Biru
Untuk Langit, Hitam
Untuk Malam
Akhirnya Boy nongol juga ke rumah Vivi 'n langsung langsung aja diboyong ke
ruang belajar Seno, kakaknya Vivi.
"Assalamu'alaikum," sapa Boy. "Walaikum Salam" Seno langsung
nyalamin tangannya Boy. Nggak banyak omong langsung aja komputer yang lagi
ngadat itu dengan pasrah diacak-acak. Dinyalain, diliatin programnya. Setelah
dikira-kira bad sector-nya dimana, seketika itu juga komputer yang dengan
manisnya duduk di atas meja, dibongkar. Tutup CPU-nya dibuka. Isi perutnya yang
mirip perut Robocop diutak-atik.
"Sirkuitnya ada yang longgar," jawab Boy waktu Seno tanya-tanya soal
penggusuran eh pembongkaran komputer kesayangannya itu. Bener aja
saodara-saodara, nggak sia-sia Boy waktu kecil suka ngrusakin mainan orang,
ternyata komputer yang gegar otak itupun dengan lancar mengeluarkan
program-programnya. "Belajar betulin komputer dimana, Boy"
tanya Seno sesudah ngeberesin bekas operasi.
"Belajar sendiri aja dari buku" jawab Boy sambil minum sirup.
"Ditambah nekat bongkar komputer bokap di rumah" lanjutnya sambil
cengengesan Karena udah sore, Boy buru-buru pamitan pulang sama Seno dan tentu
juga sama Vivi. "Pinter juga tuh anak" setelah Boy pulang, Vivi diam
aja. "Baik lagi", tambahnya. "Kalau kakaknya?" tanya Vivi
iseng. "Si Erik? baik juga sih, cuman sok kece aja" Komentar Seno
sambil ngeliat reaksi adiknya. Vivi cuman manyun.
"Apa si Boy baru aja maen ke rumah elu?" Erik nggak bisa nahan rasa
sirik bin kagetnya waktu Seno nelpon ke rumah ngasih tahu kalo Boy baru aja
pulang dari rumahnya. "Tenang aja Rik, Boy kagak ngapa-ngapain, cuman
betulin komputer gue doang" kata Seno sambil ketawa ngeledekin Erik.
Sukses gue bikin jealous tuh anak!
"Oh, jadi dia nggak coba ngrayu-ngrayu Vivi kan?" Erik masih
penasaran. Tawa Seno meledak. "Mana gue tau? emangnya gue musti
ngawasin kemana adik lu pergi?" Erik bersungut-sungut.
"Ok, Rik, sekian aja informasi dari Seno, wassalam, bye" klik, Seno
nutup teleponnya meninggalkan Erik yang masih panas ati. Sialan si Boy,
bener-bener kutu busuk alias musuh dalam selimut, beraninya maen belakang.
Bersaing sih boleh aja, cuman jangan maen belakang dong. udah minggu kemaren
nggagalin kencan gue ama Vivi, eh sekarang malah ngedeketin Vivi. Memang benar,
perlu dikasih pelajaran tuh anak, Erik geram. Baru saja dia masuk ke kamar,
suara kaki Boy kedengaran masuk ke dalam rumah. Erik nggak jadi masuk kamar.
Boy ditungguin di depan kamarnya. Boy sempet kaget juga ngeliat kakaknya
menghadang di depan pintu kamar.
"Jadi gitu cara elu bersaing maen curang?" Erik emosi. Boy bengong
nggak ngerti maksud omongan Erik, tapi otaknya cepet mikir, pasti soal mobil
kemaren. Daripada ribut, Bou cuek aja masuk ke dalam kamar. Bruk. pundaknya
tubrukan ama pundak Erik. Erik panas ngerasa dicuekin. Pundak adiknya ditarik,
tapi tangannya ditepis Boy, dan tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke wajah Boy,
Duk! Boy nggak sempat menghindar, badannya terhuyung ke dalam kamar. Tapi
sebentar kemudian Boy melayangkan pukulan balasan ke pipi kiri Erik, giliran
Erik yang terhuyung sampai terjengkang. Dia merasa ludahnya asin. Makin murka
Erik langsung berdiri dan menerjang Boy. Keduanya bergerumul di lantai dan
saling baku hantam.
