Perubahan
Sosial dan Peran Intelektual
Oleh Setyo Budiantoro
Seorang pemikir yang dipenjara hingga menjelang akhir hidupnya, Antonio
Gramsci, menuliskan refleksinya tentang salah satu prasyarat setiap perubahan
sosial, yaitu kebutuhan akan kelompok intelektual. Ia lalu membedakan kategori
intelektual, antara "intelektual tradisional" dan "intelektual
organik".
"Intelektual tradisional" adalah mereka yang diikat oleh bahasa
akademis universiter dan pendidikan tertentu, mengikuti mainstream dominan,
serta terpisah dari rakyat. Sedangkan "intelektual organik" lebih
khas karena kaitannya yang lebih erat dengan rakyat kebanyakan dan proyek
perubahan sosial tertentu. Mereka terutama adalah anggota kelompok-kelompok
progresif dalam masyarakat, yang menyusun dan menciptakan gagasan-gagasan untuk
mendasari proyek perubahan.
Meminjam pemikiran Freire tentang kesadaran manusia terhadap perubahan sosial,
ia membedakan antara kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis
(critical consciousness). Kesadaran naif lebih melihat "aspek
manusia" menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan
"salah" masyarakat sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki
kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya. Oleh karena
itu man power development diharapkan menjadi pemicu perubahan, kesadaran
"intelektual tradisional" lebih dekat dalam kategori ini.
Sedangkan kesadaran kritis, lebih melihat aspek sistim dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims. Ia
mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian
mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta
bagaimana mentransformasikannya. Kategori ini relatif dekat dengan kesadaran
yang dimiliki ”intelektual organik”.
Kesadaran manusia dibentuk oleh lingkungannya, adapun aparatus utama pembentuk
kesadaran menurut Gramsci, yaitu agama, media massa dan pendidikan.
Aparatus-aparatus tersebut membentuk common sense, cara berpikir, gaya hidup,
pandangan hidup, merasa dan berselera dalam masyarakat. Dari ketiga aparatus
itu, yang paling berpengaruh adalah pendidikan (sekolah).
Pendidikan memang terlalu penting untuk diremehkan, oleh karena itu kekuasaan
atau ideologi dominan akan selalu campur tangan terhadap pendidikan. Akibat
intervensi kepentingan inilah, menurut Mansour Fakih, maka pendidikan kita
cenderung membangun kesadaran naif akibat paradigma liberal. Dalam pandangan
liberal, masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Pendidikan
justru dijadikan media sosialisasi dan reproduksi nilai-nilai tata susila
keyakinan dan nilai-nilai dasar, agar masyarakat berfungsi secara
"baik".
Pengaruh liberal ini terlihat dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi
melalui persaingan antar murid, perengkingan merupakan implikasinya. Pengaruh
pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan
"andragogy" seperti dalam training management, kewiraswastaan, atau
pun pendidikan ketrampilan manajemen lainnya. Achievement Motivation Training
(AMT) yang diciptakan oleh David McClelland, adalah contoh terbaik pendekatan
liberal.
McClelland berpendapat akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka
tidak memiliki apa yang dinamakan N Ach (need for achievement). Menurutnya,
syarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga adalah perlu virus "N
Ach" yang membuat individu agresif dan rasional. Dari logika ini maka
dilihat penyebab petani, pemulung, nelayan, tukang becak, buruh dan lain
sebagainya miskin, karena mereka tidak memiliki N Ach.
Paradigma Liberal
Merefleksikan perjalanan perubahan sosial selama 30 tahun Orde Baru, harus
diakui paradigma liberal agaknya begitu pekat mewarnai, proyek modernisasi
dengan konsep developmentalisme yang dilatari spirit kapitalisme menjadi
mainstream pembangunan. Developmentalisme antara lain didasari pemikiran dari
Max Weber, McClelland dan didukung Rostow dengan growth teory-nya. Mereka
berasumsi bahwa faktor manusia menentukan proses perubahan dari masyarakat
tradisional ke modern. Mereka memandang "the achieving society"
merupakan jawaban bagi keterbelakangan negara dunia ketiga.
