Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Join the forum, it's quick and easy

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

ingin bergabung dengan elrakyat.tk klik pendaftaran. jika anda sudah pernah mendaftar silakan login. jangan lupa ajak kawan-kawanmu ke mari , dan jadilah top poster di forum kita

Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Komunitas pecinta koleksi jadul

salah satu forum terbesar tempat kita bernostalgia

Login

Lupa password?

Our traffic

info rakyat

Sun Oct 31, 2010 9:05 pm by admin

---------------
PEMBERITAHUAN....

SF ZONA RELIGI SEKARANG KAMI PINDAH KE [You must be registered and logged in to see this link.] ANDA BISA BERPARTISIPASI DAN MENJADI MODERATOR SESUAI PERMINTAAN ANDA DENGAN REQUEST VIA SMS NO ADMIN 081945520865


Sekilas Info

Sun Jun 27, 2010 2:44 pm by admin

kabar gembira, forum lentera-rakyat mulai hari ini juga bisa diakses melalui [You must be registered and logged in to see this link.]


    memahami atheisme

    admin
    admin
    Admin
    Admin


    Zodiac : Virgo Jumlah posting : 688
    Join date : 19.03.10
    Age : 36
    Lokasi : Malang-Indonesia

    memahami atheisme Empty memahami atheisme

    Post by admin Wed May 19, 2010 9:51 pm

    Memahami Ateisme








    Materi Perkuliahan Mata Kuliah Pendidikan Agama


    Teknik Arsitektur 1999 Universitas Atma Jaya Yogyakarta


    7 Maret 2000







    Pengantar







    Mahatma Gandhi, seorang tokoh perjuangan
    tanpa kekerasan, adalah fans berat Yesus Kristus. Akan tetapi, ia tidak dapat
    memeluk agama Kristen. Mengapa? Karena pengikut Kristus itulah yang menjajah
    negerinya. Hanya jika pengikut Kristus itu menerapkan cinta kasih yang diajarkan
    Yesus, Gandhi akan mengakui bahwa agama Kristen layak dianutnya.


    Fakta kekerasan, penganiayaan, pembunuhan,
    pemerkosaan—singkatnya–adanya kejahatan dapat membawa implikasi yang lebih
    besar daripada yang dialami Gandhi. Katanya Allah itu mahabaik, mahakuasa,
    dapat berbuat apa saja, tetapi kenapa kok ada kejahatan? (bdk. Vittorio Messori
    (ed.), Crossing The Threshold of Hope, New York: Alfred A. Knopf, 1994, hlm.
    37-41) Kenapa Allah tidak memusnahkan saja orang-orang jahat sehingga dunia ini
    menjadi damai, tenang, membahagiakan, layak dihuni? Kalau dunia toh tetap penuh
    kejahatan, sebaiknya Tuhan ditiadakan saja. Tuhan itu tidak ada. Yang ada
    adalah manusia yang bebas mutlak. Ini adalah salah satu aliran paham ateisme.
    Bagi penganut aliran ini, hidup tidak punya makna apapun. Celakalah mereka yang
    terkena musibah, jadi korban perang atau penganiayaan. Nasib baiklah kalau ia
    bisa selamat. Nasib buruklah kalau dia selama hidupnya miskin. Pokoknya,
    manusia bebas, terserah apa yang mau dicapainya dalam hidup ini.


    Ironisnya, pandangan semacam
    ini justru memunculkan dari kejahatan yang satu ke kejahatan yang lainnya.
    Maka, ateisme memandang juga bahwa hidup ini begitu absurd, kacau. Tidak ada
    orientasi apapun dalam hidup. Kehidupan ini tidak punya tujuan selain hidup itu
    sendiri. Tidak ada kehidupan selain hidup yang sekali ini, maka terserah mau
    diapakan hidup ini, tidak ada hubungannya dengan setelah kematian. Dengan
    demikian, semakin kukuhlah anggapan bahwa tidak ada Tuhan yang menata hidup ini,
    yang menjadi tujuan hidup ini. Demikian seterusnya sehingga orang terjebak
    dalam vicious circle yang tak terelakkan.