"Berhenti" satu teriakan menghentikan keduanya. Papi sudah berdiri di
belakang. Mami sesenggukan di balik punggung Papi. Pelan Erik dan Boy bangkit,
pakain keduanya kusut. Darah mengalir dari sudut kiri bibir Erik. Sementara
mata Boy lebam.
"Apa-apaan ini? kalian mau saling bunuh, hah?" tanya Papi dengan
suara tinggi. Erik dan Boy tidak menjawab. "Sekarang kalian bereskan
semuanya dan Papi tunggu satu jam di kamar Papi" Selesai memarahi papi
menuju ke ruang tengah sambil menggandeng Mama yang masih sesenggukan. Tapi
baru aja papi dan mama berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, bruk! Boy ambruk,
mama kaget dan menjerit "Boy!!"
Papi dan Mama berdiri di samping ranjang saat Boy
membuka mata. Papa dan Mama membawa Boy ke rumah sakit. Kata dokter Boy terkena
gegar otak ringan akibat terbentur tembok waktu berantem dengan Erik.
Wajah Papi sudah tidak segarang tadi. Kelihatan lebih tenang, hanya Mamanya
yang masih nampak cemas. "Masih sakit, sayang?" tanya Mami penuh
perasaan. Boy tidak menjawab. "Pi", kata Boy pelan, Papi mendekatkan
telinganya pada Boy. "Boy minta maaf, Pi" pinta Boy pelan. Papi
menggelengkan kepala. "Papi sudah maafkan. Papi sudah tahu semua duduk
persoalannya. sekarang kamu istirahat saja. Kita bicarakan nanti aja kalau kamu
sudah kembali ke rumah" Jawab Papi menenangkan Boy.
Sore itu Erik masih duduk-duduk di teras belakang rumah neneknya. Oleh Papi,
Erik dilarang tinggal di rumah selama 2 bulan. Akhirnya dengan sangat terpaksa
dia mengungsi ke rumah nenek. Tapi lumayan, dia nggak kesepian, karena mini
componya boleh dibawa ke sana. Lamat-lamat lagu Paint My Love-nya Micheal
Learns to Rock terdengar di sana. "From my youngest years till the moment
here I've never seen such a lovely queen" begitu Erik menirukannnya.
Erik jadi teringat Vivi, sudah 2 minggu dia nggak maen atau nelpon ke rumahnya.
Mungkin sudah tahu kejadian yang menimpa Boy, mungkin juga ia sekarang membenci
dirinya dan makin simpati ama Boy. Erik menertawakan ketololannya sendiri,
kenapa ia begitu emosi pada Boy, ia terbawa emosi setelah diberitahu Seno kakak
Vivi, bahwa Boy baru aja ke rumah Seno. Padahal dalam kenyataanya, Boy hanya
bentulin komputer, kalaupun pada Vivi, boy sebenarya juga naksir, tapi sebagai
seorang muslim yang ngerti halal dan haram, maka Boy nggak melampiaskan rasa
tertariknya pada Vivi dengan memacarinya, berbeda dengan Erik, dan belum tentu
juga Vivi suka pada Boy ataupun erik.
Karena penasaran, Erik mendekati telepon neneknya. Masih dengan ragu-ragu
jarinya menekan tombol telepon. Cukup lama Erik menanti telepon di seberang
diangkat. "Hallo?, bisa bicara dengan Vivi?" Erik mulai
pembicaraanya. "Saya sendiri, Ini siapa ya?" tanya Vivi di seberang.
"Erik, ini Erik" sahut Erik. "Erik?Kak Erik Sugama?" tanya
Vivi. "Iya," Erik meyakinkan Vivi, yang diyakinkan malah terdiam.
