Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    antara realita dan idealita

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 36
    Lokasi : di hati si admin

    antara realita dan idealita Empty antara realita dan idealita

    Post by ratri Fri Jun 11, 2010 10:49 pm

    ANTARA KENYATAAN DAN
    YANG DIPELAJARI



    Apakah Dunia Pendidikan Mengikuti Zaman?*








    Yustina Rostiawati**








    Melihat Kenyataan ...





    Waktu itu tahun 1996 ketika saya
    mulai menyadari ada yang salah dengan dunia pendidikan formal kita. Mengapa?
    Dua anak pertama saya belajar materi yang sama ketika mulai duduk di bangku
    kelas 1 Sekolah Dasar. Bedanya, anak pertama saya dapat dengan mudah menghafal
    pelajaran tersebut, sedangkan tiga tahun kemudian anak kedua saya mengalami
    kesulitan menghafalkan materi tersebut. Saya ingat betul mata pelajaran itu
    disebut Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
    ketika anak pertama saya di kelas satu tahun 1992/1993, dan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
    (PPKn)
    ketika anak kedua saya di kelas satu tahun 1996. Ada pergantian dan perubahan kurikulum yang
    terjadi pada tahun 1994 wktu itu. Dan seperti biasanya, perubahan kurikulum ini
    pasti diikuti dengan perubahan pendekatan cara mengajar juga buku-buku
    pelajaran (termasuk nama mata pelajaran). Namun yang membuat heran, ternyata isi
    materi buku pelajaran tidak berubah. Buktinya pelajaran PMP yang menjadi PPKn
    tersebut. Sejak dengan nama PMP, anak pertama saya menghafalkan tentang tugas
    ayah sebagai kepala keluarga dan tugas ibu sebagai ibu rumah tangga. Persis
    mengutip salah satu pasal dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974.





    Pengalaman di atas rupanya bukan pengalaman satu-satunya yang membuat kaget
    saya sebagai orang tua murid. Suatu sore ketika pulang kantor saya
    mendengar dua kakak beradik sedang beradu mulut. Pasalnya, si kakak menolak
    menceritakan kelanjutan cerita yang dia peroleh dari gurunya di dalam kelas
    (waktu itu dia sudah kelas 4 SD). Ketika
    mencoba menyelesaikan pertengkaran itu, saya coba menggali mengapa si kakak
    tidak mau bercerita. Lalu dengan ketakutan dan sambil menangis dia menjawab: “Aku ngeri, pak B (nama guru laki-laki)
    bilang kalau perempuan nantinya akan menstruasi dan berdarah-darah. Katanya itu
    urusan perempuan, laki-laki nggak perlu tau.”
    Sambil menenangkan kedua
    kakak beradik itu, saya mulai menjelaskan tentang menstruasi, dan tentang
    perlunya laki-laki juga mengetahui mengenai hal ini. Rupanya cerita guru di
    kelas ini juga menyebabkan kedongkolan bagi seorang ibu lain kawan sekelas anak
    saya. Sambil jengkel dia merespons bahwa tidak pada tempatnya guru itu, yang
    notabene guru matematika, bercerita di depan kelas mengenai menstruasi seperti
    itu.





    Masih banyak pengalaman lain tentang mata pelajaran yang tidak membuat
    anak-anak berpikir luas dan kritis. Ambil contoh misalnya pelajaran Pendidikan Lingkungan dan Keseninan Jakarta
    (PLKJ)
    , yang waktu itu merupakan pelajaran baru kurikulum nasional tahun
    1994. Pelajaran ini dimaksudkan agar anak-anak Jakarta bisa lebih mengenal
    lingkungan dan budaya Jakarta (Betawi). Salah satu pelajaran dan gambarnya
    tentang supermarket atau mall yang mengajarkan isi supermarket dan cara menaiki lift sementara anak-anak kelas 4 SD
    pasti sudah mahfum mengenai seluk beluk supermarket yang menjadi tempat
    ‘rekreasi’ keluarga di akhir minggu. Bisa dibayangkan bosannya anak-anak itu
    mempelajari dan menghafalkan keadaan yang sudah tidak sesuai lagi dengan
    perkembangan yang mereka lihat dan alami dalam kenyataannya. Jika dunia
    pendidikan tidak mengikuti perubahan zaman, maka yang pertama-tama akan
    mengalami ‘kebingungan’ adalah anak-anak. Orang tua menjadi korban berikut
    karena harus terus-menerus meluruskan kebingungan anaknya yang belum tentu bisa
    atau mau menerima. Sedangkan lingkungan sekolah, khusus guru dalam kelas
    (proses belajar-mengajar), dengan mudah akan ‘memerintakan’ muridnya untuk
    patuh dan terhadap penjelasan guru. Kebenaran mutlak ada di tangan guru!





