Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    transformasi peran santri

    kutubuku
    kutubuku
    Mega Ultimate Member


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 297
    Join date : 18.06.10
    Age : 37
    Lokasi : rahasia

    transformasi peran santri Empty transformasi peran santri

    Post by kutubuku Wed Jun 30, 2010 7:24 pm

    Transformasi Peran Santri vis-a-vis Hegemoni
    Modernitas






    Oleh Septy Gumiandari





    Dewasa ini, pembangunan industri dalam
    skala massif merupakan kerangka kebijakan pembangunan nasional yang sebetulnya
    sungguh sangat strategis dan sistematis untuk kerja-kerja transformasi,
    terutama di sektor produksi dengan seluruh maknanya yang ekonomis. Realisasi
    seluruh kebijakan dan rencana itu tidak mungkin terjadi dalam suatu ruang
    hampa. Industrialisasi selalu berlangsung dalam lingkungan sosio-kultural yang
    sarat dengan kepentingan dan konstruksi-konstruksi tertentu. Karena itu, di
    sini ditegaskan bahwa setiap usaha industrialisasi dengan segenap imbas
    perubahannya pada akhirnya akan membentur dan "memaksakan" efek
    perubahannya ke ranah-ranah kultural.(1)



    Begitu pula halnya dengan mereka yang
    berstatus santri sebagai elite sosial. Kedudukan dan nasib mereka akan amat
    ditentukan oleh posisi askriptifnya yang selama ini dikukuhkan oleh tradisi
    sosial dan keyakinan-keyakinan budaya setempat. Perubahan-perubahan ekonomi sebagai
    bagian dari proses pembangunan ekonomi tak jarang mengancam dan bahkan sering
    terasa amat mengganggu - posisi mereka yang terpandang sebagai elite setempat.
    Sekalipun perubahan-perubahan yang akan dan telah terjadi akibat
    industrialisasi itu acap kali lebih dipersepsi sebagai harapan baru bagi mereka
    yang awam dan berkedudukan marginal di strata bawah, para elite sosial lokal
    umumnya merespon datangnya perubahan itu dengan rasa was-was. Karena itu,
    pembangunan industri dan perubahan-perubahan yang mengikutinya, asalkan
    mengesankan akan menguntungkan secara ekonomis, sering dinantikan oleh pemilik
    tanah, petani, dan buruh tani. Namun, semua itu sekurang-kurangnya pada tahapan
    paling awal ditentang oleh para elite santri. Pada gilirannya, akibat intervensi
    pembangunan industri yang semakin mewabah mengeksploitasi seluruh dimensi
    kekuatan rakyat, maka mau tidak mau para elite santri terlibat dan bahkan
    dipaksa untuk ikut bersosialisasi dalam hegemoni arus industrialisasi itu.
    Sebab, konsekuensi logisnya,jika mereka masih bersiteguh untuk bersitegang pada
    kultur lama, maka mereka tidak hanya akan ketinggalan dinamika modernitas,
    tetapi juga mitos otoritas mereka akan runtuh dalam pandangan masyarakat
    setempat yang kini mulai terkontaminasi oleh supremasi era global.



    Mochtar Mas'ud memberikan analisisnya
    tentang ragam pendekatan pembangunan sepanjang masa Orde Baru. Menurutnya,
    dalam proses pembangunan yang disetir, oleh Orde Baru, hanya ada dua kekuatan
    yang bertarung dan mendapatkan posisi yang diperhitungkan dalam pentas
    perpolitikan di Indonesia, yakni kekuatan ekonomi dan kekuatan politik.
    Keduanya memang kekuatan handal yang selama ini menopang lajunya pembangunan.
    Sementara itu, kekuatan moral (moral force) meRgalami marginalisasi. Pendekatan
    moral tidak disukai oleh kekuatan ekonomi kare;na dianggap mengganggu mekanisme
    pasar. Begitu pula, pendekatan moral dipandang oleh kekuatan politik sebagai
    tidak mendukung pembinaan basis material bagi elite penguasa. (2)



