Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    perubahan sosial dan peran intelektual

    ratri
    ratri
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 281
    Join date : 01.04.10
    Age : 37
    Lokasi : di hati si admin

    perubahan sosial dan peran intelektual Empty perubahan sosial dan peran intelektual

    Post by ratri Mon Jun 14, 2010 10:48 pm

    Perubahan
    Sosial dan Peran Intelektual



    Oleh Setyo Budiantoro

    Seorang pemikir yang dipenjara hingga menjelang akhir hidupnya, Antonio
    Gramsci, menuliskan refleksinya tentang salah satu prasyarat setiap perubahan
    sosial, yaitu kebutuhan akan kelompok intelektual. Ia lalu membedakan kategori
    intelektual, antara "intelektual tradisional" dan "intelektual
    organik".
    "Intelektual tradisional" adalah mereka yang diikat oleh bahasa
    akademis universiter dan pendidikan tertentu, mengikuti mainstream dominan,
    serta terpisah dari rakyat. Sedangkan "intelektual organik" lebih
    khas karena kaitannya yang lebih erat dengan rakyat kebanyakan dan proyek
    perubahan sosial tertentu. Mereka terutama adalah anggota kelompok-kelompok
    progresif dalam masyarakat, yang menyusun dan menciptakan gagasan-gagasan untuk
    mendasari proyek perubahan.
    Meminjam pemikiran Freire tentang kesadaran manusia terhadap perubahan sosial,
    ia membedakan antara kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis
    (critical consciousness). Kesadaran naif lebih melihat "aspek
    manusia" menjadi akar penyebab masalah masyarakat.
    Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan
    "salah" masyarakat sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki
    kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya membangun dan seterusnya. Oleh karena
    itu man power development diharapkan menjadi pemicu perubahan, kesadaran
    "intelektual tradisional" lebih dekat dalam kategori ini.
    Sedangkan kesadaran kritis, lebih melihat aspek sistim dan struktur sebagai
    sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims. Ia
    mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian
    mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta
    bagaimana mentransformasikannya. Kategori ini relatif dekat dengan kesadaran
    yang dimiliki ”intelektual organik”.
    Kesadaran manusia dibentuk oleh lingkungannya, adapun aparatus utama pembentuk
    kesadaran menurut Gramsci, yaitu agama, media massa dan pendidikan.
    Aparatus-aparatus tersebut membentuk common sense, cara berpikir, gaya hidup,
    pandangan hidup, merasa dan berselera dalam masyarakat. Dari ketiga aparatus
    itu, yang paling berpengaruh adalah pendidikan (sekolah).
    Pendidikan memang terlalu penting untuk diremehkan, oleh karena itu kekuasaan
    atau ideologi dominan akan selalu campur tangan terhadap pendidikan. Akibat
    intervensi kepentingan inilah, menurut Mansour Fakih, maka pendidikan kita
    cenderung membangun kesadaran naif akibat paradigma liberal. Dalam pandangan
    liberal, masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Pendidikan
    justru dijadikan media sosialisasi dan reproduksi nilai-nilai tata susila
    keyakinan dan nilai-nilai dasar, agar masyarakat berfungsi secara
    "baik".
    Pengaruh liberal ini terlihat dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi
    melalui persaingan antar murid, perengkingan merupakan implikasinya. Pengaruh
    pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan
    "andragogy" seperti dalam training management, kewiraswastaan, atau
    pun pendidikan ketrampilan manajemen lainnya. Achievement Motivation Training
    (AMT) yang diciptakan oleh David McClelland, adalah contoh terbaik pendekatan
    liberal.
    McClelland berpendapat akar masalah keterbelakangan dunia ketiga karena mereka
    tidak memiliki apa yang dinamakan N Ach (need for achievement). Menurutnya,
    syarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga adalah perlu virus "N
    Ach" yang membuat individu agresif dan rasional. Dari logika ini maka
    dilihat penyebab petani, pemulung, nelayan, tukang becak, buruh dan lain
    sebagainya miskin, karena mereka tidak memiliki N Ach.