    Guru sebagai Agen Perubahan Potensial





    Melihat kenyataan demikian, guru
    memegang peran penting dalam proses belajar-mengajar di kelas (sekolah formal).
    Sampai saat ini, khususnya untuk anak-anak di sekolah dasar, guru menjadi
    panutan yang dianggap ‘setengah dewa’ – bisa segalanya dan selalu benar.
    Pengalaman bertengkar dengan anak ketika ibu menjelaskan suatu pelajaran kepada
    anak dan penjelasan itu tidak sama dengan penjelasan guru mungkin dialami oleh
    kebanyakan ibu rumah tangga. “Salah ma
    ... itu nggak sama dengan yang diajari ibu/bapak guru”
    , begitu jawaban
    kebanyakan anak. Perhatikan pula peristiwa penjelasan tentang menstruasi yang
    setengah-setengah di atas. Betapa anak-anak mempercayai dan menjadikan
    gurusebagai model idealnya.





    Penelitian yang pernah dilakukan
    di negara barat menunjukkan bahwa guru ternyata juga mempunyai bias-bias
    tertentu dalam mengajar. Dicontohkan, guru ternyata memberi kesempatan kepada
    anak laki-laki di kelasnya dua kali lebih besar untuk menjawab pertanyaan yang
    diajukan. Hal ini tentu menjadi reward
    yang semakin mendorong anak laki-laki untuk lebih berprestasi. Dan sebaliknya, anak perempuan menjadi semakin
    ‘takut’ untuk merespons gurunya di dalam kelas. Pada dasarnya, anak perempuan
    belajar ‘patuh’ kepada orang tua dan yang lebih tua sehingga ketika guru tidak
    memberikan kesempatan menjawab dia pun harus mematuhinya. Keadaan ini semakin
    menenggelamkan semangat berprestasi bagi anak perempuan.





    Dari penelitian
    yang dilakukan penulis pada tahun 1997/98 diperoleh situasi dan kondisi yang
    kurang-lebih sama. Sejumlah guru di sekolah dasar di Jakarta diwawancarai
    mengenai cara mengajarnya di kelas. Pada kenyataannya, memang masih banyak guru
    yang “tidak membeda-bedakan, kesempatan
    yang sama diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan dalam memberikan
    giliran bicara/bertanya atau melakukan sesuatu.”
    Mereka juga tidak sadar “membagi tugas piket di kelas antara anak
    laki-laki dan perempuan. Hanya anak laki-laki yang boleh menghapus papan tulis,
    karena anak perempuan memakai rok. Dan hanya anak perempuan yang diberi tugas
    menyapu lantai karena bisa lebih bersih/sudah biasa”
    . Atau siapa yang
    menyangka bahwa ternyata guru juga memberikan nilai berbeda berdasarkan jenis
    kelamin “Biasanya anak perempuan
    tulisannya lebih bagus dan rapi, karena itu nilainya bisa lebih baik”.
    Atau
    “Senang melihat penampilan anak perempuan
    yang rapi dan cantik, sehingga lebih mudah memberikan penilaian”.



