Memahami Ateisme
Materi Perkuliahan Mata Kuliah Pendidikan Agama
Teknik Arsitektur 1999 Universitas Atma Jaya Yogyakarta
7 Maret 2000
Pengantar
Mahatma Gandhi, seorang tokoh perjuangan
tanpa kekerasan, adalah fans berat Yesus Kristus. Akan tetapi, ia tidak dapat
memeluk agama Kristen. Mengapa? Karena pengikut Kristus itulah yang menjajah
negerinya. Hanya jika pengikut Kristus itu menerapkan cinta kasih yang diajarkan
Yesus, Gandhi akan mengakui bahwa agama Kristen layak dianutnya.
Fakta kekerasan, penganiayaan, pembunuhan,
pemerkosaan—singkatnya–adanya kejahatan dapat membawa implikasi yang lebih
besar daripada yang dialami Gandhi. Katanya Allah itu mahabaik, mahakuasa,
dapat berbuat apa saja, tetapi kenapa kok ada kejahatan? (bdk. Vittorio Messori
(ed.), Crossing The Threshold of Hope, New York: Alfred A. Knopf, 1994, hlm.
37-41) Kenapa Allah tidak memusnahkan saja orang-orang jahat sehingga dunia ini
menjadi damai, tenang, membahagiakan, layak dihuni? Kalau dunia toh tetap penuh
kejahatan, sebaiknya Tuhan ditiadakan saja. Tuhan itu tidak ada. Yang ada
adalah manusia yang bebas mutlak. Ini adalah salah satu aliran paham ateisme.
Bagi penganut aliran ini, hidup tidak punya makna apapun. Celakalah mereka yang
terkena musibah, jadi korban perang atau penganiayaan. Nasib baiklah kalau ia
bisa selamat. Nasib buruklah kalau dia selama hidupnya miskin. Pokoknya,
manusia bebas, terserah apa yang mau dicapainya dalam hidup ini.
Ironisnya, pandangan semacam
ini justru memunculkan dari kejahatan yang satu ke kejahatan yang lainnya.
Maka, ateisme memandang juga bahwa hidup ini begitu absurd, kacau. Tidak ada
orientasi apapun dalam hidup. Kehidupan ini tidak punya tujuan selain hidup itu
sendiri. Tidak ada kehidupan selain hidup yang sekali ini, maka terserah mau
diapakan hidup ini, tidak ada hubungannya dengan setelah kematian. Dengan
demikian, semakin kukuhlah anggapan bahwa tidak ada Tuhan yang menata hidup ini,
yang menjadi tujuan hidup ini. Demikian seterusnya sehingga orang terjebak
dalam vicious circle yang tak terelakkan.
Mengapa ateisme perlu dipelajari?
"Pengaruh Barat
demikian jauhnya menghapuskan kepercayaan kepada Tuhan dalam hati pemuda-pemudi
dan ratusan mahasiswa dan orang lain mulai menolak dan mengingkari eksistensi
Tuhan. Terdapat lagi ribuan orang yang meskipun masih bertahan diri untuk tidak
menyatakan secara terang-terangan pandangan mereka karena takut kepada
masyarakat, benar-benar sudah tidak punya keyakinan terhadap-Nya" (lih.
Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1997)
Pernyataan itu dibuat 23
tahun lalu. Kalau di-release lagi, mungkin kuantitasnya akan menjadi jutaan
orang yang tidak punya keyakinan terhadap Tuhan. Kita masing-masing perlu
mempelajari secara kritis apa itu ateisme. Dari pemahaman itu diharapkan kita
dapat mengatasi ateisme. Tidak sedikit orang yang menolak ateisme tetapi tidak
tahu apa yang ia tolak. Ironisnya, ia sendiri—meskipun beragama—justru
menjalankan ajaran-ajaran ateisme. Itulah bahayanya sikap tak mau tahu, tidak
peduli: orang menjadi munafik, bermuka dua... tiga, bahkan seperti dasamuka
(tokoh pewayangan bermuka sepuluh). Efek kemunafikan itu, seperti telah disebut
pada bagian pengantar, tidak jauh dari penggerogotan kemanusiaan dan kehancuran
ekosistem (bdk. artikel-artikel tentang arsitektur pada harian KOMPAS, Minggu,
5 Maret 2000, hlm. 9-11. Seorang arsitektur yang mungkin mengaku beragama atau
beriman bisa saja bersekongkol dengan kontraktor untuk membangun kompleks
perumahan tanpa memprioritaskan lingkungan atau masyarakat sekitar).
Sebelum mendalami ateisme
(sedikit saja), baiklah disampaikan di sini dua catatan penting. Pertama, iman
dalam agama tertentu yang dimengerti dan dihayati secara salah, akan menjadi
lahan subur bagi ateisme. Ateisme memang merupakan sisi negatif dari agama dan
keyakinan akan adanya Tuhan. Kedua, kritik ateisme sampai batas-batas tertentu
memiliki kadar kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh umat beragama.
Meskipun pada akhirnya ateisme keliru, ia tetap mendasarkan diri pada fakta
praktik agama. Di sini sebenarnya ateisme menyumbangkan pandangan kritis
terhadap agama.
Apa itu ateisme?
