Antara Yogya dan
Los Angeles
Oleh : Zuna
Ar-Radli
Riko mendesah panjang, sambil
mengepalkan tinjunya ke busa tempatnya berbaring, ia berusaha bangun. Dengan
lesu Riko duduk di sisi pembaringan sembari memegangi kepalanya yang terasa
berat, sesekali desahan masih terdengar.
"Kita harus mengakhirinya
Ko, tak ada ikatan apapun dalam Islam antara seorang laki-laki dan wanita
kecuali khitbah dan pernikahan, ini haram, Ko". Riko mendesis mengingat
kata-kata Ayu sore tadi, ada sesuatu menyayat ulu hatinya, perih. Dan ia tak
habis mengerti perubahan jalan pikiran Ayu akhir-akhir ini.Riko bangkit dari
duduknya, dengan langkah lunglai ditariknya kursi lalu dihempaskan pantatnya.
Ia menekuri meja, ditatapnya photo Ayu yang ada di depannya, lantas dengan
kasar disorongkannya ke sudut meja. Tangan Riko menarik album yang terselip di
deretan buku, dengan tanpa gairah dibukanya album itu dan terhenti pada photo
dirinya yang sedang berangkulan dengan Riki. Diamatinya dengan seksama dua
wajah yang bagai pinang dibelah dua.
Terbayang saat-saat yang
dihabiskanya selama 18 tahun bersama Riki sampai mereka memutuskan untuk
berpisah, karena ia lebih memilih Yogya sebagai kelanjutan studinya tidak
halnya dengan Riki yang menerima tawaran Oom mereka untuk melanjutkan ke LA.
ambil tetap melekatkan ke wajah mereka, Riko menarik sebatang rokok. Dengan
gerakan malas ia berusaha menyalakannya, gagal, Riko kehilangan konsentrasi
meski hanya untuk sekedar menyalakan rokok pun tak mampu.
Setelah berungkali batang korek
api yang dinyalakan mati sebelum sempat membakar ujung rokoknya, Riko
memukulkan kepalan tangannya dengan keras ke meja hingga barang-barang yang
diatasnya bergetar dan photo Ayu dalam bingkai yang berada di sudut jatuh dan
pecah. Riko menyengir memandangi photo orang yang sebenarnya dikaguminya itu
tapi dengan seenaknya memberi keputusan sepihak di antara pecahan kaca. Hatinya
kalut membayangkan kepulangan Riki yang ditemani Alice sementara dirinya
seorang diri menggigit bibir. Dengan sisa konsentrasinya Riko kembali
menyalakan rokoknya, didekatkan ujung yang satunya ke mulut lalu dihembuskannya
perlahan-lahan, ia berusaha mencari kenikmatan dari lintingan nikotin itu.
Tatapan Riko kembali ke album, dengan lebih teliti diamatinya wajah Riki lalu
wajahnya, ingatannya melayang ke percakapan mereka berdua sebelum Riki terbang
ke LA. nilah saatnya kita cari gandengan Ko" Betul, aku janji akan
membawakan untukmu seorang calon ipar yang darahnya biru" "Kalo mo
ketemu mama jalanya pake nunduk-nunduk, hhh,. Hhhhaa" "Haaa, haaha
dan untuk calon iparku, kau harus bawa yang rambutnya kayak rambut jagung, kalo
mau ketemu di pintu pagar sudah bilang hello" "Ya deh aku
janji"
Ada kerinduan menyeruak bila
mengingat, bagaimana mereka saling meledek lalu tertawa bersama dan tiba-tiba
wajah Riko bertambah sendu mengingat kesepakatan mereka untuk membawa pacarnya
masing-masing dalam pertemuan Agung, begitu mereka mengistilahkan dan juga
sepakat untuk merekam cerita masing-masing dalam kaset. Riko memainkan kepulan
asap rokoknya, dibayangkan hari-hari Riki bersama Alice, serba menyenangkan,
penuh hura-hura dan kebebasan tanpa ada tetek bengek yang membelenggunya. Riko
geram membandingkan dengan nasibnya. "Sebenarnya aku kangen sekali,
Ki" Riko mendesah sebuah perasaan merasa terkalahkan menghalanginya untuk
bergegas menyambut kedatangan Riki di bandara.