    Ketika
    berdiskusi dengan kepala sekolah tentang merekrut dan menempatkan tenaga
    pengajar di sekolahnya juga terungkap hal prinsi yang cukup mengagetkan,
    misalnya “Guru kelas yang rendah
    (biasanya kelas I dan II) selalu dipilih guru perempuan. Pertimbangannya
    semata-mata karena guru perempuan lebih telaten, teliti dan rapi, sehingga
    anak-anak terkontrol mengisi buku agenda hariannya.”
    Atau ada juga yang
    menyatakan bahwa “Saya lebih memilih guru
    perempuan karena mudah diatur. Beberapa tahun yang lalu pernah mempunyai guru
    laki-laki, tetapi kemudian banyak masalah. Mereka sulit diatur!”
    Para kepala sekolah ini tidak dengan sadar
    melakukan pembatasan-pembatasan demikian. Mereka tidak juga menyadari bahwa
    sistem rekrutmen seperti telah diakui di atas, misalnya, dapat menghambat
    perkembangan karir guru perempuan yang bersangkutan. Sebaliknya juga keputusan
    tersebut tidak memberi kesempatan kepada guru laki-laki untuk mencoba mengajar
    anak-anak yang lebih muda usianya.



    Ketika perubahan kurikulum sekali lagi diterapkan pada tahun 2000,
    Departemen Pendidikan Nasional ‘memperkenalkan’ pendekatan baru dalam proses
    belajar-mengajar, yaitu dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendekatan
    ini mengandaikan perubahan di semua lini dalam sistem pendidikan, termasuk
    paradigmanya. Pada tahun 1990-an, waktu itu pertama kali diperkenalkan Cara
    Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebenarnya dapat dikatakan merupakan satu prasyarat
    dalam KBK. Idealnya, guru dapat mendorong siswanya untuk ‘aktif’ belajar di
    kelas, dengan tujuan agar menumbuhkan sikap kritis siswa. CBSA dapat dikatakan
    tidak berjalan dengan baik. Guru masih merupakan ‘figur yang ditakuti’ di
    kelas, bagaimana siswa dapat aktif/kritis bertanya atau bahkan berdiskusi
    dengan gurunya?





    KBK mengandaikan guru, sekali lagi, sudah siap dengan paradigma baru dalam
    proses belajar-mengajar di kelas, yaitu menjadi fasilitator yang mendorong
    siswa aktif melakukan diskusi kelompok sambil guru memantau perkembangan
    potensi siswa secara individual. Bagaimana menerapkan sistem KBK ini di
    Indonesia? Sekolah-sekolah percontohan (pilot
    project
    ) dipersiapkan dengan mengurangi jumlah murid dalam kelas, menjadi
    lebih kecil. Hal ini pertama-tama dilakukan agar guru dapat intensif membagi
    kelompok diskusi dan memantau kemajuan siswa satu per satu. Tentu ada persiapan
    fisik lain yang dilakukan sekolah-sekolah tersebut. Namun, secara keseluruhan
    dapat dikatakan, persiapan untuk guru – yaitu memngubah pola mengajar – sulit
    sekali dilakukan. Pada kenyataannya, banyak sekolah percontohan kewalahan
    menerapkan sistem ini.





    Jika semua berjalan dengan baik, sebenarnya KBK merupakan satu sistem
    belajar yang kondusif bagi anak mengembangkan potensi belajarnya. Dengan sistem
    ini, anak tidak saja dituntut mengembangkan segi kognitif, tetapi juga aspek
    afektif serta motorik. Jadi ada keseimbangan perkembangan anak. Tentu, dengan
    demikian semua aspek yang menyangkut sistem pendidikan perlu disiapkan dengan
    seksama.