    Dalam konteks lembaga keagamaan, kenyataan di
    atas seringkali menempatkan masalah keagamaan seolah-olah terpisah dari
    persoalan sosial politik. Lembaga keagamaan seakan-akan hanya mengurusi masalah
    ibadah yang normatif dengan menutup ruang gerak dalam urusan sosial
    kemasyarakatan. Maka jelaslah, dalam konteks pembangunan kita tak dapat
    memicingkan mata bahwa agama dianggap hanya sebagai peredam situasi ruhani bagi
    kekuatan-kekuatan kolektiflain, sehingga agama tidak berfungsi
    universalsebagaimana terakumulasi dalam pesan-pesan kitab suci Alquran. Institusi
    keagamaan telah tersisihkan dari arus industrialisasi dan bahkan tidak jarang
    "dituduh" sebagai otak dan oknum penghambat modernitas.(3)



    Mengutip pemikiran Kuntowijoyo, pemahaman
    ajaran agama (Islam) hendaknya dijadikan sebagai sebuah proses yang di dalamnya
    makna-makna transendental diterjemahkan dalam praksis sosial.(4) Dengan
    demikian, melalui lembaga-lembaga yang memperjuangkan nya, agama tidak akan
    meninggalkan dan, lebih-lebih, ditinggalkan masyarakatnya. Memang benar bahwa
    agama merupakan persoalan personal. Namun, manakala kekuatan personal tidak
    bisa berbicara dalam jalur sistematis, kekuatan kolektif yang bernafaskan agama
    sangat dibutuhkan. Justru pada dataran inilah lembaga keagamaan senantiasa
    dibutuhkan oleh masyarakat. Menyusul adanya semacam gerakan mondial yang
    cenderung memarginalisasikan agama oleh arus pembangunan yang berisi
    adopsi-adopsi pembangunan westernian, dibutuhkan suatu respon intensif atas
    cacat-cacat yang ditimbulkannya. Hanya saja, ada keterbatasan untuk merespon semua
    itu manakala lembaga agama sendiri tidak bisa bebas dari kooptasi pembangunan.
    Yang lebih tragis lagi dalam kooptasi itu adalah ketika lembaga agama dijadikan
    sebagai alat justifikasi atas policy pembangunan.



    Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan
    hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu kelompok dengan kelompok lain
    dalam masyarakat akan menimbulkan perbedaan ,sikap di antara kelompok itu. Di
    samping itu, ketimpangan kontribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas
    kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat
    mekanis dalam suatu masyarakat. Perbedaan ini merupakan faktor yang menyebabkan
    timbulnya polarisasi dan konflik antar subkelompok atau antarkelompok dalam
    masyarakat Islam.(5) Dengan demikian, jika sikap sosial dijadikan sebagai
    fungsi dari sebuah kepentingan,(6)maka terjadinya konfliksosial merupakan
    implikasi dari perbedaan kemampuan memenuhi kepentingan itu.



    Dalam tradisi sosial di lingkungan umat
    Islam, hierarki wewenang dalam kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh tingkat
    pengetahuan .dan kemampuan keislaman seseorang ('ulama') dalam
    mengkomunikasikan dan mensosialisasikan pengetahuannya demi kepentingan umat
    dan .masyarakat. (7) Oleh karenanya, ulama, sebagai elite santri, adalah orang
    yang memiliki status sosial dengan suatu julukan yang tinggi dalam struktur
    sosial masyarakat Islam.(Cool Dalam kehidupan kemasyarakatan di Indonesia, ulama
    seringkali disebut kiai, khatib, mubaligh, atau guru ngaji. Mereka memiliki
    keduaukan khusus dalam struktur sosial Islam, sebagaimana istilah ini sering
    dipergunakan ulama dalam fungsinya sebagai penyiar ajaran Islam. Sebagai
    referensi tindakan sosial, berbagai keputusan tindakan anggota masyarakat
    seringkali diserahkan .kepada, .dan lebih banyak ditentukan oleh, ulama.(9) Karena
    itu, sikap dan tindakan umat sebagai lapisan bawah dalam struktur sosial Islam
    mengikuti sikap dan tindakan ulama.



    Struktur antara elite santri dengananggota
    masyarakat muncul dan tumbuh dari proses hubungan berdasarkan pengalaman dan
    emosi keagamaan. Sikaphubungan ini merupakan daya perekat dan pembentuk
    solidaritas keagamaansebagai infrastruktur tata kehidupan sosial umat.
    Prosesinteraksi itu secara tradisional terpelihara me- lalui kegiatan
    sosialisasi Islam: pengajian dan khutbah-khutbah. Sejalan dengan kehidupan
    masyarakat, yang demikian itu secara berangsur-angsur dan bertahap
    mengakibatkan pergeseran fungsi ulama dalam prosessosialisasi Islam. Ini
    menunjukkanbahwa pengetahuan tentang Islam di kalangan umat, dalam sebuah
    survei, ternyata tidak hanyadiperoleh dari gerakan sosialisasi Islam
    tradisional yang dilakukan oleh para ulama. Semakin kurangnya sosialisasi Islam
    secara tatap muka dalam situasi yang intens telah mendorong umat mencari sumber
    referensi pengetahuan lainnya melalui media penerbitan, media cetak, dan
    elektronik yang bersifat terbuka dan massal.



