Transformasi Peran Santri vis-a-vis Hegemoni
Modernitas
Oleh Septy Gumiandari
Dewasa ini, pembangunan industri dalam
skala massif merupakan kerangka kebijakan pembangunan nasional yang sebetulnya
sungguh sangat strategis dan sistematis untuk kerja-kerja transformasi,
terutama di sektor produksi dengan seluruh maknanya yang ekonomis. Realisasi
seluruh kebijakan dan rencana itu tidak mungkin terjadi dalam suatu ruang
hampa. Industrialisasi selalu berlangsung dalam lingkungan sosio-kultural yang
sarat dengan kepentingan dan konstruksi-konstruksi tertentu. Karena itu, di
sini ditegaskan bahwa setiap usaha industrialisasi dengan segenap imbas
perubahannya pada akhirnya akan membentur dan "memaksakan" efek
perubahannya ke ranah-ranah kultural.(1)
Begitu pula halnya dengan mereka yang
berstatus santri sebagai elite sosial. Kedudukan dan nasib mereka akan amat
ditentukan oleh posisi askriptifnya yang selama ini dikukuhkan oleh tradisi
sosial dan keyakinan-keyakinan budaya setempat. Perubahan-perubahan ekonomi sebagai
bagian dari proses pembangunan ekonomi tak jarang mengancam dan bahkan sering
terasa amat mengganggu - posisi mereka yang terpandang sebagai elite setempat.
Sekalipun perubahan-perubahan yang akan dan telah terjadi akibat
industrialisasi itu acap kali lebih dipersepsi sebagai harapan baru bagi mereka
yang awam dan berkedudukan marginal di strata bawah, para elite sosial lokal
umumnya merespon datangnya perubahan itu dengan rasa was-was. Karena itu,
pembangunan industri dan perubahan-perubahan yang mengikutinya, asalkan
mengesankan akan menguntungkan secara ekonomis, sering dinantikan oleh pemilik
tanah, petani, dan buruh tani. Namun, semua itu sekurang-kurangnya pada tahapan
paling awal ditentang oleh para elite santri. Pada gilirannya, akibat intervensi
pembangunan industri yang semakin mewabah mengeksploitasi seluruh dimensi
kekuatan rakyat, maka mau tidak mau para elite santri terlibat dan bahkan
dipaksa untuk ikut bersosialisasi dalam hegemoni arus industrialisasi itu.
Sebab, konsekuensi logisnya,jika mereka masih bersiteguh untuk bersitegang pada
kultur lama, maka mereka tidak hanya akan ketinggalan dinamika modernitas,
tetapi juga mitos otoritas mereka akan runtuh dalam pandangan masyarakat
setempat yang kini mulai terkontaminasi oleh supremasi era global.
Mochtar Mas'ud memberikan analisisnya
tentang ragam pendekatan pembangunan sepanjang masa Orde Baru. Menurutnya,
dalam proses pembangunan yang disetir, oleh Orde Baru, hanya ada dua kekuatan
yang bertarung dan mendapatkan posisi yang diperhitungkan dalam pentas
perpolitikan di Indonesia, yakni kekuatan ekonomi dan kekuatan politik.
Keduanya memang kekuatan handal yang selama ini menopang lajunya pembangunan.
