ANTARA KENYATAAN DAN
YANG DIPELAJARI
Apakah Dunia Pendidikan Mengikuti Zaman?*
Yustina Rostiawati**
Melihat Kenyataan ...
Waktu itu tahun 1996 ketika saya
mulai menyadari ada yang salah dengan dunia pendidikan formal kita. Mengapa?
Dua anak pertama saya belajar materi yang sama ketika mulai duduk di bangku
kelas 1 Sekolah Dasar. Bedanya, anak pertama saya dapat dengan mudah menghafal
pelajaran tersebut, sedangkan tiga tahun kemudian anak kedua saya mengalami
kesulitan menghafalkan materi tersebut. Saya ingat betul mata pelajaran itu
disebut Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
ketika anak pertama saya di kelas satu tahun 1992/1993, dan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) ketika anak kedua saya di kelas satu tahun 1996. Ada pergantian dan perubahan kurikulum yang
terjadi pada tahun 1994 wktu itu. Dan seperti biasanya, perubahan kurikulum ini
pasti diikuti dengan perubahan pendekatan cara mengajar juga buku-buku
pelajaran (termasuk nama mata pelajaran). Namun yang membuat heran, ternyata isi
materi buku pelajaran tidak berubah. Buktinya pelajaran PMP yang menjadi PPKn
tersebut. Sejak dengan nama PMP, anak pertama saya menghafalkan tentang tugas
ayah sebagai kepala keluarga dan tugas ibu sebagai ibu rumah tangga. Persis
mengutip salah satu pasal dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974.
Pengalaman di atas rupanya bukan pengalaman satu-satunya yang membuat kaget
saya sebagai orang tua murid. Suatu sore ketika pulang kantor saya
mendengar dua kakak beradik sedang beradu mulut. Pasalnya, si kakak menolak
menceritakan kelanjutan cerita yang dia peroleh dari gurunya di dalam kelas
(waktu itu dia sudah kelas 4 SD). Ketika
mencoba menyelesaikan pertengkaran itu, saya coba menggali mengapa si kakak
tidak mau bercerita. Lalu dengan ketakutan dan sambil menangis dia menjawab: “Aku ngeri, pak B (nama guru laki-laki)
bilang kalau perempuan nantinya akan menstruasi dan berdarah-darah. Katanya itu
urusan perempuan, laki-laki nggak perlu tau.” Sambil menenangkan kedua
kakak beradik itu, saya mulai menjelaskan tentang menstruasi, dan tentang
perlunya laki-laki juga mengetahui mengenai hal ini. Rupanya cerita guru di
kelas ini juga menyebabkan kedongkolan bagi seorang ibu lain kawan sekelas anak
saya. Sambil jengkel dia merespons bahwa tidak pada tempatnya guru itu, yang
notabene guru matematika, bercerita di depan kelas mengenai menstruasi seperti
itu.
Masih banyak pengalaman lain tentang mata pelajaran yang tidak membuat
anak-anak berpikir luas dan kritis. Ambil contoh misalnya pelajaran Pendidikan Lingkungan dan Keseninan Jakarta
(PLKJ), yang waktu itu merupakan pelajaran baru kurikulum nasional tahun
1994. Pelajaran ini dimaksudkan agar anak-anak Jakarta bisa lebih mengenal
lingkungan dan budaya Jakarta (Betawi). Salah satu pelajaran dan gambarnya
tentang supermarket atau mall yang mengajarkan isi supermarket dan cara menaiki lift sementara anak-anak kelas 4 SD
pasti sudah mahfum mengenai seluk beluk supermarket yang menjadi tempat
‘rekreasi’ keluarga di akhir minggu. Bisa dibayangkan bosannya anak-anak itu
mempelajari dan menghafalkan keadaan yang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan yang mereka lihat dan alami dalam kenyataannya. Jika dunia
pendidikan tidak mengikuti perubahan zaman, maka yang pertama-tama akan
mengalami ‘kebingungan’ adalah anak-anak. Orang tua menjadi korban berikut
karena harus terus-menerus meluruskan kebingungan anaknya yang belum tentu bisa
atau mau menerima. Sedangkan lingkungan sekolah, khusus guru dalam kelas
(proses belajar-mengajar), dengan mudah akan ‘memerintakan’ muridnya untuk
patuh dan terhadap penjelasan guru. Kebenaran mutlak ada di tangan guru!
Guru sebagai Agen Perubahan Potensial
Melihat kenyataan demikian, guru
memegang peran penting dalam proses belajar-mengajar di kelas (sekolah formal).
Sampai saat ini, khususnya untuk anak-anak di sekolah dasar, guru menjadi
panutan yang dianggap ‘setengah dewa’ – bisa segalanya dan selalu benar.