Riko mematikan mesin mobilnya,
dengan gontai ia melangkah keluar, Riko berdiri tegak mengamati rumah berlantai
dua yang berdiri megah di depannya, terlalu banyak kenangan bersama Riki bahkan
sejak mereka berdua masih dalam perut. Bayangan keberadaan Alice di sisi Riki
dan tidak adanya Ayu membimbingkannya untuk segera masuk. Tapi segera
disadarinya jika anak kembar tak mesti harus bernasib sama, dilangkahkan juga
kakinya memasuki rumah dengan lewat tangga samping langsung menuju kamarnya
yang juga kamar Riki. Sepi, mungkin Riki dan Alice baru ngobrol dengan Mama di
bawah, pikirnya. Ketika mata Riko menangkap kaset yang tergeletak di meja dan
ia yakin pasti itu rekaman Riki, segara disambarnya dan langsung mendekati
tape. Sejenak setelah jari Riko menekan tombol Play .... "Assalamu'alaikum
Riko, aku kangen sekali padamu. Maaf Ko, aku tak bisa mengajak Alice seperti
janjiku, ini janji yang satunya, dengar yaa... serius nih. Riko, LA memang
dengan suka cita memberikan apa yang kebanyakan diimpikan anak muda, kebebasan,
hura-hura dan kesenangan-kesenangan dunia yang lainnya yang memabukkan, di
hampir setiap sudutnya justru ditawarkan dengan yang menggiurkan. Riko, Kamu
setuju bukan, sebenarnya kebebasan, hura-hura juga surga-surga dunia tak pernah
bisa memberikan apa yang sesungguhnya didambakan setiap orang yaitu sejatinya
kebahagian. Aku yakin semua orang yang telah mencoba menikmati segala kebebasan
itupun mengakui jika mereka mau jujur pada suara hatinya yang paling dalam.
Riko, jika bukan karena Islam, kemungkinan besar saudara kembarmu ini telah
berubah menjadi binatang di sana. Hidup mematuhi nafsunya tanpa mengenal
batasan dan tak lagi kenal apa itu haram.
Riko, segala puji hak Allah
semata, yang telah mempertemukan dengan mas Arifin, orang Bandung yang baru
mengambil S2. Lewat beliau aku mengkaji Al-Qur'an dan lewat beliau aku mengkaji
Al-Qur'an dan lewat beliau Allah berkenan membukakan hatiku untuk mengenali
Islam yang sesungguhnya, Islam sebagai sistem juga sebagai jalan hidup. Riko,
sejak mengenal Islam, otomatis hubunganku dengan Alice berakhir, padahal aku
begitu menunggu waktu pertemuan denganmu dimana aku bisa membanggakan Alice
yang cantik, cerdas dan supel. Keputusan harus kuambil, meski sangat berat
karena tangan-tangan nafsu begitu kuat mencengkramku, tapi seberat apapun
bukankah aku harus memenangkan aturan agamaku, aturan Allah. Jangankan pacaran
yang memungkinkan berduan dan macam-macam, menurutkan pandangan saja tetap
diharamkan. Bukankah ketaatan yang harus kita tunjukkan sebagai bukti dari
pengakuan kita adalah muslim. Meski akal kita belum menerimanya, tidak tahu apa
manfaatnya karena ilmu kita tak lebih dari setetes air dari ujung jari yang dicelupkan
ke luasnya samudra tak bertepi bila dibanding dengan kemahatahuan Allah. Kenapa
kita sering merasa sok tahu, dengan memberi argumen-argumen yang didasarkan
nafsu.
Riko, Setelah aku mendapat
gambaran yang jelas tentang Islam, aku bertekad untuk senantiasa hidup
bersamanya, berusaha memberikan apa yang kubisa untuk membelanya dan
mengimpikan kejayannya. Dengan itu mulai kurasakan artinya hidup dan ternyata
di situlah aku menemukan ketentraman dan sejatinya kebahagiaan. Riko, Dalam
setiap doaku aku selalu memohon, kamu pun ....