Sementara itu, kekuatan moral (moral force) meRgalami marginalisasi. Pendekatan
moral tidak disukai oleh kekuatan ekonomi kare;na dianggap mengganggu mekanisme
pasar. Begitu pula, pendekatan moral dipandang oleh kekuatan politik sebagai
tidak mendukung pembinaan basis material bagi elite penguasa. (2)
Dalam konteks lembaga keagamaan, kenyataan di
atas seringkali menempatkan masalah keagamaan seolah-olah terpisah dari
persoalan sosial politik. Lembaga keagamaan seakan-akan hanya mengurusi masalah
ibadah yang normatif dengan menutup ruang gerak dalam urusan sosial
kemasyarakatan. Maka jelaslah, dalam konteks pembangunan kita tak dapat
memicingkan mata bahwa agama dianggap hanya sebagai peredam situasi ruhani bagi
kekuatan-kekuatan kolektiflain, sehingga agama tidak berfungsi
universalsebagaimana terakumulasi dalam pesan-pesan kitab suci Alquran. Institusi
keagamaan telah tersisihkan dari arus industrialisasi dan bahkan tidak jarang
"dituduh" sebagai otak dan oknum penghambat modernitas.(3)
Mengutip pemikiran Kuntowijoyo, pemahaman
ajaran agama (Islam) hendaknya dijadikan sebagai sebuah proses yang di dalamnya
makna-makna transendental diterjemahkan dalam praksis sosial.(4) Dengan
demikian, melalui lembaga-lembaga yang memperjuangkan nya, agama tidak akan
meninggalkan dan, lebih-lebih, ditinggalkan masyarakatnya. Memang benar bahwa
agama merupakan persoalan personal. Namun, manakala kekuatan personal tidak
bisa berbicara dalam jalur sistematis, kekuatan kolektif yang bernafaskan agama
sangat dibutuhkan. Justru pada dataran inilah lembaga keagamaan senantiasa
dibutuhkan oleh masyarakat. Menyusul adanya semacam gerakan mondial yang
cenderung memarginalisasikan agama oleh arus pembangunan yang berisi
adopsi-adopsi pembangunan westernian, dibutuhkan suatu respon intensif atas
cacat-cacat yang ditimbulkannya. Hanya saja, ada keterbatasan untuk merespon semua
itu manakala lembaga agama sendiri tidak bisa bebas dari kooptasi pembangunan.
Yang lebih tragis lagi dalam kooptasi itu adalah ketika lembaga agama dijadikan
sebagai alat justifikasi atas policy pembangunan.
Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan
hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu kelompok dengan kelompok lain
dalam masyarakat akan menimbulkan perbedaan ,sikap di antara kelompok itu. Di
samping itu, ketimpangan kontribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas
kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat
mekanis dalam suatu masyarakat. Perbedaan ini merupakan faktor yang menyebabkan
timbulnya polarisasi dan konflik antar subkelompok atau antarkelompok dalam
masyarakat Islam.(5) Dengan demikian, jika sikap sosial dijadikan sebagai
fungsi dari sebuah kepentingan,(6)maka terjadinya konfliksosial merupakan
implikasi dari perbedaan kemampuan memenuhi kepentingan itu.
Dalam tradisi sosial di lingkungan umat
Islam, hierarki wewenang dalam kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan .dan kemampuan keislaman seseorang ('ulama') dalam
mengkomunikasikan dan mensosialisasikan pengetahuannya demi kepentingan umat
dan .masyarakat. (7) Oleh karenanya, ulama, sebagai elite santri, adalah orang
yang memiliki status sosial dengan suatu julukan yang tinggi dalam struktur
sosial masyarakat Islam.( Dalam kehidupan kemasyarakatan di Indonesia, ulama
seringkali disebut kiai, khatib, mubaligh, atau guru ngaji. Mereka memiliki
keduaukan khusus dalam struktur sosial Islam, sebagaimana istilah ini sering
dipergunakan ulama dalam fungsinya sebagai penyiar ajaran Islam. Sebagai
referensi tindakan sosial, berbagai keputusan tindakan anggota masyarakat
seringkali diserahkan .kepada, .dan lebih banyak ditentukan oleh, ulama.(9) Karena
itu, sikap dan tindakan umat sebagai lapisan bawah dalam struktur sosial Islam
mengikuti sikap dan tindakan ulama.
Struktur antara elite santri dengananggota
masyarakat muncul dan tumbuh dari proses hubungan berdasarkan pengalaman dan
emosi keagamaan. Sikaphubungan ini merupakan daya perekat dan pembentuk
solidaritas keagamaansebagai infrastruktur tata kehidupan sosial umat.