Dalam dokumen Konsili
Vatikan II, Gaudium et Spes, artikel 19, dijabarkan adanya beberapa versi
pemahaman dan fakta ateisme (a: anti, tidak ada; theos: Tuhan). Pertama,
ateisme berarti pengingkaran eksistensi Allah. Terserah apapun argumentasinya,
pokoknya orang tidak percaya akan adanya Allah. Kedua, ateisme berarti penolakan
terhadap pengetahuan akan Allah. Jadi, omong kosong itu kotbah pastor atau
imam-imam tentang Tuhan yang bla bla bla. Ketiga, ateisme berarti pemutlakan
ilmu-ilmu positif (seperti fisika, kimia, matematika) untuk menjelaskan
realitas semesta. Di hadapan ilmu positif yang mutlak ini, tentulah tidak ada
tempat bagi segala hal yang tidak dapat dibuktikan misalnya secara matematis.
Keempat, ateisme berarti juga pemutlakan humanisme. Humanisme yang menempatkan
manusia sebagai tujuan hidup. Kebebasan manusia dimutlakkan sedemikian rupa
sehingga pilihannya adalah: Tuhan atau manusia yang ada. Kalau Tuhan ada,
berarti manusia tidak bebas. Kalau manusia bebas, berarti Tuhan tidak ada.
Dari beberapa pengertian
itu, dapat diketahui bahwa pada prinsipnya ateisme adalah (1) penolakan
keberadaan Allah atau (2) penyangkalan adanya kemungkinan untuk mengetahui
Allah (bdk. Karl Rahner (ed.), Encyclopedia of Theology: The Concise
Sacramentum Mundi, New York: Crossroad, hlm. 47). Artikel ini hanya akan
membatasi diri pada pengertian pertama, yang lebih berkenaan dengan soal sistem
keyakinan. Pengertian kedua lebih cenderung ada pada wilayah epistemologi (Ilmu
Alamiah Dasar?). Dengan batasan pengertian pertama, ajaran ateisme jelas dan
tegas: Tuhan itu tidak ada. Dengan demikian perhatian ateisme adalah meyakinkan
orang bahwa Allah itu omong kosong, pelarian saja; dan agama hanyalah candu.
Alam semesta dan hidup manusia sama sekali tidak bergantung pada kekuatan lain
apa pun. Manusia memiliki arti dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, ateisme
memang berusaha menghancurkan pondasi agama. Kalau Tuhan memang tidak ada,
tentu tidak ada alasan bagi adanya agama.
Bagaimana ateisme dapat muncul?
Ateisme muncul berdasarkan
refleksi, evaluasi yang dibuat manusia berdasarkan fakta hidup yang dilihatnya.
Usaha untuk melihat fakta itu disandarkan pada rasionalitas manusia. Karena
itu, sebetulnya masalah ateisme terutama berdimensi filosofis. Misalkan ada
fakta bahwa seorang mahasiswa yang rajin ke gereja setiap Minggu pada hari
Seninnya main perempuan (ini melanggar sepuluh perintah Allah dalam tradisi
Kristen). Jadi, hari Senin dia bejat, hari Minggunya alim, berniat bertobat.
Selasa bejat lagi, Minggu nangis meraung-raung menyesali dosanya. Rabu merampok
orang lain untuk modal main perempuan.
Orang yang memang memiliki
perhatian dan memiliki rasionalitas yang memadai, akan melontarkan pertanyaan
besar. Apakah Allah itu ada? Kalaupun dia ada, sekuat apa dia di hadapan
manusia? Siapa yang sebenarnya mahakuasa, Allah atau manusia? Allah menang di
masjid, di kuil, di gereja; tetapi di luar itu, pembunuhanlah yang meraja dan
siapa aktornya kalau bukan manusia? Pertanyaan tentang apakah Allah itu ada
sebenarnya sangat vital. Seandainya Allah itu memang tidak ada, manusia memang
harus merombak segala piranti, institusi, relasi yang membatasi gerak hidupnya.
Terhadap
pertanyaan-pertanyaan seperti itu, ada berbagai macam jawaban yang diberikan
sesuai dengan bidang yang digulati orang. Ditinjau dari segi psikologi, fakta
agama dilihat sebagai suatu obsesi. Tuhan dengan sendirinya adalah sosok ilusi
yang memenuhi citra seorang ayah yang menjadi pelindung. Dengan kata lain,
agama adalah pelarian diri dari kenyataan. Ditinjau dari sosiologi, agama
adalah perwujudan kekuatan masyarakat yang melampaui kekuatan individu. Orang
beriman pada kekuatan moral yang menjadi sumber dari sesuatu yang baik dalam
dirinya, dan kekuatan moral itu adalah masyarakat.
Masih banyak tinjauan
terhadap agama dan eksistensi Allah. Pada intinya, tinjauan-tinjauan ateistis
itu mereduksi, mempersempit fakta keagamaan atau keberimanan pada wilayah
bahasan tertentu, seperti seorang awam yang menilai arsitektur tertentu
berdasarkan ketinggian bangunannya belaka, atau mengapresiasinya dengan
kriteria mahalnya material yang menyusun bangunan itu. Fakta Allah dan agama
memang akan menjadi sempit kalau dibatasi pada pengertian sosiologis,
psikologis, antropologis, dan sebagainya. Bidang-bidang itu menentukan sendiri
apa itu Allah.