Discourse tentang developmentalisme begitu cepat merasuk dan menjadi keyakinan
secara luas. Percepatan ini terjadi akibat developmentalisme menjadi program
global, ia bahkan menjadi disiplin baru "development studies", pasar
utamanya teknokrat dan akademisi negara dunia ketiga. Indonesia tak lepas dari
pengaruh itu, beberapa akademisi (kemudian jadi teknokrat) yang begitu kritis
terhadap utang luar negeri kemudian berbalik keyakinannya, akibat ekspansi
discourse tersebut.
Para teknokrat tersebut menjadi begitu percaya pada Rostow melalui growth
theory maupun trickle down effect, bahwa pembangunan berjalan otomatis melalui
akumulasi modal dan utang luar negeri, dengan mengabaikan partisipasi
masyarakat. Faktor ini merupakan salah satu sebab terakumulasinya utang luar
negeri Indonesia, mengalami ketergantungan serta menggerus demokrasi dan
kebebasan.
Para akademisi dan teknokrat tersebut itulah yang dikategorikan sebagai
"intelektual tradisional", yaitu mereka yang cenderung menempatkan
diri sebagai kelas berkuasa, mengikuti ideologi dominan, serta otonom dan
independen dari masyarakat kebanyakan. Mereka cenderung melanggengkan sistem
dan hanya menjadi instrumen, reproduksi dan menjalankan pengetahuan
(instrumental knowledge) saja.
Derivasi dari akademisi dan teknokrat itu adalah para profesional teknis yang
sering disebut sebagai knowledge worker atau "para tukang berdasi yang
loyo" yang terdiri dari manajer, akuntan, insinyur dsb. Para profesional
teknis tersebut telah kehilangan bobot dan misi sakralnya sebagai arsitek
perubahan progresif, ujar Herry Priyono, serta sekadar menjadi
"intelegensia teknis" dalam masyarakat kapitalis.
Dalam konteks cita-cita perubahan sosial, akibat ideologi tertanam secara dalam
di masyarakat karena pandangan dunia (world view) yang terlembagakan dan
terinternalisasi secara luas, agaknya cukup sulit memunculkan kesadaran kritis.
Ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh
yang didominasi, atau sering disebut sebagai hegemoni.
Strategi untuk melawan hegemoni, oleh Gramsci disebut hegemoni tandingan
(counter hegemony), yaitu melalui ”perang manuver” (war of maneuver) dan
”perang posisi” (war of position). ”Perang manuver” yakni perjuangan mencapai
perubahan jangka pendek untuk mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan
praktis; sedangkan ”perang posisi” merupakan perjuangan kultural dan idiologis
jangka panjang. Kedua strategi tersebut merupakan kritik terhadap perjuangan
kelas yang cenderung ekonomi-deterministik.
"Perang manuver" relatif sulit dilakukan di Indonesia, sebab
mensyaratkan kekuatan yang besar dan solid untuk mengambil alih
"kekuasaan" dalam jangka waktu pendek. Strategi yang lebih tepat
untuk kondisi kondisi civil society yang masih lemah dan terpecah-pecah seperti
Indonesia adalah dengan "perang posisi". Hal ini dilakukan dengan
menggalang suatu aliansi besar (kekuatan kolektif) yang terdiri dari berbagai
kekuatan sosial yang disatukan oleh konsepsi yang sama, dengan tetap mengakui
otonomi masing-masing, untuk merebut wacana dominan.
Strategi tersebut juga merajut jaringan para "intelektual organik"
yang berasal dari berbagai kekuatan sosial misalnya; gerakan perdamaian,
gerakan perempuan, gerakan hak sipil, gerakan pemuda, gerakan minoritas etnik
dll. Contoh yang dalam batas tertentu telah berhasil dilakukan di Indonesia
misalnya; koalisi ornop untuk konstitusi baru atau koalisi ornop untuk
pemilihan presiden langsung.
Dalam konteks perlawanan terhadap ideologi dominan, pendidikan mempunyai peran
krusial untuk memunculkan kesadaran kritis. Tugas utama pendidikan adalah
menciptakan ruang agar kritis terhadap sistim dan sruktur ketidak adilan, serta
melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang lebih adil.
Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif
maupun berjarak dengan masyarakat, seperti anjuran paradigma liberal.
Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai
pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk mencipta sistim sosial baru
dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan
ruang untuk mengidentifikasi, menganalisis secara bebas dan kritis untuk
transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah
"memanusiakan" kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena
sistim dan struktur yang tidak adil.
