Dampak Tayangan Film Kekerasan Pada Anak
Apa yang menarik anak?
Yang menjadi masalah, mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan
di TV? Tak bisa dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam
memperebutkan kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula
dengan pengiklanan suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang
dilemparkan ke pemirsa harus bisa menohok langsung ke benak.
Kalau rajin memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan
kekerasan itu besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar
kekerasan. Ambil contoh sinetron seri Jacklyn. Kekerasan digunakan dalam berbagai
cara dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program
itu.
Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu
menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka
tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang
terutama bikin "kecanduan" ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu
adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan
membosankan.
Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas,
serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita,
khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih "kejam" dalam
menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-
close up korban.
Jadi, orang tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya
ciuman. Adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan,
darah, gebuk-gebukan perlu juga disensor.
Jadi agresor dan tak pedulian
Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap
perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan
televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur,
peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab -
antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan
Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki
anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV
mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26%
mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat
survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan
yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika,
dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada
dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%.
Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan
yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. PenelitianCenterwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih
meningkat 130%. Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun
(Kompas, 20-3-1995).
Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang
dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada
si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan
yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-
anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan
pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti
yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional
Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam
program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang
menonton program tersebut," demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari
Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak
kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama,
dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak
korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain;
ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap
kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak
untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Nonton untuk pelarian
Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di
layar kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir,"
ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak
tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa
pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu
waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi
suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar
juga mendukung.
Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan
turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu
agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui
pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."
Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan
diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak
merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?
Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton
TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000
orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif
dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut
mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atauuntuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel
School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8
- 14 tahun di Northeast Ohio, AS.
Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV
menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang
mengatakan TV untuk olah intelektual.
Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru
meningkatkan level trauma kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak
menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah Singer.
Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau
agresi. "Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak
aksi dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan
yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak
menyerang anak lain," ujar Singer.
Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan
tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan
teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah
orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain
di luar rumah atau nonton TV.
Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan
anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan
perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang
diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap
Singer.
Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat
kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak
laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka.
Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-anak yang
menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya,
tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak
sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV."
Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat
langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan,
tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada keluarga
yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli
perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek itu terpenuhi,
tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton."
Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan
figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk
mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang
dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, "Pada umur
sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi."Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya. Selama tiga tahun
peneliti Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint
Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang
menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi jangan-
jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600 orang
dan letaknya yang terpencil itu?
Orang tua contoh model anak
Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak
bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak.
Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum
menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan
kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan
dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak
akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang
penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman
dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati
makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan
melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan.
Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar
anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia
menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang
Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan.
Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman
itu.
Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu
menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul
dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu,
tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran,
rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi
acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi
pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai
usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan
"saru".
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang
sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan
khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu. Dua jam sudah cukup
Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara
sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai
sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah
mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker -
produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jamsehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum
bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa
sedikit lebih banyak.
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga
akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling
digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan
mereka.
Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan.
Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk
dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut
untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar Fawzia.
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus
mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam
industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser,
pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara
menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah
meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai
dari lingkungan keluarga.
Apa yang menarik anak?
Yang menjadi masalah, mengapa kekerasan menjadi menu pilihan yang ditayangkan
di TV? Tak bisa dipungkiri, persaingan penyelenggara siaran di layar kaca dalam
memperebutkan kue iklan yang makin terbatas sangatlah ketat. Demikian pula
dengan pengiklanan suatu mata acara. Dengan durasi terbatas, kail yang
dilemparkan ke pemirsa harus bisa menohok langsung ke benak.
Kalau rajin memperhatikan iklan cuplikan tayangan film, tentu unsur seks dan
kekerasan itu besar porsinya. Apalagi dalam film laga yang memang menjual seputar
kekerasan. Ambil contoh sinetron seri Jacklyn. Kekerasan digunakan dalam berbagai
cara dalam promosi sebagai pengait untuk menarik pemirsa agar menonton program
itu.
Seorang psikolog sosial mengamati, jenis film-film laga kepahlawanan (hero) selalu
menarik perhatian dan disenangi anak-anak, termasuk balita, sehingga mereka
tahan berjam-jam duduk di depan layar kaca. Diduga, selain menghibur, yang
terutama bikin "kecanduan" ialah unsur thrill, suasana tegang saat menunggu
adegan apa yang bakal terjadi kemudian. Tanpa itu, film cenderung datar dan
membosankan.
Kekerasan yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas,
serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua berita,
khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang lebih "kejam" dalam
menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan ceceran darah atau meng-
close up korban.
Jadi, orang tua jangan terkecoh dengan hanya menyensor adegan seksual, misalnya
ciuman. Adegan kekerasan, mulai tembakan, tamparan pipi, jerit dan teriakan,
darah, gebuk-gebukan perlu juga disensor.