"Eh .. Vi, gue mau minta maaf. Gue lama nggak ngontak en maen lagi ke
rumahmu, maklum banyak urusan" Erik mulai Berdiplomasi. "Eng ..nggak
apa-apa, emangnya sekarang ada perlu apa?" tanya Vivi. "Vi.. gimana
kalo sabtu sore kita ke Rose Kafe?" Erik harap-harap cemas kalo Vivi menolak
ajakannya. "Memangnya ada perlu apa sih?, kalo cuman mau minum kopi kan
bisa di rumah Vivi?" tanya Vivi curiga.
"eee..Ada yang penting en kayaknya perlu serius deh. Lagian kan asyik
kalau kita sore-sore maen ke sana. Kata anak-anak croissantnya enak lho, eh,
kamu nggak lagi diet kan?" Erik mulai mengeluarkan jurus play boy-nya.
"Bukan soal diet sih, cuman penting banget nggak?" vivi masih curiga.
"Penting dong" jawab Erik. "Harus?" tanya balik Vivi.
"Harus!" kejar Erik. Hening, Erik ikutan diam, menunggu jawaban Vivi.
"Ya udah, tunggu ajam empat sore ya?" Akhirnya pekik Erik dalam hati.
Yes you give me a big chance, God. "Ok, jam 4 sore en jangan lupa tunggu
disana" sambar Erik cepat, Telepon Vivi ditutup. Klik
Jam 4 sore, Erik sudah duduk di kafe Ros. Kaos hijau Ocean Pacific dipadu
dengan jins biru. segelas kopi krim sudah ada diatas meja. Jam 4 lewat lima
menit Vivi muncul dari dalam taksi. What a beauty! puji Erik dalam hati.
Bener-bener sekuntum bunga mawar merah. Erik melambaikan tangan, saat Vivi
mendekati Erik menarik kursi untuk tempat duduk Vivi.
"Mau makan dan minum apa?" tanya Erik setelah Vivi duduk. Yang
ditanya sibuk membuka daftar menu. "Pisang bakar keju, sama kopi
krim" jawabnya. Pelayan yang berdiri di dekat Vivi segera pergi menyiapkan
makanan. "Setengah porsi aja?" pesen Vivi lagi.
"Erik mau bicara apa sama Vivi?" tanya Vivi. Erik terkejut juga,
jarang nih cewek berani mulai bicara pikirnya. "Nanti aja deh beres
makan" jawab Erik bak gentlemen.
"Begini, Vi" kata Erik lembut, "Sebenarnya dari dulu, sejak
pertama kali liat Vivi, Erik langsung suka sama Vivi, jadi Erik mau minta
jawaban jujur dari Vivi" Suara lembut Erik terputus. "Mau nggak Vivi
jadi pacar Erik?" sambungnya.
Vivi terdiam. Erik membuka lebar-lebar telinganya buat ngedengerin jawaban
Vivi. Vivi menggeser tempat duduknya. "Vivi .."suara lembut khas Vivi
akirnya keluar, terbata-bata. "Vivi... sebenarnya" Vivi masih ragu
untuk ngejawab sementara Erik still waiting dengan cemas.
"Vivi sebenarnya nggak nyangka dan nggak mau kalau hubungan baik Vivi dan
Kak Erik ... disalah artikan sebagai pacaran oleh Kak Erik. Sekarang ini
...Vivi nggak mau pacaran dulu. Dengan siapapun..." sambung Vivi pelan dan
dengan putus-putus. "Vivi ... minta maaf ... kalo jawaban Vivi menyinggung
perasaan Kak Erik, bagaimana kalo sekarang kita berteman aja?" pintanya
polos. Erik terhenyak ke sandaran kursi. Tak disangka ada juga gadis yang
menolaknya, dan gadis itu adalah yang setengah mati diinginkannya. Erik
terkesima dengan jawaban Vivi. Matanya setengah tak percaya kalau gadis
dihadapannya adalah Vivi yang baru aja menolaknya. Ah, semoga kupingnya budeg
dan salah denger. But its true! Vivi jadi serba salah dipandangnya Erik dengan
tatapan kosong. Beberapa menit mereka berdua terdiam.