Tokoh-tokoh besar ateisme
kontemporer adalah Friedrich W. Nietzsche, Emile Durkheim, Sigmund Freud,
Jean-Paul Sartre, Feuerbach, dan Karl Marx (tidak ada hubungan dengan Richard
Marx!!!). Membahas gagasan ateisme mereka tentu saja tidak mungkin menjadi
tujuan artikel ini. Setiap tokoh tersebut memiliki metode tersendiri untuk
melakukan kritik terhadap agama dan eksistensi Allah. Kiranya lebih baik kita
memberi catatan kritis terhadap reduksi yang mereka buat atau penegasan yang
berguna bagi kita sendiri untuk menempatkan permasalahan ini secara tepat.
Sumbangan ateisme
Ateisme tentu tidak dengan
sengaja menyumbangkan jasanya bagi perkembangan agama atau iman. Akan tetapi,
kritik-kritik yang dilontarkan ateisme justru dapat menjadi feedback yang
positif bagi umat beragama. Kritik yang paling umum dilontarkan oleh ateisme
adalah bahwa agama adalah candu masyarakat karena memberikan ilusi-ilusi
tentang Allah yang sama sekali tidak real. Dari kritik ini tentu saja dua pokok
perlu diperhatikan. Yang pertama adalah soal eksistensi Allah (yang dianggap
tidak real). Yang kedua adalah soal agama (yang dianggap sebagai candu).
Eksistensi Allah
Ateisme tegas-tegas menolak
Allah. Akan tetapi, Allah macam apa yang ditolak ateisme? Kiranya segala macam
'jenis' Allah memang ditolak oleh ateisme. Ateisme yang keras menolak Allah
pencipta karena memang dalam ateisme tidak ada paham penciptaan. Dunia ini ada
begitu saja sehingga semuanya absurd (J.P. Sartre) atau berputar-putar kembali
ke masa lalu (Nietzsche). Maklumlah, bagi mereka dunia ini memang siklis seperti
mode yang dulu mulai dari ujung jempol, naik ke betis, lalu ke paha, makin
tinggi sedikit, akhirnya kembali lagi ke yang klasik, yaitu jempol... Akan
tetapi, keberatan ateisme itu jelas dapat diatasi berdasarkan sains. Diakui
oleh komunitas ilmuwan bahwa memang ada penciptaan yang aktornya disebut
sebagai Tuhan. Jadi, jelas bahwa Allah pencipta itu memang ada (bdk. debat
antara kaum ateis dan teis dalam Paul Davies, The Mind of God, New York:
Touchstone, 1992, hlm. 58-60). Agaknya kita semua termasuk dalam kaum teis
dalam arti mengakui adanya Tuhan yang menciptakan dunia. Dalam arti ini kita
beriman.
Meskipun demikian, ada
kelompok ateis lain yang tidak menyerah begitu saja. Okelah memang dulu Tuhan
itu pernah menciptakan Big Bang (ledakan besar yang memunculkan seluruh sistem
galaksi dengan segala keberaturannya). Tapi, itu dulu. Sekarang? Tuhan sudah
mati! Atau, kalaupun dia masih ada, ia hanya menjadi penonton, sama sekali
tidak campur tangan dalam proses kehidupan manusia dan semesta. Paham ini dikenal
sebagai Deisme (deus: tuhan, dewa). Tuhan diumpamakan sebagai pembuat jam
otomatis. Setelah selesai dirakit, jam itu berjalan sendiri tanpa bantuan si
pembuatnya.
Keyakinan seperti itu tampak
dalam fenomena serba free, seolah-olah mau dikatakan bahwa manusia memiliki
kebebasan mutlak, kekuasaan mutlak terhadap hidup ini. Maka, terjadilah di
sana-sini pro-choice (aborsi), free-sex, suicide, dll, dengan berbagai kedok
yang dibuat. Intinya, orang tidak bisa lagi dimintai pertanggungjawaban
rasional atas pola perilakunya. Manusia menjadi Tuhan itu sendiri sehingga
tidak perlu dipertanyakan apa yang dibuatnya. Inilah akibat paham deisme.
Paham ini memiliki
kekeliruan karena dari teori penciptaan dapat dijelaskan bahwa Tuhan
menciptakan dunia dalam proses terus menerus. Tuhan mengadakan semesta dan
memeliharanya. Ini sesuai juga dengan teori evolusi, yaitu bahwa proses
penciptaan manusia terus menerus berlangsung (termasuk di dalamnya proses
membuat manusia lebih menjadi manusiawi. Misalnya dengan adanya piagam HAM yang
menghapuskan bentuk-bentuk perlakuan yang tidak manusiawi–zaman dulu perbudakan
adalah sesuatu yang wajar, tetapi sekarang itu tidak sesuai dengan
perikemanusiaan). Di sini Tuhan campur tangan dalam proses pemeliharaan
semesta. Akan tetapi, kenyataan itu tidak dapat difatalkan menjadi paham bahwa
dunia ini hanyalah panggung sandiwara. Manusia hanya memerankan satu tokoh yang
sudah diskenariokan oleh sutradara dan dalang, Tuhan si makhluk sewenang-wenang
yang menentukan segala-galanya. Kalau demikian, itu artinya Tuhan menghendaki
adanya kejahatan. Dialah yang menghendaki Perang Dunia II. Dia pula yang
menginginkan perang saudara di Chechnya, atau di Ambon, Timor-Timur, dan
seterusnya. Kalau demikian, lebih baik Tuhan ditiadakan saja, karena dia yang
menimbulkan kekacauan di bumi.