Jadi agresor dan tak pedulian
Di Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap
perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan
televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur,
peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab -
antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan
Christian Science Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki
anak umur 2 - 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV
mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26%
mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington memperkuat
survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya tingkat kejahatan
yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga negara (Kanada, Amerika,
dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada
dan Amerika tingkat pembunuhan di antara penduduk kulit putih naik hampir 100%.
Dalam kurun waktu yang sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan
yang sejajar. Di Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. PenelitianCenterwall dari 1975 - 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara kulit putih
meningkat 130%. Padahal antara 1945 - 1974, tingkat pembunuhan justru menurun
(Kompas, 20-3-1995).
Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada orang-orang
dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi sedikit tertanam pada
si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan begitu ada tiga tahap kekerasan
yang terekam dalam penelitian: awalnya meningkatnya kekerasan di antara anak-
anak, beberapa tahun kemudian meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan
pada tahun-tahun akhir penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti
yakni kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental Nasional
Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun. "Kekerasan dalam
program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang
menonton program tersebut," demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari
Universitas Harvard secara terinci menjelaskan, ada empat macam dampak
kekerasan dalam televisi terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama,
dampak agresor di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak
korban di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain;
ketiga, dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap
kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya keinginan anak
untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Nonton untuk pelarian
Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di
layar kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir,"
ungkap Fawzia. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak
tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa
pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.
Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu
waktu yang cukup panjang. Namun, yang merepotkan bila tontonan kekerasan jadi
suguhan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi lingkungan sekitar
juga mendukung.
Menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan
turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Ada permainan yang dapat memicu
agresi. "Orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui
pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan."
Bayangkan, bila dalam sehari disuguhkan 127 adegan kekerasan, berapa yang akan
diterima dalam seminggu, sebulan, atau setahun? Mungkinkah akhirnya si anak
merasa, memang "tidak apa-apa" memukul dan menganiaya orang lain?
Hasil survai berikut bisa memberikan gambaran. Rata-rata orang Amerika menonton
TV selama 25 - 30 jam per minggu. Dalam penelitian yang melibatkan 100.000
orang sebagai subjek disimpulkan, ada bukti kuat hubungan antara perilaku agresif
dan melihat tayangan TV yang bermuatan kekerasan dalam waktu lama (ekstensif).
Banyak anak begitu betah menghabiskan waktu berjam-jam di depan TV. "Menurut
mereka, televisi adalah cara terbaik untuk menyingkirkan perasaan tertekan, atauuntuk mencoba lari dari perasaan itu," kata Mark I Singer, guru besar di Mandel
School of Applied Social Sciences yang meneliti 2.244 anak sekolah yang berumur 8
- 14 tahun di Northeast Ohio, AS.
Malah menurut majalah TV Guide, sekitar 70% anak yang menonton TV
menyatakan, nonton TV hanya sebagai pelarian. Hanya 1 dari 10 pemirsa yang
mengatakan TV untuk olah intelektual.
Padahal, penelitian menunjukkan, menonton TV berjam-jam secara pasif justru
meningkatkan level trauma kejiwaan. "Kegiatan nonton TV berjam-jam tidak
menghilangkan rasa tertekan, tapi membuatnya makin parah," tambah Singer.
Rupanya, ada hubungan antara pilihan program dengan tingkat kemarahan atau
agresi. "Anak laki-laki atau perempuan yang memilih program TV dengan banyak
aksi dan perkelahian - atau program kekerasan tinggi, memiliki nilai kemarahan
yang tinggi dibandingkan anak lainnya. Mereka juga dilaporkan lebih banyak
menyerang anak lain," ujar Singer.
Yang menarik, ada hubungan nyata antara kebiasaan menonton TV dengan
tingkatan pengawasan orang tua. Pengawasan itu berupa pengenalan orang tua akan
teman-teman sang anak, di mana mereka berada sepanjang hari. Selain itu, apakah
orang tua juga menetapkan dan menjalankan peraturan pembatasan waktu bermain
di luar rumah atau nonton TV.
Anak yang tidak diawasi dengan ketat akan menonton TV lebih banyak dibandingkan
anak-anak yang lain. Kelompok ini lebih banyak menonton program aksi dan
perkelahian atau video musik. "Sebanyak 58% anak perempuan yang kurang
diawasi, lebih memilih program TV berbau kekerasan atau video musik," ungkap
Singer.
Singer juga melaporkan, hampir separuh kelompok anak perempuan dengan tingkat
kemarahan tinggi punya pikiran untuk bunuh diri. Sedangkan pada kelompok anak
laki-laki tipe yang sama merasa takut akan ada orang yang membunuh mereka.
Apalagi menurut Aletha Huston, Ph.D. dari University of Kansas, "Anak-anak yang
menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya,
tak mematuhi aturan kelas, membiarkan tugasnya tidak selesai, dan lebih tidak
sabar dibandingkan dengan anak yang tidak menonton kekerasan di TV."