Riko segera menekan tombol
stop, rasanya tak sanggup lagi ia mendengar suara Riki yang setiap kalimat
seakan menelanjanginya. Rasanya Riko terhempas membandingkan apa yang ada di
kepalanya dan yang di kepala Riki. Selama ini hidup yang dijalaninya sangatlah
remeh, tak punya muatan apa-apa. Yang diotaknya hanya apa yang akan
menyenangkan nafsunya. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya. Di
tengah berbagai kenikmatan dunia menyesatkan yang ditawarkan oleh pesatnya laju
kemajuan zaman, Riki bisa menemukan jalan mana yang benar-benar bisa
menyelamatkan dan mengantarkan ke surga yang sesungguhnya, sementara dirinya
dibingungkan oleh kemajuan jaman yang tak dipahaminya, tak tahu arus akan
mengantarkanya ke mana. Riko meraba pipinya, jemarinya menemukan air yang
mengalir dari sudut matanya. Rasa rindunya pada Riki tiba-tiba tak terbendung.
Seketika Riko berbalik ketika terdengar salam dan ia yakin siapa yang
mengucapkannya.
"Ri ... Ki..."
pekiknya terbata-bata, seakan tak percaya menyaksikan Riki sudah berdiri
diambang pintu kamar mereka, dengan wajah bersih mencerminkan ketenangan dan
sorot mata penuh wibawa. Dijawabnya salam dengan suara yang hampir tak
terdengar. Keduanya masih terpaku di tempat masing-masing, namun hanya beberapa
detik.
"Riko" Riki berjalan sambil membentangkan tangannya. Tak sesaatpun
Riko menunggu, ia langsung menghambur ke arah Riki. Segenap perasaan yang
menggedor-gedor jiwanya ditumpahkan dalam pelukan saudara kembarnya. Ada isak
tertahan. "Ki, maukah kau mengenalkanku pada Islam yang sebenarnya?"
Ucap Riko terbata setelah mereka mengurai rangkulan masing-masing, Riki tak
menjawab, namun di rangkulnya kembali saudara kembarnya dengan lebih erat lagi.
Untuk sesuatu yang tak ternilai harganya ..... Hidayah.
Los Angeles
Oleh : Zuna
Ar-Radli
Riko mendesah panjang, sambil
mengepalkan tinjunya ke busa tempatnya berbaring, ia berusaha bangun. Dengan
lesu Riko duduk di sisi pembaringan sembari memegangi kepalanya yang terasa
berat, sesekali desahan masih terdengar.
"Kita harus mengakhirinya
Ko, tak ada ikatan apapun dalam Islam antara seorang laki-laki dan wanita
kecuali khitbah dan pernikahan, ini haram, Ko". Riko mendesis mengingat
kata-kata Ayu sore tadi, ada sesuatu menyayat ulu hatinya, perih. Dan ia tak
habis mengerti perubahan jalan pikiran Ayu akhir-akhir ini.Riko bangkit dari
duduknya, dengan langkah lunglai ditariknya kursi lalu dihempaskan pantatnya.
Ia menekuri meja, ditatapnya photo Ayu yang ada di depannya, lantas dengan
kasar disorongkannya ke sudut meja. Tangan Riko menarik album yang terselip di
deretan buku, dengan tanpa gairah dibukanya album itu dan terhenti pada photo
dirinya yang sedang berangkulan dengan Riki. Diamatinya dengan seksama dua
wajah yang bagai pinang dibelah dua.
Terbayang saat-saat yang
dihabiskanya selama 18 tahun bersama Riki sampai mereka memutuskan untuk
berpisah, karena ia lebih memilih Yogya sebagai kelanjutan studinya tidak
halnya dengan Riki yang menerima tawaran Oom mereka untuk melanjutkan ke LA.
ambil tetap melekatkan ke wajah mereka, Riko menarik sebatang rokok. Dengan
gerakan malas ia berusaha menyalakannya, gagal, Riko kehilangan konsentrasi
meski hanya untuk sekedar menyalakan rokok pun tak mampu.