"Vivi .. pamitan dulu, sudah mau maghrib, Mama pasti nyariin Vivi"
akhirnya vivi memberanikan diri bicara. Gadis itu bangun sambil menyeka matanya
yang basuh dengan sapu tangan merah jambu, berjalan menuju ke kasir, membayar
ongkos makan mereka berdua, lalu pergi keluar dengan taksi biru. Erik masih
terduduk di kafe yang mulai rame di kungjungi remaja-remaja yang membawa
pasangannya masing-masing. Lagu Ordiniry Love menggema dengan pilu dari sudut
kafe. "This is not your ordinary, your ordinary love, I was not prepare
enough to fall so deep in love. Erik termangu sendiri di dalam kafe larut dalam
kesedihannya.
Lima tahun kemudian. Boy sibuk menyiapkan kamar kosnya yang bakal dipake tempat
pengajian. Hari itu dia harus sudah mulai membimbing adik-adik kelasnya untuk
jadi aktivis Islam di kampusnya. Terpaksa kamar yang biasa berantakan
dirapikan. Diktat, kertas-kertas, coretan, buku-buku agama disimpan rapi di
rak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sehelai foto yang jatuh dari buku
agamanya. Foto dia dengan Erik di Pengandaran, sewaktu liburan SMP. Dia jadi
ingat Erik yang hampir lima tahun belum bertemu, semenjak perkelahian itu, Erik
diminta agar sekolahnya pindah ke Surabaya, di rumah bibinya. Dan Erik belum
pernah bertemu lagi dengan Boy, setiap Boy ke Surabaya, Erik menghindar dengan
menginap di rumah temannya. Begitu pula setiap Erik pulang ke Jakarta, selalu
tidur di rumah Nenek. Boy hanya tahu dari mama kalo prestasi sekolah Erik,
ancur-ancuran, untungya dia masih bisa kuliah. Terakhir mama cerita kalau Erik
bekerja dan akan menikah dengan teman kerjanya. Tak terasa Boy meneteskan air
mata mengingat masa-masa mereka yang manis waktu SMP, sampe akhirnya mereka
bertemu Vivi. Tapi mereka berpisah bukan karena Vivi, tapi karena kebodohan
dirinya dan Erik. Meraka hanya anak-anak SMA yang berandal.
Dug, dug dug, pintu kamar kostnya diketuk dari luar. "Boy, ada surat
nih" teriak teman kosnya, boy menyeka air matanya sebelum membuka pintu.
"Jazakallah khairan" katanya sambil buru-buru ngambil surat itu dan
cepet nutup pintu takut ketahuan nangis.
Ada dua surat di tangannya. Surat undangan berwarna biru dan merah jambu. Yang
pertama dibuka: undangan pernikahan dari Erik. Boy nyaris jejeritan kesenangan,
Erik menikah dan mengundangnya, ternyata dia tidak melupakan adiknya.
Giliran surat kedua dibuka, dia menahan nafas membuka surat itu, undangan
pernikahan Vivi Erningpraja. Boy tersenyum, tidak lagi panas kepala seperti
dulu. Alloh jualah yang menentukan segalanya. Erik dengan gadis lain dan Vivi
dengan pria lain. Surat itu disimpannya baik baik. Surat dari orang yang masih
dan pernah dicintainya dan ternyata tidak pernah melupakan dirinya. Erik dan
Vivi, aku akan datang ke pernikahan kalian, Boy janji pada diri sendiri. Tidak
ada lagi dendam, tidak ada lagi cemburu.
Gorden kamarnya dibuka, Boy ingin menatap langit malam itu. Langit masih biru
dan malam mulai gelap, tapi semuanya indah dalam pandanganya yang kini semakin
dibukakan oleh Allah. (Iwan)
Disarikan dari Permata 24/V Desember 1997
Untuk Langit, Hitam
Untuk Malam
Akhirnya Boy nongol juga ke rumah Vivi 'n langsung langsung aja diboyong ke
ruang belajar Seno, kakaknya Vivi.
