sekian tahun
    disumbat kadang-kadang menjadi over confident dan lupa cara berbicara secara
    wajar.


    Kedua, kita telah dipaksa memahami
    secara bawah sadar oleh partai-partai sekarang bahwa demokrasi selalu
    drepresentasikan oleh jumlah dan volume. Mereka memaksa untuk eksis dalam benak
    orang dengan membelanjakan modal berjibun setiap hari untuk menanamkan image.
    Lalu, bagaimana ranting partai di pinggir Jalan Bendungan Sutami itu? Di atas
    kertas, pengurus pusat partai tadi punya duit setidaknya Rp. 20 miliar yang
    merupakan ongkos minimum membuka cabang di (setidaknya) 8 propinsi, melantik
    pengurus, fotokopi dan membayar honor pegawai.


    Tapi
    uniknya dalam suhu politi ala reformasi, uang sebesar itu boleh jadi tidak
    punya imbas apa-apa. Lebih mudah wajah kita melihat Amien Rais, Gus Dur,
    Megawati dan Akbar Tandjung di televisi (pada waktu tayang prime time yang
    mahal harganya) ketimbang papan 90 kali 50 sentimeter di pinggir jalan: Lantas,
    orang bisa tersenyum: Koq partai ngantor di warung? “Ah..., namanya juga partai
    (orang) kecil”.


    Ironisnya, ketika kebanyakan orang Indonesia
    lapar dan dana untuk bantuan mereka diselewngkan, justru partai-partai besar
    mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk Pemilu. Kasihan orang kecil, mereka
    benar-benar tidak pernah “terwakili” dalam benak sistem politik kita.


    Nah,
    cerita tadi telah kita kupas. Apa kita pakai contoh pembuka ternyata makin
    menarik bila diungkap sedemikian ruapa. Kenapa? Karena kenyataan tersebut
    ditulis dengan upaya penghayatan atau imajinasi. Kehadiran kantor ranting PNI
    yang numpang di warung akan tampak sebgai hal biasa bagi mereka yang memangdan
    kenyataan dengan cara-cara yang “biasa”. Ide menarik justru muncul dari cara kita
    memberi “makna” pada kenyataan, shingga hal-hal di balik kenyataan akan
    “muncul” dengan sendirinya. Bukankah kantor ranting yang sederhana sungguh
    kontras dibandingkan gepita para partai besar yang berebut simpati dengan
    tampil wah-justru ketika Indonesia sedang miskin?


    Ide
    akan menjadi terasing jika tidak disertai upaya menempatkankannya dalam
    kenyataan. Mengingat faktor public interest dalam kerja jurnalistik dan pers
    umum lainnya, ide harus bisa disesuaikan dengan situasi setempat. Mungkin juga
    proses ini bisa dinamakan aktualisasi ide, atau apalah namanya.


    Kita
    ilustrasikan sebgai berikut: anggap saja ketua ranting PNI tadi bernama Gogon.
    Ia duduk di depan warungnya sambil merenungi “kantor” yang sekian bulan
    terakhir ini direpotkan persiapan Pemilu. Mungkin Gogon cuma sebuah gambaran
    dari Major thinking-pikira besar yang hendak dikemukakan mengenai rumitnya
    Pemilu. Maka, untuk mengungkap secara gamblang, ide tersebut harus
    dikontekskan. Pekerjaan ini saya anggap yang paling mencerdaskan dalam seluruh tahapan
    proses kreatif menulis. Dengan cara inilah ide itu mencair jadi untaian
    kerangka tulisan yang menjelaskan secara rinci tahap demi tahap perkembangan
    ide tadi.


    Gogon
    bisa ditempatkan sekadar sebaga ilustrasi untuk menggambarkan
    partisipasipolitik di basis pemilih kawula alit. Tetapi ia juga bbisa dikaitkan
    melorotnya kepekaan partai-partai jaman kini akan persoalan rakyat kecil negeri
    kita.


    Bahwa
    proses kontekstualisasi itu hendaknya ditarik dengan isu-isu aktual hari ini,
    merupakan inti kontekstualisasi. Biasanya proses penggiringan ini mengikuti
    naluri dan selera pribasi penulisnya, itu sah-sah saja. Tapi yang penting tetap
    berpedoman pada tujuan penulisan. Jika ide dalam tulisan bagi media umum adalah
    bagaikan muatan bagi sebuah kendaraan, maka tujuan kendaraan itu adalah
    kontektualisasi ide. Proses pemberian nyawa pada ide tulisan harus menarik dan
    terasa merenggut keinginan pembaca. Dari awal sudah kita dapatkan bahwa proses
    pemberian nyawa merupakan bagian penting dalam perihal tulis=menulis. Pada saat
    itulah tulisan kerja jurnalistik itu lantas amat menari, hidup dan menjadi
    sumber pencerahan khalayak pembacanya. Ide dikemas lewat kasus-kasus aktual,
    anta kasus mikro dan makro, sehingga menjadi sangat kontekstual dengan
    kebutuhan jaman pembacanya.


    Pada
    saat itula keluasan dan kedalaman motif-motif pribadi penulisnya teruji. Yang
    parti teruji juga adalah keluasan pengetahuan penulisnya. Tidak mungkin seorang
    penulis bekerja berdagang ide, kulkan ide, memberi tambahan bagi ide itu,
    lantas menggelar idenya di warung (media umum), tanpa memiliki kelualasan
    wawasan. Tapi yang lebih penting adalah nurani penulis itu sendiri. Saya catat
    di sini bahwa ada semacam prasyarat bahwa mengkontekskan ide harus diawali
    pendalaman nurani.


    Marilah
    kita gali aspek ini secara lebih mendalam. Dalam kerja penulisan ada sebuah
    motif terdalam yang kita sebut nurani penulisan. Ini penamaan yang saya pinjam
    dari Dody Wisnu-Wartawan slendro Harian Umum Kompas-karena saya tidak tahu
    apakah kajian literer mempersoalkannya (atau barangkali tidak). Nurani
    penulisan, dalam banyak hal bisa disebut kepanditaan, kewaskitaan,
    kecendekiaan.


    Jadi
    penggiringan ide, sangat berkait dengan motif moral. Dia bukan semata-mata
    kerja tekhnis melakukan kristalisasi, pencarian intisari masalah dan penulisan
    namun lebih dari itu dia juga-dalam bahasa agama-semacam dakwah, syiar moral.
    Sayang, banyak media melalaikan hal ini. (Seorang teman mengatakan, pers umum
    jaman sekarang lebih senang jadi provokator) Jika citarasa syiar moral ini kita
    cicipi, betapa moralisasi kerja penggiringan ide itu menjadi sesuatu yang
    mulia, bermakna, sehingga kerja menulis bukan lagi emnjadi upaya sekedar
    mencari sesuap nasi.





    *Tunjungsekar, awal April 1999. Buat Bertha


    ** Penulis alumni Tekhik Pengairan, anggota
    UAPKM-UB

      Waktu sekarang Fri Nov 22, 2024 7:45 am