Akhirnya, dapat disimpulkan
bahwa hidup adalah proses dialektika, proses dialog, proses kerja sama antara
manusia dan Tuhan. Manusia dianugerahi rahmat kebebasan. Maka, proses
pemeliharaan yang dikehendaki Tuhan juga bergantung pada bagaimana manusia
menggunakan kebebasan itu. Kalau kebebasan itu menyimpang dari kaidah-kaidah
yang ditawarkan Tuhan (Tuhan selalu menawarkan yang baik, dan lebih baik),
tentu terjadilah yang dalam agama disebut dosa; dan itulah ateisme, yaitu sisi
negatif dari agama.
Agama
Ateisme menyerang agama
karena kebanyakan penganutnya jelas-jelas menunjukkan suatu tindak pelarian
diri dari kenyataan. Karl Marx secara tegas menempatkan agama sebagai suatu
kenyataan sekunder yang ilusif, yang muncul karena manusia terasing dari dunia
nyata. Misalnya, seorang buruh mengalami pemerasan sedemikian hebat oleh
majikannya. Ia tidak dapat melawan karena de facto, majikannya memegang kunci
kehidupannya. Ia tidak dapat hidup tanpa gaji dari majikannya. Untuk mengatasi
konflik itu, majikannya mengajak buruh itu ke gereja dan di sanalah terdengar
sabda-sabda suci "berbahagialah mereka yang menderita, karena merekalah si
empunya kerajaan surga". Buruh menjadi tenang, majikan lega, tetapi
masalah tidak kunjung selesai. Bagi Marx, agama menipu manusia karena tidak
melihat fakta konflik tetapi justru melarikan diri pada kenyataan semu yang
membawa kedamaian, ketenangan semu pula.
Kritik Marx ini justru
berguna untuk menegaskan beberapa hal. Pertama, agama memang tidak sama
dengan iman. Sangat mungkin terjadi bahwa orang beragama tidak mendalami
agamanya sehingga tidak sampai pada iman yang diharapkan dapat tumbuh dari
penghayatan agama tersebut. Dengan demikian, kalau orang beragama melakukan
kejahatan, hidup dalam kemunafikan, itu tidak menyimpulkan bahwa agama adalah
nonsense, agama candu belaka. Kenyataan bahwa orang beragama berbuat jahat, itu
hanya menyimpulkan bahwa ia tidak dapat menjalankan sistem kepercayaannya.
Dengan kata lain, ia tidak atau kurang beriman. Kedua, bahwa umat
beragama melarikan diri dari kenyataan sosial, menolak masyarakat, itu tidak
berarti bahwa agama merupakan pelarian belaka. Memang orang bisa saja melarikan
diri dari permasalahannya pada kegiatan agama. Akan tetapi, dalam sistem
kepercayaannya, agama justru mau menunjukkan aspek sosial manusia sehingga
mustinya manusia tidak melarikan diri dari permasalahan sosial. Dokumen-dokumen
Konsili Vatikan II misalnya, jelas menekankan bahwa Gereja harus turut serta
membangun dunia sehingga lebih layak huni bagi manusia.
Akhir kata
Penjelasan tentang ateisme
secara memadai tidak mungkin diperoleh dari artikel singkat. Akan tetapi, dari
artikel singkat ini kita mungkin dapat mengkategorikan dua macam ateisme saja.
Yang pertama ateisme teoretis. Ateisme ini menyangkal eksistensi Allah
berdasarkan disiplin ilmu tertentu. Tidak banyak orang yang menganut ateisme
ini karena sudah tidak bisa disangkal bahwa berdasarkan bukti-bukti sains,
dapat ditelusur adanya aktor intelektual atas terjadinya dan berlangsungnya
semesta. Aktor itu dinamai Tuhan. Jadi, dalam hal ini, agaknya kita tidak ragu
untuk menempatkan diri sebagai kelompok teis.
Yang kedua adalah ateisme
praktis. Ateisme ini menyangkal eksistensi Allah dengan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan sistem kepercayaan pada Tuhan. Dengan kata lain, dalam
kamus orang beragama, orang melakukan dosa... Wah... kalau sudah begitu, siapa
yang tidak menjadi ateis praktis? Penganut ateisme praktis tentu lebih banyak
daripada penganut ateisme teoretis. Jadi, secara teoretis kita mungkin menolak
ateisme, tetapi apakah tingkah laku kita memang menolaknya atau malah
bersekongkol dengan ateisme? Ini selalu menjadi pekerjaan rumah... dan tidak
untuk dikumpulkan sebagai tugas terstruktur kepada dosen. Dan kalau ternyata
kita terus menerus menganut ateis praktis, itu sama sekali tidak dapat menjadi
modal untuk menyimpulkan bahwa Tuhan memang tidak ada. Akhirnya, hidup di dunia
adalah suatu rahmat sehingga setiap kali manusia perlu bekerja sama dengan
Tuhan untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Materi Perkuliahan Mata Kuliah Pendidikan Agama
Teknik Arsitektur 1999 Universitas Atma Jaya Yogyakarta
7 Maret 2000
Pengantar
Mahatma Gandhi, seorang tokoh perjuangan
tanpa kekerasan, adalah fans berat Yesus Kristus. Akan tetapi, ia tidak dapat
memeluk agama Kristen. Mengapa? Karena pengikut Kristus itulah yang menjajah
negerinya. Hanya jika pengikut Kristus itu menerapkan cinta kasih yang diajarkan
Yesus, Gandhi akan mengakui bahwa agama Kristen layak dianutnya.