Prosesinteraksi itu secara tradisional terpelihara me- lalui kegiatan
sosialisasi Islam: pengajian dan khutbah-khutbah. Sejalan dengan kehidupan
masyarakat, yang demikian itu secara berangsur-angsur dan bertahap
mengakibatkan pergeseran fungsi ulama dalam prosessosialisasi Islam. Ini
menunjukkanbahwa pengetahuan tentang Islam di kalangan umat, dalam sebuah
survei, ternyata tidak hanyadiperoleh dari gerakan sosialisasi Islam
tradisional yang dilakukan oleh para ulama. Semakin kurangnya sosialisasi Islam
secara tatap muka dalam situasi yang intens telah mendorong umat mencari sumber
referensi pengetahuan lainnya melalui media penerbitan, media cetak, dan
elektronik yang bersifat terbuka dan massal.
Modernisasi sarana dakwah dan pendidikan
Islam dalam perkembangan penyelenggaraan pendidikan kontemporer tidak hanya
mengubah basis sosio-kultural dan pengetahuan elite santri, melainkan juga
mengimbas pada umat Islam secara keseluruhan. Elite santri dan ulama yang
semula tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan pesantren kini tumbuh,
berkembang, dan didewasakan oleh sistem pendidikan modern serta media
sosialisasi Islam lainnya. Keadaan ini menyebabkan perubahan hubungan ulamadan
elite santri dengan para pengikutnya. Intensitas hubungan personalyang semula
dapat berlangsung lama, terbatas, dan berkembang dalam suasana emosional kini
menjadi lebih terbuka dan rasional.
Perluasan jaringan modernisasi teknologi
transportasi, komunikasi, media informasi, dan pembaruan pendidikan
meningkatkan mobilitas sosial dengan daya jangkau yang luas dan kompleks.
Hubungan umat dan ulama yang semula diikat oleh emosi keagamaan yang kuat kini
semakin mencair. Hubungan sosial aptara tokoh, ulama, dan umat pengikut mulai
didasarkan atas berbagai pertimbangan rasional dan kepentingan pragmatis.
Ikatan emosional yang semu- la merupakan basis kultural solidaritas umat,
khususnya pada tahun 50-an, mulai melemah dan mencari bentuk baru yang
didasarkan pada pertimbangan lebih rasional. Sebagai kekuatan sosial, umat
mencair bersama semakin pudarnya ikatan emosional keagamaan. Konsep-konsep
sosial dan politik yang semula merupakan terjemahan langsung dari kaidah nilai
dan konsep keagamaan mulai bergeser ke arahkonsep sosial dan politik yang
didasarkan pada kepentingan sosial-ekonomi yang bersifat praktis dan pragmatis.
Dengan demikian, fungsi dan kedudukan ulama dan elite santri lainnya mulai
berubah.(10)
Perkembangan ini tentu
berpengaruh pula pada dunia politik santri. Sebab, sebagian besar dari
masyarakat Indonesia dipenuhi oleh anggota-anggota dari dunia itu. Karena
secara struktural hampir sebagian besar kelompok-kelompok dari dunia politik
santri itu tinggal di kota atau paling tidak telah dipengaruhi oleh budaya
kota, maka corak keislaman yang dibawanya jelas dipengaruhi oleh suasana
struktural seperti itu. Sejak itulah, struktur dunia politik santri terbagi
dalam dua bagian besar: Islam dengan corak katadi satu sisi, dan Islam dengan
corak desa di sisi lain. Corak pertama sebagian ditandai oleh sikap yang lebih
terbuka terhadap budaya Barat ( dalam pengertian sederhana: kelompok-kelompok
dalam kota selalu merealisasikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari
melalui institusi-institusi pemikiran Barat). Sementara itu, corak kedua
ditandai olehsikap yang relatif lebih tertutup terhadap budaya Barat (dalam
pengertian bahwa realisasi keislamannya direfleksikan dalam wadah- wadah
institusi tradisional).(11) Corak Islam inilah yang memulai suatu kehidupan
budaya baru. Respon mereka terhadap budaya Barat bukan saja memberi mereka
inspirasi untuk menyusun suatu sistem hubungan baru antara pemimpin dan
pengikut atau bentuk-bentuk ajaran baru yang lebih debatable dan terbuka,
melainkan juga melahirkan suatu bentuk kesatuan baru: kesatuan asosiasional
menggantikan kesatuan primordial. Kesatuan asosiasional merupakan suatu
kesatuan nasional dan bersifat lintas etnis.