"Assalamu'alaikum," sapa Boy. "Walaikum Salam" Seno langsung
nyalamin tangannya Boy. Nggak banyak omong langsung aja komputer yang lagi
ngadat itu dengan pasrah diacak-acak. Dinyalain, diliatin programnya. Setelah
dikira-kira bad sector-nya dimana, seketika itu juga komputer yang dengan
manisnya duduk di atas meja, dibongkar. Tutup CPU-nya dibuka. Isi perutnya yang
mirip perut Robocop diutak-atik.
"Sirkuitnya ada yang longgar," jawab Boy waktu Seno tanya-tanya soal
penggusuran eh pembongkaran komputer kesayangannya itu. Bener aja
saodara-saodara, nggak sia-sia Boy waktu kecil suka ngrusakin mainan orang,
ternyata komputer yang gegar otak itupun dengan lancar mengeluarkan
program-programnya. "Belajar betulin komputer dimana, Boy"
tanya Seno sesudah ngeberesin bekas operasi.
"Belajar sendiri aja dari buku" jawab Boy sambil minum sirup.
"Ditambah nekat bongkar komputer bokap di rumah" lanjutnya sambil
cengengesan Karena udah sore, Boy buru-buru pamitan pulang sama Seno dan tentu
juga sama Vivi. "Pinter juga tuh anak" setelah Boy pulang, Vivi diam
aja. "Baik lagi", tambahnya. "Kalau kakaknya?" tanya Vivi
iseng. "Si Erik? baik juga sih, cuman sok kece aja" Komentar Seno
sambil ngeliat reaksi adiknya. Vivi cuman manyun.
"Apa si Boy baru aja maen ke rumah elu?" Erik nggak bisa nahan rasa
sirik bin kagetnya waktu Seno nelpon ke rumah ngasih tahu kalo Boy baru aja
pulang dari rumahnya. "Tenang aja Rik, Boy kagak ngapa-ngapain, cuman
betulin komputer gue doang" kata Seno sambil ketawa ngeledekin Erik.
Sukses gue bikin jealous tuh anak!
"Oh, jadi dia nggak coba ngrayu-ngrayu Vivi kan?" Erik masih
penasaran. Tawa Seno meledak. "Mana gue tau? emangnya gue musti
ngawasin kemana adik lu pergi?" Erik bersungut-sungut.
"Ok, Rik, sekian aja informasi dari Seno, wassalam, bye" klik, Seno
nutup teleponnya meninggalkan Erik yang masih panas ati. Sialan si Boy,
bener-bener kutu busuk alias musuh dalam selimut, beraninya maen belakang.
Bersaing sih boleh aja, cuman jangan maen belakang dong. udah minggu kemaren
nggagalin kencan gue ama Vivi, eh sekarang malah ngedeketin Vivi. Memang benar,
perlu dikasih pelajaran tuh anak, Erik geram. Baru saja dia masuk ke kamar,
suara kaki Boy kedengaran masuk ke dalam rumah. Erik nggak jadi masuk kamar.
Boy ditungguin di depan kamarnya. Boy sempet kaget juga ngeliat kakaknya
menghadang di depan pintu kamar.
"Jadi gitu cara elu bersaing maen curang?" Erik emosi. Boy bengong
nggak ngerti maksud omongan Erik, tapi otaknya cepet mikir, pasti soal mobil
kemaren. Daripada ribut, Bou cuek aja masuk ke dalam kamar. Bruk. pundaknya
tubrukan ama pundak Erik. Erik panas ngerasa dicuekin. Pundak adiknya ditarik,
tapi tangannya ditepis Boy, dan tiba-tiba sebuah pukulan melayang ke wajah Boy,
Duk! Boy nggak sempat menghindar, badannya terhuyung ke dalam kamar. Tapi
sebentar kemudian Boy melayangkan pukulan balasan ke pipi kiri Erik, giliran
Erik yang terhuyung sampai terjengkang. Dia merasa ludahnya asin. Makin murka
Erik langsung berdiri dan menerjang Boy. Keduanya bergerumul di lantai dan
saling baku hantam.