Fakta kekerasan, penganiayaan, pembunuhan,
pemerkosaan—singkatnya–adanya kejahatan dapat membawa implikasi yang lebih
besar daripada yang dialami Gandhi. Katanya Allah itu mahabaik, mahakuasa,
dapat berbuat apa saja, tetapi kenapa kok ada kejahatan? (bdk. Vittorio Messori
(ed.), Crossing The Threshold of Hope, New York: Alfred A. Knopf, 1994, hlm.
37-41) Kenapa Allah tidak memusnahkan saja orang-orang jahat sehingga dunia ini
menjadi damai, tenang, membahagiakan, layak dihuni? Kalau dunia toh tetap penuh
kejahatan, sebaiknya Tuhan ditiadakan saja. Tuhan itu tidak ada. Yang ada
adalah manusia yang bebas mutlak. Ini adalah salah satu aliran paham ateisme.
Bagi penganut aliran ini, hidup tidak punya makna apapun. Celakalah mereka yang
terkena musibah, jadi korban perang atau penganiayaan. Nasib baiklah kalau ia
bisa selamat. Nasib buruklah kalau dia selama hidupnya miskin. Pokoknya,
manusia bebas, terserah apa yang mau dicapainya dalam hidup ini.
Ironisnya, pandangan semacam
ini justru memunculkan dari kejahatan yang satu ke kejahatan yang lainnya.
Maka, ateisme memandang juga bahwa hidup ini begitu absurd, kacau. Tidak ada
orientasi apapun dalam hidup. Kehidupan ini tidak punya tujuan selain hidup itu
sendiri. Tidak ada kehidupan selain hidup yang sekali ini, maka terserah mau
diapakan hidup ini, tidak ada hubungannya dengan setelah kematian. Dengan
demikian, semakin kukuhlah anggapan bahwa tidak ada Tuhan yang menata hidup ini,
yang menjadi tujuan hidup ini. Demikian seterusnya sehingga orang terjebak
dalam vicious circle yang tak terelakkan.
Mengapa ateisme perlu dipelajari?
"Pengaruh Barat
demikian jauhnya menghapuskan kepercayaan kepada Tuhan dalam hati pemuda-pemudi
dan ratusan mahasiswa dan orang lain mulai menolak dan mengingkari eksistensi
Tuhan. Terdapat lagi ribuan orang yang meskipun masih bertahan diri untuk tidak
menyatakan secara terang-terangan pandangan mereka karena takut kepada
masyarakat, benar-benar sudah tidak punya keyakinan terhadap-Nya" (lih.
Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1997)
Pernyataan itu dibuat 23
tahun lalu. Kalau di-release lagi, mungkin kuantitasnya akan menjadi jutaan
orang yang tidak punya keyakinan terhadap Tuhan. Kita masing-masing perlu
mempelajari secara kritis apa itu ateisme. Dari pemahaman itu diharapkan kita
dapat mengatasi ateisme. Tidak sedikit orang yang menolak ateisme tetapi tidak
tahu apa yang ia tolak. Ironisnya, ia sendiri—meskipun beragama—justru
menjalankan ajaran-ajaran ateisme. Itulah bahayanya sikap tak mau tahu, tidak
peduli: orang menjadi munafik, bermuka dua... tiga, bahkan seperti dasamuka
(tokoh pewayangan bermuka sepuluh). Efek kemunafikan itu, seperti telah disebut
pada bagian pengantar, tidak jauh dari penggerogotan kemanusiaan dan kehancuran
ekosistem (bdk. artikel-artikel tentang arsitektur pada harian KOMPAS, Minggu,
5 Maret 2000, hlm. 9-11. Seorang arsitektur yang mungkin mengaku beragama atau
beriman bisa saja bersekongkol dengan kontraktor untuk membangun kompleks
perumahan tanpa memprioritaskan lingkungan atau masyarakat sekitar).
Sebelum mendalami ateisme
(sedikit saja), baiklah disampaikan di sini dua catatan penting. Pertama, iman
dalam agama tertentu yang dimengerti dan dihayati secara salah, akan menjadi
lahan subur bagi ateisme. Ateisme memang merupakan sisi negatif dari agama dan
keyakinan akan adanya Tuhan. Kedua, kritik ateisme sampai batas-batas tertentu
memiliki kadar kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh umat beragama.
Meskipun pada akhirnya ateisme keliru, ia tetap mendasarkan diri pada fakta
praktik agama. Di sini sebenarnya ateisme menyumbangkan pandangan kritis
terhadap agama.
Apa itu ateisme?
Dalam dokumen Konsili
Vatikan II, Gaudium et Spes, artikel 19, dijabarkan adanya beberapa versi
pemahaman dan fakta ateisme (a: anti, tidak ada; theos: Tuhan). Pertama,
ateisme berarti pengingkaran eksistensi Allah. Terserah apapun argumentasinya,
pokoknya orang tidak percaya akan adanya Allah. Kedua, ateisme berarti penolakan
terhadap pengetahuan akan Allah. Jadi, omong kosong itu kotbah pastor atau
imam-imam tentang Tuhan yang bla bla bla. Ketiga, ateisme berarti pemutlakan
ilmu-ilmu positif (seperti fisika, kimia, matematika) untuk menjelaskan
realitas semesta. Di hadapan ilmu positif yang mutlak ini, tentulah tidak ada
tempat bagi segala hal yang tidak dapat dibuktikan misalnya secara matematis.