Toh tidak semua pihak setuju dengan pendapat bahwa kekerasan di TV berakibat
langsung pada perilaku. Satu kajian oleh para ahli ilmu jiwa Inggris menyebutkan,
tak ada kaitan langsung antara kekerasan di TV dengan perilaku anak.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi. "Tak ada yang lebih baik daripada keluarga
yang hangat, sekolah yang bermutu, dan masyarakat yang peduli," tutur ahli
perilaku Tony Charlton, yang memimpin kajian itu. "Kalau tiga aspek itu terpenuhi,
tak ada masalah dengan kekerasan yang ditonton."
Film laga harus pula dilihat dari aspek positifnya, yaitu bahwa anak membutuhkan
figur pahlawan, jagoan, dan heroisme. Di sinilah peran orang tua untuk
mengajaknya menarik garis perbedaan antara dunia nyata dan film. Seperti yang
dikatakan Madeline Levine, Ph.D., psikolog di Marin County, Kalifornia, "Pada umur
sembilan tahun anak baru bisa membedakan antara kenyataan dan fantasi."Majalah Time (12-1-1998) juga memaparkan hasil sebaliknya. Selama tiga tahun
peneliti Inggris, Tony Charlton, memantau perilaku 859 anak di pulau terpencil Saint
Helena, Atlantik. Ia menemukan, tidak ada perubahan perilaku pada mereka yang
menonton TV dari berbagai belahan dunia yang diterima melalui satelit. Tapi jangan-
jangan, Charlton tidak memperhatikan populasi penduduk yang hanya 5.600 orang
dan letaknya yang terpencil itu?
Orang tua contoh model anak
Dari berbagai kemungkinan masalah yang bisa timbul, tentu peran orang tua tidak
bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akan mempengaruhi perilaku anak.
Maka sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sebelum
menentukan batasan bagi anak-anaknya. Biasanya, di kala lelah atau bosan dengan
kegiatan rumah, orang tua suka menonton TV. Tetapi kalau itu tidak dilakukan
dengan rutin, artinya Anda bisa melakukan kegiatan lain kalau sedang jenuh, anak
akan tahu ada banyak cara beraktivitas selain menonton TV.
Usahakan TV hanya menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak. Yang
penting, anak-anak perlu punya cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman
dan mainannya, untuk membaca cerita dan istirahat, berjalan-jalan dan menikmati
makan bersama keluarga. Sebenarnya, umumnya anak-anak senang belajar dengan
melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun bersama orang tuanya.
Hal penting kedua adalah mengikutsertakan anak dalam membuat batasan.
Tetapkan apa, kapan, dan seberapa banyak acara TV yang ditonton. Tujuannya, agar
anak menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai pilihan, bukan kebiasaan. Ia
menonton hanya bila perlu. Untuk itu video kaset bisa berguna, rekam acara yang
Anda sukai lalu tonton kembali bersama-sama pada saat yang sudah ditentukan.
Cara ini akan membatasi, karena anak hanya menyaksikan apa yang ada di rekaman
itu.
Masalah jenis program yang ditonton sangat penting dipertimbangkan sebab itu
menyangkut masalah kekerasan, adegan seks, dan bahasa kotor yang kerap muncul
dalam suatu acara. Kadang ada acara yang bagus karena memberi pesan tertentu,
tetapi di dalamnya ada bahasa yang kurang sopan, atau adegan - seperti pacaran,
rayuan - yang kurang cocok untuk anak-anak. Maka sebaiknya orang tua tahu isi
acara yang akan ditonton anak. Usia anak dan kedewasaan mereka harus jadi
pertimbangan. Dalam hal seks, orang tua sebaiknya bisa memberi penjelasan sesuai
usia, kalau ketika sedang menonton dengan anak-anak tiba-tiba nyelonong adegan
"saru".
Masalah bahasa pun perlu diperhatikan agar anak tahu mengapa suatu kata kurang
sopan untuk ditiru. Orang tua bisa menjelaskannya sebagai ungkapan untuk keadaan
khusus, terutama di TV untuk mencapai efek tertentu. Dua jam sudah cukup
Kapan dan berapa lama anak boleh menonton TV, semua itu tergantung pada cara
sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai
sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari.
Anak yang sudah bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah
mengerjakan semua PR. Berapa jam? Menurut Jane Murphy dan Karen Tucker -
produser acara TV anak-anak dan penulis - sebaiknya tidak lebih dari dua jamsehari, itu termasuk main komputer dan video game. Untuk anak yang belum
bersekolah atau sering ditinggal orang tuanya di rumah, porsinya mungkin bisa
sedikit lebih banyak.
Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara TV juga
akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling
digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan
mereka.
Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan.
Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk
dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut
untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," ujar Fawzia.
Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus
mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam
industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser,
pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Sementara
menangkap setannya lebih sulit, tindakan yang bisa kita lakukan adalah
meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai
dari lingkungan keluarga.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as