Modernitas
Oleh Septy Gumiandari
Dewasa ini, pembangunan industri dalam
skala massif merupakan kerangka kebijakan pembangunan nasional yang sebetulnya
sungguh sangat strategis dan sistematis untuk kerja-kerja transformasi,
terutama di sektor produksi dengan seluruh maknanya yang ekonomis. Realisasi
seluruh kebijakan dan rencana itu tidak mungkin terjadi dalam suatu ruang
hampa. Industrialisasi selalu berlangsung dalam lingkungan sosio-kultural yang
sarat dengan kepentingan dan konstruksi-konstruksi tertentu. Karena itu, di
sini ditegaskan bahwa setiap usaha industrialisasi dengan segenap imbas
perubahannya pada akhirnya akan membentur dan "memaksakan" efek
perubahannya ke ranah-ranah kultural.(1)
Begitu pula halnya dengan mereka yang
berstatus santri sebagai elite sosial. Kedudukan dan nasib mereka akan amat
ditentukan oleh posisi askriptifnya yang selama ini dikukuhkan oleh tradisi
sosial dan keyakinan-keyakinan budaya setempat. Perubahan-perubahan ekonomi sebagai
bagian dari proses pembangunan ekonomi tak jarang mengancam dan bahkan sering
terasa amat mengganggu - posisi mereka yang terpandang sebagai elite setempat.
Sekalipun perubahan-perubahan yang akan dan telah terjadi akibat
industrialisasi itu acap kali lebih dipersepsi sebagai harapan baru bagi mereka
yang awam dan berkedudukan marginal di strata bawah, para elite sosial lokal
umumnya merespon datangnya perubahan itu dengan rasa was-was. Karena itu,
pembangunan industri dan perubahan-perubahan yang mengikutinya, asalkan
mengesankan akan menguntungkan secara ekonomis, sering dinantikan oleh pemilik
tanah, petani, dan buruh tani. Namun, semua itu sekurang-kurangnya pada tahapan
paling awal ditentang oleh para elite santri. Pada gilirannya, akibat intervensi
pembangunan industri yang semakin mewabah mengeksploitasi seluruh dimensi
kekuatan rakyat, maka mau tidak mau para elite santri terlibat dan bahkan
dipaksa untuk ikut bersosialisasi dalam hegemoni arus industrialisasi itu.
Sebab, konsekuensi logisnya,jika mereka masih bersiteguh untuk bersitegang pada
kultur lama, maka mereka tidak hanya akan ketinggalan dinamika modernitas,
tetapi juga mitos otoritas mereka akan runtuh dalam pandangan masyarakat
setempat yang kini mulai terkontaminasi oleh supremasi era global.
Mochtar Mas'ud memberikan analisisnya
tentang ragam pendekatan pembangunan sepanjang masa Orde Baru. Menurutnya,
dalam proses pembangunan yang disetir, oleh Orde Baru, hanya ada dua kekuatan
yang bertarung dan mendapatkan posisi yang diperhitungkan dalam pentas
perpolitikan di Indonesia, yakni kekuatan ekonomi dan kekuatan politik.
Keduanya memang kekuatan handal yang selama ini menopang lajunya pembangunan.