    Sekali lagi, memang guru merupakan agen yang potensial untuk melakukan
    proses perubahan dalam konteks belajar-mengajar di kelas. Untuk sekolah
    non-formal atau sekolah alternatif, fasilitator
    memegang peran penting. Oleh karena
    itu, pada tahun 1997/98, sebagai rangkaian penelitian, penulis menyelenggarakan
    pelatihan sensitivitas gender bagi
    guru SD kelas I dan IV. Sejumlah 90-an guru mengikuti pelatihan ini. Mereka
    diajak untuk menganalisis buku pelajaran yang biasa mereka gunakan untuk
    mengajar Bahasa Indonesia, dan PPKn. Kajian terhadap dua buku pelajaran ini
    hanya digunakan sebagai contoh, tidak menutup kemungkinan guru melakukan kajian
    kelompok untuk pelajaran yang lain. Tujuan pelatihan ini sederhana saja:
    agar guru dapat bersikap ‘adil gender’ dalam proses belajar-mengajar. Juga
    diharapkan guru dapat ‘meluruskan’ interpretasi salam menganai gambar-gambar
    atau tulisan yang bias gender dalam buku pelajaran.





    Menuju Sistem Pendidikan yang
    Adil Gender






    Bayangkan Anda mengantar anak
    sekolah di ‘SD Demokrasi’. Ketika
    memasuki gerbang sekolah yang bangunannya sederhana memanjang, Anda merasakan
    kesejukan yang segar karena hamparan pohon-pohon terpeliharan di bagian tengah
    dan pinggir lapangan bola basket, yang kadang-kadang juga dipakai untuk latihan
    voli atau kasti (softball). Senyum
    ramah penjaga sekolah menyapa Anda dan anak dalam gandengan tangan Anda. Sambil
    berjalan masuk lebih dalam, Anda berpapasan dengan ibu atau ayah anak-anak lain
    yang saling menyapa, lalu meninggalkan anaknya di depan gedung sekolah setelah
    memberikan ciuman dan lambaian tangan.





    Hari itu Anda diundang datang
    untuk menemui Kepala Sekolah, sehingga Anda mempunyai kesempatan untuk melihat
    ke dalam bagian gedung sekolah dan deretan kelas-kelas. Masih terasa sejuk,
    kali ini karena anak-anak dengan riang gembira berlarian ke kelas masing-masing
    diiringi senyum ibu dan bapak gurunya. Lalu Anda diantar oleh seorang guru jaga memasuki ruang Kepala Sekolah.
    Dengan ramah dan penuh sopan Kepala Sekolah menanyakan kabar keluarga, yang
    dengan serta merta mnyejukkan hati sehingga Anda mulai bercerita “Ibu Ani (nama anak Anda) sedang dirawat di
    rumah sakit karena kecelakaan kecil.”
    Ternyata inilah pangkal masalah anak
    Anda terganggu dalam belajar di kelas. Kepala Sekolah dengan tulus melanjutkan
    bertanya tentang kebutuhan bantuan yang dapat diberikan pihak sekolah.





    Ketika menjemput pulang sekolah siang itu, kawan-kawan anak Anda menyapa
    sambil bertanya “Bolehkah kami ikut
    menengok ibu Ani di rumah sakit?”
    Dalam perjalanan ke rumah sakit,
    anak-anak itu tak henti-hentinya menghibur dan menawarkan bantuan belajar
    bersama di rumah Ani. Rupanya ibu guru di kelas tadi memberitahukan masalah yang
    sedang dihadapi Ani dan menyatakan turut prihatin, lalu menghimbau kawan-kawan
    Ani untuk membantu meringankan beban Ani sekarang ini.





    Ini sebuah situasi, dimana sistem pendidikan ‘demokratis’ berjalan dengan
    baik. Tandanya: ada situasi membebaskan di dalam lingkungan sekolah. Antara
    penjaga sekolah, guru, kepala sekolah, murid, dan orang tua terjalin suatu
    hubungan kesetaraan yang bisa membuka pintu komunikasi lebih lancar dan
    harmonis. Tidak diajarkan di buku-buku pelajaran, tetapi situasi seperti ini
    terbangun pertama-tama karena sikap mau saling menghormati dan menghargai. Buku
    pelajaran merupakan sarana yang dapat dipakai untuk mempertajam atau terasahnya
    ‘demokrasi’ dalam pendidikan.