Setelah berungkali batang korek
api yang dinyalakan mati sebelum sempat membakar ujung rokoknya, Riko
memukulkan kepalan tangannya dengan keras ke meja hingga barang-barang yang
diatasnya bergetar dan photo Ayu dalam bingkai yang berada di sudut jatuh dan
pecah. Riko menyengir memandangi photo orang yang sebenarnya dikaguminya itu
tapi dengan seenaknya memberi keputusan sepihak di antara pecahan kaca. Hatinya
kalut membayangkan kepulangan Riki yang ditemani Alice sementara dirinya
seorang diri menggigit bibir. Dengan sisa konsentrasinya Riko kembali
menyalakan rokoknya, didekatkan ujung yang satunya ke mulut lalu dihembuskannya
perlahan-lahan, ia berusaha mencari kenikmatan dari lintingan nikotin itu.
Tatapan Riko kembali ke album, dengan lebih teliti diamatinya wajah Riki lalu
wajahnya, ingatannya melayang ke percakapan mereka berdua sebelum Riki terbang
ke LA. nilah saatnya kita cari gandengan Ko" Betul, aku janji akan
membawakan untukmu seorang calon ipar yang darahnya biru" "Kalo mo
ketemu mama jalanya pake nunduk-nunduk, hhh,. Hhhhaa" "Haaa, haaha
dan untuk calon iparku, kau harus bawa yang rambutnya kayak rambut jagung, kalo
mau ketemu di pintu pagar sudah bilang hello" "Ya deh aku
janji"
Ada kerinduan menyeruak bila
mengingat, bagaimana mereka saling meledek lalu tertawa bersama dan tiba-tiba
wajah Riko bertambah sendu mengingat kesepakatan mereka untuk membawa pacarnya
masing-masing dalam pertemuan Agung, begitu mereka mengistilahkan dan juga
sepakat untuk merekam cerita masing-masing dalam kaset. Riko memainkan kepulan
asap rokoknya, dibayangkan hari-hari Riki bersama Alice, serba menyenangkan,
penuh hura-hura dan kebebasan tanpa ada tetek bengek yang membelenggunya. Riko
geram membandingkan dengan nasibnya. "Sebenarnya aku kangen sekali,
Ki" Riko mendesah sebuah perasaan merasa terkalahkan menghalanginya untuk
bergegas menyambut kedatangan Riki di bandara.
Riko mematikan mesin mobilnya,
dengan gontai ia melangkah keluar, Riko berdiri tegak mengamati rumah berlantai
dua yang berdiri megah di depannya, terlalu banyak kenangan bersama Riki bahkan
sejak mereka berdua masih dalam perut. Bayangan keberadaan Alice di sisi Riki
dan tidak adanya Ayu membimbingkannya untuk segera masuk. Tapi segera
disadarinya jika anak kembar tak mesti harus bernasib sama, dilangkahkan juga
kakinya memasuki rumah dengan lewat tangga samping langsung menuju kamarnya
yang juga kamar Riki. Sepi, mungkin Riki dan Alice baru ngobrol dengan Mama di
bawah, pikirnya. Ketika mata Riko menangkap kaset yang tergeletak di meja dan
ia yakin pasti itu rekaman Riki, segara disambarnya dan langsung mendekati
tape. Sejenak setelah jari Riko menekan tombol Play .... "Assalamu'alaikum
Riko, aku kangen sekali padamu. Maaf Ko, aku tak bisa mengajak Alice seperti
janjiku, ini janji yang satunya, dengar yaa... serius nih. Riko, LA memang
dengan suka cita memberikan apa yang kebanyakan diimpikan anak muda, kebebasan,
hura-hura dan kesenangan-kesenangan dunia yang lainnya yang memabukkan, di
hampir setiap sudutnya justru ditawarkan dengan yang menggiurkan. Riko, Kamu
setuju bukan, sebenarnya kebebasan, hura-hura juga surga-surga dunia tak pernah
bisa memberikan apa yang sesungguhnya didambakan setiap orang yaitu sejatinya
kebahagian. Aku yakin semua orang yang telah mencoba menikmati segala kebebasan
itupun mengakui jika mereka mau jujur pada suara hatinya yang paling dalam.
Riko, jika bukan karena Islam, kemungkinan besar saudara kembarmu ini telah
berubah menjadi binatang di sana. Hidup mematuhi nafsunya tanpa mengenal
batasan dan tak lagi kenal apa itu haram.