Sementara itu, kekuatan moral (moral force) meRgalami marginalisasi. Pendekatan
moral tidak disukai oleh kekuatan ekonomi kare;na dianggap mengganggu mekanisme
pasar. Begitu pula, pendekatan moral dipandang oleh kekuatan politik sebagai
tidak mendukung pembinaan basis material bagi elite penguasa. (2)
Dalam konteks lembaga keagamaan, kenyataan di
atas seringkali menempatkan masalah keagamaan seolah-olah terpisah dari
persoalan sosial politik. Lembaga keagamaan seakan-akan hanya mengurusi masalah
ibadah yang normatif dengan menutup ruang gerak dalam urusan sosial
kemasyarakatan. Maka jelaslah, dalam konteks pembangunan kita tak dapat
memicingkan mata bahwa agama dianggap hanya sebagai peredam situasi ruhani bagi
kekuatan-kekuatan kolektiflain, sehingga agama tidak berfungsi
universalsebagaimana terakumulasi dalam pesan-pesan kitab suci Alquran. Institusi
keagamaan telah tersisihkan dari arus industrialisasi dan bahkan tidak jarang
"dituduh" sebagai otak dan oknum penghambat modernitas.(3)
Mengutip pemikiran Kuntowijoyo, pemahaman
ajaran agama (Islam) hendaknya dijadikan sebagai sebuah proses yang di dalamnya
makna-makna transendental diterjemahkan dalam praksis sosial.(4) Dengan
demikian, melalui lembaga-lembaga yang memperjuangkan nya, agama tidak akan
meninggalkan dan, lebih-lebih, ditinggalkan masyarakatnya. Memang benar bahwa
agama merupakan persoalan personal. Namun, manakala kekuatan personal tidak
bisa berbicara dalam jalur sistematis, kekuatan kolektif yang bernafaskan agama
sangat dibutuhkan. Justru pada dataran inilah lembaga keagamaan senantiasa
dibutuhkan oleh masyarakat. Menyusul adanya semacam gerakan mondial yang
cenderung memarginalisasikan agama oleh arus pembangunan yang berisi
adopsi-adopsi pembangunan westernian, dibutuhkan suatu respon intensif atas
cacat-cacat yang ditimbulkannya. Hanya saja, ada keterbatasan untuk merespon semua
itu manakala lembaga agama sendiri tidak bisa bebas dari kooptasi pembangunan.
Yang lebih tragis lagi dalam kooptasi itu adalah ketika lembaga agama dijadikan
sebagai alat justifikasi atas policy pembangunan.
Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan
hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu kelompok dengan kelompok lain
dalam masyarakat akan menimbulkan perbedaan ,sikap di antara kelompok itu. Di
samping itu, ketimpangan kontribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas
kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat
mekanis dalam suatu masyarakat. Perbedaan ini merupakan faktor yang menyebabkan
timbulnya polarisasi dan konflik antar subkelompok atau antarkelompok dalam
masyarakat Islam.(5) Dengan demikian, jika sikap sosial dijadikan sebagai
fungsi dari sebuah kepentingan,(6)maka terjadinya konfliksosial merupakan
implikasi dari perbedaan kemampuan memenuhi kepentingan itu.
Dalam tradisi sosial di lingkungan umat
Islam, hierarki wewenang dalam kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan .dan kemampuan keislaman seseorang ('ulama') dalam
mengkomunikasikan dan mensosialisasikan pengetahuannya demi kepentingan umat
dan .masyarakat. (7) Oleh karenanya, ulama, sebagai elite santri, adalah orang
yang memiliki status sosial dengan suatu julukan yang tinggi dalam struktur
sosial masyarakat Islam.( Dalam kehidupan kemasyarakatan di Indonesia, ulama
seringkali disebut kiai, khatib, mubaligh, atau guru ngaji. Mereka memiliki
keduaukan khusus dalam struktur sosial Islam, sebagaimana istilah ini sering
dipergunakan ulama dalam fungsinya sebagai penyiar ajaran Islam. Sebagai
referensi tindakan sosial, berbagai keputusan tindakan anggota masyarakat
seringkali diserahkan .kepada, .dan lebih banyak ditentukan oleh, ulama.(9) Karena
itu, sikap dan tindakan umat sebagai lapisan bawah dalam struktur sosial Islam
mengikuti sikap dan tindakan ulama.
Struktur antara elite santri dengananggota
masyarakat muncul dan tumbuh dari proses hubungan berdasarkan pengalaman dan
emosi keagamaan. Sikaphubungan ini merupakan daya perekat dan pembentuk
solidaritas keagamaansebagai infrastruktur tata kehidupan sosial umat.