Pengalaman bertengkar dengan anak ketika ibu menjelaskan suatu pelajaran kepada
anak dan penjelasan itu tidak sama dengan penjelasan guru mungkin dialami oleh
kebanyakan ibu rumah tangga. “Salah ma
... itu nggak sama dengan yang diajari ibu/bapak guru”, begitu jawaban
kebanyakan anak. Perhatikan pula peristiwa penjelasan tentang menstruasi yang
setengah-setengah di atas. Betapa anak-anak mempercayai dan menjadikan
gurusebagai model idealnya.
Penelitian yang pernah dilakukan
di negara barat menunjukkan bahwa guru ternyata juga mempunyai bias-bias
tertentu dalam mengajar. Dicontohkan, guru ternyata memberi kesempatan kepada
anak laki-laki di kelasnya dua kali lebih besar untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan. Hal ini tentu menjadi reward
yang semakin mendorong anak laki-laki untuk lebih berprestasi. Dan sebaliknya, anak perempuan menjadi semakin
‘takut’ untuk merespons gurunya di dalam kelas. Pada dasarnya, anak perempuan
belajar ‘patuh’ kepada orang tua dan yang lebih tua sehingga ketika guru tidak
memberikan kesempatan menjawab dia pun harus mematuhinya. Keadaan ini semakin
menenggelamkan semangat berprestasi bagi anak perempuan.
Dari penelitian
yang dilakukan penulis pada tahun 1997/98 diperoleh situasi dan kondisi yang
kurang-lebih sama. Sejumlah guru di sekolah dasar di Jakarta diwawancarai
mengenai cara mengajarnya di kelas. Pada kenyataannya, memang masih banyak guru
yang “tidak membeda-bedakan, kesempatan
yang sama diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan dalam memberikan
giliran bicara/bertanya atau melakukan sesuatu.” Mereka juga tidak sadar “membagi tugas piket di kelas antara anak
laki-laki dan perempuan. Hanya anak laki-laki yang boleh menghapus papan tulis,
karena anak perempuan memakai rok. Dan hanya anak perempuan yang diberi tugas
menyapu lantai karena bisa lebih bersih/sudah biasa”. Atau siapa yang
menyangka bahwa ternyata guru juga memberikan nilai berbeda berdasarkan jenis
kelamin “Biasanya anak perempuan
tulisannya lebih bagus dan rapi, karena itu nilainya bisa lebih baik”. Atau
“Senang melihat penampilan anak perempuan
yang rapi dan cantik, sehingga lebih mudah memberikan penilaian”.
Ketika
berdiskusi dengan kepala sekolah tentang merekrut dan menempatkan tenaga
pengajar di sekolahnya juga terungkap hal prinsi yang cukup mengagetkan,
misalnya “Guru kelas yang rendah
(biasanya kelas I dan II) selalu dipilih guru perempuan. Pertimbangannya
semata-mata karena guru perempuan lebih telaten, teliti dan rapi, sehingga
anak-anak terkontrol mengisi buku agenda hariannya.” Atau ada juga yang
menyatakan bahwa “Saya lebih memilih guru
perempuan karena mudah diatur. Beberapa tahun yang lalu pernah mempunyai guru
laki-laki, tetapi kemudian banyak masalah. Mereka sulit diatur!” Para kepala sekolah ini tidak dengan sadar
melakukan pembatasan-pembatasan demikian. Mereka tidak juga menyadari bahwa
sistem rekrutmen seperti telah diakui di atas, misalnya, dapat menghambat
perkembangan karir guru perempuan yang bersangkutan. Sebaliknya juga keputusan
tersebut tidak memberi kesempatan kepada guru laki-laki untuk mencoba mengajar
anak-anak yang lebih muda usianya.
Ketika perubahan kurikulum sekali lagi diterapkan pada tahun 2000,
Departemen Pendidikan Nasional ‘memperkenalkan’ pendekatan baru dalam proses
belajar-mengajar, yaitu dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendekatan
ini mengandaikan perubahan di semua lini dalam sistem pendidikan, termasuk
paradigmanya. Pada tahun 1990-an, waktu itu pertama kali diperkenalkan Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebenarnya dapat dikatakan merupakan satu prasyarat
dalam KBK. Idealnya, guru dapat mendorong siswanya untuk ‘aktif’ belajar di
kelas, dengan tujuan agar menumbuhkan sikap kritis siswa. CBSA dapat dikatakan
tidak berjalan dengan baik. Guru masih merupakan ‘figur yang ditakuti’ di
kelas, bagaimana siswa dapat aktif/kritis bertanya atau bahkan berdiskusi
dengan gurunya?