Keempat, ateisme berarti juga pemutlakan humanisme. Humanisme yang menempatkan
manusia sebagai tujuan hidup. Kebebasan manusia dimutlakkan sedemikian rupa
sehingga pilihannya adalah: Tuhan atau manusia yang ada. Kalau Tuhan ada,
berarti manusia tidak bebas. Kalau manusia bebas, berarti Tuhan tidak ada.
Dari beberapa pengertian
itu, dapat diketahui bahwa pada prinsipnya ateisme adalah (1) penolakan
keberadaan Allah atau (2) penyangkalan adanya kemungkinan untuk mengetahui
Allah (bdk. Karl Rahner (ed.), Encyclopedia of Theology: The Concise
Sacramentum Mundi, New York: Crossroad, hlm. 47). Artikel ini hanya akan
membatasi diri pada pengertian pertama, yang lebih berkenaan dengan soal sistem
keyakinan. Pengertian kedua lebih cenderung ada pada wilayah epistemologi (Ilmu
Alamiah Dasar?). Dengan batasan pengertian pertama, ajaran ateisme jelas dan
tegas: Tuhan itu tidak ada. Dengan demikian perhatian ateisme adalah meyakinkan
orang bahwa Allah itu omong kosong, pelarian saja; dan agama hanyalah candu.
Alam semesta dan hidup manusia sama sekali tidak bergantung pada kekuatan lain
apa pun. Manusia memiliki arti dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, ateisme
memang berusaha menghancurkan pondasi agama. Kalau Tuhan memang tidak ada,
tentu tidak ada alasan bagi adanya agama.
Bagaimana ateisme dapat muncul?
Ateisme muncul berdasarkan
refleksi, evaluasi yang dibuat manusia berdasarkan fakta hidup yang dilihatnya.
Usaha untuk melihat fakta itu disandarkan pada rasionalitas manusia. Karena
itu, sebetulnya masalah ateisme terutama berdimensi filosofis. Misalkan ada
fakta bahwa seorang mahasiswa yang rajin ke gereja setiap Minggu pada hari
Seninnya main perempuan (ini melanggar sepuluh perintah Allah dalam tradisi
Kristen). Jadi, hari Senin dia bejat, hari Minggunya alim, berniat bertobat.
Selasa bejat lagi, Minggu nangis meraung-raung menyesali dosanya. Rabu merampok
orang lain untuk modal main perempuan.
Orang yang memang memiliki
perhatian dan memiliki rasionalitas yang memadai, akan melontarkan pertanyaan
besar. Apakah Allah itu ada? Kalaupun dia ada, sekuat apa dia di hadapan
manusia? Siapa yang sebenarnya mahakuasa, Allah atau manusia? Allah menang di
masjid, di kuil, di gereja; tetapi di luar itu, pembunuhanlah yang meraja dan
siapa aktornya kalau bukan manusia? Pertanyaan tentang apakah Allah itu ada
sebenarnya sangat vital. Seandainya Allah itu memang tidak ada, manusia memang
harus merombak segala piranti, institusi, relasi yang membatasi gerak hidupnya.
Terhadap
pertanyaan-pertanyaan seperti itu, ada berbagai macam jawaban yang diberikan
sesuai dengan bidang yang digulati orang. Ditinjau dari segi psikologi, fakta
agama dilihat sebagai suatu obsesi. Tuhan dengan sendirinya adalah sosok ilusi
yang memenuhi citra seorang ayah yang menjadi pelindung. Dengan kata lain,
agama adalah pelarian diri dari kenyataan. Ditinjau dari sosiologi, agama
adalah perwujudan kekuatan masyarakat yang melampaui kekuatan individu. Orang
beriman pada kekuatan moral yang menjadi sumber dari sesuatu yang baik dalam
dirinya, dan kekuatan moral itu adalah masyarakat.
Masih banyak tinjauan
terhadap agama dan eksistensi Allah. Pada intinya, tinjauan-tinjauan ateistis
itu mereduksi, mempersempit fakta keagamaan atau keberimanan pada wilayah
bahasan tertentu, seperti seorang awam yang menilai arsitektur tertentu
berdasarkan ketinggian bangunannya belaka, atau mengapresiasinya dengan
kriteria mahalnya material yang menyusun bangunan itu. Fakta Allah dan agama
memang akan menjadi sempit kalau dibatasi pada pengertian sosiologis,
psikologis, antropologis, dan sebagainya. Bidang-bidang itu menentukan sendiri
apa itu Allah.
Tokoh-tokoh besar ateisme
kontemporer adalah Friedrich W. Nietzsche, Emile Durkheim, Sigmund Freud,
Jean-Paul Sartre, Feuerbach, dan Karl Marx (tidak ada hubungan dengan Richard
Marx!!!). Membahas gagasan ateisme mereka tentu saja tidak mungkin menjadi
tujuan artikel ini. Setiap tokoh tersebut memiliki metode tersendiri untuk
melakukan kritik terhadap agama dan eksistensi Allah. Kiranya lebih baik kita
memberi catatan kritis terhadap reduksi yang mereka buat atau penegasan yang
berguna bagi kita sendiri untuk menempatkan permasalahan ini secara tepat.