Riko, segala puji hak Allah
semata, yang telah mempertemukan dengan mas Arifin, orang Bandung yang baru
mengambil S2. Lewat beliau aku mengkaji Al-Qur'an dan lewat beliau aku mengkaji
Al-Qur'an dan lewat beliau Allah berkenan membukakan hatiku untuk mengenali
Islam yang sesungguhnya, Islam sebagai sistem juga sebagai jalan hidup. Riko,
sejak mengenal Islam, otomatis hubunganku dengan Alice berakhir, padahal aku
begitu menunggu waktu pertemuan denganmu dimana aku bisa membanggakan Alice
yang cantik, cerdas dan supel. Keputusan harus kuambil, meski sangat berat
karena tangan-tangan nafsu begitu kuat mencengkramku, tapi seberat apapun
bukankah aku harus memenangkan aturan agamaku, aturan Allah. Jangankan pacaran
yang memungkinkan berduan dan macam-macam, menurutkan pandangan saja tetap
diharamkan. Bukankah ketaatan yang harus kita tunjukkan sebagai bukti dari
pengakuan kita adalah muslim. Meski akal kita belum menerimanya, tidak tahu apa
manfaatnya karena ilmu kita tak lebih dari setetes air dari ujung jari yang dicelupkan
ke luasnya samudra tak bertepi bila dibanding dengan kemahatahuan Allah. Kenapa
kita sering merasa sok tahu, dengan memberi argumen-argumen yang didasarkan
nafsu.
Riko, Setelah aku mendapat
gambaran yang jelas tentang Islam, aku bertekad untuk senantiasa hidup
bersamanya, berusaha memberikan apa yang kubisa untuk membelanya dan
mengimpikan kejayannya. Dengan itu mulai kurasakan artinya hidup dan ternyata
di situlah aku menemukan ketentraman dan sejatinya kebahagiaan. Riko, Dalam
setiap doaku aku selalu memohon, kamu pun ....
Riko segera menekan tombol
stop, rasanya tak sanggup lagi ia mendengar suara Riki yang setiap kalimat
seakan menelanjanginya. Rasanya Riko terhempas membandingkan apa yang ada di
kepalanya dan yang di kepala Riki. Selama ini hidup yang dijalaninya sangatlah
remeh, tak punya muatan apa-apa. Yang diotaknya hanya apa yang akan
menyenangkan nafsunya. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya. Di
tengah berbagai kenikmatan dunia menyesatkan yang ditawarkan oleh pesatnya laju
kemajuan zaman, Riki bisa menemukan jalan mana yang benar-benar bisa
menyelamatkan dan mengantarkan ke surga yang sesungguhnya, sementara dirinya
dibingungkan oleh kemajuan jaman yang tak dipahaminya, tak tahu arus akan
mengantarkanya ke mana. Riko meraba pipinya, jemarinya menemukan air yang
mengalir dari sudut matanya. Rasa rindunya pada Riki tiba-tiba tak terbendung.
Seketika Riko berbalik ketika terdengar salam dan ia yakin siapa yang
mengucapkannya.
"Ri ... Ki..."
pekiknya terbata-bata, seakan tak percaya menyaksikan Riki sudah berdiri
diambang pintu kamar mereka, dengan wajah bersih mencerminkan ketenangan dan
sorot mata penuh wibawa. Dijawabnya salam dengan suara yang hampir tak
terdengar. Keduanya masih terpaku di tempat masing-masing, namun hanya beberapa
detik.
"Riko" Riki berjalan sambil membentangkan tangannya. Tak sesaatpun
Riko menunggu, ia langsung menghambur ke arah Riki. Segenap perasaan yang
menggedor-gedor jiwanya ditumpahkan dalam pelukan saudara kembarnya. Ada isak
tertahan. "Ki, maukah kau mengenalkanku pada Islam yang sebenarnya?"
Ucap Riko terbata setelah mereka mengurai rangkulan masing-masing, Riki tak
menjawab, namun di rangkulnya kembali saudara kembarnya dengan lebih erat lagi.
Untuk sesuatu yang tak ternilai harganya ..... Hidayah.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as