KBK mengandaikan guru, sekali lagi, sudah siap dengan paradigma baru dalam
proses belajar-mengajar di kelas, yaitu menjadi fasilitator yang mendorong
siswa aktif melakukan diskusi kelompok sambil guru memantau perkembangan
potensi siswa secara individual. Bagaimana menerapkan sistem KBK ini di
Indonesia? Sekolah-sekolah percontohan (pilot
project) dipersiapkan dengan mengurangi jumlah murid dalam kelas, menjadi
lebih kecil. Hal ini pertama-tama dilakukan agar guru dapat intensif membagi
kelompok diskusi dan memantau kemajuan siswa satu per satu. Tentu ada persiapan
fisik lain yang dilakukan sekolah-sekolah tersebut. Namun, secara keseluruhan
dapat dikatakan, persiapan untuk guru – yaitu memngubah pola mengajar – sulit
sekali dilakukan. Pada kenyataannya, banyak sekolah percontohan kewalahan
menerapkan sistem ini.
Jika semua berjalan dengan baik, sebenarnya KBK merupakan satu sistem
belajar yang kondusif bagi anak mengembangkan potensi belajarnya. Dengan sistem
ini, anak tidak saja dituntut mengembangkan segi kognitif, tetapi juga aspek
afektif serta motorik. Jadi ada keseimbangan perkembangan anak. Tentu, dengan
demikian semua aspek yang menyangkut sistem pendidikan perlu disiapkan dengan
seksama.
Sekali lagi, memang guru merupakan agen yang potensial untuk melakukan
proses perubahan dalam konteks belajar-mengajar di kelas. Untuk sekolah
non-formal atau sekolah alternatif, fasilitator
memegang peran penting. Oleh karena
itu, pada tahun 1997/98, sebagai rangkaian penelitian, penulis menyelenggarakan
pelatihan sensitivitas gender bagi
guru SD kelas I dan IV. Sejumlah 90-an guru mengikuti pelatihan ini. Mereka
diajak untuk menganalisis buku pelajaran yang biasa mereka gunakan untuk
mengajar Bahasa Indonesia, dan PPKn. Kajian terhadap dua buku pelajaran ini
hanya digunakan sebagai contoh, tidak menutup kemungkinan guru melakukan kajian
kelompok untuk pelajaran yang lain. Tujuan pelatihan ini sederhana saja:
agar guru dapat bersikap ‘adil gender’ dalam proses belajar-mengajar. Juga
diharapkan guru dapat ‘meluruskan’ interpretasi salam menganai gambar-gambar
atau tulisan yang bias gender dalam buku pelajaran.
Menuju Sistem Pendidikan yang
Adil Gender
Bayangkan Anda mengantar anak
sekolah di ‘SD Demokrasi’. Ketika
memasuki gerbang sekolah yang bangunannya sederhana memanjang, Anda merasakan
kesejukan yang segar karena hamparan pohon-pohon terpeliharan di bagian tengah
dan pinggir lapangan bola basket, yang kadang-kadang juga dipakai untuk latihan
voli atau kasti (softball). Senyum
ramah penjaga sekolah menyapa Anda dan anak dalam gandengan tangan Anda. Sambil
berjalan masuk lebih dalam, Anda berpapasan dengan ibu atau ayah anak-anak lain
yang saling menyapa, lalu meninggalkan anaknya di depan gedung sekolah setelah
memberikan ciuman dan lambaian tangan.
Hari itu Anda diundang datang
untuk menemui Kepala Sekolah, sehingga Anda mempunyai kesempatan untuk melihat
ke dalam bagian gedung sekolah dan deretan kelas-kelas. Masih terasa sejuk,
kali ini karena anak-anak dengan riang gembira berlarian ke kelas masing-masing
diiringi senyum ibu dan bapak gurunya. Lalu Anda diantar oleh seorang guru jaga memasuki ruang Kepala Sekolah.
Dengan ramah dan penuh sopan Kepala Sekolah menanyakan kabar keluarga, yang
dengan serta merta mnyejukkan hati sehingga Anda mulai bercerita “Ibu Ani (nama anak Anda) sedang dirawat di
rumah sakit karena kecelakaan kecil.” Ternyata inilah pangkal masalah anak
Anda terganggu dalam belajar di kelas. Kepala Sekolah dengan tulus melanjutkan
bertanya tentang kebutuhan bantuan yang dapat diberikan pihak sekolah.
Ketika menjemput pulang sekolah siang itu, kawan-kawan anak Anda menyapa
sambil bertanya “Bolehkah kami ikut
menengok ibu Ani di rumah sakit?” Dalam perjalanan ke rumah sakit,
anak-anak itu tak henti-hentinya menghibur dan menawarkan bantuan belajar
bersama di rumah Ani. Rupanya ibu guru di kelas tadi memberitahukan masalah yang
sedang dihadapi Ani dan menyatakan turut prihatin, lalu menghimbau kawan-kawan
Ani untuk membantu meringankan beban Ani sekarang ini.