    Mengapa ateisme perlu dipelajari?





    "Pengaruh Barat
    demikian jauhnya menghapuskan kepercayaan kepada Tuhan dalam hati pemuda-pemudi
    dan ratusan mahasiswa dan orang lain mulai menolak dan mengingkari eksistensi
    Tuhan. Terdapat lagi ribuan orang yang meskipun masih bertahan diri untuk tidak
    menyatakan secara terang-terangan pandangan mereka karena takut kepada
    masyarakat, benar-benar sudah tidak punya keyakinan terhadap-Nya" (lih.
    Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1997)


    Pernyataan itu dibuat 23
    tahun lalu. Kalau di-release lagi, mungkin kuantitasnya akan menjadi jutaan
    orang yang tidak punya keyakinan terhadap Tuhan. Kita masing-masing perlu
    mempelajari secara kritis apa itu ateisme. Dari pemahaman itu diharapkan kita
    dapat mengatasi ateisme. Tidak sedikit orang yang menolak ateisme tetapi tidak
    tahu apa yang ia tolak. Ironisnya, ia sendiri—meskipun beragama—justru
    menjalankan ajaran-ajaran ateisme. Itulah bahayanya sikap tak mau tahu, tidak
    peduli: orang menjadi munafik, bermuka dua... tiga, bahkan seperti dasamuka
    (tokoh pewayangan bermuka sepuluh). Efek kemunafikan itu, seperti telah disebut
    pada bagian pengantar, tidak jauh dari penggerogotan kemanusiaan dan kehancuran
    ekosistem (bdk. artikel-artikel tentang arsitektur pada harian KOMPAS, Minggu,
    5 Maret 2000, hlm. 9-11. Seorang arsitektur yang mungkin mengaku beragama atau
    beriman bisa saja bersekongkol dengan kontraktor untuk membangun kompleks
    perumahan tanpa memprioritaskan lingkungan atau masyarakat sekitar).


    Sebelum mendalami ateisme
    (sedikit saja), baiklah disampaikan di sini dua catatan penting. Pertama, iman
    dalam agama tertentu yang dimengerti dan dihayati secara salah, akan menjadi
    lahan subur bagi ateisme. Ateisme memang merupakan sisi negatif dari agama dan
    keyakinan akan adanya Tuhan. Kedua, kritik ateisme sampai batas-batas tertentu
    memiliki kadar kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh umat beragama.
    Meskipun pada akhirnya ateisme keliru, ia tetap mendasarkan diri pada fakta
    praktik agama. Di sini sebenarnya ateisme menyumbangkan pandangan kritis
    terhadap agama.





    Apa itu ateisme?





    Dalam dokumen Konsili
    Vatikan II, Gaudium et Spes, artikel 19, dijabarkan adanya beberapa versi
    pemahaman dan fakta ateisme (a: anti, tidak ada; theos: Tuhan). Pertama,
    ateisme berarti pengingkaran eksistensi Allah. Terserah apapun argumentasinya,
    pokoknya orang tidak percaya akan adanya Allah. Kedua, ateisme berarti penolakan
    terhadap pengetahuan akan Allah. Jadi, omong kosong itu kotbah pastor atau
    imam-imam tentang Tuhan yang bla bla bla. Ketiga, ateisme berarti pemutlakan
    ilmu-ilmu positif (seperti fisika, kimia, matematika) untuk menjelaskan
    realitas semesta. Di hadapan ilmu positif yang mutlak ini, tentulah tidak ada
    tempat bagi segala hal yang tidak dapat dibuktikan misalnya secara matematis.
    Keempat, ateisme berarti juga pemutlakan humanisme. Humanisme yang menempatkan
    manusia sebagai tujuan hidup. Kebebasan manusia dimutlakkan sedemikian rupa
    sehingga pilihannya adalah: Tuhan atau manusia yang ada. Kalau Tuhan ada,
    berarti manusia tidak bebas. Kalau manusia bebas, berarti Tuhan tidak ada.