"Berhenti" satu teriakan menghentikan keduanya. Papi sudah berdiri di
belakang. Mami sesenggukan di balik punggung Papi. Pelan Erik dan Boy bangkit,
pakain keduanya kusut. Darah mengalir dari sudut kiri bibir Erik. Sementara
mata Boy lebam.
"Apa-apaan ini? kalian mau saling bunuh, hah?" tanya Papi dengan
suara tinggi. Erik dan Boy tidak menjawab. "Sekarang kalian bereskan
semuanya dan Papi tunggu satu jam di kamar Papi" Selesai memarahi papi
menuju ke ruang tengah sambil menggandeng Mama yang masih sesenggukan. Tapi
baru aja papi dan mama berjalan beberapa langkah, tiba-tiba, bruk! Boy ambruk,
mama kaget dan menjerit "Boy!!"
Papi dan Mama berdiri di samping ranjang saat Boy
membuka mata. Papa dan Mama membawa Boy ke rumah sakit. Kata dokter Boy terkena
gegar otak ringan akibat terbentur tembok waktu berantem dengan Erik.
Wajah Papi sudah tidak segarang tadi. Kelihatan lebih tenang, hanya Mamanya
yang masih nampak cemas. "Masih sakit, sayang?" tanya Mami penuh
perasaan. Boy tidak menjawab. "Pi", kata Boy pelan, Papi mendekatkan
telinganya pada Boy. "Boy minta maaf, Pi" pinta Boy pelan. Papi
menggelengkan kepala. "Papi sudah maafkan. Papi sudah tahu semua duduk
persoalannya. sekarang kamu istirahat saja. Kita bicarakan nanti aja kalau kamu
sudah kembali ke rumah" Jawab Papi menenangkan Boy.
Sore itu Erik masih duduk-duduk di teras belakang rumah neneknya. Oleh Papi,
Erik dilarang tinggal di rumah selama 2 bulan. Akhirnya dengan sangat terpaksa
dia mengungsi ke rumah nenek. Tapi lumayan, dia nggak kesepian, karena mini
componya boleh dibawa ke sana. Lamat-lamat lagu Paint My Love-nya Micheal
Learns to Rock terdengar di sana. "From my youngest years till the moment
here I've never seen such a lovely queen" begitu Erik menirukannnya.
Erik jadi teringat Vivi, sudah 2 minggu dia nggak maen atau nelpon ke rumahnya.
Mungkin sudah tahu kejadian yang menimpa Boy, mungkin juga ia sekarang membenci
dirinya dan makin simpati ama Boy. Erik menertawakan ketololannya sendiri,
kenapa ia begitu emosi pada Boy, ia terbawa emosi setelah diberitahu Seno kakak
Vivi, bahwa Boy baru aja ke rumah Seno. Padahal dalam kenyataanya, Boy hanya
bentulin komputer, kalaupun pada Vivi, boy sebenarya juga naksir, tapi sebagai
seorang muslim yang ngerti halal dan haram, maka Boy nggak melampiaskan rasa
tertariknya pada Vivi dengan memacarinya, berbeda dengan Erik, dan belum tentu
juga Vivi suka pada Boy ataupun erik.
Karena penasaran, Erik mendekati telepon neneknya. Masih dengan ragu-ragu
jarinya menekan tombol telepon. Cukup lama Erik menanti telepon di seberang
diangkat. "Hallo?, bisa bicara dengan Vivi?" Erik mulai
pembicaraanya. "Saya sendiri, Ini siapa ya?" tanya Vivi di seberang.
"Erik, ini Erik" sahut Erik. "Erik?Kak Erik Sugama?" tanya
Vivi. "Iya," Erik meyakinkan Vivi, yang diyakinkan malah terdiam.