Ini sebuah situasi, dimana sistem pendidikan ‘demokratis’ berjalan dengan
baik. Tandanya: ada situasi membebaskan di dalam lingkungan sekolah. Antara
penjaga sekolah, guru, kepala sekolah, murid, dan orang tua terjalin suatu
hubungan kesetaraan yang bisa membuka pintu komunikasi lebih lancar dan
harmonis. Tidak diajarkan di buku-buku pelajaran, tetapi situasi seperti ini
terbangun pertama-tama karena sikap mau saling menghormati dan menghargai. Buku
pelajaran merupakan sarana yang dapat dipakai untuk mempertajam atau terasahnya
‘demokrasi’ dalam pendidikan.
Mengapa ‘demokrasi’ menjadi penting untuk menciptakan suasana adil gender?
Secara prinsip atau dasariah demokrasi tercipta karena adanya saling menghargai
dan menghormati satu sama lain. Keadaan ini menciptakan suasana kesetaraan
tanpa sekat-sekat kesukuan, agama dan derajat atau status ekonomi. Dengan
demikian, setiap manusia mempunyai ruang untuk mengekspresikan diri secara
bertanggung jawab. Situasi seperti inilah yang seharusnya dibangun dalam dunia
pendidikan. Anak diajak untuk mengembangkan potensi diri, berekspresi dengan
penuh tanggung jawab. KBK sebenarnya
merupakan suatu pendekatan untuk menciptakan suasana seperti ini. Yang menjadi
catatan penting: dalam menumbuhkan suasana kritis – demokratis, anak dan
seluruh agen yang terlibat dalam dunia pendidikan juga perlu diarahkan untuk
mengembangkan sikap bertanggung jawab. Dengan demikian, pemikiran kritis dan
diskusi produktif dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Tidak
ada lagi yang main-main atau mempermainkan orang lain. Tidak ada lagi ada anak
yang senang melihat penderitaan kawannya. Solidaritas dan kerja sama ditumbuh
kembangkan dalam suasana tanpa pemaksaan.
Beberapa Catatan Penutup
Tidak mudah menciptakan suasana atau sistem pendidikan demokratis. Banyak
aspek di luar pendidikan yang cukup berpengaruh, seperti agama dan budaya. Di kebanyakan budaya serta adat istiadat
kita masih mengedepankan laki-laki sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Oleh
karena itu anak laki-laki dipersiapkan menghadapi situasi demikian dengan
mendorongnya mencapai pendidikan tinggi. Tidak demikian dengan anak perempuan,
yang disiapkan menjadi pendamping suami dan ibu rumah tangga. Maka anak
perempuan cukup tamat sekolah menengah dan belajar segala sesuatu yang
berhubungan dengan dapur dan seputar pengasuhan anak serta suami. Demikian
juga dengan agama yang memegang peran sentral dalam pendidikan (demokrasi).
Dalam globalisasi yang merebak belakangan ini, media merupakan aspek lain
yang berperan penting dalam meneruskan informasi (pendidikan). Kemajuan
teknologi dalam era globalisasi ini sungguh membuka sekat-sekat pembatas ruang
dan waktu. Tanpa dibarengi dengan pendidikan nilai, kekuatan media seperti
sekarang dapat menjadi agen yang kontra produktif bagi perkembangan dunia
pendidikan. Jadi, pemanfaat media modern dalam dunia pendidikan penting, tetapi
perlu diperhatikan dengan bijaksana.
Yang juga mempengaruhi sistem pendidikan adalah aspek politik dan ekonomi.
Sikap pemerintah menyangkut penyediaan dana (20 persen dari APBN??) dan
komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan (untuk semua) perlu diwujudkan.
Sejak terhentinya subsidi pembangunan SD Inpres dan penyediaan prasarana
pendidikan, berhenti pula semua bantuan untuk pembangunan fisik sekolah beserta
pemeliharaannya. Tidak heran akhir-akhir ini banyak gedung sekolah yang roboh
bahkan mencelakakan anak didiknya. Selain sarana fisik, pemerintah lewat
Depdiknas perlu juga memperhatikan kualitas pendidikan secara menyeluruh agar
pendidikan untuk semua bisa tercapai dengan kualitas yang prima.
* Staf Peneliti Purnawaktu di Pusat Kajian Pembangunan
Masyarakat (PKPM) dan dosen tetap FKIP Unika Atma Jaya - Jakarta
** Makalah dipresentasikan dalam
acara Semiloka Pendidikan untuk Perempuan (Belajar dari Pengalaman Pesantren),
diselenggarakan oleh Rahima, Jakarta 5 Januari 2005
YANG DIPELAJARI
Apakah Dunia Pendidikan Mengikuti Zaman?*
Yustina Rostiawati**
Melihat Kenyataan ...
