Pendidikan
sebagai Investasi Jangka Panjang
Profesor Toshiko Kinosita
mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk
mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah
selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting.
Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat
Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya
berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah
berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar
Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat
ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka
panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya
adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan
minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran
pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat
tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah
alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada
praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan
adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran
global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk
perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan
berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa
semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal
ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila
dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut
dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan.
Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah
mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis
kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan
di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang
berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar,
master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan
pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun.
Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya
rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan
universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan
SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human
capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya
manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter
dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan
kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup
yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah
manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah
menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan
lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing
Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis,
1982, h.121).
Sumber daya manusia yang
berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk
perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin
mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah
dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya
manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan
nasional.
Kedua, investasi pendidikan
memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi
fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total
biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang
akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di
negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap
investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu
20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi
pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13
%. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang
terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya
dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan
menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan,
Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta,
1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan
juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial
pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan
pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali
bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat
pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan
pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya
pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa
paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara
itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi
sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro
suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25
kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan
yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi
inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat
kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya
pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan
bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat
mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang
pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa
(miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus
dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari
keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam
pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor
Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar
dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar
setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do,
leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan
kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung,
meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya
diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu
diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya
“benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar”
karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah
gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan
pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk
pendidikan tingkat selanjutnya.
Ketiga, investasi dalam bidang
pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi
sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan.
Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap
perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang
berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa
mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School
Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development,
Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada
sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang
berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk
mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih
warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan
diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya
semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki
kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan
dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada
sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan
sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi
dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang
berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan
pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap
keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan
diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan
terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk
pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan
pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu
siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang
berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life
long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta
teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas
juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status
sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan
lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan
diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan
jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki
kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam
bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi
tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu
bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang
tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia
yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki
kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin.
Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat
ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki
etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak
dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang
baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan
sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain
itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam
perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi
sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka
negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa
pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan
ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi
jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana
merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan
bersama.
sebagai Investasi Jangka Panjang
Profesor Toshiko Kinosita
mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk
mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah
selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting.
Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat
Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya
berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah
berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar
Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat
ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka
panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya
adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan
minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran
pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat
tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah
alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada
praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan
adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran
global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk
perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan
berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa
semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal
ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila
dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut
dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan.
Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah
mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis
kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan
di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang
berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar,
master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan
pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun.
Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya
rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan
universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan
SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human
capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya
manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter
dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan
kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup
yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah
manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah
menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan
lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing
Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis,
1982, h.121).
Sumber daya manusia yang
berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk
perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin
mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah
dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya
manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan
nasional.
Kedua, investasi pendidikan
memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi
fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total
biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang
akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di
negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap
investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu
20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi
pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13
%. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang
terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya
dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan
menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan,
Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta,
1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan
juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial
pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan
pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali
bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat
pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan
pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya
pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa
paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara
itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi
sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro
suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25
kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan
yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi
inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat
kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya
pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan
bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat
mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang
pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa
(miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus
dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari
keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam
pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor
Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar
dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar
setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do,
leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan
kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung,
meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya
diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu
diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya
“benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar”
karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah
gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan
pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk
pendidikan tingkat selanjutnya.
Ketiga, investasi dalam bidang
pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi
sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan.
Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap
perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang
berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa
mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School
Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development,
Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada
sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang
berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk
mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih
warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan
diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya
semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki
kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan
dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada
sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan
sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi
dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang
berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan
pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap
keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan
diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan
terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk
pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan
pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu
siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang
berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life
long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta
teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas
juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status
sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan
lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan
diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan
jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki
kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam
bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi
tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu
bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang
tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia
yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki
kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin.
Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat
ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki
etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak
dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang
baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan
sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain
itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam
perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi
sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka
negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa
pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan
ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi
jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana
merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan
bersama.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as