Prosesinteraksi itu secara tradisional terpelihara me- lalui kegiatan
sosialisasi Islam: pengajian dan khutbah-khutbah. Sejalan dengan kehidupan
masyarakat, yang demikian itu secara berangsur-angsur dan bertahap
mengakibatkan pergeseran fungsi ulama dalam prosessosialisasi Islam. Ini
menunjukkanbahwa pengetahuan tentang Islam di kalangan umat, dalam sebuah
survei, ternyata tidak hanyadiperoleh dari gerakan sosialisasi Islam
tradisional yang dilakukan oleh para ulama. Semakin kurangnya sosialisasi Islam
secara tatap muka dalam situasi yang intens telah mendorong umat mencari sumber
referensi pengetahuan lainnya melalui media penerbitan, media cetak, dan
elektronik yang bersifat terbuka dan massal.
Modernisasi sarana dakwah dan pendidikan
Islam dalam perkembangan penyelenggaraan pendidikan kontemporer tidak hanya
mengubah basis sosio-kultural dan pengetahuan elite santri, melainkan juga
mengimbas pada umat Islam secara keseluruhan. Elite santri dan ulama yang
semula tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan pesantren kini tumbuh,
berkembang, dan didewasakan oleh sistem pendidikan modern serta media
sosialisasi Islam lainnya. Keadaan ini menyebabkan perubahan hubungan ulamadan
elite santri dengan para pengikutnya. Intensitas hubungan personalyang semula
dapat berlangsung lama, terbatas, dan berkembang dalam suasana emosional kini
menjadi lebih terbuka dan rasional.
Perluasan jaringan modernisasi teknologi
transportasi, komunikasi, media informasi, dan pembaruan pendidikan
meningkatkan mobilitas sosial dengan daya jangkau yang luas dan kompleks.
Hubungan umat dan ulama yang semula diikat oleh emosi keagamaan yang kuat kini
semakin mencair. Hubungan sosial aptara tokoh, ulama, dan umat pengikut mulai
didasarkan atas berbagai pertimbangan rasional dan kepentingan pragmatis.
Ikatan emosional yang semu- la merupakan basis kultural solidaritas umat,
khususnya pada tahun 50-an, mulai melemah dan mencari bentuk baru yang
didasarkan pada pertimbangan lebih rasional. Sebagai kekuatan sosial, umat
mencair bersama semakin pudarnya ikatan emosional keagamaan. Konsep-konsep
sosial dan politik yang semula merupakan terjemahan langsung dari kaidah nilai
dan konsep keagamaan mulai bergeser ke arahkonsep sosial dan politik yang
didasarkan pada kepentingan sosial-ekonomi yang bersifat praktis dan pragmatis.
Dengan demikian, fungsi dan kedudukan ulama dan elite santri lainnya mulai
berubah.(10)
Perkembangan ini tentu
berpengaruh pula pada dunia politik santri. Sebab, sebagian besar dari
masyarakat Indonesia dipenuhi oleh anggota-anggota dari dunia itu. Karena
secara struktural hampir sebagian besar kelompok-kelompok dari dunia politik
santri itu tinggal di kota atau paling tidak telah dipengaruhi oleh budaya
kota, maka corak keislaman yang dibawanya jelas dipengaruhi oleh suasana
struktural seperti itu. Sejak itulah, struktur dunia politik santri terbagi
dalam dua bagian besar: Islam dengan corak katadi satu sisi, dan Islam dengan
corak desa di sisi lain. Corak pertama sebagian ditandai oleh sikap yang lebih
terbuka terhadap budaya Barat ( dalam pengertian sederhana: kelompok-kelompok
dalam kota selalu merealisasikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari
melalui institusi-institusi pemikiran Barat). Sementara itu, corak kedua
ditandai olehsikap yang relatif lebih tertutup terhadap budaya Barat (dalam
pengertian bahwa realisasi keislamannya direfleksikan dalam wadah- wadah
institusi tradisional).(11) Corak Islam inilah yang memulai suatu kehidupan
budaya baru. Respon mereka terhadap budaya Barat bukan saja memberi mereka
inspirasi untuk menyusun suatu sistem hubungan baru antara pemimpin dan
pengikut atau bentuk-bentuk ajaran baru yang lebih debatable dan terbuka,
melainkan juga melahirkan suatu bentuk kesatuan baru: kesatuan asosiasional
menggantikan kesatuan primordial. Kesatuan asosiasional merupakan suatu
kesatuan nasional dan bersifat lintas etnis.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as