    Mengapa ‘demokrasi’ menjadi penting untuk menciptakan suasana adil gender?
    Secara prinsip atau dasariah demokrasi tercipta karena adanya saling menghargai
    dan menghormati satu sama lain. Keadaan ini menciptakan suasana kesetaraan
    tanpa sekat-sekat kesukuan, agama dan derajat atau status ekonomi. Dengan
    demikian, setiap manusia mempunyai ruang untuk mengekspresikan diri secara
    bertanggung jawab. Situasi seperti inilah yang seharusnya dibangun dalam dunia
    pendidikan. Anak diajak untuk mengembangkan potensi diri, berekspresi dengan
    penuh tanggung jawab. KBK sebenarnya
    merupakan suatu pendekatan untuk menciptakan suasana seperti ini. Yang menjadi
    catatan penting: dalam menumbuhkan suasana kritis – demokratis, anak dan
    seluruh agen yang terlibat dalam dunia pendidikan juga perlu diarahkan untuk
    mengembangkan sikap bertanggung jawab. Dengan demikian, pemikiran kritis dan
    diskusi produktif dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Tidak
    ada lagi yang main-main atau mempermainkan orang lain. Tidak ada lagi ada anak
    yang senang melihat penderitaan kawannya. Solidaritas dan kerja sama ditumbuh
    kembangkan dalam suasana tanpa pemaksaan.











    Beberapa Catatan Penutup





    Tidak mudah menciptakan suasana atau sistem pendidikan demokratis. Banyak
    aspek di luar pendidikan yang cukup berpengaruh, seperti agama dan budaya. Di kebanyakan budaya serta adat istiadat
    kita masih mengedepankan laki-laki sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Oleh
    karena itu anak laki-laki dipersiapkan menghadapi situasi demikian dengan
    mendorongnya mencapai pendidikan tinggi. Tidak demikian dengan anak perempuan,
    yang disiapkan menjadi pendamping suami dan ibu rumah tangga. Maka anak
    perempuan cukup tamat sekolah menengah dan belajar segala sesuatu yang
    berhubungan dengan dapur dan seputar pengasuhan anak serta suami. Demikian
    juga dengan agama yang memegang peran sentral dalam pendidikan (demokrasi).





    Dalam globalisasi yang merebak belakangan ini, media merupakan aspek lain
    yang berperan penting dalam meneruskan informasi (pendidikan). Kemajuan
    teknologi dalam era globalisasi ini sungguh membuka sekat-sekat pembatas ruang
    dan waktu. Tanpa dibarengi dengan pendidikan nilai, kekuatan media seperti
    sekarang dapat menjadi agen yang kontra produktif bagi perkembangan dunia
    pendidikan. Jadi, pemanfaat media modern dalam dunia pendidikan penting, tetapi
    perlu diperhatikan dengan bijaksana.





    Yang juga mempengaruhi sistem pendidikan adalah aspek politik dan ekonomi.
    Sikap pemerintah menyangkut penyediaan dana (20 persen dari APBN??) dan
    komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan (untuk semua) perlu diwujudkan.
    Sejak terhentinya subsidi pembangunan SD Inpres dan penyediaan prasarana
    pendidikan, berhenti pula semua bantuan untuk pembangunan fisik sekolah beserta
    pemeliharaannya. Tidak heran akhir-akhir ini banyak gedung sekolah yang roboh
    bahkan mencelakakan anak didiknya. Selain sarana fisik, pemerintah lewat
    Depdiknas perlu juga memperhatikan kualitas pendidikan secara menyeluruh agar
    pendidikan untuk semua bisa tercapai dengan kualitas yang prima.












    * Staf Peneliti Purnawaktu di Pusat Kajian Pembangunan
    Masyarakat (PKPM) dan dosen tetap FKIP Unika Atma Jaya - Jakarta






    ** Makalah dipresentasikan dalam
    acara Semiloka Pendidikan untuk Perempuan (Belajar dari Pengalaman Pesantren),
    diselenggarakan oleh Rahima, Jakarta 5 Januari 2005

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 10:45 am