Waktu itu tahun 1996 ketika saya
mulai menyadari ada yang salah dengan dunia pendidikan formal kita. Mengapa?
Dua anak pertama saya belajar materi yang sama ketika mulai duduk di bangku
kelas 1 Sekolah Dasar. Bedanya, anak pertama saya dapat dengan mudah menghafal
pelajaran tersebut, sedangkan tiga tahun kemudian anak kedua saya mengalami
kesulitan menghafalkan materi tersebut. Saya ingat betul mata pelajaran itu
disebut Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
ketika anak pertama saya di kelas satu tahun 1992/1993, dan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn) ketika anak kedua saya di kelas satu tahun 1996. Ada pergantian dan perubahan kurikulum yang
terjadi pada tahun 1994 wktu itu. Dan seperti biasanya, perubahan kurikulum ini
pasti diikuti dengan perubahan pendekatan cara mengajar juga buku-buku
pelajaran (termasuk nama mata pelajaran). Namun yang membuat heran, ternyata isi
materi buku pelajaran tidak berubah. Buktinya pelajaran PMP yang menjadi PPKn
tersebut. Sejak dengan nama PMP, anak pertama saya menghafalkan tentang tugas
ayah sebagai kepala keluarga dan tugas ibu sebagai ibu rumah tangga. Persis
mengutip salah satu pasal dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974.
Pengalaman di atas rupanya bukan pengalaman satu-satunya yang membuat kaget
saya sebagai orang tua murid. Suatu sore ketika pulang kantor saya
mendengar dua kakak beradik sedang beradu mulut. Pasalnya, si kakak menolak
menceritakan kelanjutan cerita yang dia peroleh dari gurunya di dalam kelas
(waktu itu dia sudah kelas 4 SD). Ketika
mencoba menyelesaikan pertengkaran itu, saya coba menggali mengapa si kakak
tidak mau bercerita. Lalu dengan ketakutan dan sambil menangis dia menjawab: “Aku ngeri, pak B (nama guru laki-laki)
bilang kalau perempuan nantinya akan menstruasi dan berdarah-darah. Katanya itu
urusan perempuan, laki-laki nggak perlu tau.” Sambil menenangkan kedua
kakak beradik itu, saya mulai menjelaskan tentang menstruasi, dan tentang
perlunya laki-laki juga mengetahui mengenai hal ini. Rupanya cerita guru di
kelas ini juga menyebabkan kedongkolan bagi seorang ibu lain kawan sekelas anak
saya. Sambil jengkel dia merespons bahwa tidak pada tempatnya guru itu, yang
notabene guru matematika, bercerita di depan kelas mengenai menstruasi seperti
itu.
Masih banyak pengalaman lain tentang mata pelajaran yang tidak membuat
anak-anak berpikir luas dan kritis. Ambil contoh misalnya pelajaran Pendidikan Lingkungan dan Keseninan Jakarta
(PLKJ), yang waktu itu merupakan pelajaran baru kurikulum nasional tahun
1994. Pelajaran ini dimaksudkan agar anak-anak Jakarta bisa lebih mengenal
lingkungan dan budaya Jakarta (Betawi). Salah satu pelajaran dan gambarnya
tentang supermarket atau mall yang mengajarkan isi supermarket dan cara menaiki lift sementara anak-anak kelas 4 SD
pasti sudah mahfum mengenai seluk beluk supermarket yang menjadi tempat
‘rekreasi’ keluarga di akhir minggu. Bisa dibayangkan bosannya anak-anak itu
mempelajari dan menghafalkan keadaan yang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan yang mereka lihat dan alami dalam kenyataannya. Jika dunia
pendidikan tidak mengikuti perubahan zaman, maka yang pertama-tama akan
mengalami ‘kebingungan’ adalah anak-anak. Orang tua menjadi korban berikut
karena harus terus-menerus meluruskan kebingungan anaknya yang belum tentu bisa
atau mau menerima. Sedangkan lingkungan sekolah, khusus guru dalam kelas
(proses belajar-mengajar), dengan mudah akan ‘memerintakan’ muridnya untuk
patuh dan terhadap penjelasan guru. Kebenaran mutlak ada di tangan guru!
Guru sebagai Agen Perubahan Potensial
Melihat kenyataan demikian, guru
memegang peran penting dalam proses belajar-mengajar di kelas (sekolah formal).
Sampai saat ini, khususnya untuk anak-anak di sekolah dasar, guru menjadi
panutan yang dianggap ‘setengah dewa’ – bisa segalanya dan selalu benar.