"Eh .. Vi, gue mau minta maaf. Gue lama nggak ngontak en maen lagi ke
rumahmu, maklum banyak urusan" Erik mulai Berdiplomasi. "Eng ..nggak
apa-apa, emangnya sekarang ada perlu apa?" tanya Vivi. "Vi.. gimana
kalo sabtu sore kita ke Rose Kafe?" Erik harap-harap cemas kalo Vivi menolak
ajakannya. "Memangnya ada perlu apa sih?, kalo cuman mau minum kopi kan
bisa di rumah Vivi?" tanya Vivi curiga.
"eee..Ada yang penting en kayaknya perlu serius deh. Lagian kan asyik
kalau kita sore-sore maen ke sana. Kata anak-anak croissantnya enak lho, eh,
kamu nggak lagi diet kan?" Erik mulai mengeluarkan jurus play boy-nya.
"Bukan soal diet sih, cuman penting banget nggak?" vivi masih curiga.
"Penting dong" jawab Erik. "Harus?" tanya balik Vivi.
"Harus!" kejar Erik. Hening, Erik ikutan diam, menunggu jawaban Vivi.
"Ya udah, tunggu ajam empat sore ya?" Akhirnya pekik Erik dalam hati.
Yes you give me a big chance, God. "Ok, jam 4 sore en jangan lupa tunggu
disana" sambar Erik cepat, Telepon Vivi ditutup. Klik
Jam 4 sore, Erik sudah duduk di kafe Ros. Kaos hijau Ocean Pacific dipadu
dengan jins biru. segelas kopi krim sudah ada diatas meja. Jam 4 lewat lima
menit Vivi muncul dari dalam taksi. What a beauty! puji Erik dalam hati.
Bener-bener sekuntum bunga mawar merah. Erik melambaikan tangan, saat Vivi
mendekati Erik menarik kursi untuk tempat duduk Vivi.
"Mau makan dan minum apa?" tanya Erik setelah Vivi duduk. Yang
ditanya sibuk membuka daftar menu. "Pisang bakar keju, sama kopi
krim" jawabnya. Pelayan yang berdiri di dekat Vivi segera pergi menyiapkan
makanan. "Setengah porsi aja?" pesen Vivi lagi.
"Erik mau bicara apa sama Vivi?" tanya Vivi. Erik terkejut juga,
jarang nih cewek berani mulai bicara pikirnya. "Nanti aja deh beres
makan" jawab Erik bak gentlemen.
"Begini, Vi" kata Erik lembut, "Sebenarnya dari dulu, sejak
pertama kali liat Vivi, Erik langsung suka sama Vivi, jadi Erik mau minta
jawaban jujur dari Vivi" Suara lembut Erik terputus. "Mau nggak Vivi
jadi pacar Erik?" sambungnya.
Vivi terdiam. Erik membuka lebar-lebar telinganya buat ngedengerin jawaban
Vivi. Vivi menggeser tempat duduknya. "Vivi .."suara lembut khas Vivi
akirnya keluar, terbata-bata. "Vivi... sebenarnya" Vivi masih ragu
untuk ngejawab sementara Erik still waiting dengan cemas.
"Vivi sebenarnya nggak nyangka dan nggak mau kalau hubungan baik Vivi dan
Kak Erik ... disalah artikan sebagai pacaran oleh Kak Erik. Sekarang ini
...Vivi nggak mau pacaran dulu. Dengan siapapun..." sambung Vivi pelan dan
dengan putus-putus. "Vivi ... minta maaf ... kalo jawaban Vivi menyinggung
perasaan Kak Erik, bagaimana kalo sekarang kita berteman aja?" pintanya
polos. Erik terhenyak ke sandaran kursi. Tak disangka ada juga gadis yang
menolaknya, dan gadis itu adalah yang setengah mati diinginkannya. Erik
terkesima dengan jawaban Vivi. Matanya setengah tak percaya kalau gadis
dihadapannya adalah Vivi yang baru aja menolaknya. Ah, semoga kupingnya budeg
dan salah denger. But its true! Vivi jadi serba salah dipandangnya Erik dengan
tatapan kosong. Beberapa menit mereka berdua terdiam.