Penulis adalah Sekjen Pengurus Pusat PMKRI periode 2000-2002
Sosial dan Peran Intelektual
Oleh Setyo Budiantoro
Seorang pemikir yang dipenjara hingga menjelang akhir hidupnya, Antonio
Gramsci, menuliskan refleksinya tentang salah satu prasyarat setiap perubahan
sosial, yaitu kebutuhan akan kelompok intelektual. Ia lalu membedakan kategori
intelektual, antara "intelektual tradisional" dan "intelektual
organik".
"Intelektual tradisional" adalah mereka yang diikat oleh bahasa
akademis universiter dan pendidikan tertentu, mengikuti mainstream dominan,
serta terpisah dari rakyat. Sedangkan "intelektual organik" lebih
khas karena kaitannya yang lebih erat dengan rakyat kebanyakan dan proyek
perubahan sosial tertentu. Mereka terutama adalah anggota kelompok-kelompok
progresif dalam masyarakat, yang menyusun dan menciptakan gagasan-gagasan untuk
mendasari proyek perubahan.
Meminjam pemikiran Freire tentang kesadaran manusia terhadap perubahan sosial,
ia membedakan antara kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis
(critical consciousness). Kesadaran naif lebih melihat "aspek
manusia" menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan
"salah" masyarakat sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki
kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya. Oleh karena
itu man power development diharapkan menjadi pemicu perubahan, kesadaran
"intelektual tradisional" lebih dekat dalam kategori ini.
Sedangkan kesadaran kritis, lebih melihat aspek sistim dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims. Ia
mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian
mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta
bagaimana mentransformasikannya. Kategori ini relatif dekat dengan kesadaran
yang dimiliki ”intelektual organik”.
Kesadaran manusia dibentuk oleh lingkungannya, adapun aparatus utama pembentuk
kesadaran menurut Gramsci, yaitu agama, media massa dan pendidikan.
Aparatus-aparatus tersebut membentuk common sense, cara berpikir, gaya hidup,
pandangan hidup, merasa dan berselera dalam masyarakat. Dari ketiga aparatus
itu, yang paling berpengaruh adalah pendidikan (sekolah).
Pendidikan memang terlalu penting untuk diremehkan, oleh karena itu kekuasaan
atau ideologi dominan akan selalu campur tangan terhadap pendidikan. Akibat
intervensi kepentingan inilah, menurut Mansour Fakih, maka pendidikan kita
cenderung membangun kesadaran naif akibat paradigma liberal. Dalam pandangan
liberal, masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Pendidikan
justru dijadikan media sosialisasi dan reproduksi nilai-nilai tata susila
keyakinan dan nilai-nilai dasar, agar masyarakat berfungsi secara
"baik".
Pengaruh liberal ini terlihat dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi
melalui persaingan antar murid, perengkingan merupakan implikasinya. Pengaruh
pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan
"andragogy" seperti dalam training management, kewiraswastaan, atau
pun pendidikan ketrampilan manajemen lainnya. Achievement Motivation Training
(AMT) yang diciptakan oleh David McClelland, adalah contoh terbaik pendekatan
liberal.
McClelland berpendapat akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka
tidak memiliki apa yang dinamakan N Ach (need for achievement). Menurutnya,
syarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga adalah perlu virus "N
Ach" yang membuat individu agresif dan rasional. Dari logika ini maka
dilihat penyebab petani, pemulung, nelayan, tukang becak, buruh dan lain
sebagainya miskin, karena mereka tidak memiliki N Ach.
Paradigma Liberal
Merefleksikan perjalanan perubahan sosial selama 30 tahun Orde Baru, harus
diakui paradigma liberal agaknya begitu pekat mewarnai, proyek modernisasi
dengan konsep developmentalisme yang dilatari spirit kapitalisme menjadi
mainstream pembangunan. Developmentalisme antara lain didasari pemikiran dari
Max Weber, McClelland dan didukung Rostow dengan growth teory-nya. Mereka
berasumsi bahwa faktor manusia menentukan proses perubahan dari masyarakat
tradisional ke modern. Mereka memandang "the achieving society"
merupakan jawaban bagi keterbelakangan negara dunia ketiga.