Pengalaman bertengkar dengan anak ketika ibu menjelaskan suatu pelajaran kepada
anak dan penjelasan itu tidak sama dengan penjelasan guru mungkin dialami oleh
kebanyakan ibu rumah tangga. “Salah ma
... itu nggak sama dengan yang diajari ibu/bapak guru”, begitu jawaban
kebanyakan anak. Perhatikan pula peristiwa penjelasan tentang menstruasi yang
setengah-setengah di atas. Betapa anak-anak mempercayai dan menjadikan
gurusebagai model idealnya.
Penelitian yang pernah dilakukan
di negara barat menunjukkan bahwa guru ternyata juga mempunyai bias-bias
tertentu dalam mengajar. Dicontohkan, guru ternyata memberi kesempatan kepada
anak laki-laki di kelasnya dua kali lebih besar untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan. Hal ini tentu menjadi reward
yang semakin mendorong anak laki-laki untuk lebih berprestasi. Dan sebaliknya, anak perempuan menjadi semakin
‘takut’ untuk merespons gurunya di dalam kelas. Pada dasarnya, anak perempuan
belajar ‘patuh’ kepada orang tua dan yang lebih tua sehingga ketika guru tidak
memberikan kesempatan menjawab dia pun harus mematuhinya. Keadaan ini semakin
menenggelamkan semangat berprestasi bagi anak perempuan.
Dari penelitian
yang dilakukan penulis pada tahun 1997/98 diperoleh situasi dan kondisi yang
kurang-lebih sama. Sejumlah guru di sekolah dasar di Jakarta diwawancarai
mengenai cara mengajarnya di kelas. Pada kenyataannya, memang masih banyak guru
yang “tidak membeda-bedakan, kesempatan
yang sama diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan dalam memberikan
giliran bicara/bertanya atau melakukan sesuatu.” Mereka juga tidak sadar “membagi tugas piket di kelas antara anak
laki-laki dan perempuan. Hanya anak laki-laki yang boleh menghapus papan tulis,
karena anak perempuan memakai rok. Dan hanya anak perempuan yang diberi tugas
menyapu lantai karena bisa lebih bersih/sudah biasa”. Atau siapa yang
menyangka bahwa ternyata guru juga memberikan nilai berbeda berdasarkan jenis
kelamin “Biasanya anak perempuan
tulisannya lebih bagus dan rapi, karena itu nilainya bisa lebih baik”. Atau
“Senang melihat penampilan anak perempuan
yang rapi dan cantik, sehingga lebih mudah memberikan penilaian”.
Ketika
berdiskusi dengan kepala sekolah tentang merekrut dan menempatkan tenaga
pengajar di sekolahnya juga terungkap hal prinsi yang cukup mengagetkan,
misalnya “Guru kelas yang rendah
(biasanya kelas I dan II) selalu dipilih guru perempuan. Pertimbangannya
semata-mata karena guru perempuan lebih telaten, teliti dan rapi, sehingga
anak-anak terkontrol mengisi buku agenda hariannya.” Atau ada juga yang
menyatakan bahwa “Saya lebih memilih guru
perempuan karena mudah diatur. Beberapa tahun yang lalu pernah mempunyai guru
laki-laki, tetapi kemudian banyak masalah. Mereka sulit diatur!” Para kepala sekolah ini tidak dengan sadar
melakukan pembatasan-pembatasan demikian. Mereka tidak juga menyadari bahwa
sistem rekrutmen seperti telah diakui di atas, misalnya, dapat menghambat
perkembangan karir guru perempuan yang bersangkutan. Sebaliknya juga keputusan
tersebut tidak memberi kesempatan kepada guru laki-laki untuk mencoba mengajar
anak-anak yang lebih muda usianya.
Ketika perubahan kurikulum sekali lagi diterapkan pada tahun 2000,
Departemen Pendidikan Nasional ‘memperkenalkan’ pendekatan baru dalam proses
belajar-mengajar, yaitu dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendekatan
ini mengandaikan perubahan di semua lini dalam sistem pendidikan, termasuk
paradigmanya. Pada tahun 1990-an, waktu itu pertama kali diperkenalkan Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebenarnya dapat dikatakan merupakan satu prasyarat
dalam KBK. Idealnya, guru dapat mendorong siswanya untuk ‘aktif’ belajar di
kelas, dengan tujuan agar menumbuhkan sikap kritis siswa. CBSA dapat dikatakan
tidak berjalan dengan baik. Guru masih merupakan ‘figur yang ditakuti’ di
kelas, bagaimana siswa dapat aktif/kritis bertanya atau bahkan berdiskusi
dengan gurunya?