    Modernisasi sarana dakwah dan pendidikan
    Islam dalam perkembangan penyelenggaraan pendidikan kontemporer tidak hanya
    mengubah basis sosio-kultural dan pengetahuan elite santri, melainkan juga
    mengimbas pada umat Islam secara keseluruhan. Elite santri dan ulama yang
    semula tumbuh dan berkembang dalam sistem pendidikan pesantren kini tumbuh,
    berkembang, dan didewasakan oleh sistem pendidikan modern serta media
    sosialisasi Islam lainnya. Keadaan ini menyebabkan perubahan hubungan ulamadan
    elite santri dengan para pengikutnya. Intensitas hubungan personalyang semula
    dapat berlangsung lama, terbatas, dan berkembang dalam suasana emosional kini
    menjadi lebih terbuka dan rasional.



    Perluasan jaringan modernisasi teknologi
    transportasi, komunikasi, media informasi, dan pembaruan pendidikan
    meningkatkan mobilitas sosial dengan daya jangkau yang luas dan kompleks.
    Hubungan umat dan ulama yang semula diikat oleh emosi keagamaan yang kuat kini
    semakin mencair. Hubungan sosial aptara tokoh, ulama, dan umat pengikut mulai
    didasarkan atas berbagai pertimbangan rasional dan kepentingan pragmatis.
    Ikatan emosional yang semu- la merupakan basis kultural solidaritas umat,
    khususnya pada tahun 50-an, mulai melemah dan mencari bentuk baru yang
    didasarkan pada pertimbangan lebih rasional. Sebagai kekuatan sosial, umat
    mencair bersama semakin pudarnya ikatan emosional keagamaan. Konsep-konsep
    sosial dan politik yang semula merupakan terjemahan langsung dari kaidah nilai
    dan konsep keagamaan mulai bergeser ke arahkonsep sosial dan politik yang
    didasarkan pada kepentingan sosial-ekonomi yang bersifat praktis dan pragmatis.
    Dengan demikian, fungsi dan kedudukan ulama dan elite santri lainnya mulai
    berubah.(10)



    Perkembangan ini tentu
    berpengaruh pula pada dunia politik santri. Sebab, sebagian besar dari
    masyarakat Indonesia dipenuhi oleh anggota-anggota dari dunia itu. Karena
    secara struktural hampir sebagian besar kelompok-kelompok dari dunia politik
    santri itu tinggal di kota atau paling tidak telah dipengaruhi oleh budaya
    kota, maka corak keislaman yang dibawanya jelas dipengaruhi oleh suasana
    struktural seperti itu. Sejak itulah, struktur dunia politik santri terbagi
    dalam dua bagian besar: Islam dengan corak katadi satu sisi, dan Islam dengan
    corak desa di sisi lain. Corak pertama sebagian ditandai oleh sikap yang lebih
    terbuka terhadap budaya Barat ( dalam pengertian sederhana: kelompok-kelompok
    dalam kota selalu merealisasikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari
    melalui institusi-institusi pemikiran Barat). Sementara itu, corak kedua
    ditandai olehsikap yang relatif lebih tertutup terhadap budaya Barat (dalam
    pengertian bahwa realisasi keislamannya direfleksikan dalam wadah- wadah
    institusi tradisional).(11) Corak Islam inilah yang memulai suatu kehidupan
    budaya baru. Respon mereka terhadap budaya Barat bukan saja memberi mereka
    inspirasi untuk menyusun suatu sistem hubungan baru antara pemimpin dan
    pengikut atau bentuk-bentuk ajaran baru yang lebih debatable dan terbuka,
    melainkan juga melahirkan suatu bentuk kesatuan baru: kesatuan asosiasional
    menggantikan kesatuan primordial. Kesatuan asosiasional merupakan suatu
    kesatuan nasional dan bersifat lintas etnis.

      Waktu sekarang Sun Nov 24, 2024 9:46 pm