Kiai Yazid dan Si
Anjing Hitam
Cerpen Wawan Susetya
Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati.
Orang-orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid
al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru.
Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah
Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua
naSihat dan bimbingan Sang Mursyid.
Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang
menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru
dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang
dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati,
bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta
keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya
dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai.
Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud
menguji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar
waskita (tajam penglihatan mata batinnya)?
Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga
ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada
Allah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil,
ada pula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang
bergantung pada ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan
membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua.
Karena ke-â€alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap
bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan
hanya itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para
sufi pun banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas
soal-soal spiritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan.
Berpisah dan bersatu.
Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau
"menyendiri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain,
Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa
itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi,
mengajar, dan gaul dengan banyak orang.
***
Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak
seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya
berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja.
Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid
merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya.
E?.ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara
reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu
cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir:
jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!
Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di
dekatnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan
apa-apa!"
Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong:
benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata?
Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya
tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh
kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau
menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan
menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!"
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya,
Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan
kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga
menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama
makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
"Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang
kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah
kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!"
Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing
Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya,
tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.
"Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi
sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu.
Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun
yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku
tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung
gandum untuk makanan esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang.
Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah
dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan
yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat
hati Sang Kiai.
"Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing
milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal?
Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara
makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada
Tuhannya di tempat yang sepi itu.
Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya.
Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para
santri yang menunggu pengajarannya.
***
Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada
para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi
juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar
di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai;
baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan
ketuhanan.
Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang
muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan
datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah
Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih
jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat
tergesa-gesa --barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera
saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning
itu.
"Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si
Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada
suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata
Kiai Yazid kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si
Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang,
tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya
kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima
kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga
harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing
Kuning.
Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai
Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar
telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai
adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu
beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek
tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!"
Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah
berkata kepadaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian
dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah
kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang
sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan
kepadanya."
Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut.
Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian.
Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus
meneruskan perjalanannya. ***
(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari
kalangan kaum sufi)
Tulungagung, 9 Oktober 2003
Anjing Hitam
Cerpen Wawan Susetya
Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati.
Orang-orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid
al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru.
Mereka datang dari berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah
Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua
naSihat dan bimbingan Sang Mursyid.
Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang
menginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru
dunia. Ada yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang
dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati,
bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta
keperluan-keperluan yang Sifatnya pragmatis dan teknis lainnya. Semuanya
dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kiai.
Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud
menguji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar
waskita (tajam penglihatan mata batinnya)?
Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga
ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada
Allah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil,
ada pula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang
bergantung pada ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan
membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua.
Karena ke-â€alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap
bahwa Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan
hanya itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para
sufi pun banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas
soal-soal spiritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan.
Berpisah dan bersatu.
Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau
"menyendiri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain,
Sang Kiai sangat merasakan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa
itu tertutup oleh penampilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi,
mengajar, dan gaul dengan banyak orang.
***
Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak
seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya
berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja.
Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid
merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya.
E?.ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara
reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu
cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir:
jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!
Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di
dekatnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan
apa-apa!"
Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong:
benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata?
Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya
tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh
kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau
menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan
menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!"
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya,
Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan
kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga
menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama
makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
"Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang
kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah
kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!"
Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing
Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya,
tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.
"Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi
sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu.
Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun
yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku
tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung
gandum untuk makanan esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang.
Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah
dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan
yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat
hati Sang Kiai.
"Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing
milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal?
Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara
makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada
Tuhannya di tempat yang sepi itu.
Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya.
Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para
santri yang menunggu pengajarannya.
***
Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada
para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi
juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar
di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai;
baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan
ketuhanan.
Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang
muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan
datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah
Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih
jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat
tergesa-gesa --barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera
saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning
itu.
"Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si
Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada
suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata
Kiai Yazid kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si
Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang,
tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya
kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima
kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga
harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing
Kuning.
Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai
Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar
telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai
adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu
beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek
tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!"
Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah
berkata kepadaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian
dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah
kehormatan sebagai raja di antara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang
sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan
kepadanya."
Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut.
Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian.
Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus
meneruskan perjalanannya. ***
(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari
kalangan kaum sufi)
Tulungagung, 9 Oktober 2003
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as