KBK mengandaikan guru, sekali lagi, sudah siap dengan paradigma baru dalam
proses belajar-mengajar di kelas, yaitu menjadi fasilitator yang mendorong
siswa aktif melakukan diskusi kelompok sambil guru memantau perkembangan
potensi siswa secara individual. Bagaimana menerapkan sistem KBK ini di
Indonesia? Sekolah-sekolah percontohan (pilot
project) dipersiapkan dengan mengurangi jumlah murid dalam kelas, menjadi
lebih kecil. Hal ini pertama-tama dilakukan agar guru dapat intensif membagi
kelompok diskusi dan memantau kemajuan siswa satu per satu. Tentu ada persiapan
fisik lain yang dilakukan sekolah-sekolah tersebut. Namun, secara keseluruhan
dapat dikatakan, persiapan untuk guru – yaitu memngubah pola mengajar – sulit
sekali dilakukan. Pada kenyataannya, banyak sekolah percontohan kewalahan
menerapkan sistem ini.
Jika semua berjalan dengan baik, sebenarnya KBK merupakan satu sistem
belajar yang kondusif bagi anak mengembangkan potensi belajarnya. Dengan sistem
ini, anak tidak saja dituntut mengembangkan segi kognitif, tetapi juga aspek
afektif serta motorik. Jadi ada keseimbangan perkembangan anak. Tentu, dengan
demikian semua aspek yang menyangkut sistem pendidikan perlu disiapkan dengan
seksama.
Sekali lagi, memang guru merupakan agen yang potensial untuk melakukan
proses perubahan dalam konteks belajar-mengajar di kelas. Untuk sekolah
non-formal atau sekolah alternatif, fasilitator
memegang peran penting. Oleh karena
itu, pada tahun 1997/98, sebagai rangkaian penelitian, penulis menyelenggarakan
pelatihan sensitivitas gender bagi
guru SD kelas I dan IV. Sejumlah 90-an guru mengikuti pelatihan ini. Mereka
diajak untuk menganalisis buku pelajaran yang biasa mereka gunakan untuk
mengajar Bahasa Indonesia, dan PPKn. Kajian terhadap dua buku pelajaran ini
hanya digunakan sebagai contoh, tidak menutup kemungkinan guru melakukan kajian
kelompok untuk pelajaran yang lain. Tujuan pelatihan ini sederhana saja:
agar guru dapat bersikap ‘adil gender’ dalam proses belajar-mengajar. Juga
diharapkan guru dapat ‘meluruskan’ interpretasi salam menganai gambar-gambar
atau tulisan yang bias gender dalam buku pelajaran.
Menuju Sistem Pendidikan yang
Adil Gender
Bayangkan Anda mengantar anak
sekolah di ‘SD Demokrasi’. Ketika
memasuki gerbang sekolah yang bangunannya sederhana memanjang, Anda merasakan
kesejukan yang segar karena hamparan pohon-pohon terpeliharan di bagian tengah
dan pinggir lapangan bola basket, yang kadang-kadang juga dipakai untuk latihan
voli atau kasti (softball). Senyum
ramah penjaga sekolah menyapa Anda dan anak dalam gandengan tangan Anda. Sambil
berjalan masuk lebih dalam, Anda berpapasan dengan ibu atau ayah anak-anak lain
yang saling menyapa, lalu meninggalkan anaknya di depan gedung sekolah setelah
memberikan ciuman dan lambaian tangan.
Hari itu Anda diundang datang
untuk menemui Kepala Sekolah, sehingga Anda mempunyai kesempatan untuk melihat
ke dalam bagian gedung sekolah dan deretan kelas-kelas. Masih terasa sejuk,
kali ini karena anak-anak dengan riang gembira berlarian ke kelas masing-masing
diiringi senyum ibu dan bapak gurunya. Lalu Anda diantar oleh seorang guru jaga memasuki ruang Kepala Sekolah.
Dengan ramah dan penuh sopan Kepala Sekolah menanyakan kabar keluarga, yang
dengan serta merta mnyejukkan hati sehingga Anda mulai bercerita “Ibu Ani (nama anak Anda) sedang dirawat di
rumah sakit karena kecelakaan kecil.” Ternyata inilah pangkal masalah anak
Anda terganggu dalam belajar di kelas. Kepala Sekolah dengan tulus melanjutkan
bertanya tentang kebutuhan bantuan yang dapat diberikan pihak sekolah.
Ketika menjemput pulang sekolah siang itu, kawan-kawan anak Anda menyapa
sambil bertanya “Bolehkah kami ikut
menengok ibu Ani di rumah sakit?” Dalam perjalanan ke rumah sakit,
anak-anak itu tak henti-hentinya menghibur dan menawarkan bantuan belajar
bersama di rumah Ani. Rupanya ibu guru di kelas tadi memberitahukan masalah yang
sedang dihadapi Ani dan menyatakan turut prihatin, lalu menghimbau kawan-kawan
Ani untuk membantu meringankan beban Ani sekarang ini.