Sumbangan ateisme
Ateisme tentu tidak dengan
sengaja menyumbangkan jasanya bagi perkembangan agama atau iman. Akan tetapi,
kritik-kritik yang dilontarkan ateisme justru dapat menjadi feedback yang
positif bagi umat beragama. Kritik yang paling umum dilontarkan oleh ateisme
adalah bahwa agama adalah candu masyarakat karena memberikan ilusi-ilusi
tentang Allah yang sama sekali tidak real. Dari kritik ini tentu saja dua pokok
perlu diperhatikan. Yang pertama adalah soal eksistensi Allah (yang dianggap
tidak real). Yang kedua adalah soal agama (yang dianggap sebagai candu).
Eksistensi Allah
Ateisme tegas-tegas menolak
Allah. Akan tetapi, Allah macam apa yang ditolak ateisme? Kiranya segala macam
'jenis' Allah memang ditolak oleh ateisme. Ateisme yang keras menolak Allah
pencipta karena memang dalam ateisme tidak ada paham penciptaan. Dunia ini ada
begitu saja sehingga semuanya absurd (J.P. Sartre) atau berputar-putar kembali
ke masa lalu (Nietzsche). Maklumlah, bagi mereka dunia ini memang siklis seperti
mode yang dulu mulai dari ujung jempol, naik ke betis, lalu ke paha, makin
tinggi sedikit, akhirnya kembali lagi ke yang klasik, yaitu jempol... Akan
tetapi, keberatan ateisme itu jelas dapat diatasi berdasarkan sains. Diakui
oleh komunitas ilmuwan bahwa memang ada penciptaan yang aktornya disebut
sebagai Tuhan. Jadi, jelas bahwa Allah pencipta itu memang ada (bdk. debat
antara kaum ateis dan teis dalam Paul Davies, The Mind of God, New York:
Touchstone, 1992, hlm. 58-60). Agaknya kita semua termasuk dalam kaum teis
dalam arti mengakui adanya Tuhan yang menciptakan dunia. Dalam arti ini kita
beriman.
Meskipun demikian, ada
kelompok ateis lain yang tidak menyerah begitu saja. Okelah memang dulu Tuhan
itu pernah menciptakan Big Bang (ledakan besar yang memunculkan seluruh sistem
galaksi dengan segala keberaturannya). Tapi, itu dulu. Sekarang? Tuhan sudah
mati! Atau, kalaupun dia masih ada, ia hanya menjadi penonton, sama sekali
tidak campur tangan dalam proses kehidupan manusia dan semesta. Paham ini dikenal
sebagai Deisme (deus: tuhan, dewa). Tuhan diumpamakan sebagai pembuat jam
otomatis. Setelah selesai dirakit, jam itu berjalan sendiri tanpa bantuan si
pembuatnya.
Keyakinan seperti itu tampak
dalam fenomena serba free, seolah-olah mau dikatakan bahwa manusia memiliki
kebebasan mutlak, kekuasaan mutlak terhadap hidup ini. Maka, terjadilah di
sana-sini pro-choice (aborsi), free-sex, suicide, dll, dengan berbagai kedok
yang dibuat. Intinya, orang tidak bisa lagi dimintai pertanggungjawaban
rasional atas pola perilakunya. Manusia menjadi Tuhan itu sendiri sehingga
tidak perlu dipertanyakan apa yang dibuatnya. Inilah akibat paham deisme.
Paham ini memiliki
kekeliruan karena dari teori penciptaan dapat dijelaskan bahwa Tuhan
menciptakan dunia dalam proses terus menerus. Tuhan mengadakan semesta dan
memeliharanya. Ini sesuai juga dengan teori evolusi, yaitu bahwa proses
penciptaan manusia terus menerus berlangsung (termasuk di dalamnya proses
membuat manusia lebih menjadi manusiawi. Misalnya dengan adanya piagam HAM yang
menghapuskan bentuk-bentuk perlakuan yang tidak manusiawi–zaman dulu perbudakan
adalah sesuatu yang wajar, tetapi sekarang itu tidak sesuai dengan
perikemanusiaan). Di sini Tuhan campur tangan dalam proses pemeliharaan
semesta. Akan tetapi, kenyataan itu tidak dapat difatalkan menjadi paham bahwa
dunia ini hanyalah panggung sandiwara. Manusia hanya memerankan satu tokoh yang
sudah diskenariokan oleh sutradara dan dalang, Tuhan si makhluk sewenang-wenang
yang menentukan segala-galanya. Kalau demikian, itu artinya Tuhan menghendaki
adanya kejahatan. Dialah yang menghendaki Perang Dunia II. Dia pula yang
menginginkan perang saudara di Chechnya, atau di Ambon, Timor-Timur, dan
seterusnya. Kalau demikian, lebih baik Tuhan ditiadakan saja, karena dia yang
menimbulkan kekacauan di bumi.
Akhirnya, dapat disimpulkan
bahwa hidup adalah proses dialektika, proses dialog, proses kerja sama antara
manusia dan Tuhan. Manusia dianugerahi rahmat kebebasan. Maka, proses
pemeliharaan yang dikehendaki Tuhan juga bergantung pada bagaimana manusia
menggunakan kebebasan itu. Kalau kebebasan itu menyimpang dari kaidah-kaidah
yang ditawarkan Tuhan (Tuhan selalu menawarkan yang baik, dan lebih baik),
tentu terjadilah yang dalam agama disebut dosa; dan itulah ateisme, yaitu sisi
negatif dari agama.