"Vivi .. pamitan dulu, sudah mau maghrib, Mama pasti nyariin Vivi"
akhirnya vivi memberanikan diri bicara. Gadis itu bangun sambil menyeka matanya
yang basuh dengan sapu tangan merah jambu, berjalan menuju ke kasir, membayar
ongkos makan mereka berdua, lalu pergi keluar dengan taksi biru. Erik masih
terduduk di kafe yang mulai rame di kungjungi remaja-remaja yang membawa
pasangannya masing-masing. Lagu Ordiniry Love menggema dengan pilu dari sudut
kafe. "This is not your ordinary, your ordinary love, I was not prepare
enough to fall so deep in love. Erik termangu sendiri di dalam kafe larut dalam
kesedihannya.
Lima tahun kemudian. Boy sibuk menyiapkan kamar kosnya yang bakal dipake tempat
pengajian. Hari itu dia harus sudah mulai membimbing adik-adik kelasnya untuk
jadi aktivis Islam di kampusnya. Terpaksa kamar yang biasa berantakan
dirapikan. Diktat, kertas-kertas, coretan, buku-buku agama disimpan rapi di
rak. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sehelai foto yang jatuh dari buku
agamanya. Foto dia dengan Erik di Pengandaran, sewaktu liburan SMP. Dia jadi
ingat Erik yang hampir lima tahun belum bertemu, semenjak perkelahian itu, Erik
diminta agar sekolahnya pindah ke Surabaya, di rumah bibinya. Dan Erik belum
pernah bertemu lagi dengan Boy, setiap Boy ke Surabaya, Erik menghindar dengan
menginap di rumah temannya. Begitu pula setiap Erik pulang ke Jakarta, selalu
tidur di rumah Nenek. Boy hanya tahu dari mama kalo prestasi sekolah Erik,
ancur-ancuran, untungya dia masih bisa kuliah. Terakhir mama cerita kalau Erik
bekerja dan akan menikah dengan teman kerjanya. Tak terasa Boy meneteskan air
mata mengingat masa-masa mereka yang manis waktu SMP, sampe akhirnya mereka
bertemu Vivi. Tapi mereka berpisah bukan karena Vivi, tapi karena kebodohan
dirinya dan Erik. Meraka hanya anak-anak SMA yang berandal.
Dug, dug dug, pintu kamar kostnya diketuk dari luar. "Boy, ada surat
nih" teriak teman kosnya, boy menyeka air matanya sebelum membuka pintu.
"Jazakallah khairan" katanya sambil buru-buru ngambil surat itu dan
cepet nutup pintu takut ketahuan nangis.
Ada dua surat di tangannya. Surat undangan berwarna biru dan merah jambu. Yang
pertama dibuka: undangan pernikahan dari Erik. Boy nyaris jejeritan kesenangan,
Erik menikah dan mengundangnya, ternyata dia tidak melupakan adiknya.
Giliran surat kedua dibuka, dia menahan nafas membuka surat itu, undangan
pernikahan Vivi Erningpraja. Boy tersenyum, tidak lagi panas kepala seperti
dulu. Alloh jualah yang menentukan segalanya. Erik dengan gadis lain dan Vivi
dengan pria lain. Surat itu disimpannya baik baik. Surat dari orang yang masih
dan pernah dicintainya dan ternyata tidak pernah melupakan dirinya. Erik dan
Vivi, aku akan datang ke pernikahan kalian, Boy janji pada diri sendiri. Tidak
ada lagi dendam, tidak ada lagi cemburu.
Gorden kamarnya dibuka, Boy ingin menatap langit malam itu. Langit masih biru
dan malam mulai gelap, tapi semuanya indah dalam pandanganya yang kini semakin
dibukakan oleh Allah. (Iwan)
Disarikan dari Permata 24/V Desember 1997
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as