    Dari beberapa pengertian
    itu, dapat diketahui bahwa pada prinsipnya ateisme adalah (1) penolakan
    keberadaan Allah atau (2) penyangkalan adanya kemungkinan untuk mengetahui
    Allah (bdk. Karl Rahner (ed.), Encyclopedia of Theology: The Concise
    Sacramentum Mundi, New York: Crossroad, hlm. 47). Artikel ini hanya akan
    membatasi diri pada pengertian pertama, yang lebih berkenaan dengan soal sistem
    keyakinan. Pengertian kedua lebih cenderung ada pada wilayah epistemologi (Ilmu
    Alamiah Dasar?). Dengan batasan pengertian pertama, ajaran ateisme jelas dan
    tegas: Tuhan itu tidak ada. Dengan demikian perhatian ateisme adalah meyakinkan
    orang bahwa Allah itu omong kosong, pelarian saja; dan agama hanyalah candu.
    Alam semesta dan hidup manusia sama sekali tidak bergantung pada kekuatan lain
    apa pun. Manusia memiliki arti dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, ateisme
    memang berusaha menghancurkan pondasi agama. Kalau Tuhan memang tidak ada,
    tentu tidak ada alasan bagi adanya agama.





    Bagaimana ateisme dapat muncul?





    Ateisme muncul berdasarkan
    refleksi, evaluasi yang dibuat manusia berdasarkan fakta hidup yang dilihatnya.
    Usaha untuk melihat fakta itu disandarkan pada rasionalitas manusia. Karena
    itu, sebetulnya masalah ateisme terutama berdimensi filosofis. Misalkan ada
    fakta bahwa seorang mahasiswa yang rajin ke gereja setiap Minggu pada hari
    Seninnya main perempuan (ini melanggar sepuluh perintah Allah dalam tradisi
    Kristen). Jadi, hari Senin dia bejat, hari Minggunya alim, berniat bertobat.
    Selasa bejat lagi, Minggu nangis meraung-raung menyesali dosanya. Rabu merampok
    orang lain untuk modal main perempuan.


    Orang yang memang memiliki
    perhatian dan memiliki rasionalitas yang memadai, akan melontarkan pertanyaan
    besar. Apakah Allah itu ada? Kalaupun dia ada, sekuat apa dia di hadapan
    manusia? Siapa yang sebenarnya mahakuasa, Allah atau manusia? Allah menang di
    masjid, di kuil, di gereja; tetapi di luar itu, pembunuhanlah yang meraja dan
    siapa aktornya kalau bukan manusia? Pertanyaan tentang apakah Allah itu ada
    sebenarnya sangat vital. Seandainya Allah itu memang tidak ada, manusia memang
    harus merombak segala piranti, institusi, relasi yang membatasi gerak hidupnya.



    Terhadap
    pertanyaan-pertanyaan seperti itu, ada berbagai macam jawaban yang diberikan
    sesuai dengan bidang yang digulati orang. Ditinjau dari segi psikologi, fakta
    agama dilihat sebagai suatu obsesi. Tuhan dengan sendirinya adalah sosok ilusi
    yang memenuhi citra seorang ayah yang menjadi pelindung. Dengan kata lain,
    agama adalah pelarian diri dari kenyataan. Ditinjau dari sosiologi, agama
    adalah perwujudan kekuatan masyarakat yang melampaui kekuatan individu. Orang
    beriman pada kekuatan moral yang menjadi sumber dari sesuatu yang baik dalam
    dirinya, dan kekuatan moral itu adalah masyarakat.