Ini sebuah situasi, dimana sistem pendidikan ‘demokratis’ berjalan dengan
baik. Tandanya: ada situasi membebaskan di dalam lingkungan sekolah. Antara
penjaga sekolah, guru, kepala sekolah, murid, dan orang tua terjalin suatu
hubungan kesetaraan yang bisa membuka pintu komunikasi lebih lancar dan
harmonis. Tidak diajarkan di buku-buku pelajaran, tetapi situasi seperti ini
terbangun pertama-tama karena sikap mau saling menghormati dan menghargai. Buku
pelajaran merupakan sarana yang dapat dipakai untuk mempertajam atau terasahnya
‘demokrasi’ dalam pendidikan.
Mengapa ‘demokrasi’ menjadi penting untuk menciptakan suasana adil gender?
Secara prinsip atau dasariah demokrasi tercipta karena adanya saling menghargai
dan menghormati satu sama lain. Keadaan ini menciptakan suasana kesetaraan
tanpa sekat-sekat kesukuan, agama dan derajat atau status ekonomi. Dengan
demikian, setiap manusia mempunyai ruang untuk mengekspresikan diri secara
bertanggung jawab. Situasi seperti inilah yang seharusnya dibangun dalam dunia
pendidikan. Anak diajak untuk mengembangkan potensi diri, berekspresi dengan
penuh tanggung jawab. KBK sebenarnya
merupakan suatu pendekatan untuk menciptakan suasana seperti ini. Yang menjadi
catatan penting: dalam menumbuhkan suasana kritis – demokratis, anak dan
seluruh agen yang terlibat dalam dunia pendidikan juga perlu diarahkan untuk
mengembangkan sikap bertanggung jawab. Dengan demikian, pemikiran kritis dan
diskusi produktif dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Tidak
ada lagi yang main-main atau mempermainkan orang lain. Tidak ada lagi ada anak
yang senang melihat penderitaan kawannya. Solidaritas dan kerja sama ditumbuh
kembangkan dalam suasana tanpa pemaksaan.
Beberapa Catatan Penutup
Tidak mudah menciptakan suasana atau sistem pendidikan demokratis. Banyak
aspek di luar pendidikan yang cukup berpengaruh, seperti agama dan budaya. Di kebanyakan budaya serta adat istiadat
kita masih mengedepankan laki-laki sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Oleh
karena itu anak laki-laki dipersiapkan menghadapi situasi demikian dengan
mendorongnya mencapai pendidikan tinggi. Tidak demikian dengan anak perempuan,
yang disiapkan menjadi pendamping suami dan ibu rumah tangga. Maka anak
perempuan cukup tamat sekolah menengah dan belajar segala sesuatu yang
berhubungan dengan dapur dan seputar pengasuhan anak serta suami. Demikian
juga dengan agama yang memegang peran sentral dalam pendidikan (demokrasi).
Dalam globalisasi yang merebak belakangan ini, media merupakan aspek lain
yang berperan penting dalam meneruskan informasi (pendidikan). Kemajuan
teknologi dalam era globalisasi ini sungguh membuka sekat-sekat pembatas ruang
dan waktu. Tanpa dibarengi dengan pendidikan nilai, kekuatan media seperti
sekarang dapat menjadi agen yang kontra produktif bagi perkembangan dunia
pendidikan. Jadi, pemanfaat media modern dalam dunia pendidikan penting, tetapi
perlu diperhatikan dengan bijaksana.
Yang juga mempengaruhi sistem pendidikan adalah aspek politik dan ekonomi.
Sikap pemerintah menyangkut penyediaan dana (20 persen dari APBN??) dan
komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan (untuk semua) perlu diwujudkan.
Sejak terhentinya subsidi pembangunan SD Inpres dan penyediaan prasarana
pendidikan, berhenti pula semua bantuan untuk pembangunan fisik sekolah beserta
pemeliharaannya. Tidak heran akhir-akhir ini banyak gedung sekolah yang roboh
bahkan mencelakakan anak didiknya. Selain sarana fisik, pemerintah lewat
Depdiknas perlu juga memperhatikan kualitas pendidikan secara menyeluruh agar
pendidikan untuk semua bisa tercapai dengan kualitas yang prima.
* Staf Peneliti Purnawaktu di Pusat Kajian Pembangunan
Masyarakat (PKPM) dan dosen tetap FKIP Unika Atma Jaya - Jakarta
** Makalah dipresentasikan dalam
acara Semiloka Pendidikan untuk Perempuan (Belajar dari Pengalaman Pesantren),
diselenggarakan oleh Rahima, Jakarta 5 Januari 2005
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as