    Paradigma Liberal
    Merefleksikan perjalanan perubahan sosial selama 30 tahun Orde Baru, harus
    diakui paradigma liberal agaknya begitu pekat mewarnai, proyek modernisasi
    dengan konsep developmentalisme yang dilatari spirit kapitalisme menjadi
    mainstream pembangunan. Developmentalisme antara lain didasari pemikiran dari
    Max Weber, McClelland dan didukung Rostow dengan growth teory-nya. Mereka
    berasumsi bahwa faktor manusia menentukan proses perubahan dari masyarakat
    tradisional ke modern. Mereka memandang "the achieving society"
    merupakan jawaban bagi keterbelakangan negara dunia ketiga.
    Discourse tentang developmentalisme begitu cepat merasuk dan menjadi keyakinan
    secara luas. Percepatan ini terjadi akibat developmentalisme menjadi program
    global, ia bahkan menjadi disiplin baru "development studies", pasar
    utamanya teknokrat dan akademisi negara dunia ketiga. Indonesia tak lepas dari
    pengaruh itu, beberapa akademisi (kemudian jadi teknokrat) yang begitu kritis
    terhadap utang luar negeri kemudian berbalik keyakinannya, akibat ekspansi
    discourse tersebut.
    Para teknokrat tersebut menjadi begitu percaya pada Rostow melalui growth
    theory maupun trickle down effect, bahwa pembangunan berjalan otomatis melalui
    akumulasi modal dan utang luar negeri, dengan mengabaikan partisipasi
    masyarakat. Faktor ini merupakan salah satu sebab terakumulasinya utang luar
    negeri Indonesia, mengalami ketergantungan serta menggerus demokrasi dan
    kebebasan.
    Para akademisi dan teknokrat tersebut itulah yang dikategorikan sebagai
    "intelektual tradisional", yaitu mereka yang cenderung menempatkan
    diri sebagai kelas berkuasa, mengikuti ideologi dominan, serta otonom dan
    independen dari masyarakat kebanyakan. Mereka cenderung melanggengkan sistem
    dan hanya menjadi instrumen, reproduksi dan menjalankan pengetahuan
    (instrumental knowledge) saja.
    Derivasi dari akademisi dan teknokrat itu adalah para profesional teknis yang
    sering disebut sebagai knowledge worker atau "para tukang berdasi yang
    loyo" yang terdiri dari manajer, akuntan, insinyur dsb. Para profesional
    teknis tersebut telah kehilangan bobot dan misi sakralnya sebagai arsitek
    perubahan progresif, ujar Herry Priyono, serta sekadar menjadi
    "intelegensia teknis" dalam masyarakat kapitalis.
    Dalam konteks cita-cita perubahan sosial, akibat ideologi tertanam secara dalam
    di masyarakat karena pandangan dunia (world view) yang terlembagakan dan
    terinternalisasi secara luas, agaknya cukup sulit memunculkan kesadaran kritis.
    Ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh
    yang didominasi, atau sering disebut sebagai hegemoni.
    Strategi untuk melawan hegemoni, oleh Gramsci disebut hegemoni tandingan
    (counter hegemony), yaitu melalui ”perang manuver” (war of maneuver) dan
    ”perang posisi” (war of position). ”Perang manuver” yakni perjuangan mencapai
    perubahan jangka pendek untuk mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan
    praktis; sedangkan ”perang posisi” merupakan perjuangan kultural dan idiologis
    jangka panjang. Kedua strategi tersebut merupakan kritik terhadap perjuangan
    kelas yang cenderung ekonomi-deterministik.
    "Perang manuver" relatif sulit dilakukan di Indonesia, sebab
    mensyaratkan kekuatan yang besar dan solid untuk mengambil alih
    "kekuasaan" dalam jangka waktu pendek. Strategi yang lebih tepat
    untuk kondisi kondisi civil society yang masih lemah dan terpecah-pecah seperti
    Indonesia adalah dengan "perang posisi". Hal ini dilakukan dengan
    menggalang suatu aliansi besar (kekuatan kolektif) yang terdiri dari berbagai
    kekuatan sosial yang disatukan oleh konsepsi yang sama, dengan tetap mengakui
    otonomi masing-masing, untuk merebut wacana dominan.
    Strategi tersebut juga merajut jaringan para "intelektual organik"
    yang berasal dari berbagai kekuatan sosial misalnya; gerakan perdamaian,
    gerakan perempuan, gerakan hak sipil, gerakan pemuda, gerakan minoritas etnik
    dll. Contoh yang dalam batas tertentu telah berhasil dilakukan di Indonesia
    misalnya; koalisi ornop untuk konstitusi baru atau koalisi ornop untuk
    pemilihan presiden langsung.
    Dalam konteks perlawanan terhadap ideologi dominan, pendidikan mempunyai peran
    krusial untuk memunculkan kesadaran kritis. Tugas utama pendidikan adalah
    menciptakan ruang agar kritis terhadap sistim dan sruktur ketidak adilan, serta
    melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang lebih adil.
    Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif
    maupun berjarak dengan masyarakat, seperti anjuran paradigma liberal.
    Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai
    pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk mencipta sistim sosial baru
    dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan
    ruang untuk mengidentifikasi, menganalisis secara bebas dan kritis untuk
    transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah
    "memanusiakan" kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena
    sistim dan struktur yang tidak adil.

    Penulis adalah Sekjen Pengurus Pusat PMKRI periode 2000-2002

      Waktu sekarang Mon Nov 25, 2024 8:31 pm