    Masih banyak tinjauan
    terhadap agama dan eksistensi Allah. Pada intinya, tinjauan-tinjauan ateistis
    itu mereduksi, mempersempit fakta keagamaan atau keberimanan pada wilayah
    bahasan tertentu, seperti seorang awam yang menilai arsitektur tertentu
    berdasarkan ketinggian bangunannya belaka, atau mengapresiasinya dengan
    kriteria mahalnya material yang menyusun bangunan itu. Fakta Allah dan agama
    memang akan menjadi sempit kalau dibatasi pada pengertian sosiologis,
    psikologis, antropologis, dan sebagainya. Bidang-bidang itu menentukan sendiri
    apa itu Allah.


    Tokoh-tokoh besar ateisme
    kontemporer adalah Friedrich W. Nietzsche, Emile Durkheim, Sigmund Freud,
    Jean-Paul Sartre, Feuerbach, dan Karl Marx (tidak ada hubungan dengan Richard
    Marx!!!). Membahas gagasan ateisme mereka tentu saja tidak mungkin menjadi
    tujuan artikel ini. Setiap tokoh tersebut memiliki metode tersendiri untuk
    melakukan kritik terhadap agama dan eksistensi Allah. Kiranya lebih baik kita
    memberi catatan kritis terhadap reduksi yang mereka buat atau penegasan yang
    berguna bagi kita sendiri untuk menempatkan permasalahan ini secara tepat.




    Sumbangan ateisme







    Ateisme tentu tidak dengan
    sengaja menyumbangkan jasanya bagi perkembangan agama atau iman. Akan tetapi,
    kritik-kritik yang dilontarkan ateisme justru dapat menjadi feedback yang
    positif bagi umat beragama. Kritik yang paling umum dilontarkan oleh ateisme
    adalah bahwa agama adalah candu masyarakat karena memberikan ilusi-ilusi
    tentang Allah yang sama sekali tidak real. Dari kritik ini tentu saja dua pokok
    perlu diperhatikan. Yang pertama adalah soal eksistensi Allah (yang dianggap
    tidak real). Yang kedua adalah soal agama (yang dianggap sebagai candu).




    Eksistensi Allah




    Ateisme tegas-tegas menolak
    Allah. Akan tetapi, Allah macam apa yang ditolak ateisme? Kiranya segala macam
    'jenis' Allah memang ditolak oleh ateisme. Ateisme yang keras menolak Allah
    pencipta karena memang dalam ateisme tidak ada paham penciptaan. Dunia ini ada
    begitu saja sehingga semuanya absurd (J.P. Sartre) atau berputar-putar kembali
    ke masa lalu (Nietzsche). Maklumlah, bagi mereka dunia ini memang siklis seperti
    mode yang dulu mulai dari ujung jempol, naik ke betis, lalu ke paha, makin
    tinggi sedikit, akhirnya kembali lagi ke yang klasik, yaitu jempol... Akan
    tetapi, keberatan ateisme itu jelas dapat diatasi berdasarkan sains. Diakui
    oleh komunitas ilmuwan bahwa memang ada penciptaan yang aktornya disebut
    sebagai Tuhan. Jadi, jelas bahwa Allah pencipta itu memang ada (bdk. debat
    antara kaum ateis dan teis dalam Paul Davies, The Mind of God, New York:
    Touchstone, 1992, hlm. 58-60). Agaknya kita semua termasuk dalam kaum teis
    dalam arti mengakui adanya Tuhan yang menciptakan dunia. Dalam arti ini kita
    beriman.