Agama
Ateisme menyerang agama
karena kebanyakan penganutnya jelas-jelas menunjukkan suatu tindak pelarian
diri dari kenyataan. Karl Marx secara tegas menempatkan agama sebagai suatu
kenyataan sekunder yang ilusif, yang muncul karena manusia terasing dari dunia
nyata. Misalnya, seorang buruh mengalami pemerasan sedemikian hebat oleh
majikannya. Ia tidak dapat melawan karena de facto, majikannya memegang kunci
kehidupannya. Ia tidak dapat hidup tanpa gaji dari majikannya. Untuk mengatasi
konflik itu, majikannya mengajak buruh itu ke gereja dan di sanalah terdengar
sabda-sabda suci "berbahagialah mereka yang menderita, karena merekalah si
empunya kerajaan surga". Buruh menjadi tenang, majikan lega, tetapi
masalah tidak kunjung selesai. Bagi Marx, agama menipu manusia karena tidak
melihat fakta konflik tetapi justru melarikan diri pada kenyataan semu yang
membawa kedamaian, ketenangan semu pula.
Kritik Marx ini justru
berguna untuk menegaskan beberapa hal. Pertama, agama memang tidak sama
dengan iman. Sangat mungkin terjadi bahwa orang beragama tidak mendalami
agamanya sehingga tidak sampai pada iman yang diharapkan dapat tumbuh dari
penghayatan agama tersebut. Dengan demikian, kalau orang beragama melakukan
kejahatan, hidup dalam kemunafikan, itu tidak menyimpulkan bahwa agama adalah
nonsense, agama candu belaka. Kenyataan bahwa orang beragama berbuat jahat, itu
hanya menyimpulkan bahwa ia tidak dapat menjalankan sistem kepercayaannya.
Dengan kata lain, ia tidak atau kurang beriman. Kedua, bahwa umat
beragama melarikan diri dari kenyataan sosial, menolak masyarakat, itu tidak
berarti bahwa agama merupakan pelarian belaka. Memang orang bisa saja melarikan
diri dari permasalahannya pada kegiatan agama. Akan tetapi, dalam sistem
kepercayaannya, agama justru mau menunjukkan aspek sosial manusia sehingga
mustinya manusia tidak melarikan diri dari permasalahan sosial. Dokumen-dokumen
Konsili Vatikan II misalnya, jelas menekankan bahwa Gereja harus turut serta
membangun dunia sehingga lebih layak huni bagi manusia.
Akhir kata
Penjelasan tentang ateisme
secara memadai tidak mungkin diperoleh dari artikel singkat. Akan tetapi, dari
artikel singkat ini kita mungkin dapat mengkategorikan dua macam ateisme saja.
Yang pertama ateisme teoretis. Ateisme ini menyangkal eksistensi Allah
berdasarkan disiplin ilmu tertentu. Tidak banyak orang yang menganut ateisme
ini karena sudah tidak bisa disangkal bahwa berdasarkan bukti-bukti sains,
dapat ditelusur adanya aktor intelektual atas terjadinya dan berlangsungnya
semesta. Aktor itu dinamai Tuhan. Jadi, dalam hal ini, agaknya kita tidak ragu
untuk menempatkan diri sebagai kelompok teis.
Yang kedua adalah ateisme
praktis. Ateisme ini menyangkal eksistensi Allah dengan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan sistem kepercayaan pada Tuhan. Dengan kata lain, dalam
kamus orang beragama, orang melakukan dosa... Wah... kalau sudah begitu, siapa
yang tidak menjadi ateis praktis? Penganut ateisme praktis tentu lebih banyak
daripada penganut ateisme teoretis. Jadi, secara teoretis kita mungkin menolak
ateisme, tetapi apakah tingkah laku kita memang menolaknya atau malah
bersekongkol dengan ateisme? Ini selalu menjadi pekerjaan rumah... dan tidak
untuk dikumpulkan sebagai tugas terstruktur kepada dosen. Dan kalau ternyata
kita terus menerus menganut ateis praktis, itu sama sekali tidak dapat menjadi
modal untuk menyimpulkan bahwa Tuhan memang tidak ada. Akhirnya, hidup di dunia
adalah suatu rahmat sehingga setiap kali manusia perlu bekerja sama dengan
Tuhan untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Tue Aug 01, 2023 9:56 pm by wisatasemarang
» Portable STATA 18 Crack Full Version
Thu May 11, 2023 5:24 pm by wisatasemarang
» NVivo 12 Crack Full version
Mon Jan 30, 2023 11:16 am by wisatasemarang
» Tutorial Difference In difference (DID (Diff-in-Diff) With Eviews 13
Thu Nov 03, 2022 6:24 am by wisatasemarang
» Online Workshop Smart PLS Minggu, 01 Oktober 2022
Sat Sep 17, 2022 11:35 am by wisatasemarang
» kumpulan ebook tentang robot
Fri Jan 02, 2015 10:04 pm by kyuru
» MANTRA PELET
Wed May 16, 2012 3:31 am by orlandojack
» book love of spell
Sat Mar 24, 2012 8:08 pm by rifqi as
» attraction Formula
Sat Mar 24, 2012 7:09 pm by rifqi as