Discourse tentang developmentalisme begitu cepat merasuk dan menjadi keyakinan
secara luas. Percepatan ini terjadi akibat developmentalisme menjadi program
global, ia bahkan menjadi disiplin baru "development studies", pasar
utamanya teknokrat dan akademisi negara dunia ketiga. Indonesia tak lepas dari
pengaruh itu, beberapa akademisi (kemudian jadi teknokrat) yang begitu kritis
terhadap utang luar negeri kemudian berbalik keyakinannya, akibat ekspansi
discourse tersebut.
Para teknokrat tersebut menjadi begitu percaya pada Rostow melalui growth
theory maupun trickle down effect, bahwa pembangunan berjalan otomatis melalui
akumulasi modal dan utang luar negeri, dengan mengabaikan partisipasi
masyarakat. Faktor ini merupakan salah satu sebab terakumulasinya utang luar
negeri Indonesia, mengalami ketergantungan serta menggerus demokrasi dan
kebebasan.
Para akademisi dan teknokrat tersebut itulah yang dikategorikan sebagai
"intelektual tradisional", yaitu mereka yang cenderung menempatkan
diri sebagai kelas berkuasa, mengikuti ideologi dominan, serta otonom dan
independen dari masyarakat kebanyakan. Mereka cenderung melanggengkan sistem
dan hanya menjadi instrumen, reproduksi dan menjalankan pengetahuan
(instrumental knowledge) saja.
Derivasi dari akademisi dan teknokrat itu adalah para profesional teknis yang
sering disebut sebagai knowledge worker atau "para tukang berdasi yang
loyo" yang terdiri dari manajer, akuntan, insinyur dsb. Para profesional
teknis tersebut telah kehilangan bobot dan misi sakralnya sebagai arsitek
perubahan progresif, ujar Herry Priyono, serta sekadar menjadi
"intelegensia teknis" dalam masyarakat kapitalis.
Dalam konteks cita-cita perubahan sosial, akibat ideologi tertanam secara dalam
di masyarakat karena pandangan dunia (world view) yang terlembagakan dan
terinternalisasi secara luas, agaknya cukup sulit memunculkan kesadaran kritis.
Ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh
yang didominasi, atau sering disebut sebagai hegemoni.
Strategi untuk melawan hegemoni, oleh Gramsci disebut hegemoni tandingan
(counter hegemony), yaitu melalui ”perang manuver” (war of maneuver) dan
”perang posisi” (war of position). ”Perang manuver” yakni perjuangan mencapai
perubahan jangka pendek untuk mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan
praktis; sedangkan ”perang posisi” merupakan perjuangan kultural dan idiologis
jangka panjang. Kedua strategi tersebut merupakan kritik terhadap perjuangan
kelas yang cenderung ekonomi-deterministik.
"Perang manuver" relatif sulit dilakukan di Indonesia, sebab
mensyaratkan kekuatan yang besar dan solid untuk mengambil alih
"kekuasaan" dalam jangka waktu pendek. Strategi yang lebih tepat
untuk kondisi kondisi civil society yang masih lemah dan terpecah-pecah seperti
Indonesia adalah dengan "perang posisi". Hal ini dilakukan dengan
menggalang suatu aliansi besar (kekuatan kolektif) yang terdiri dari berbagai
kekuatan sosial yang disatukan oleh konsepsi yang sama, dengan tetap mengakui
otonomi masing-masing, untuk merebut wacana dominan.
Strategi tersebut juga merajut jaringan para "intelektual organik"
yang berasal dari berbagai kekuatan sosial misalnya; gerakan perdamaian,
gerakan perempuan, gerakan hak sipil, gerakan pemuda, gerakan minoritas etnik
dll. Contoh yang dalam batas tertentu telah berhasil dilakukan di Indonesia
misalnya; koalisi ornop untuk konstitusi baru atau koalisi ornop untuk
pemilihan presiden langsung.
Dalam konteks perlawanan terhadap ideologi dominan, pendidikan mempunyai peran
krusial untuk memunculkan kesadaran kritis. Tugas utama pendidikan adalah
menciptakan ruang agar kritis terhadap sistim dan sruktur ketidak adilan, serta
melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang lebih adil.
Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif
maupun berjarak dengan masyarakat, seperti anjuran paradigma liberal.
Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai
pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk mencipta sistim sosial baru
dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan
ruang untuk mengidentifikasi, menganalisis secara bebas dan kritis untuk
transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah
"memanusiakan" kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena
sistim dan struktur yang tidak adil.
Penulis adalah Sekjen Pengurus Pusat PMKRI periode 2000-2002
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as