    Meskipun demikian, ada
    kelompok ateis lain yang tidak menyerah begitu saja. Okelah memang dulu Tuhan
    itu pernah menciptakan Big Bang (ledakan besar yang memunculkan seluruh sistem
    galaksi dengan segala keberaturannya). Tapi, itu dulu. Sekarang? Tuhan sudah
    mati! Atau, kalaupun dia masih ada, ia hanya menjadi penonton, sama sekali
    tidak campur tangan dalam proses kehidupan manusia dan semesta. Paham ini dikenal
    sebagai Deisme (deus: tuhan, dewa). Tuhan diumpamakan sebagai pembuat jam
    otomatis. Setelah selesai dirakit, jam itu berjalan sendiri tanpa bantuan si
    pembuatnya.


    Keyakinan seperti itu tampak
    dalam fenomena serba free, seolah-olah mau dikatakan bahwa manusia memiliki
    kebebasan mutlak, kekuasaan mutlak terhadap hidup ini. Maka, terjadilah di
    sana-sini pro-choice (aborsi), free-sex, suicide, dll, dengan berbagai kedok
    yang dibuat. Intinya, orang tidak bisa lagi dimintai pertanggungjawaban
    rasional atas pola perilakunya. Manusia menjadi Tuhan itu sendiri sehingga
    tidak perlu dipertanyakan apa yang dibuatnya. Inilah akibat paham deisme.


    Paham ini memiliki
    kekeliruan karena dari teori penciptaan dapat dijelaskan bahwa Tuhan
    menciptakan dunia dalam proses terus menerus. Tuhan mengadakan semesta dan
    memeliharanya. Ini sesuai juga dengan teori evolusi, yaitu bahwa proses
    penciptaan manusia terus menerus berlangsung (termasuk di dalamnya proses
    membuat manusia lebih menjadi manusiawi. Misalnya dengan adanya piagam HAM yang
    menghapuskan bentuk-bentuk perlakuan yang tidak manusiawi–zaman dulu perbudakan
    adalah sesuatu yang wajar, tetapi sekarang itu tidak sesuai dengan
    perikemanusiaan). Di sini Tuhan campur tangan dalam proses pemeliharaan
    semesta. Akan tetapi, kenyataan itu tidak dapat difatalkan menjadi paham bahwa
    dunia ini hanyalah panggung sandiwara. Manusia hanya memerankan satu tokoh yang
    sudah diskenariokan oleh sutradara dan dalang, Tuhan si makhluk sewenang-wenang
    yang menentukan segala-galanya. Kalau demikian, itu artinya Tuhan menghendaki
    adanya kejahatan. Dialah yang menghendaki Perang Dunia II. Dia pula yang
    menginginkan perang saudara di Chechnya, atau di Ambon, Timor-Timur, dan
    seterusnya. Kalau demikian, lebih baik Tuhan ditiadakan saja, karena dia yang
    menimbulkan kekacauan di bumi.


    Akhirnya, dapat disimpulkan
    bahwa hidup adalah proses dialektika, proses dialog, proses kerja sama antara
    manusia dan Tuhan. Manusia dianugerahi rahmat kebebasan. Maka, proses
    pemeliharaan yang dikehendaki Tuhan juga bergantung pada bagaimana manusia
    menggunakan kebebasan itu. Kalau kebebasan itu menyimpang dari kaidah-kaidah
    yang ditawarkan Tuhan (Tuhan selalu menawarkan yang baik, dan lebih baik),
    tentu terjadilah yang dalam agama disebut dosa; dan itulah ateisme, yaitu sisi
    negatif dari agama.




    Agama




    Ateisme menyerang agama
    karena kebanyakan penganutnya jelas-jelas menunjukkan suatu tindak pelarian
    diri dari kenyataan. Karl Marx secara tegas menempatkan agama sebagai suatu
    kenyataan sekunder yang ilusif, yang muncul karena manusia terasing dari dunia
    nyata. Misalnya, seorang buruh mengalami pemerasan sedemikian hebat oleh
    majikannya. Ia tidak dapat melawan karena de facto, majikannya memegang kunci
    kehidupannya. Ia tidak dapat hidup tanpa gaji dari majikannya. Untuk mengatasi
    konflik itu, majikannya mengajak buruh itu ke gereja dan di sanalah terdengar
    sabda-sabda suci "berbahagialah mereka yang menderita, karena merekalah si
    empunya kerajaan surga". Buruh menjadi tenang, majikan lega, tetapi
    masalah tidak kunjung selesai. Bagi Marx, agama menipu manusia karena tidak
    melihat fakta konflik tetapi justru melarikan diri pada kenyataan semu yang
    membawa kedamaian, ketenangan semu pula.


    Kritik Marx ini justru
    berguna untuk menegaskan beberapa hal. Pertama, agama memang tidak sama
    dengan iman. Sangat mungkin terjadi bahwa orang beragama tidak mendalami
    agamanya sehingga tidak sampai pada iman yang diharapkan dapat tumbuh dari
    penghayatan agama tersebut. Dengan demikian, kalau orang beragama melakukan
    kejahatan, hidup dalam kemunafikan, itu tidak menyimpulkan bahwa agama adalah
    nonsense, agama candu belaka. Kenyataan bahwa orang beragama berbuat jahat, itu
    hanya menyimpulkan bahwa ia tidak dapat menjalankan sistem kepercayaannya.
    Dengan kata lain, ia tidak atau kurang beriman. Kedua, bahwa umat
    beragama melarikan diri dari kenyataan sosial, menolak masyarakat, itu tidak
    berarti bahwa agama merupakan pelarian belaka. Memang orang bisa saja melarikan
    diri dari permasalahannya pada kegiatan agama. Akan tetapi, dalam sistem
    kepercayaannya, agama justru mau menunjukkan aspek sosial manusia sehingga
    mustinya manusia tidak melarikan diri dari permasalahan sosial. Dokumen-dokumen
    Konsili Vatikan II misalnya, jelas menekankan bahwa Gereja harus turut serta
    membangun dunia sehingga lebih layak huni bagi manusia.





    Akhir kata







    Penjelasan tentang ateisme
    secara memadai tidak mungkin diperoleh dari artikel singkat. Akan tetapi, dari
    artikel singkat ini kita mungkin dapat mengkategorikan dua macam ateisme saja.
    Yang pertama ateisme teoretis. Ateisme ini menyangkal eksistensi Allah
    berdasarkan disiplin ilmu tertentu. Tidak banyak orang yang menganut ateisme
    ini karena sudah tidak bisa disangkal bahwa berdasarkan bukti-bukti sains,
    dapat ditelusur adanya aktor intelektual atas terjadinya dan berlangsungnya
    semesta. Aktor itu dinamai Tuhan. Jadi, dalam hal ini, agaknya kita tidak ragu
    untuk menempatkan diri sebagai kelompok teis.


    Yang kedua adalah ateisme
    praktis. Ateisme ini menyangkal eksistensi Allah dengan melakukan tindakan yang
    bertentangan dengan sistem kepercayaan pada Tuhan. Dengan kata lain, dalam
    kamus orang beragama, orang melakukan dosa... Wah... kalau sudah begitu, siapa
    yang tidak menjadi ateis praktis? Penganut ateisme praktis tentu lebih banyak
    daripada penganut ateisme teoretis. Jadi, secara teoretis kita mungkin menolak
    ateisme, tetapi apakah tingkah laku kita memang menolaknya atau malah
    bersekongkol dengan ateisme? Ini selalu menjadi pekerjaan rumah... dan tidak
    untuk dikumpulkan sebagai tugas terstruktur kepada dosen. Dan kalau ternyata
    kita terus menerus menganut ateis praktis, itu sama sekali tidak dapat menjadi
    modal untuk menyimpulkan bahwa Tuhan memang tidak ada. Akhirnya, hidup di dunia
    adalah suatu rahmat sehingga setiap kali manusia perlu bekerja sama dengan
    Tuhan untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih baik lagi.

      Waktu sekarang Thu May 09, 2024 1:52 pm